“Tidak.”

“Ayah...”

“Sekali ayah bilang tidak ya tidak, Wonwoo.”

Rasanya tak pernah Wonwoo merasa pundaknya seberat hari itu. Tak pernah langkahnya selunglai barusan, dan tak pernah otaknya selinglung detik ini.

Kata Mingyu tadi biar dia yang berbicara empat mata dengan ayah, Wonwoo cukup duduk dan menunggu saja. Tapi bagaimana ia bisa menunggu saat waktu terasa seperti berjalan mundur, dan kewarasan memakanya hidup-hidup?

Sedari dulu Wonwoo selalu paham kalau di dalam keluarga ini, otoritas keputusan selalu berada di pihak ayah. Pun ada bunda disana, Wonwoo hanya bisa menggengam tangannya untuk bertumpu. Tak ada yang dapat beliau perbuat ketika mandat sudah turun dari suami tercintanya.

Mereka berdua, Wonwoo dan Chan, sudah paham skenario ini di luar kepala sedari kecil, dan kesalahan demi kesalahan tetap mereka ulangi dengan harapan mungkin suatu saat Ayah akan merubah kepribadiannya yang keras. Namun hari ini Wonwoo membuktikan bahwa dua puluh delapan tahun eksistensinya di dunia, ia tetap tidak bisa menentukan masa depannya sendiri.

Satu jam Mingyu ada di dalam ruang kerja ayah.

Satu jam Wonwoo menggengam tangan bunda dengan erat, dengan Chan di seberang yang memandang Wonwoo dengan harap-harap cemas.

“Bun... kenapa ayah lama banget? Migu gak diapa-apain, kan?”

“Da kamu sabar atuh... Cik ulah mikiran nanaon, lamun Mingyu bisa ngayakinkeun pasti aya jalan.

Sepuluh menit kemudian, Mingyu keluar.

Tidak ada yang berubah dari Mingyu satu jam yang lalu, perbedaanya hanya terletak pada matanya yang lelah. Bukan mata pasca menangis, tapi mata yang penuh dengan rasa muak atas segala keadaan yang terjadi.

“Gimana Gu...?”

Mingyu tersenyum. Teduh, manis. “Yuk.”

“Kemana?”

“Tante, Mingyu sama Wonwoo balik ke Jakarta dulu ya. Makasih tadi makan siangnya enak banget.”

“Kok balik, Gu?” Wonwoo berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya yang telah berkumpul di kelopak.

“Iya nanti kita ngomongnya di jalan ya, Wonwoo.”

“Oke...”

“Gua gak ikut balik ya, 'A. Lo kelarin aja dulu berdua.”

Wonwoo mengangguk kearah Chan, dan menyalami tangan bunda sebelum mengambil tasnya dan masuk kedalam mobil.

Jika boleh dirangkum, perjalanan mereka menuju Jakarta penuh dengan keheningan yang mencekam. Tak ada satupun yang berani berbicara, apalagi melihat mata satu sama lain. Sepeninggal bunda, Wonwoo kehilangan pegangannya untuk yakin pada hal-hal baik yang mungkin masih bisa terjadi di hari ini. Terlalu banyak rasa sakit, terlalu banyak pengorbanan.

Lagi pula, kalau memang kabar baik yang Mingyu bawa, tak mungkin kan ia harus membawa Wonwoo sampai sejauh ini?

Mau tidak mau Wonwoo harus menelan pahit di tenggorokannya seorang diri.

Namun mereka datang untuk menyelesaikan, jadi harus ada juga yang terselesaikan.

“Migu, mobilnya boleh di pinggirin dulu gak? Atau kita berhenti di rest area sebentar. Aku mau ngomong...”

Mingyu membasuh mukanya asal dengan satu tangan, masih enggan bertemu mata dengan Wonwoo.

Lima menit,

Sepuluh menit,

Hingga menjadi satu jam.

Mingyu masih diam seribu bahasa, masih menyetir dengan wajah berantakan.

“Gu...” Wonwoo mencoba lagi, menelan ludah yang mulai menyakiti kerongkongannya. “Ayah gak nerima kamu ya?”

“Wonwoo, diem dulu sebentar ya. Aku lagi mikir.”

“Gak bisa Gu, ini bukan cuma masalah kamu. Harusnya kita pikirin ini bareng-bareng”

“Iya aku paham.”

“Terus kalau paham gimana? Ayo ngomong dong, kenapa kamu simpen semua sendirian sih? Kalau ayah gak setuju aku gak takut. Aku mau sama kamu. Kita bisa pergi jauh dari sini.”

“Wonwoo, gak gitu konsepnya. Hidup seperti itu gak akan ada masa depan.”

“Terus kamu expect aku untuk gimana? Kita gak punya pilihan lain, kan?”

