hilga's citrus soda

aotangstweek2021

Novalunosis and Reminiscence.


#AoTAngstWeek2021 Day 07: Farewell/Goodbye. TW // Suicidal Thoughts.


Aku tidak tahu harus menulis surat untuk siapa, jadi, nama yang tertera di ujung kertas tetaplah kosong. Tulisan-tulisan di kertas ini mungkin hanya bualan. Tidak ada yang peduli, dan tidak ada pula yang perlu mengerti (kurasa).

Surat ini, aku tuliskan untuk bintang-bintang.


Levi sejatinya tidak mampu menangkap bentuk afeksi, namun selalu mencarinya. Berpikir bahwa semuanya tiada. Saat itu hujan deras, dan Levi menggerutu sambil menendang kerikil dengan kasar.

Lengan pakaiannya menutupi luka yang ia ciptakan, namun gurat wajahnya tidak bisa menyembunyikan sakit pada batinnya. Suramnya. Eksistensi Levi pribadi bahkan bisa mendeskripsikan badai pada gerimis yang menderas.

Di tengah hujan itulah, ada pelangi yang muncul terlalu cepat. Bahunya basah kuyup dan tangannya menggenggam payung dengan bibir yang bergetar sebab dingin.

“Hei,” napasnya mengudara, “aku bawa payung yang cukup untuk meneduhi dua orang.”

Ah, Hange Zoe lagi.


Katanya, mengucap harapan kepada bintang jatuh itu bisa menjadi cara yang manjur untuk mencapai sesuatu. Katanya, bintang jatuh mengabulkan permohonan. Hal yang aku anggap skeptis namun kini, astaga, kuharap apa yang aku harapkan betul-betul bisa terjadi.

Jadi, bintang jatuh, aku punya satu permohonan.


“Levi. Ackerman. Sayang.”

Suara Hange mengusiknya. Membuatnya berdebar. Tapi mengusiknya. Pokoknya dia terusik. Tapi telinganya memerah saat ia temukan senyumnya begitu sang pria membuka mata.

Levi berdecih.

“Kamu membangunkanku.”

“Aku bawa roti lapis.”

“Enggak lapar.”

“Muka kamu pucat,” hidungnya berkedut, “kamu enggak bisa terus-terusan menyiksa diri kamu kayak begini. Aku enggak suka. Aku enggak bisa terus-terusan ada buatmu dan melakukan preventasi tindak membahayakanmu.”

Pria itu hendak mengujar komplain, tapi satu suapan lolos masuk ke mulutnya, membuatnya terpaksa mengunyah. Dalam geram dan gumam tertahan, Levi terdistraksi oleh pasang netra yang memantulkan wajahnya di balik lensa.

Ketemu.

Bintangnya ada di pasang netra Hange Zoe.


Presensi Hange adalah hal yang biasa. Absensinya, tidak. Jadi aku tidak menganggap hari-hari yang aku lewati itu spesial. Ada Hange. Itu bukan sesuatu yang besar. Tapi, entah kenapa hari ini aku berpikir: mungkin Hange Zoe lebih dari sekadar teman berkisah.

Hange Zoe adalah bintang jatuh yang amat jelita.

Levi berhenti menulis. Wajahnya memerah.

Sial. Kenapa aku baru sadar.

Levi mencoret kalimat terakhir dengan pulpen. Berepetisi. Tapi sudut pandangnya terhadap Hange tidak bisa lesap.


“Aku pernah berdoa pada bintang jatuh.”

Ucapan Levi membuat Hange tersedak. Levi lebih dahulu memicingkan mata sebelum Hange mencari alasan dan bualan, tapi akhirnya dia hanya terkekeh setelah mengusap ujung bibirnya dengan ibu jari.

“Aku bisa mengerti rasa kagetmu, Mata Empat. Tertawalah sepuasmu.”

Hange merangkai konstelasi di pikirannya, lalu ia layangkan atensinya pada Levi yang sejatinya sudah menatapnya sejak tadi, “Mau aku beri tahu rahasia?”

“Aku berasumsi kalau rahasia yang kamu maksud adalah fakta saintifik yang bersebaran di artikel terpercaya.”

“Benar,” dia memberi validasi, “Tahu, enggak? Bintang jatuh itu eksistensinya enggak ada. Mereka hanya meteor yang gagal mencapai Bumi. Enggak ada yang namanya bintang jatuh. Enggak ada yang namanya permohonan yang terkabul.”

Ada binar di pasang matanya.

“Ada baiknya, kamu berdoa pada Tuhan.”

“Tuhan enggak mendengarkanku.”

Hange menumbuk bahunya dengan kepalan tangan, “Sembarangan. Pasti Dia mendengarkanmu. Ini hanya perihal waktu, tahu. Perihal waktu!” Hange melotot garang, “Tuhan selalu mendengar. Jadi, aku yakin kamu tahu opsi mana yang lebih baik saat kamu benar-benar butuh sesuatu.”

Levi berdecih.

“Memangnya, bintang jatuh mengabulkan permohonanmu?”

“Entahlah,” gumamnya disamarkan embus angin malam, “semoga saja enggak.”

“Eh? Memangnya, kamu berharap apa?”

Levi berdengus. Pada akhirnya, pertanyaan itu tidak pernah ia jawab.


Untuk pertama kali dalam dua puluh delapan tahun hidupku, aku berdoa.

Berdoa … mengucap harap. Entahlah.

Harapan yang kontradiktif dengan ucap permohonan pada bintang jatuh.

Levi menghela napas kuat-kuat. Wajahnya ia benamkan pada lengan yang ia lipat di atas meja.

Harapan yang memalukan.


“Aku kepengin punya anak.”

