”...Sol?”

Hansol memalingkan wajahnya ke sumber suara, sembari mengembalikan kesadarannya perlahan.

“Hah?”

“Kamu ngantuk?”

Hansol menggeleng.

“Cuci muka gih?”

“Oke.”

Akhirnya ia berjalan ke dapur rumah Seungkwan dengan lunglai. Sial, sial, sial. Biasanya saat dibercandai oleh teman-temannya, Hansol tidak pernah sampai hati untuk memikirkan kata-kata apapun yang mereka lontarkan. Baginya asal bersama dengan Seungkwan, segalanya tak akan pernah menjadi masalah apapun statusnya. Teman belajar, teman bermain, teman makan, dan status-status lain yang selalu diawali dengan kata teman.

Untuk apa sih, adanya sebuah status?

Ia tidak ingin hubungannya dan Seungkwan dikekang oleh batasan-batasan yang mereka buat sendiri, lebih parah lagi dirusak.

Terkadang status bisa menjadi sebuah bumerang yang tanpa sadar membentuk ego kita atas rasa kepemilikan yang berlebihan. Hansol tidak ingin seperti itu. Hansol ingin ia dan Seungkwan bisa tumbuh dan belajar bersama.

“Udah?” Tanya Seungkwan sewaktu Hansol kembali ke ruang tamu.

Hansol mengangguk, tangannya meraup kripik singkong yang tersuguh di meja. “Kak Han lagi keluar?”

“Udah berangkat. Kayaknya selingan deh pas tadi kita dateng, makanya gak ketemu.”

“Hmm,” Mulutnya sibuk mengunyah. “Terus berangkat kuliah nya kapan?”

“Akhir April, kalau gak salah? Kontrak kerjanya belum habis di tempat yang sekarang.”

“Terus nanti lu sendirian dong?”

Seungkwan mengangkat bahunya cuek, matanya tertanam pada dokumen di balik laptop nya. “Gak masalah.”

Seungkwan hari ini kelihatan cukup lelah. Rambutnya tak tertata rapi, kulitnya terlihat kusam, dan matanya terlihat lelah. Ujian Akhir Semester yang sedang mereka jalani memang menyita banyak tenaga. Presentasi, makalah, presentasi lagi, bahan-bahan yang harus dihapal diluar kepala, dan segalanya yang memburu mereka seperti angin topan.

Tapi anehnya, di mata Hansol Seungkwan tetap terlihat indah. Seungkwan dengan semburat merah muda di pipi, Seungkwan dengan rambutnya yang lembut seperti bayi, Seungkwan yang selalu memakai sunblock nya, dan Seungkwan dengan aroma lavender nya.

Hansol tidak tahu menahu perkara aroma minyak wangi, tapi Hansol tau bagaimana mengidentifikasi Seungkwan hanya dari sebuah aroma.

Mereka hampir selalu bersama. Di kelas, di kantin, di motor vespa Hansol saat mereka harus mencari bahan untuk tugas, dan di setiap sudut dunianya.

Mungkin tujuan Hansol masuk ke dalam fakultas dan jurusannya adalah sekedar opsi yang dipilihkan oleh orang tuanya. Namun Seungkwan, anak itu, Hansol tahu ia akan bersinar terang suatu hari nanti.

Kenapa lu masuk jurusan HI?” Tanya Hansol dulu.

Anak itu, laki-laki yang baru di kenalnya karena mereka ada di kelompok Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus yang sama menjawab, “Aku mau jadi Diplomat.” dengan senyumnya yang merekah.

Dan entah mengapa, Hansol percaya ia akan dapat mewujudkannya. Selalu percaya.

“Jadi apa tips dari bang Jawir biar lancar skripsian?”

Hansol mendengus. “Gak usah nanya dia deh, buang-buang waktu.”

“Terus nanya siapa? Bang Jabrik?”

“Dia lagi. Aliran sesat.”

Seungkwan terkekeh. Tangannnya kembali sibuk menari di atas keyboard sebelum notifikasi handphone Hansol yang ada di atas meja membuyarkan padangannya.

Gimana? Masih butuh kaga kondom nya?

Seungkwan membelalak, Hansol berdeham keras.

Keduanya lalu terdiam canggung.

Sangat, sangat, canggung.

“Kondom untuk apa?”

“Bercandaan itu.” Ucap Hansol, mencoba untuk tenang.

Seungkwan tersenyum, matanya kembali sibuk dengan tugas yang sedang ia kerjakan.

Hansol mengacak-acak rambutnya frustasi.

Notifikasi kedua akhirnya muncul.

Kalo kaga jadian juga koleksi hentai lu di harddisk gua format

Seungkwan terbahak.

Mukanya memerah, bibirnya ia gigit untuk menahan tawa nya yang membahana. Hansol disebelahnya menahan malu.

“Bercandaan juga?” Tanya Seungkwan iseng.

Tangan Hansol kembali meraup kripik singkong di toples.

Notifikasi ketiga muncul, kali ini dengan pengirim dan isi yang jauh berbeda.