“Kita punya pilihan lain, Wonwoo.”

Wonwoo tahu apa pilihannya tanpa Mingyu harus repot-repot menjelaskan, namun sisa kewarasannya menolak untuk mengerti.

“Wonwoo, dengerin aku sebentar boleh?”

“Gak. Aku gak mau denger.” Wonwoo menutup kedua telinganya dengan sengaja walaupun ia tahu usahanya akan sia-sia.

Akhirnya Mingyu meminggirkan mobil. Tangannya menggengam stir erat, sebelum akhirnya menarik napas dan meraih kedua tangan Wonwoo yang menutupi kedua telinganya. “Sama Seungcheol aja.”

Singkat, padat, dan jelas.

“Apaansih Gu?”

“Ya Wonwoo, ya? Tolong buat sekali aja nurut sama aku.”

“Orang aku gak mau kok kamu maksa sih?! Emang ayah bilang apa? Mau nyakitin kamu kalau kita tetep bareng? Aku gak takut!”

“Ayah gak bilang gitu.”

“TERUS GIMANA??? Kamu aja dari tadi gak mau jujur, Migu...”

Habis sudah tenaganya terkuras. Karena menunggu, karena menangis, karena berteriak, dan karena menahan emosinya yang menunggu untuk diledakkan.

Rasanya menangis pun tak melegakan satupun gundah dalam hatinya, namun Wonwoo tak dapat berbuat apapun kecuali itu.

“Kamu tuh... sayang gak sih sama aku? Kenapa kamu keliatannya kayak gak mau berjuang bareng?”

“Justru karena aku sayang sama kamu, Wonwoo. Aku mau kamu punya masa depan yang jelas, gak kabur-kaburan dari orang tua kayak yang kamu bilang tadi.”

Stop ngomong. Dada ku sakit banget, Gu. Just—stop.

“Aku mau putus.”

Wonwoo meninju wajah Mingyu dengan segenap kekuatan yang tersisa di dalam tubuhnya. Tangannya berdenyut kesakitan, namun persetan dengan itu semua. Persetan dengan Mingyu yang bahkan tak merubah sedikitpun ekspresi wajahnya saat mengatakan kalimat jahanam tadi.

“Brengsek lo.”

“Udah, oke? Cukup.”

Satu pukulan lagi di dada laki-laki yang lebih tinggi darinya, yang bahkan tak memberikan efek apapun.

“Lo brengsek, Mingyu. Orang paling brengsek di dunia.”

“Iya gue brengsek. Terserah lo.”

“Gila lo. Dasar cowok anjing. Gue benci sama lo.”

“Terserah, oke? Gue capek.”

“Kalau lo capek terus gue gimana??? Gue yang selalu merjuangin lo sampe sekarang tapi balesannya malah gini??? Asli. Asli ya, gue bener-bener gak habis pikir.”

Wonwoo merasa sesak dan panas. Wonwoo merasa bola matanya akan keluar dari kelopaknya sebentar lagi. Wonwoo merasa ada seseorang yang mencekik lehernya secara diam-diam. Napasnya tersengal, tangannya mengepal keras menggengam pintu mobil.

“Kamu mau kemana?”

“Keluar. Gue gak sudi semobil sama lo.”

“Masuk. Jangan kayak anak kecil.”

“Gak.”

“MASUK GAK?!”

Wonwoo membanting pintu keras-keras, berjongkok di pinggir jalan, dan menangis sambil berteriak sejadi-jadinya. Rasa lelah bahkan tak dapat menjadi suatu kata yang dapat mendefinisikan bagaimana keadaan pikiran dan tubuhnya hari ini.

Mingyu membuka jendela mobilnya lebar dan berteriak dari dalam. “Kamu kalau gak masuk aku tinggal disana ya, Wonwoo.”

“Tinggal aja. Gue gak perduli.”

“LO TINGGAL MASUK DUDUK MANIS AJA KENAPA SUSAH BANGET SIH, ANJING?”

“TERSERAH. GUE GAK PERDULI. PERGI SANA LO.”

Mingyu menarik napas sedalam mungkin, mendinginkan kepalanya sejenak, dan menutup jendela perlahan demi perlahan. “Fine.”

Mobil melaju kencang, dan Wonwoo ditinggalkan disana sendirian. Ditengah jalan tol yang entah dimana. Tanpa handphone, tanpa uang sepeser-pun.

Tapi bahkan ditengah krisisnya, yang Wonwoo takutkan hanyalah bagaimana sedari saat itu, ia tidak akan pernah bertemu Mingyu lagi untuk waktu yang sangat lama.

Dan Wonwoo tidak pernah sebenci itu karena tebakannya merujuk kepada kata benar.