Levi nyaris melukai jarinya yang saat itu tengah gesit memotong seledri.

“ … hah?”

“Aku kepengin punya anak.”

“Kok, ngomongnya ke aku?”

Hange menaikkan sebelah alis, wajah Levi yang mendadak merona mengundang tawa sang wanita. Membuat Levi berdengus dan kembali memunggungi eksistensi gila itu. Hange nyaris terjatuh dari sofa, dia buru-buru menyeka air mata yang keluar karena terlalu banyak tertawa.

“Enggak. Pengin aja. Mungkin, nanti bisa adopsi? Menurutmu gimana?”

Levi meletakkan pisaunya. Dengan raut wajah yang lebih stabil, ia membalik punggung. Menatap Hange saat melipat kedua tangannya di dada, lalu dia menjentikkan jari, “Lumayan keren.”

“Lumayan?”

“Lebih keren lagi kalau punya anak sendiri.”

Hange terpingkal, “Nah, masalahnya, aku enggak tahu apa orangnya mau diajak mengikat komitmen serius atau enggak.”

Alis Levi terangkat sebelah. Lampu ruang apartemennya berkedip sekali, lalu ia menghela napas sebelum kembali mengatensi Hange, “Bukankah ada pendonor sperma?”

“Ah, aku bukannya kepengin punya anak begitu saja. Aku pengin hubungan serius. Sebuah keluarga,” dia bertopang dagu, matanya jadi agak bersinar, “ada pria yang aku suka.”

Hati Levi mencelos. Sedikit.

“Siapa pria enggak beruntung itu?”

“Levi Ackerman.”


Ini bukan sekali dua kali Hange bikin sinting.

Tapi kali ini, dia betul-betul menguras kewarasanku.

Dalam sepersekian detik yang sunyi, mendadak ia hancurkan dengan senyum yang membuat jantungku melompat. Sekali. Dua kali. Degup yang membuat bola mataku berputar akibat khawatir salah tingkah.

Levi mencoret tulisannya. Menggelikan.

Bintang jatuh itu melamarku. Dan, aku menolaknya.


“Ajakan aneh yang super-duper mendadak,” Levi pura-pura sibuk dengan layar komputer, “Aku enggak menganggap lamaranmu otentik.”

“Jahat banget.”

Lalu, dia menahan napas. Membenahi posisi kacamata bacanya, lalu menyandarkan punggung, “Bukan begitu maksudku. Mari kita reka ulang, ya, Kacamata.”

Pria itu mendapati kedua netra cantik itu membola dari balik lensa.

“Hange Ackerman enggak kedengaran buruk.”


Aku pernah berdoa. Aku punya permohonan. Aku meminta pada Tuhan saat separuh dunia tengah terlelap, meski kuatensi lampu-lampu masih menjadi gemerlap dari jendela apartemen.

Jika seandainya bahagia itu ada, maka aku ingin mendekapnya lama.

Hange Zoe tampak amat cantik dibalut gaun seputih mutiara.

Dan jika selamanya itu ada, maka jadikanlah itu Pria Penuh Harap, dan Nova yang ia tatap.


Levi selalu memandang dunia lewat lensa abu-abu dan monokrom. Hujan dan badai. Hitam dan putih. Ia menyeret kaki setiap subuh dan kembali untuk menghempaskan diri ke ranjang pukul delapan malam.

Pegawai-pegawai kantoran lain mengatakan ia mirip zombie. Anak-anak yang pulang sekolah larut menganggapnya hantu penunggu tiap malam. Tapi Hange mengatakan dia mirip semesta gemintang dan lubang hitam yang atraktif.

Dan jantungnya mengalun dalam melodi yang tidak biasa begitu ia membuka mata.

Di sebelahnya, ada Hange yang terlelap dengan cantiknya.


Levi berhenti menulis surat. Ia mungkin sudah lupa. Mungkin tidak. Tapi Hange punya berbagai cara untuk memberi warna pada tiap sisi kelabunya. Dia menarik Levi, membawanya pergi pada malam-malam yang dingin untuk menyalakan kembang api. Berpretensi tengah menyaksikan supernova.

Hange bilang bintang punya cara yang paling romantis untuk mati. Levi tidak tahu apakah ia harus merinding atau terpana saat istrinya mengatakan itu, tapi di detik kemudian, ia berucap: “Aku ingin kepergianku nanti secantik itu.”

“Ngomong apa, sih?”

Dia menyeringai. Levi menariknya mendekat sebelum membenamkan wajahnya di ceruk leher sang wanita.

“Tahu, enggak, Levi? Sebuah konfesi,” dia berdeham, “dulu, aku pun pernah berdoa pada bintang jatuh.”

“Oh, ya? Apa yang kamu harapkan?”

“Redamancy with Levi Ackerman.”

“Reda—apa?”

“Redamancy,” Hange merepetisi, “the act of loving in return.”

“Oh.”

“Kalau kamu, pernah bedoa apa?”

Levi membungkamnya dengan kecup kilat di pipi.

“Aku anggap, kamu bintang jatuhku.”

Wajah itu semerah tomat. Sebelum dia sempat menjerit dalam ketidakpercayaan dan sipu, Levi buru-buru berlari masuk rumah.


Malam itu, mereka tidak tidur. Biasanya juga begitu, sih. Tapi Levi membawa Hange pada dingin udara malam dalam mobil tua yang mereka kendarai di lengang jalanan bersalju.

Malam Natal yang seharusnya mereka pakai untuk duduk di sekitar perapian, digunakan untuk menatap setiap sisi Irlandia. Dari radio mereka, ada musik lawas yang mengalun.

“Adalah sebuah keajaiban kamu mau mengajakku jalan-jalan di udara sedingin ini.”

