Sepuluh langkah menuju rumah Hansol, kakinya masih terasa enteng.

Mungkin prank ulang tahun, pikirnya atas keanehan Hansol semalam. Alih-alih kesal, Seokmin lebih merasa penasaran karena tak ada yang menghubunginya agar membuat prank serupa untuk Hansol.

Delapan langkah menuju rumah Hansol, pikirannya kembali mengingat isi pesan yang temannya siratkan semalam.

Kenapa dari segala masalah yang ada untuk dijadikan gurauan, Hansol memilih untuk menyangkut-pautkan orang tuanya sedangkan ini kali pertama Seokmin akan bertemu mereka?

Enam langkah menuju rumah Hansol, ada sesuatu yang mengganjal dihatinya.

Apa sekiranya satu kesalahan yang bisa membuat Seokmin sampai menyakiti perasaan orang tua Hansol?

Empat langkah menuju rumah Hansol, kakinya mulai terseok.

Banyak kemungkinan-kemungkinan yang berselibat di dalam kepalanya. Mungkin Seokmin pernah menyinggung perasaan Hansol tentang mereka tanpa sadar. Mungkin ada hal yang benar-benar urgensi sampai Hansol harus berkata demikian.

Dua langkah menuju rumah Hansol, Seokmin tiba-tiba ingin mundur.

Saat langkahnya sampai di tujuan,

Seokmin kehabisan waktu.

Bahkan hanya dengan melihat wajah Jisoo yang menyapa mereka semua dari balik pintu, seluruh kata-kata yang Hansol layangkan menjadi masuk akal secara bersamaan.

Dan Seokmin panas dingin.

“Sore, Om! Itu motornya kita parkir didepan pager gak apa kan ya? Ilang gak kira-kira?” Tanya Chan ramah, tangannya maju untuk menyalami Jisoo. Jisoo menyambut tangan tersebut, namun matanya tidak pernah meninggalkan Seokmin.

“Mending sekalian masukin motornya ke dalam aja, gimana?”

“Ooh, oke siap! Saya masukin yaa, Om.”

Chan dan Soonyoung membalikan langkah kaki kembali keluar, meninggalkan Seokmin yang sedang merasakan sakitnya menelan bongkahan batu di sela-sela kerongkongan.

Seokmin menunduk, tidak berbahasa.

Otaknya mati fungsi.

Suara napas Jisoo membuyarkan konsentrasinya ketika berusaha keras untuk tidak melarikan diri. Namun dua kata. Dua kata, dan suara yang Seokmin kenal betul memasuki telinga kanannya dan keluar lewat telinga kirinya tanpa ampun. Dan hal yang paling Seokmin inginkan sekarang adalah memuntahkan isi perutnya.

“Masuk, Seok.”

Seokmin masih tidak bergeming. Masih menunduk. Masih mencoba merasakan kakinya.

Tepukan di pundak dan dorongan yang Soonyoung layangkan lah yang membuat Seokmin akhirnya melangkah maju.

Hal-hal ironis lainnya mulai berdatangan silih berganti.

Pelukan yang dilayangkan oleh tante Lea menjadi hantaman pertamanya.

“Kalau Seokmin tuh yang mana, ya? Yang hari ini ulang tahun juga.”

“Saya, tante.”

Ohhh hey dear nice to meet you! I bought two cakes today supaya kamu bisa ikut tiup lilin sendiri.”

Entah karena insting apa, mata Seokmin mencari mata Jisoo. Ia butuh tahu kalau tamparan ini bukan hanya mempengaruhi dirinya sendiri.

Bola mata Jisoo yang bergetar menjadi jawabannya.

Air muka Hansol sulit untuk dibaca. Hansol memang selalu seperti itu, tidak mudah untuk menebak apa yang sebetulnya ada di dalam pikirannya. Namun untuk kali ini, Seokmin tidak perlu bersusah payah untuk tahu kalau ada banyak kebencian bersarang disana.

