Seumur hidup, ini kali pertama Seungcheol datang ke panti asuhan.

Dibayangannya, segalanya tentang panti asuhan adalah kesedihan. Wajah yang muram, tangis yang terpendam, dan luka yang tersembunyi di dalam masing-masing hati penghuninya.

Ternyata persepsinya perlu diubah total, seratus delapan puluh puluh derajat.

Entah karena presensi Jeonghan ataupun alasan lainnya, tapi tempat ini adalah sumber kebahagiaan yang Seungcheol gak pernah sangka akan ia dapatkan. Anak-anak yang tersenyum bahagia membuka kotak cokelat yang Jeonghan sodorkan, dan beberapa mainan yang sengaja Seungcheol bawa dari rumah.

Seketika usahanya berkotor-kotoran diatas loteng untuk mencari mainan lamanya menjadi berarti. Seketika rasa lelahnya tidak ada artinya dibandingkan dengan puluhan senyum yang ia lihat didepan matanya sekarang ini.

Kaki Seungcheol selalu dipenuhi anak-anak menggemaskan yang memeluknya, and he feels so overwhelmingly proud of himself, tanpa tahu alasan pastinya.

Seungcheol memandangi Jeonghan dari sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, yang sekarang sedang mengobrol bersama salah satu ibu panti yang dulu merawatnya. Ia terlihat sangat manis, sangat ramah, sangat bersinar, dan sangat bersahabat dengan segalanya yang ada disini. Coping mechanism yang pernah ia bilang tempo hari, tidak berlaku disini. This is another side of him that everyone should know about.

Menjelang sore, Seungcheol membantu dapur menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Suasana disana sangat ramai, suara bersahutan sana-sini but it’s a happy day, even for him, at last.

“Lo mau daging gak?” Tanya Jeonghan, tangannya sibuk membagikan makanan ke masing-masing piring.

“Han,” Panggil Seungcheol ragu-ragu. “Gue... gak makan daging babi.”

Jeonghan terdiam sejenak, sebelum akhirnya masuk kedalam realisasi . “Oh! Astaga, sorry-sorry. Yah Cheol, terus gimana dong? Alat masaknya juga kan tadi udah kecampur.”

I know. Tadi kan gue ikut bantuin masak?” Seungcheol tersenyum lembut. “Lo makan aja, gue gampang.”

Sepulangnya mereka dari sana, Jeonghan memaksanya untuk mampir di suatu tempat agar Seungcheol bisa menyantap makan malam. “Gue gak enak, lo pasti kelaperan.”

“Dikiiit.” Jawab Seungcheol sambil bergurau, dan Jeonghan mendengus sebal.

Mereka menyambangi salah satu kaki lima yang cukup ramai dipadati anak muda yang sedang bermalam minggu, dan seketika mereka berdua merasa seperti tidak pada tempatnya. Namun Seungcheol yang makan dengan lahap membuat hati Jeonghan menghangat, dan hanya itu yang saat ini ia perdulikan.

“Udah? Kenyang?”

Seungcheol meneguk sisa-sisa es teh manisnya. “Sip bos.”

Good.

“Lo gak bilang dari jauh hari sih kalau mau kesana, tau gitu gue bongkar lagi tuh loteng. Masih banyak banget mainan gue jaman dulu yang masih bagus.”

“Yaudah, kan masih ada lain waktu?”

“Iyasih.” Seungcheol menyeringai gemas. “It‘s a special place for you, right?

“Mhm.” Jawab Jeonghan singkat dan tipikal. Ada juice Alpukat yang sekarang sedang ia teguk.

I’m very honored, then.

“Apasih lo, lebay.”

“Loh iya dong?”

Jeonghan terkekeh, namun matanya terus menerus menghindari Seungcheol.

Have you talk about it? With Kwan?

Topik yang tiba-tiba dibawa Seungcheol jelas men-trigger Jeonghan seketika. “Not yet.”

“Bukannya lo harus kabarin secepatnya?”

“Iya... dan makin deket, makin gue gak mau ambil.”

“Han, this is a good opportunity.

I know. Tapi nanti siapa yang akan jagain Kwan? Dia cuma punya gue, Cheol.” Seungcheol terdiam. Jeonghan berlanjut. “Gue ngerasa kalau gue ambil tawaran itu, gue adalah orang paling egois sejagad raya.”

“Han, you sacrificed enough. Ada kalanya lo harus memikirkan diri lo sendiri. Semua orang berhak untuk pursue cita-citanya, and this is your turn. Han, you’re beautiful and smart, and if anyone deserve the scholarship, then it’s you.

Jeonghan tersenyum lembut. “Thanks... tapi Singapore gak sedeket yang lo kira, dan gue gak punya cukup uang untuk bulak-balik Jakarta.”

“Yaudah, yaudah. Let’s talk about anything else, ya?”

Okay. How’s Wonwoo?”

“Hahaha, salah nih muter topik, skak mat deh gue.”

Jeonghan terkenyum sarkas.

He’s fine... masih menolak cinta gue terhitung sampai dengan detik ini.”

You do realized that it’s sound pretty pathetic, right?

I am aware.

“Gak ngerti gue sama Wonwoo. Dia punya segalanya yang gue gak punya, hidupnya hampir sempurna.... Tapi kenapa dia malah mempersulit keadaan dengan hal-hal yang gak masuk akal, sih?”

“Gak masuk akal gimana?”

“Iya. Cowok yang dia suka, Mingyu kan? Yang waktu itu ikut ke Bandung.”

Alis Seungcheol berkerut, kekhawatirannya akan kalimat selanjutnya yang akan Jeonghan lontarkan sedikit demi sedikit menjadi berlebih. “Kenapa... emangnya?”

He’s some sort of a gigolo, i think? I don’t know him personally, tapi temen-temen gue sih gosipnya gitu.”

“Han.” Namanya barusan diucapkan Seungcheol dengan tenang dan hati-hati, namun entah kenapa sekujur tubuh Jeonghan sepenuhnya menjadi merinding.

“Iya?”

Sorry, kita balik sekarang aja, boleh?”

Jeonghan bahkan tidak mempunyai keberanian untuk menanyakan alasannya. “Oke.”

“Oke.”

Seungcheol berdiri, membayar makanannya, dan memasuki mobilnya. Semua ia lakukan dengan tangan terkepal, dengan wajah yang kusut, dan segala-galanya yang menakutkan.

Sisi lain dari Seungcheol yang belum pernah Jeonghan lihat.

This is another side of him that everyone shouldn’t know about.