Levi menyandarkan punggung, “Kepengin saja.”

Levi membawa mobil itu menepi, lalu dia melepas sabuk pengaman sebelum atensinya dia alihkan pada sang istri, “Kupikir kamu butuh jalan-jalan sejenak untuk melepas penat. Akhir-akhir ini kamu kelihatan enggak oke.”

“Oh? Jadi, biasanya aku oke?”

“Aku enggak bilang begitu.”

Sebuah kurva yang terpatri di wajah sang istri membuat Levi mengatupkan rahang. Jemarinya gesit merogoh tasnya, lalu bibirnya bergumam, “Aku punya sesuatu buat kamu. Hadiah ulang tahun.”

Levi berdecak, tapi dengus tawanya keburu mengudara, “Kurasa, aku terlalu tua untuk hadiah semacam itu.”

Hange menyeringai. Lalu sebelum Levi sempat bertanya apa yang akan ia berikan, yang Hange keluarkan hanyalah gestur jemari berbentuk hati. Dalam gelak Hange, pria itu memutar bola mata.

“Eh, enggak. Aku cuma bercanda,” lalu dia mengeluarkan selembar surat dari dalam tasnya, “aku punya hadiah sungguhan, lho. Jangan cemberut. Nanti makin jelek.”

Dan amplop biru muda dengan stiker-stiker karikatur itu sempat membuatnya tergelak skeptis, “Apa ini? Surat cinta?”

Namun, saat ia membukanya, Levi membisu dan matanya membeliak.

“Kacamata.”

“Ya?”

Levi menarik napas, dalam gelaknya yang Hange rindukan, ia temukan senyum yang terpatri di wajah beku miliknya, “Ah, enggak. Enggak apa-apa.”

Sebelum wanita itu sempat bertanya, Levi menyentil keningnya. Direspons desis dan alis yang bertaut heran. Namun ketika melihat netra Levi yang sebening kristal, Hange tidak bisa untuk tidak terpana.

Ujung kedua hidung mereka bertemu. Dwinetra pria bersurai hitam itu terpejam, “Aku enggak bisa lebih bersyukur lagi.”

Dalam aroma napas teh dan mint yang mengadiksinya, Hange mengukir kurva saat Levi memberinya kecup singkat, dan tidak ada lagi yang berbicara setelahnya.

Hanya sebuah cahaya terang yang melesat menerpa keduanya, dan klakson yang membinasakan sunyi malam.

“Levi—!”

Tidak terelakkan. Sebuah mobil dalam kecepatan tinggi tergelincir oleh salju. Terlalu lambat menarik rem. Hantamannya membuat mobil itu terpental, dan tubuh Levi terpelanting.

Dalam konsiusinya yang mengawang, netra Levi mencari Hange lewat pandangannya yang mengabur. Tubuh itu masih terduduk di kursi penumpang. Dengan sabuk pengaman.

Di atas salju yang beku, ada likuid merah yang tergenang.


Selamat ulang tahun, Levi Ackerman.

P.s: Anggota keluarga akan jadi tiga! Atau, empat?


Harapan ...

Ah.

Aku ingat saat-saat aku berharap pada kematian—menunggu layaknya menanti bis di halte kala hujan. Aku ingat saat aku sengaja menantang maut, dan aku ingat bagaimana aku tetap hidup, tidak peduli seberapa sering aku berada diambang maut.

Tuhan memberiku kesempatan—aku berusaha melepaskan diri dari tiap kesempatan yang Ia beri. Aku berteriak marah, tapi tidak ada jawaban.

Maka kuucap permohonan pada bintang jatuh, dan aku menemukanmu, padahal kamu selalu ada di sana. Tapi, aku merasa aku telah menemukan bagian yang hilang.

Kamu dan aku—kita langit malam dan bintang yang jatuh cinta pada semesta gemintang. Gelapku kau isi dengan pendar binarmu. Untuk pertama kali, ada hal yang membuat dunia terasa lebih hidup.

” ... ah,”

Tuhan, tunggu dulu. Jangan bawa aku.

—semuanya menggelap, aku bahkan tidak bisa melihat tubuhmu lagi. Apa kamu baik-baik saja?

Biarkan aku memberi kecup pada bintang jatuh itu, sekali saja. Sebelum Kau membawaku pada konstelasi.


Hange menemukan dirinya remuk redam di ruang aroma disinfektan yang menyengat. Bersama dengung dan suara mesin rumah sakit, dia temukan sulit sekali untuk menggerakkan tubuhnya.

Sore itu, pukul tiga. Tanggal tiga puluh Desember.

Dunia milik Hange luluh lantak.


Waktu tidak memberiku kesempatan, eh? Padahal aku ingin melihatnya tumbuh besar.

Aku pernah mengatakan padamu, bahwa kamu adalah bintang jatuh milikku.

Tapi—akulah yang kembali pada angkasa.

Kuucap maafku dalam pilu, kuharap aku tidak pudar dalam benakmu seiring waktu yang berlalu.

Apa kamu tahu, Bintang Jatuh?

Kamu lebih cantik dengan rambutmu yang tergerai.

Aku menunggumu di konstelasi. Saat masamu tiba, mari bersinar bersama di langit malam yang infiniti.

Untukmu, Bintang Jatuh.

Terimakasih.


Harapan Levi Ackerman ... ialah untuk mati.

Hange Zoe menginginkan cinta dan abadi.

Tuhan memberikan keduanya.

Fin.


Tiga Jam.


#AoTAngstWeek2021 Day 04: Illness/Death. Pairing: LeviHan.


