Selama ini Soonyoung selalu merasa bahwa kecintaanya terhadap idola tidak seharusnya sama dengan kecintaanya terhadap apapun. Cinta nya terhadap idola sudah seharusnya didasari oleh rasa kagum entah kerena karya nya, bakat nya, dan personality traits lainnya yang mungkin mereka punyai. Selalu ada harapan untuk hal-hal baik agar terjadi kepada mereka, dan tidak pernah lebih dari itu.

Namun segalanya dapat menjadi berbeda ketika kita mengenal mereka lebih dari sekedar pertunjukan media. Lebih dari bagaimana ia membentuk citranya. Lebih dari yang ia pamerkan kepada dunia. Segalanya menjadi berbeda ketika hal itu tidak lagi berada dalam ranah profesional.

Terkadang Soonyoung terbaring di atas tempat tidur, membayangkan bahwa pernah ada Jihoon yang duduk diatas pangkuannya dan menyentuhnya tepat di bagian sensitif. Pernah ada Jihoon yang mengaitkan tangannya di jari-jari Soonyoung dan meminta untuk jangan pernah melepas. Tekadang Soonyoung terbaring di atas tempat tidur, menyinari wajahnya ditengah kegelapan dan membaca ulang histori pesannya dengan Jihoon. Bahwa ada saat-saat dimana ia merasa hanya Soonyoung yang tahu Jihoon adalah seorang pendengar yang baik, bahwa ada Jihoon yang punya kekhawatirannya sendiri atas masalah-masalah yang ada di hidupnya, dan ada Jihoon yang terkadang merajuk dan menuntut.

Lalu ketika dihempas kembali ke kenyataan, Soonyoung jatuh tepat di palung terdalam. Bahwa juga ada banyak orang lain diluar sana yang mengetahui presensinya, menikmati karyanya, mengharapkan kebahagiaanya, dan meneriakan namanya. Dan Soonyoung hanyalah salah satu diantaranya.

Mungkin itulah mengapa hanya sebatas apresiasi dan rasa kagum yang seharusnya ada diantara seorang idola dengan penggemarnya. Tidak lebih.

Telapak tangan Soonyoung basah, degup jantungnya enggan bekerja sama.

“Lo yakin mau maju kedepan? Sheila On 7 nya juga masih entar malem kali.”

Soonyoung mencoba untuk menerobos kerumunan sambil mengusap tengkuknya canggung. “Gak bisa, Sa. Harus maju biar keliatan.”

“Ada yang mau lo tonton?”

“Ada.”

Dan perempuan itu hanya mengangkat bahunya santai sembari mengikuti. Soonyoung menyukai Sasa. Ia bukan tipikal orang yang merumitkan segala hal dan sukar untuk dibaca. Sasa menyodorkan tangannya dengan reflek ketika mereka hendak menyebrang, mengusap saos di ujung bibir Soonyoung dengan santai, dan tidak mengajukan pertanyaan yang membuat mereka berdua tidak nyaman. Ia berbicara dengan Soonyoung seakan-akan mereka sudah berteman lebih lama dari yang seharusnya.

Mungkin, mungkin jika mereka bertemu di waktu yang lebih tepat, ketika pikiran Soonyoung tidak terisi oleh satu orang yang entah kapan akan pergi, mereka bisa menjadi sesuatu yang lebih.

Terlepas dari masalahnya sendiri, Soonyoung tetap memperlakukan perempuan itu selayaknya teman kencan. Menjaga Sasa dari kerumunan yang terkadang agresif dalam mendorong, dan rutin menanyakan apakah ia baik-baik saja.

“Dia ya, yang mau lo liat?” Tebak Sasa tiba-tiba.

“Hah? Kenapa bisa ngomong gitu?”

“Keliatan. Ekspresi sama gerak tubuh lo langsung beda.”

Soonyoung mendengus. “Lo apaansi? Anak Psikologi?”

“Baru tau?” Jawabnya, sembari lagi-lagi mengangkat bahunya cuek. Dan Soonyoung tertawa. Entah kenapa, ia ingin tertawa. Tertawa melihat titik keringat yang ada di dahi perempuan itu, pori-pori di pipi nya yang mulus, dan bibirnya yang dibalut warna merah jambu...

Lalu ada Jihoon diatas sana.

Jihoon dengan cahaya yang menyoroti, Jihoon dengan suara jepretan kamera dari berbagai arah, Jihoon dengan mic kebangganya, Jihoon dengan segala kemegahan yang ada di sekelilingnya, dan Jihoon yang sukar untuk diraih.

Soonyoung pernah menanyakan bagaimana Jihoon selalu bisa menemukannya diantara kerumunan orang. Alih-alih mendapat jawaban, Jihoon hanya mengiriminya emoji tertawa. Tidak pernah ada jawaban atas pertanyaannya itu. Dan dengan segala ketidakmasukakalan yang ada, Jihoon menemukan Soonyoung yang saat ini sedang melemparkan senyumannya kepada perempuan disebelahnya.

“Sa!” Teriak Soonyoung, mencoba mengalahkan musik yang menggema.

“Ha?!” Perempuan itu setengah berjinjit agar suaranya sampai di telinga Soonyoung. Tubuhnya bergoyang mengikuti kerumunan walaupun Soonyoung tahu betul ia kurang familier dengan lagu yang sedang dibawakan.

“Gue mau ijin rangkul bahu lo!” Mata Soonyoung tidak pernah meninggalkan Jihoon ketika mengucapkan kalimat tersebut.

“Oke!”

Dan tepat saat itu, Soonyoung untuk pertama kalinya merasa bahwa ia adalah manusia bebas. Bahwa ia adalah seorang revolusioner yang superior. Bahwa ada kebanggan tersendiri merangkul seseorang di depan mata Jihoon. Bahwa ini adalah sebuah groundbreaking yang akhirnya ia capai.

Ji, kalau aja lo punya sedikit keberanian untuk bawa gue masuk ke dalam dunia lo, mungkin gue akan meninggalkan semuanya yang ada untuk sesuatu yang gak masuk akal selama itu sama lo. Kalau aja lo punya usaha yang sama besar dengan gue, kalau aja lo memprioritaskan gue sebagaimana gue memprioritaskan lo, kalau aja lo mau menggengam tangan gue di depan semua orang seakan-akan gue adalah hal yang penting, kalau aja perasaan ini ada di dua sisi, dan kalau aja gak pernah ada jarak diantara panggung tinggi itu dengan tanah tempat gue berpijak, mungkin segalanya akan menjadi berbeda.

Jihoon memalingkan pandangannya dari Soonyoung sepanjang sisa durasi penampilannya.