Suara kucuran air dari keran wastafel mengisi keheningan diantara mereka berdua. Hansol dan Seungkwan berdiri bersebelahan, kedua tangan sibuk dengan tugasnnya masing-masing—Seungkwan membilas piring, Hansol mengeringkannya dengan handuk bersih.

Setelah Jeonghan pamit untuk pergi bekerja, Chan yang bergegas pergi sehabis membaca pesan di handphone nya, dan Soonyoung segera menuju rumah sakit untuk menemani Seokmin, rumah ini terasa sangat sepi dibandingkan beberapa jam lalu.

Padahal baru tadi mereka tertawa dan mengobrol, membuka kado yang Seungkwan dapat satu persatu sambil menebak pemberinya. Baru tadi Seungkwan tertawa terbahak ketika Chan hampir menangis ketika menjilat wasabi yang ia kira Alpukat, Soonyoung yang menyanyikan Selamat Ulang Tahun dari Jamrud dengan nada naik turun, dan baru tadi Seungkwan menyaksikan kakaknya tertawa tulus setelah sekian lama.

Jeonghan hari ini adalah sepenuhnya Jeonghan yang berbeda dari kakaknya yang pulang tengah malam, memijat pundaknya asal lalu tidur dengan banyak pikiran berlari-lari di dalam kepalanya. Jeonghan hari ini adalah kakaknya sewaktu remaja, ketika masalah yang ia kenal hanyalah PR yang menumpuk dan berapa banyak bab yang harus ia pelajari untuk ujian semester. Jeonghan hari ini adalah Jeonghan yang tersenyum karena ia ingin, bukan karena ia harus. Jeonghan hari ini adalah kakaknya yang membuka diri kepada orang lain, dan itu merupakan sebuah awalan yang baik.

“Sol.”

“Hm.”

“Enak kan?”

“Apanya yang enak.”

“Masakan Mas Han.”

“Oh. Enak.”

Seungkwan terkekeh, matanya masih terfokus pada piring-piring. “Hebat kamu, bisa nyuruh dia masak lagi.”

“Gua gak nyuruh, dia yang mau. Tadinya gua mau ngerayain dimana gitu, tapi katanya dirumah aja, gua tinggal bawa kue.”

“Emang tadinya kamu mau ngerayain dimana?”

“Belom sempet gua pikirin sih.” Jawab Hansol datar. Ada senyum yang tersungging di bibir Seungkwan ketika mendengar jawaban tersebut.

“Kak Cheol juga hebat.” Ucap Seungkwan setengah berbisik.

“Kenapa Cheol juga hebat? Kan gua yang merencanakan kejutan ini buat lu.”

“Bukan, bukan itu,” Lagi-lagi Seungkwan terkekeh. “Kak Cheol hebat, karena bisa ngebuat Mas Han seneng.”

“Emang biasanya kakak lo ngga kayak tadi?”

Seungkwan menggeleng. “Tadinya Mas Han punya dua pekerjaan, dari pagi sampai sore terus yang kedua dari sore sampai tengah malam. Sekitar satu bulan yang lalu aku paksa dia untuk pilih salah satu karena kalau engga begitu dia bisa tumbang.”

“Iyalah. Gila kali? Gua aja yang cuma kuliah sama rebahan doang capek.”

Seungkwan mencubit pipi Hansol dengan tangan yang masih bercampur dengan sabun. Hansol gak mengelak. “Iya, makanya itu Mas Han selalu capek dan gak punya kehidupan sosial. Dia kayak robot yang hidupnya disetel cuma untuk kerja, kerja, dan kerja. Ngeliat dia kayak tadi ngebuat aku mikir kalau selama ini dia bukannya gak ingin tertawa, tapi dia gak diijinkan tertawa oleh keadaan. Makanya itu Kak Cheol hebat, kamu hebat, temen-temen kamu juga hebat.”

Hansol mendengus, sudut bibirnya ikut naik. Ada sedikit ekspresi kebanggaan di raut wajahnya. “Bagus deh. Trus lu?”

“Aku?”

“Iya, ngomongin kakak lu mulu. Lu sendiri seneng gak?”

Seungkwan mengoper piring terakhirnya pada Hansol, mengelap tangannya yang basah di celemek yang sedang ia kenakan dan tersenyum. Ibu jari dan telunjuknya menggengam pelan ujung dagu Hansol, membawanya untuk menoleh lalu mengecup pipi pemuda itu pelan. “Menurut kamu?”

Deretan gigi Hansol terlihat menyilaukan ketika ia tersenyum. Tapi mulutnya tidak mengucap barang satu kata.

Setelah rumah yang terlihat seperti kapal pecah pasca perayaan tadi sore, sekarang kursi di ruang tamu yang tadi penuh dengan sampah kertas kado sudah kembali layak diduduki.

Seungkwan dan Hansol kembali bersebelahan, cangkir berisi Milo panas ada didalam genggaman masing-masing. Mata mereka fokus pada handphone Hansol yang disandarkan pada toples kue di meja, menayangkan salah satu serial Netflix yang sudah didownload dengan WiFi kampus kemarin.