“Padahal, aku cuma absen dua minggu, tapi kondisimu semakin memburuk saja.” Begitu ujar Levi, di ujung telepon. Ketika dia sibuk dengan dokumen dan jendela virtual yang terbuka di layarnya. Panas. Atau mungkin hanya perasaannya yang tidak nyaman. Dia meniup permukaan teh akibat stres.

“Dua belas jam perjalanan dengan kapal terbang,” suara sang puan terdengar seolah ia sedang mabuk, lalu dia tertawa. Levi berdecak, lalu menghela napas setelah meneguk dua tegak teh, “Aku harap aku bisa pulang secepat mungkin.”

“Ah, enggak apa-apa. Urus saja kerjaanmu dulu.”

“Kamu yakin kamu bakal baik-baik saja?”

Levi bisa melihat senyumnya lewat gelak pelan yang ia rindukan, “Aku punya Mike disini. Semuanya akan baik-baik saja.”

Levi melihat arlojinya. Pukul tiga petang. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk menelepon, tapi layar ponsel yang menampilkan nama Hange selalu menjadi urgensinya.

“Kalau begitu, aku akan kembali bekerja.”

“Iya,” saat suaranya naik satu oktaf, Levi menghela napas lega, “Omong-omong ... “

“Ya?”

“Aku sayang kamu.”

Wajah Levi memerah sampai telinga, “Aku tahu.”

“Maksudku, sayang yang seperti itu.”

“Ngomong apa, sih,” Levi mengusap wajah, lalu berdengus. Dalam gelak tertahannya, dia berbisik. Namun ada afeksi yang terselip di sana, “Istirahat yang banyak, Mata Empat.”


Levi melirik arloji.

Pukul enam petang. Tiga jam setelah sesi panggilan mereka.

Sesi panggilan terakhir, mereka.

“Levi, adikku tidak selamat.”

Levi merasakan tubuhnya membeku. Lift entah bagaimana terasa mencekiknya dari berbagai sisi. Atmosfernya tidak menyenangkan. Levi menegak saliva sebelum memutar otak untuk mencari eksplanasi tidak wajar.

Tapi, nihil.

“Aku ... ” dan di penghujung sesi panggilan, Levi menggigit bibir dalam napasnya yang memberat, “ ... akan pulang besok, Mike.”

Dan di pemakaman yang nyaris terlambat Levi datangi, dia menatap wajah pucat Hange dengan polesan yang amat cantik.

“Aku juga sangat sayang padamu.”

“Sayang yang seperti itu, Kacamata.”

Fin.


Tanda Tanya.


#AoTAngstWeek2021 Day 04: “Was I Ever Enough? Pairing: Pokkopiku.


Seharusnya, ia tidak bimbang seperti ini.

Porco basah kehujanan. Dan Pieck secara impulsif menariknya masuk sebelum mengeringkan rambutnya dengan handuk yang langsung ia sambar dari gantungan yang berada tidak jauh dari pintu masuk. Porco tidak sempat bertanya kenapa benda seperti itu tergantung sembarangan, ia terlalu sibuk mengatensi wajah Pieck yang serius menatapnya.

Mengeringkan rambutnya yang kini sudah berantakan akibat usak yang tidak main tenaganya. Hidungnya memerah, napasnya tidak stagnan akibat dingin yang merayapinya dari ujung jemari kaki.

“Jangan terlalu serius menatapku begitu, dong.”

Ucapan Porco jadi terdengar mengawang di atmosfer yang menghangat. Berputar-putar, lantas mencipta decak saat Pieck berbalik setelah meminta sang pria mengganti pakaiannya.

“Harusnya, aku yang bilang begitu,” suara manis sang puan terdengar begitu Porco membuka kancing kemeja pertama, lalu geraknya terhenti, dan Pieck membalik punggung.

“Harusnya, kamu yang jangan memberiku harapan.”


Porco pernah mencium tangannya. Beberapa kali. Buku-buku jari dan telapak tangan, jemari lentik milik Pieck, memainkan ujung jemarinya yang cantik. Kadang juga membandingkannya dengan tangan miliknya.

Porco menggenggamnya. Menautkannya dengan jemari miliknya.

Memberi perumpamaan keping puzzle yang harus saling melengkapi. Lalu, mereka menanamkan itu di diri masing-masing: relevansi yang saling dibutuhkan. Keduanya butuh itu. Keduanya menginginkan itu.

“Tapi, terkadang aku jadi bingung,” kaus abu-abu bergaris itu sudah mendarat di wajahnya. Porco yang tanpa malu mengganti pakaian di ruang tengah itu lantas menaikkan alis begitu kain di wajahnya ia sibak, menemukan Pieck dengan wajah yang tertekuk, “sebenarnya, kamu suka aku, atau presensiku, sih?”

Porco mati kutu.

Lalu, dia buru-buru mengenakan pakaiannya, melirik televisi, “Aku tahu serial asik yang bisa ditonton bersama. Mau nonton?”

Dan lagi-lagi, pria itu mengalihkan diri dari ujar kepastian yang ingin Pieck dengar.


Porco dan Pieck pernah tidur di bawah satu selimut. Di atas sofa, beberapa kali. Kadang di ruang perpustakaan. Sewaktu sekolah, mereka menggunakan selimut raksasa entah milik siapa yang tertinggal sewaktu acara menginap. Menggunakannya saat istirahat jam makan siang. Tertidur dengan wajah yang saling berhadapan di atas meja.

Sekarang, pun, juga begitu.

Di atas sofa yang mendingin, Porco menilik lentik dan netra yang bersembunyi di bawah temaram dan kelabu. Lalu kepalanya miring beberapa derajat, “Ada yang mengusikmu, ya?”

“Kamu.”