Detik itu, detik itu juga Seokmin putuskan, ia tidak akan pernah lagi ingin ulang tahun.

Tante Lea baik. Terlalu baik. Tante Lea memeluknya pasca lilinnya berhasil tertiup, mencium pipinya ketika memberikan apresiasi potongan kue pertama, dan memperlakukan semua teman Hansol dengan adil seperti anaknya sendiri. Dan semua itu ia lakukan di depan suaminya yang bibirnya pernah tertempel di bibir Seokmin, dan anaknya yang tahu akan hal itu.

Tak terhitung untuk yang keberapa kalinya, Seokmin mencari mata Jisoo untuk meminta validasi apapun yang bisa ia dapat. Bahwa bukan cuma Seokmin yang merasa tekanan di pundaknya terlalu berat. Bahwa ini sama sekali bukan mimpi.

Entah pukul berapa pun Seokmin tidak tahu menahu, namun tiba-tiba Hansol menepuk pundaknya dan menjatuhkan dirinya ke sofa tepat di sebelah Seokmin dengan santai. Di tangannya ada satu piring sterofoam berisi kue nya tadi, dan mulutnya sibuk menjilat-jilat sendok dengan khidmat.

“Le.” Ucap Seokmin hati-hati.

“Ha?”

Please usir gua sekarang juga. Please, Le.”

“Ngapain? Bikin sedih nyokap gua aja, lu. Dia pengen temen gua lengkap. Temen yang selalu gua ceritain, temen yang gua udah anggap kayak sodara sendiri. Udah lu diem disini sampe anak-anak juga pada balik, masalah yang lain masih bisa kita bahas nanti-nanti.”

Seokmin menutup mata dengan lengannya, lalu menyenderkan kepalanya ke belakang sofa lelah. “Le, elah...”

“Gua gak benci sama lu. Kalo itu yang mau lu tanya, jawabannya adalah engga. Gua yakin lu juga gak tau dia sebenernya siapa, kalo lu tau gak mungkin lu sebego dan seberani itu buat dateng kesini.”

“Sumpah Le, demi Allah, ini semua bener-bener diluar ekspektasi gua.”

“Gua paham bang, lu santai aja. Gua cuma... apa ya? Gak tau apa gua bisa ngeliat lu dan bokap dengan cara yang sama lagi.”

Helaan napas Seokmin cukup keras dan mengundang banyak mata untuk berfokus pada mereka. “Widiiih, birthday boy kenapa nih kisut bener kek abis kolaborasi stiptease bareng banci?”

Seokmin mengabaikan guyonan Soonyoung dan kembali menutupi mata dengan lengannya.

Tiba-tiba space kosong yang ada disebelah kirinya ikut terisi, Seungkwan duduk disana memandang Seokmin dengan air mata tertahan di kelopak matanya.

“Bang Jawir, maafin Kwan ya...”

“Lahhh, ini napa lagi bocah satu?”

“Gak apa,” Tutur Seungkwan pelan. Pipinya basah, namun ada senyum yang mengembang disana. “Boleh peluk kalian berdua gak?”

Permintaan Seungkwan barusan membuat Seokmin sadar akan banyak hal. Tentang kata-kata maaf nya tadi, tentang pandangan anak itu seharian ini yang terlihat khawatir dan mengasihani, dan tentang air mata yang perlahan jatuh ke pipinya.

Seokmin memeluk erat mereka berdua, membuat Soonyoung dan Chan memandang mereka dengan tatapan curiga. Lagi-lagi tidak Seokmin hiraukan. Bukan disini. Dan bukan sekarang waktunya ia untuk bergurau.

“Nyokap udah tidur, kecapean.” Ucap Hansol, masih dengan pandangan yang terfokus pada kue di piringnya. Mungkin caranya menahan diri dari meneriaki dan menyumpahi Seokmin adalah dengan menghindari pandangan matanya, dan Seokmin maklum akan itu. “Ngobrol gih sama bokap. Kelarin. Gua gak mau sampe yang kayak gini kejadian lagi, yak.”