“Mas Han tanya sesuatu ke aku.” Kata Seungkwan tiba-tiba, dan Hansol tersedak minumannya.

“Tanya apa?”

“Tanya...” Seungkwan mengulur-ulur, Hansol menelan ludahnya dengan terpaksa. “Aku sebenernya gimana sih ke kamu.”

Batuk Hansol masih belum juga selesai. “Dasar kocak. Gua bercanda malah ditanya beneran”

“Yah bercanda nih? Gak beneran mau tau jawabannya?” Alis Seungkwan mengerut.

Hansol berdeham, pandangannya cuek dan kembali berpindah ke layar handphone. “Emang lu jawab apa?”

Seungkwan tertawa, gelasnya ia letakan di atas meja agar kedua tangannya bebas mencubit pipi Hansol.

“Mas Han juga cerita soal kamu yang mau ngajak aku makan malem bareng orang tuaku.”

Mata Hansol membulat. “Iya. Tapi dia ngabarin lagi kan tuh tiba-tiba, katanya dirumah aja.”

Senyuman Seungkwan sedikit demi sedikit menghilang, tapi diujung tetap ia paksakan untuk menaikkan sudut bibirnya.

“Kenapa?” Tanya Hansol polos.

“Gapapa,” Gelengan kepala Seungkwan mengatakan sebaliknya. “Aku mau cerita.”

Kalau atmosfernya gak seserius ini, mungkin Hansol akan bilang nah gitu kek dengan nada bercanda, tapi melihat Seungkwan yang sungguh-sungguh di depannya Hansol hanya bisa mengangguk pelan.

“Aku seneng deh tiap ngedengerin cerita-cerita kamu tentang Dad dan Mom kamu. Percaya gak, kalau aku hafal dan punya gambaran jelas tentang kalian walaupun aku gak pernah ketemu mereka? Mom kamu adalah sosok yang menyenangkan. Aku selalu inget gimana ekspresi kamu cerita tentang Mom kamu yang ngebawa kamu ke konser One Direction, Mom kamu yang ngajakin kamu dan Dad kamu untuk muterin seluruh toko mainan di Jepang buat nyari karpet Pump It Up, atau gimana beliau bela-belain cuti kerja untuk ngejar John Mayer di Singapore. Aku bisa bayangin keseruannya, kelucuannya, dan antusiasmenya.” Ucap Seungkwan sambil tersenyum.

“Lu... inget semua yang gua ceritain?”

Yang ditanya mengangguk. “Aku juga inget apa yang Dad kamu suka. Beliau selalu tertarik dengan astrologi, dengan konstelasi bintang, dan dengan langit. Waktu kamu TK dulu, Dad kamu yang paling semangat buat ikut study tour ke planetarium. Kamu gak suka Dad kamu ikut karena orang tua lain selalu bergosip tentang dia. Kenapa semuda itu udah jadi orang tua? Pasti hamil diluar nikah. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti tapi kamu selalu tau orang tua kamu terganggu dengan gunjingan itu. Kamu anak yang bijak bahkan semenjak kamu kecil, Sol. Dan aku tau itu semua didikan dari orang tua kamu. Kepribadian kita terbentuk dari bagaimana lingkungan juga membentuk kita. Keluarga kamu berhasil.”

Hansol diam seribu bahasa. Selama ini dia gak pernah repot memikirkan hal-hal sedetail itu, apalagi untuk menyimpulkan bahwa keberuntungannya telah membawa dia untuk punya keluarga yang baik dan berkecukupan. Tapi cara Seungkwan menjabarkan barusan seakan-akan Hansol diminta untuk lebih bersyukur. Seakan-akan apa yang Hansol punya adalah impian yang gak dimiliki oleh semua orang. Seakan-akan—

“Aku sama Mas Han gak pernah tau hal-hal seperti itu tentang orang tua kita, Sol. Kita bahkan gak pernah tau nama mereka, atau apakah mereka masih ada di dunia saat ini. Mas Han bahkan sebetulnya bukan kakak kandungku.” Seungkwan menggigit bibirnya gelisah. “Ibu panti tempat kita tinggal dulu menghargai keputusan Mas Han untuk tinggal dan kerja sendiri, yang aku kaget adalah sewaktu Mas Han ngajak aku untuk ikut. Aku gak mau Mas Han menanggung biaya hidup dua orang, tapi aku juga gak mau Mas Han sendirian. Dia baik. Selalu baik. Dan aku mau ngebalas kebaikannya dengan mastiin dia masih punya teman untuk bercerita. Dia adalah sosok orang tua yang gak pernah aku punya.”

Hansol mengangguk. Ruangan kembali sepi. Denting jam menghiasi keheningan yang menyelimuti mereka di jam sebelas malam.

“Kamu harus cari pasangan yang sama seperti kamu Sol, dengan keluarga lengkap dan asal-usul jelas. Dan itu bukan aku.” Tambah Seungkwan lirih, mencoba sebisa mungkin untuk terlihat kuat. “Itu jawaban aku untuk pertanyaan yang kamu titip ke Mas Han.”