Gelaknya yang semestinya Pieck sukai malah menuai decih, dia membalik badannya hingga Porco hanya bisa memandang punggung mungilnya, “Aku sebentar lagi mau pindah ke kamar. Kamu tidur saja di sofa.”

“Lho? Kenapa enggak mau tidur bareng?”

“Kita bukan anak-anak kayak dulu lagi.”

“Justru disitu bagusnya, kan?”

“Enggak,” enggak ada bagus-bagusnya, “ada baiknya kamu dan aku enggak terlalu menempel.”

“Kenapa?”

Tubuhnya bangkit duduk, “Seharusnya, aku yang bertanya begitu.”


Porco pernah kelabakan melarang Pieck untuk berteriak di atas menara tua tempat menatap panorama tepi pantai (bukan mercusuar). Di antara angin laut, dia meneriakkan cinta sepuluh kali atas nama Porco.

“Porco ganteng!” Kalimat yang menarik atensi itu membuat wajah sang pria merona (yang berteriak siapa, yang malu siapa), “Berhenti membuatku berdebar!”

“Orang gila!”

Jemari itu menyentuh ujung hidung sang pria, “Kausa gilaku.”

Pieck melihat rona di wajah sang pria bersurai pirang. Kali ini, rambutnya tidak dia gel ke belakang. Tampan.

“Merah.”

Porco bedengus, dia memutar badannya.

Tapi esoknya, Porco bilang itu bukan apa-apa.


“Mungkin, dia hanya suka presensimu. Kamu yang selalu ada buatnya, kamu yang enggak pernah lepas darinya,” begitu kata Hange di salah satu agenda makan malam mereka setiap sebulan dua kali. Lalu, dagingnya ia telan sebelum melanjutkan bicara, “aku mengerti soal kamu yang menunggu. Tapi, hubungan kalian sangat ... kompleks.”

“Kayaknya, ya.”

“Bukan kayaknya lagi. Tapi, sungguhan kompleks.”

Pieck menghela napas, “Sebenarnya, aku enggak perlu mencoba mengambil hatinya, sih. Itu enggak perlu.”

“Kalau itu, aku enggak bisa memutuskannya untukmu.”

“Tapi, kenapa dia ... ” mengambil hatiku, kalimat picisan yang tidak terlontar dari bibirnya itu Pieck telan bulat-bulat, “membuatku terus menunggu?”

Hange menatap mendung di wajahnya. Mendung yang dia tidak suka.

“Mungkin, ada baiknya,” Hange memberikan Pieck potongan daging yang paling besar, “kalian menyimpan hati masing-masing alih-alih memberikannya untuk satu sama lain.”

Pieck menahan napas saat Hange melanjutkan, “Kalau dia benar-benar mencintaimu, seharusnya, kamu enggak bimbang dan mempertanyakannya seperti ini, Pieck Cantik.”


“Was I ever enough?”

Wajah Porco diterpa oleh sinar laptop. Kacamata yang biasa ia pakai setiap membuka gadget merosot sampai pangkal hidung, lalu alisnya bertaut, “Kenapa, kok, tiba-tiba nanya begitu?”

“Apa aku pernah cukup buat kamu?”

“Kamu lebih dari cukup buatku.”

“Terus, kamu suka sama aku atau enggak?”

“Suka. Suka, lah. Masa' enggak?”

“Sebagai lawan jenis.”

Porco mengatupkan rahang. Bahu Pieck melemas.

“Kalau soal itu, aku enggak tahu.”

Enggak yakin, tepatnya.

“Tapi,” dia buru-buru menyela, “yang pasti, apa pun itu, bagiku kamu selalu spesial.”

“Begitu, ya.”

Pria itu kembali memunggungi sang puan. Namun kali ini, dengan jutaan beban yang secara absolut menimpa bahunya. Dalam saliva yang sangat sulit ia tegak, dia menghela napas kuat-kuat, “Beri aku waktu.”

Tapi, Pieck sudah menyerah.

“Enggak perlu,” dia duduk di sebelah sang pria, lalu sang puan sadari wajahnya memerah. Tapi dia tidak mengekspektasi apa pun lagi.

“We don't have to put a label on this, do we?”

Fin.


Sweven. A vision seen in sleep, or, simply, a dream.


#AoTAngstWeek2021 Day02: Dream/Please, Come Back. T+, Family, Udo/Levi, slight LeviHan.


Note: ini adalah sebuah fiksi rumpang yang aku upload di Wattpad dengan judul: Talking to The Moon. Jika mau cerita yang lebih detail, silahkan langsung ke akun wp-ku saja, ya. ^___^


Untuk Levi Ackerman: Ayah yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

Aku memimpikan Ayah lagi. Untuk yang kesepuluh kali.

Ayah bertanya soal asa dan tugas Matematika. Satu usap di rambut, lalu Ayah mengepak dokumen dan kembali menghilang di hiruk-pikuk peron—kadang, halte. Di mana aku kehilangan Ayah berpindah lokasi di tiap mimpi. Aku mencoba mencegah Ayah. Lagi dan lagi. Namun Ayah bagaikan angin yang melesat pergi melalui jemariku. Dan, aku tidak bisa menggapai Ayah.

Aku melihat Ayah lewat foto-foto yang terselip di novel usang milik Bunda. Atau di foto album yang kuintip diam-diam di perpustakaan rumah. Aku juga mencurinya satu untuk kuselipkan di dompet karikatur milikku.

Tapi rasanya sangat nyata. Untuk yang kesepuluh kali, aku merasakan diriku yang berhadapan langsung dengan manik kelabu yang mirip akuarium ikan hiu putih itu.

Mendebarkan. Namun mencengangkan.

Meski semuanya hanya mimpi, namun afeksi yang kudapat seolah ... nyata.