Dan seketika adrenalin Seokmin menuju titik tertingginya. Entah kenapa jauh di lubuk hati, Seokmin hanya ingin pulang, tidur, dan lupa ingatan. Tapi menghindar tidak akan pernah membawanya kemanapun, jadi Seokmin mengangguk.

“Le?”

“Apaan lagi?”

“Kenapa penyelesaian masalah yang lo pilih malah kayak begini?”

“Emang lo maunya gimana?”

“Gua udah kebayang banget lo ludahin sumpah.”

Hansol tertawa pahit. “Soalnya lu temen seperjuangan gua, bang. Kita apa-apa bareng, dan gua kenal lu. Gua kenal lu ampe sampe ke busuk-busuknya. Yang kayak gini nih, gak sengaja aja kejadian. Anggep lah kita sama-sama lagi apes. Lu berhak ngedapetin kesempatan kedua, dan gua bakalan kasih lu itu. Soal bokap, itu urusan gua ama dia. Dia juga berhak gua kasih kesempatan kedua. Gua cuma mau semua balik keawal bang, gua gak mau nyokap gak bahagia lagi cuma karena gua yang kebawa emosi. Kalo bokap mau berubah, gua akan sangat apresiasi itu. Prioritas utama gua sekarang nyokap, sesimple itu kok.”

Seokmin mengangguk, lebih dari paham. “Oke, Le.”

Jadi malam itu Seokmin berbicara dengan Jisoo di balkon atas. Kerutan di dahi Jisoo menunjukan betapa ruwet isi otaknya seharian ini, dan Seokmin paham. Sangat paham.

“Waktu kecil Hansol pernah jatuh ke kolam ikan itu dan kepalanya harus dijahit karena terbentur batu. Mom nya menangis sepanjang perjalanan kerumah sakit karena darahnya gak kunjung berhenti keluar. Pasca dijahit dan pulang dari rumah sakit, kamu tahu apa yang anak itu minta?”

Seokmin menggeleng, untuk pertama kalinya di hari itu memandang mata Jisoo tidak dengan kekhawatiran.

“Hansol minta untuk diantar ke gereja supaya dia bisa berdoa dan minta Tuhan untuk gak akan pernah buat mom nya nangis lagi.”

Seokmin tersenyum, membayangkan si kecil Hansol dengan pikirannya polosnya yang tulus. Hansol yang duduk di bangku kayu, memejamkan mata dan berdoa. Hati Seokmin seketika menghangat.

“Maaf ya, om...”

“Saya juga minta maaf, Seok.”

Jeda.

Hening.

Sunyi.

“Dan terima kasih... untuk semuanya.”

Jisoo tersenyum lembut, pandangannya menembus satu titik di kegelapan sana.

“Terima kasih kembali, Seokmin.”

Maaf,

dan terima kasih.

Mungkin satu-satunya cara paling sederhana yang terpikirkan oleh mereka malam itu. Namun dua kata itu seakan-akan mewakili segala bentuk emosi yang membendung dan pada akhirnya tertumpah ruah.

Maaf,

dan terima kasih.

Konotasi yang netral, namun sarat makna. Dan mungkin perpisahan mereka malam itu memang harus begini adanya. Porsi yang belum tentu imbang, namun tidak berlebih. Dengan kepala bersuhu, namun pertimbangan yang matang. Dan yang terpenting, adalah dengan hati yang ikhlas.

Maaf,

dan terima kasih.

Seakan menjadi awal bagi mereka untuk memulai kembali. Bukan sebagai dua insan yang dipertemukan dengan maksud yang salah, namun dengan sewajar-wajarnya. Agar tidak lagi menyalahi norma, agar tidak pernah menyakiti hati.

Maaf,

dan terima kasih.