Hansol, malem ini jadi mau nemenin ke Gramedia?

Tawa Seungkwan seketika berhenti.

Napas Hansol tertahan di kerongkongannya.

Seungkwan akhirnya berdeham, membulak-balik buku yang ada di pangkuan.

Hansol menggaruk tengkuknya canggung sebelum meraih handphone nya. Namun entah mendapatkan keberanian darimana, Seungkwan menyuarakan pendapatnya keras-keras.

“Jangan dibales.”

“Hah?”

“Chat yang itu jangan dibales.”

Hansol menelan ludah. “Oke?”

“Dia suka sama kamu, semua anak-anak di kelas udah tau.”

Lagi-lagi Hansol menggaruk tengkuknya canggung. “Gua juga tau.”

Seungkwan tak bereaksi.

“Tapi kan gua suka nya sama lu?”

Pipi Seungkwan kembali dihiasi semburat merah muda. Mulutnya masih terkunci rapat.

“Ini gua bales aja ya, cuma mau ngabarin kalau gue gak bisa—”

Hansol memalingkan matanya pada sekitar, lalu pada bibir lembut yang saat inni tertempel di bibirnya.

Semakin tak mempercayai apa yang ia lihat, mata Hansol membelalak. Jemarinya meraih lengan dan mencubit dirinya sendiri.

Seungkwan menutup matanya selama bibirnya tertempel disana. Sayang, karena Hansol ingin mengagumi matanya yang bersinar. Terkadang di tengah kelas yang membosankan, Hansol hanya perlu mencari wajah Seungkwan untuk ia pandangi. Walaupun rasanya waktu selalu berhenti, tapi ia tak pernah mempunyai cukup waktu untuk memandanginya.

Dan kali ini, wajah itu terlihat sangat-sangat dekat.

Hansol melumat, melumat, dan melumat.

Ia selalu menganggap remeh ucapan orang perihal bagaimana segalanya memutih dan menggelap diwaktu yang bersamaan saat berciuman, namun kali ini Hansol merasakannya.

Mungkin karena jemari Seungkwan yang meremas ujung kaos nya.

Mungkin karena Hansol sehaus itu akan validasi perasaanya.

Atau mungkin karena ini Seungkwan.

Hanya Seungkwan.

Satu-satunya alasan logis dari hal-hal absurd yang tengah ia rasakan.

Seungkwan menarik dirinya perlahan ketika dirasa napasnya mulai tersengal. Namun ditengah itu semua, ia kembali maju dan mengecup lembut. Matanya masih menutup, dan genggamannya masih menguat.

“Aku tahu semua tentang kamu.”

“Hah?”

“Iya, aku yang paling tahu tentang kamu. Kisah hidup kamu, kekhawatiran kamu, hal yang kamu suka dan kamu gak suka. Aku ada disana saat kamu sedih ataupun senang. Aku selalu ada buat kamu.”

“Iya gua tau.” Ucap Hansol pelan.

“Aku lebih berhak sama kamu dibanding siapapun.”

Tenggorokan Hansol meradang. “Gua gak pernah menarik diri, selalu lu yang ngelakuin itu.”

Seungkwan menyenderkan kening nya di dada Hansol. “Aku gak mau ngelakuin itu lagi.”

Ia masih berusaha untuk tenang. “Jadi...?”

“Aku pantes kok sama kamu. Bukan karena latar belakang keluarga ku, bukan karena status sosial ku, tapi karena aku Seungkwan. Aku selalu ada di sisi kamu.”

Hansol tersenyum. Fucking finally. Tadinya ia sudah mempersiapkan beribu essay lainnya apabila Seungkwan masih teguh pada pendiriannya, namun ternyata hari ini Tuhan menyayanginya lebih dari siapapun.

“Bener.”

Seungkwan terkekeh pelan. “Tipikal jawaban kamu banget.”

“Udahan ya nolak gua nya?”

“Iya udahan.”

Hansol menggelengkan kepalanya, tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Status yang ia anggap tak penting tempo hari, setelah didapatkan ternyata rasanya luar biasa. Seperti memegang sebuah tali di ujung jurang, walaupun mengerikan namun memberikan rasa aman.

“Kwan.”

“Iya?”

“Boleh cium lagi?”

Seungkwan menundukan kepalanya malu. “Boleh.”

Telapak tangan Hansol menggengam kedua pipi Seungkwan dan menariknya mendekat. Diusapnya dua pipi gembul itu dengan lembut, selembut ia memperlakukan barang rapuh.

Di atas kepalanya sekarang seperti sedang ada kembang api yang saling bersautan. Meriah, dan memancarkan banyak warna. Bibir Seungkwan tidak kalah manis dari ciuman pertama mereka. Entah mengapa ia merasa begitu, padahal jujur sepengalamannya tak pernah ada rasa apapun saat ia berciuman.

Lalu otaknya memformulasikan suatu kesimpulan yang jawabannya selalu ada di ujung lidahnya. Tak pernah hilang, tak pernah pergi kemanapun.

Because he's Seungkwan.