Hange sebenarnya lebih suka memilih untuk terdiam dan tidak melontarkan apa-apa, dalam artian mengeluh. Dia melakukan siklus dan rutinitas sehari-hari tanpa gangguan. Memanggang roti oles mentega, atau roti isi cokelat dan segelas cokelat panas. Kalimat sapa yang sudah Udo hapal setiap kali dia memanuver langkah, turun dari tangga dan duduk di kursi meja makan.

Berdoa.

Hange selalu memintanya untuk berdoa.

Tapi, Hange terlalu banyak bercerita dan menunggu lontar cerita Udo setiap harinya. Soal pelajaran, lelucon guru atau sekadar menu makan siang hari itu. Hange menikmatinya. Hange terlalu sering menikmati hal-hal kecil sampai lupa akan beban-beban yang ada di pundaknya.

Tapi, pagi ini, Udo tidak turun. Engsel pintu kamarnya yang selalu berderit setiap bingkainya terbuka pun tidak menyapa rungu Hange. Sang Ibu menautkan alis, intuisinya terusik dan membatin khawatir.

Meletakkan sarapan pagi di atas meja, ia melangakah menaiki anak tangga. Satu demi satu. Mengetuk pintu, lantas membuka kenopnya tiga menit setelah tidak mendapat respons.

Udo tengah menangis di atas meja belajar.


Untuk Levi Ackerman: Ayah yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

Aku bahkan tidak tahu kemana aku harus mengirim surat ini, jadi mungkin aku akan selamanya menyimpannya dalam buku harian. Aku kadang curiga, mungkin Bunda sudah pernah membaca atau paling tidak mengintip barang satu atau dua baris kata. Tapi, Bunda paham betul apa itu privasi. Meski sebenarnya aku enggak keberatan Bunda baca semua ini.

Ayah, malam ini, aku bermimpi ... Ayah membelikanku satu paket buku astronomi, lalu kita duduk di beranda rumah sembari berkisah soal kapal-kapal yang berlayar di ruang antarbintang.

Suatu hari, jika kita bertemu, aku akan mengajak Ayah melayari Milky Way dengan bulan sabit!


“Sudah mendingan?”

Anak laki-laki dua belas tahun itu menyeka hidungnya yang memerah. Meraih kacamatanya lantas menyapunya dengan ujung baju. Mengundang omelan Hange. Wanita itu buru-buru meraih microfiber di atas nakas sebelum menyerahkannya pada sang putra. Menunggu eksplanasi. Tapi rasanya anak laki-laki itu tidak mau bicara.

“Kamu enggak demam. Ada bagian tubuh lain yang sakit?”

“Aku hanya merasa enggak bersemangat hari ini.”

“O—h?”

“Bunda, apa aku boleh meminta waktu sendirian? Sejenak saja?”

Dan dengan satu pinta itu, Hange mengusak rambutnya sebelum keluar dari kamar. Merangkai senyum, lantas termenung saat punggungnya bersandar di lorong yang entah kenapa rasanya dingin.

Air matanya lolos. Dan Hange bahkan tidak sadar napasnya sudah sesak sejak tadi.


“Aku paham. Dan, enggak akan memaksakan kehendak. Kalau ayahmu maunya begitu, ya ... mau gimana lagi?”

Jemari Levi menahan pinggang Hange. Manik di balik lensa itu dia tatap. Lamat-lamat. Lama sekali hingga jantung Hange rasanya hampir copot.

Jemari itu Levi raih, dia genggam kuat-kuat. Ia bawa berkelindan di temaram kandil ruang tidur. Napas keduanya tertahan, tapi tatap Levi amat persisten. Mencari rona, namun pria itu tidak menemukannya.

“Kenapa, sih ... ada kata 'selamat' dalam, 'selamat tinggal'? Kurasa, itu bukan hal yang perlu diberi selamat.”

“Hange.”

“Aku tidak ingin berpisah.”

Jemari Levi kini menelusuri pipi cokelat istrinya. Panas. Tapi kali ini bukan karena rona atau debaran saat Levi mengecup buku-buku jarinya. Atau saat Levi tiba-tiba membenahi rambutnya sebelum memberi bisik selamat pagi. Atau saat bibirnya yang kasar mengucap pujian secara tiba-tiba di luar dugaan.

Atau saat mereka berlari seperti orang gila di bawah bintang sambil bertelanjang kaki.

“Aku juga.”

“Levi ... ” napas Hange tercekat, “bukankah kita bisa mencoba lagi? Sedikit lebih lama lagi?”

Hange bersumpah ia temukan kristal dalam pasang kelabu itu.

Yang mampu Hange hidu saat itu, ialah parfum yang melekat pada tubuh Levi dan kesedihannya di bawah hujan pukul dua pagi.

“Maafkan aku, Hange.”

Dekapnya mengerat, bahu Levi bergetar saat ia rehatkan kepalanya di ceruk leher sang wanita.

“Sayang, aku minta maaf.”

Dan penantian lima tahun itu mereka akhiri di sini.


“Bunda kehilangan kontaknya. Lama sekali.”

Udo menusuk daging dengan garpu. Dia kelepasan menanyakan presensi Levi dan sama sekali tidak mengekspektasi jawaban dari bibir sang ibu. Lalu, hela napasnya terdengar. Udo berhenti mengunyah saat ia tatap figur Hange membungkuk menutup wajah dengan telapak tangan.

“Tapi, Bunda bisa mengabarinya lewat kenalan Ayah. Masa tidak bisa, sih?”

“Maaf ... “

“Memangnya, apa yang Bunda khawatirkan? Penyesalan? Ratapan? Memangnya, apa yang akan berubah kalau ternyata tiba-tiba Bunda hamil aku setelah kalian bercerai?”

“Kami enggak mengekspektasinya.”

“Lantas, kenapa enggak bilang pada Ayah?” suaranya tanpa sadar melewati batas-batas kesopanan, “Meskipun kalian sudah bercerai saat Bunda menyadari kehamilan Bunda, tapi Levi Ackerman tetaplah ayahku. Dia berhak tahu dan dia berhak meluangkan waktunya untukku.”

Isak Hange pecah, lalu ucap maafnya kembali menyapa telinga sang putra.

Kini, tenggorokannya perih.

Anak laki-laki itu menyeka pipinya cepat.


“Aku akan pergi jauh setelah ini. Dan sebaiknya kita enggak saling menghubungi.”

“Aku enggak suka ide itu, Han.”

“Ayahmu lebih enggak suka idemu, Vi.”

Pria itu menghela napas keras, “Apa kita enggak bisa secara kasual menjadi teman seperti dulu lagi? Han, melepas status pernikahan bukan berarti kita harus berhenti menjadi sepasang teman.”

Hange mengatupkan rahang, lantas dia tertawa mengusir biru, “Aku lebih suka kalau kita berpura-pura menjadi orang asing. Aku yakin, ayahmu juga pasti begitu.”


Udo merangkai konstelasi asal-asalan setelah memeluk Hange sambil menangis minta maaf, di balkon kamarnya.

Sebuah eksplanasi yang ia butuhkan kini ia telan mentah-mentah. Rasa rindu pada sosok yang belum pernah ia lihat sebelumnya ia putuskan untuk dilupakan. Menguburnya dalam-dalam. Seharusnya perasaan bundanya lebih penting.

Malam itu, Levi tidak muncul di mimpinya.

Paginya, Udo tidak lagi menangis. Tapi, ia mendengar isak di beranda rumah.

“Kumohon, kembalilah.”


Erangan. Gadis itu menendang batu dan menyumpah sambil meremas kertas.

“Nilai Falco lebih tinggi dari punyaku! Kamu percaya itu, Do? Percaya, enggak?” omelnya melengking nyaris membelah langit menjadi tujuh bagian sama rata. “Kesal! Padahal dia tampak santai dan aku lebih terlihat mati-matian belajar dibanding dia. Tapi, lihat siapa yang dapat nilai lebih tinggi!”

“Kan, cuma beda nol koma dua puluh doang.”

“Do—aaaang?” kedua alis sang puan terangkat, anak laki-laki itu mundur selangkah, “hei, hei! Ini tuh penting, tahu. Kamu enggak ngerti juga, ya?”

“Tapi digit depannya sama-sama angka sembilan!”

“Bah, tidak peduli!” gadis itu melempar tangannya ke udara, “Pokoknya, lain kali, aku harus menyusulnya. Ha-rus!”

Udo baru saja hendak menyahut dengan gelak, tapi jantungnya nyaris rontok saat tubuhnya ditarik diikuti klakson mobil yang mengalun di langit sore. Membuat napasnya nyaris hilang dalam sepersekian detik. Otaknya memproses apa yang terjadi sebelum pada akhirnya, sebuah suara menyentaknya.

“Hei, Bocah. Perhatikan langkahmu lain kali,” intonasinya menusuk, “pengendara keparat. Bisa-bisanya berkendara secepat itu di lingkungan sekolah.”

Di sebelah Udo, Gabi menjatuhkan tas jinjingnya.

“Ah, Paman itu, kan—”

Anak laki-laki itu menengadah, lalu bola matanya membola, lalu dia melompat dan mundur selangkah.

” ... Ayah?”

“Yang ada di dompet karikaturmu!”

Dua kalimat yang saling bertubrukan. Lalu dwinetra itu berkedip dalam curiga.

“Ayah?” repetisi sang pria, “aku enggak kenal kamu siapa, tapi itu tadi sangat-sangat enggak sopan.”

“Anda ... Levi Ackerman, bukan?”

Sebelah alisnya terangkat, “Kamu mengenalku?”

Gabi mendorong tubuh ringkih Udo, melotot sambil mengomel panjang lebar, “Tunjukkan fotonya! Tunjukkan foto paman itu tepat di depan wajahnya!”

“Kurasa itu enggak so—”

“Biarkan aku melihatnya,” suaranya menyentak sang laki-laki sejenak. Tapi begitu dia memberi persetujuan dan mengoper foto mungil itu pada sang pria, manik itu membola.

“Dari mana kamu mendapatkan ini?”

“Apa Anda—” kalimat itu adalah pengalihan, tertahan di ujung lidah, tapi Udo tidak punya titik untuk berbalik arah, “—mengenal Hange Zoe?”

Dan dengan itu, Levi Ackerman memilih untuk meninggalkan bus yang telah ia tunggu selama dua puluh menit.

Fin.

Nightfall Heartbreak.


#AoTAngstWeek2021 Day01: Unrequited Love. Pairing: Levihan, Mobuhan, Rivetra.


Levi terus berimaji, jikalau cinta itu banyak wujudnya, ia harap Hange mencintainya dalam bentuk yang sama. Berandai-andai, menatap kuncir cokelatnya dari jarak lima meter sebelum membuang wajah saat dua netra itu bertubrukan dalam sekian milisekon.

Levi mencoba mencuri atensinya, merampasnya. Berharap jemari mereka berkelindan di satu waktu. Harap-harap tidak terucap sampai-sampai Levi takut akan kehilangan kesempatan. Mulutnya terbuka, namun kalimatnya tertahan saat bibir itu merangkai kurva dan alih-alih sapa, pria itu malah berdecih.

“Kamu enggak suka aku, ya, Lev?”

Suka.

“Enggak.”

Kurva itu jadi terbalik. Tapi kemudian Levi menangkap pelangi dalam binar-binar pada pasang matanya, “Masa, sih?”

“Kamu terlalu kompleks. Aku enggak suka.”

“Ngaca, sana.”

Menimbunnya. Levi menimbun semua harap dan maya sedalam yang ia bisa. Beberapa jendela yang terbuka di layarnya mengeksplanasi kantung mata dan dia menutup diri dari konversasi-konversasi kecil yang membuat jantungnya melompat beberapa kali.

Hange terlalu menempel. Bukan berarti ia mendorong Hange menjauh dalam batas-batas gurau dan pertemanan yang sudah mereka konstruksi selama sepuluh tahun terakhir. Namun embus napas Hange saat ia membenahi kacamatanya cukup membuat Levi sinting.

Dan, dia tidak suka.

Adalah pertengahan bulan Februari, dua hari sebelum Valentine, dimana sang pria mendengarnya dari bibir teman yang duduk dua kubikel di sebelahnya.

“Hange Zoe dan Moblit Berner saling menyimpan rasa. Kamu tahu itu, kan?”

” ... hah?”

“Aku cuma mau kamu tahu.”

“Kamu mau aku apakan informasi enggak penting itu?”

Levi menendang kerikil selama perjalanan pulang ke rumah. Menahan decih, menghitung genangan air yang matanya lewati. Mungkin dia terlalu banyak mencibir, mungkin dia terlalu banyak menunda dan menimang kalimat.

Moblit pria yang baik.

Levi seharusnya tidak kesal. Dia sempat menatap nayanika Hange dan dari jauh saja, Levi sudah mampu menangkap kembang api yang terpancar setiap kali Moblit memanggil namanya.

Petang hari ini membuatnya sepuluh kali lebih sesak dari biasanya.

“Dia tidak pernah tertawa selepas itu denganmu, ya, Kak?” Isabel mengayunkan kaki, ayunan tempatnya duduk bergoyang, sedikit. Levi sejak tadi sibuk menatap layar ponsel, menahan napas dan decih, lalu dia menggeleng frustrasi sebagai jawaban yang Isabel temukan tidak menyenangkan.

Notifikasi yang biasanya menyapanya tidak pernah muncul lagi.

Tidak ada sapa atau stiker karakter lucu yang memenuhi ruang percakapannya.

“Tapi, apakah Kakak benar-benar suka pada Kak Hange? Kakak yakin?”

Yakin.

“Mungkin.”

Isabel menganggap Levi sebagai sosok yang tidak kredibel dalam masalah romansa, tapi dia tidak bertanya lagi. Keduanya menatap langit malam yang berawan, berkontemplasi. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran infiniti.

Levi rasa dia tidak akan berenang ke permukaan lagi.


“Levi Ackerman pria yang baik, namun kurasa apatismenya bukan aku banget,” ucapan Hange sempat membuat netra Isabel membola, tapi dia tidak kaget. Hange buru-buru meluruskan, “Bukan berarti dia pria yang buruk, aku hanya butuh ... apa, ya. Maksudku, tipeku bukan yang seperti itu. Tapi dia pria yang baik, untuk seorang teman.”

“Ngerti, kok.”

“Omong-omong, kenapa bertanya seperti itu?”

Isabel tersentak. Namun sebelum Hange menaruh prasangka, Isabel buru-buru memotongnya dengan, “Aku hanya penasaran soal sudut pandang cewek-cewek ke Levi-jelek-Ackerman.”

Tawa Hange menjadi penutup konversasi. Yang menjadi pasti yang mengukung realita, adalah Levi yang harus membuang semuanya jauh-jauh di belakangnya.

Dan tidak berbalik lagi.


Di pertengahan bulan November, Levi menutup payung dan menyeka bahu yang basah karena percik air hujan. Diantara pasang mata yang duduk mengatensi ihwal masing-masing, netra kelabunya menemukan karamel yang melompat-lompat begitu sang pria mengangkat alis.

“Sudah lama menunggu?”

“Lima belas menit. Tapi, enggak apa-apa.”

Jemari lentiknya menarik kursi. Aroma vanila menganeksasi hidungnya saat sang wanita mencondongkan tubuh untuk memberi satu senyuman tipis, “Kamu baik-baik saja?”

“Hah? Apa?”

“Eh, enggak,” dia kelabakan, “kamu terlihat ... biru.”

“Kayak Avatar?”

“Bukan, ih!”

Levi tergelak, lalu dia menatap jambu saat wanita itu mengalihkan atensi.

Soal dia yang juga merasakan sakit saat Levi menaruh atensi pada manik di balik lensa, dia mulai paham sedikit-sedikit soal menerima dan terbuka.

“Petra,” kalimatnya terdengar seperti tersedak tulang, “aku bukannya mau membuatmu menunggu atau menggantungmu, atau memberi asa-asa palsu. Tapi, aku akan mencobanya.”

“Mencoba ... apa?”

Membuka hati.

Levi berdeham, tapi Petra malah tertawa.

“Enggak,” pria itu memainkan jemari, memutuskan untuk membuka buku menu sepuluh detik setelahnya, “bukan apa-apa.”

Jikalau cinta itu banyak wujudnya, rasanya tidak apa-apa kalau presensi Hange Zoe pada akhirnya tidak akan jadi siapa-siapa.

Jika cinta itu banyak wujudnya, setidaknya dalam kepercayaan dan rekan, rasa mereka satu.

Jika cinta itu banyak wujudnya, maka ia akan mencoba terbuka untuk hati yang menerimanya pulang.

Fin.