Novalunosis and Reminiscence.
#AoTAngstWeek2021 Day 07: Farewell/Goodbye. TW // Suicidal Thoughts.
Aku tidak tahu harus menulis surat untuk siapa, jadi, nama yang tertera di ujung kertas tetaplah kosong. Tulisan-tulisan di kertas ini mungkin hanya bualan. Tidak ada yang peduli, dan tidak ada pula yang perlu mengerti (kurasa).
Surat ini, aku tuliskan untuk bintang-bintang.
Levi sejatinya tidak mampu menangkap bentuk afeksi, namun selalu mencarinya. Berpikir bahwa semuanya tiada. Saat itu hujan deras, dan Levi menggerutu sambil menendang kerikil dengan kasar.
Lengan pakaiannya menutupi luka yang ia ciptakan, namun gurat wajahnya tidak bisa menyembunyikan sakit pada batinnya. Suramnya. Eksistensi Levi pribadi bahkan bisa mendeskripsikan badai pada gerimis yang menderas.
Di tengah hujan itulah, ada pelangi yang muncul terlalu cepat. Bahunya basah kuyup dan tangannya menggenggam payung dengan bibir yang bergetar sebab dingin.
“Hei,” napasnya mengudara, “aku bawa payung yang cukup untuk meneduhi dua orang.”
Ah, Hange Zoe lagi.
Katanya, mengucap harapan kepada bintang jatuh itu bisa menjadi cara yang manjur untuk mencapai sesuatu. Katanya, bintang jatuh mengabulkan permohonan. Hal yang aku anggap skeptis namun kini, astaga, kuharap apa yang aku harapkan betul-betul bisa terjadi.
Jadi, bintang jatuh, aku punya satu permohonan.
“Levi. Ackerman. Sayang.”
Suara Hange mengusiknya. Membuatnya berdebar. Tapi mengusiknya. Pokoknya dia terusik. Tapi telinganya memerah saat ia temukan senyumnya begitu sang pria membuka mata.
Levi berdecih.
“Kamu membangunkanku.”
“Aku bawa roti lapis.”
“Enggak lapar.”
“Muka kamu pucat,” hidungnya berkedut, “kamu enggak bisa terus-terusan menyiksa diri kamu kayak begini. Aku enggak suka. Aku enggak bisa terus-terusan ada buatmu dan melakukan preventasi tindak membahayakanmu.”
Pria itu hendak mengujar komplain, tapi satu suapan lolos masuk ke mulutnya, membuatnya terpaksa mengunyah. Dalam geram dan gumam tertahan, Levi terdistraksi oleh pasang netra yang memantulkan wajahnya di balik lensa.
Ketemu.
Bintangnya ada di pasang netra Hange Zoe.
Presensi Hange adalah hal yang biasa. Absensinya, tidak. Jadi aku tidak menganggap hari-hari yang aku lewati itu spesial. Ada Hange. Itu bukan sesuatu yang besar. Tapi, entah kenapa hari ini aku berpikir: mungkin Hange Zoe lebih dari sekadar teman berkisah.
Hange Zoe adalah bintang jatuh yang amat jelita.
Levi berhenti menulis. Wajahnya memerah.
Sial. Kenapa aku baru sadar.
Levi mencoret kalimat terakhir dengan pulpen. Berepetisi. Tapi sudut pandangnya terhadap Hange tidak bisa lesap.
“Aku pernah berdoa pada bintang jatuh.”
Ucapan Levi membuat Hange tersedak. Levi lebih dahulu memicingkan mata sebelum Hange mencari alasan dan bualan, tapi akhirnya dia hanya terkekeh setelah mengusap ujung bibirnya dengan ibu jari.
“Aku bisa mengerti rasa kagetmu, Mata Empat. Tertawalah sepuasmu.”
Hange merangkai konstelasi di pikirannya, lalu ia layangkan atensinya pada Levi yang sejatinya sudah menatapnya sejak tadi, “Mau aku beri tahu rahasia?”
“Aku berasumsi kalau rahasia yang kamu maksud adalah fakta saintifik yang bersebaran di artikel terpercaya.”
“Benar,” dia memberi validasi, “Tahu, enggak? Bintang jatuh itu eksistensinya enggak ada. Mereka hanya meteor yang gagal mencapai Bumi. Enggak ada yang namanya bintang jatuh. Enggak ada yang namanya permohonan yang terkabul.”
Ada binar di pasang matanya.
“Ada baiknya, kamu berdoa pada Tuhan.”
“Tuhan enggak mendengarkanku.”
Hange menumbuk bahunya dengan kepalan tangan, “Sembarangan. Pasti Dia mendengarkanmu. Ini hanya perihal waktu, tahu. Perihal waktu!” Hange melotot garang, “Tuhan selalu mendengar. Jadi, aku yakin kamu tahu opsi mana yang lebih baik saat kamu benar-benar butuh sesuatu.”
Levi berdecih.
“Memangnya, bintang jatuh mengabulkan permohonanmu?”
“Entahlah,” gumamnya disamarkan embus angin malam, “semoga saja enggak.”
“Eh? Memangnya, kamu berharap apa?”
Levi berdengus. Pada akhirnya, pertanyaan itu tidak pernah ia jawab.
Untuk pertama kali dalam dua puluh delapan tahun hidupku, aku berdoa.
Berdoa … mengucap harap. Entahlah.
Harapan yang kontradiktif dengan ucap permohonan pada bintang jatuh.
Levi menghela napas kuat-kuat. Wajahnya ia benamkan pada lengan yang ia lipat di atas meja.
Harapan yang memalukan.
“Aku kepengin punya anak.”
Levi nyaris melukai jarinya yang saat itu tengah gesit memotong seledri.
“ … hah?”
“Aku kepengin punya anak.”
“Kok, ngomongnya ke aku?”
Hange menaikkan sebelah alis, wajah Levi yang mendadak merona mengundang tawa sang wanita. Membuat Levi berdengus dan kembali memunggungi eksistensi gila itu. Hange nyaris terjatuh dari sofa, dia buru-buru menyeka air mata yang keluar karena terlalu banyak tertawa.
“Enggak. Pengin aja. Mungkin, nanti bisa adopsi? Menurutmu gimana?”
Levi meletakkan pisaunya. Dengan raut wajah yang lebih stabil, ia membalik punggung. Menatap Hange saat melipat kedua tangannya di dada, lalu dia menjentikkan jari, “Lumayan keren.”
“Lumayan?”
“Lebih keren lagi kalau punya anak sendiri.”
Hange terpingkal, “Nah, masalahnya, aku enggak tahu apa orangnya mau diajak mengikat komitmen serius atau enggak.”
Alis Levi terangkat sebelah. Lampu ruang apartemennya berkedip sekali, lalu ia menghela napas sebelum kembali mengatensi Hange, “Bukankah ada pendonor sperma?”
“Ah, aku bukannya kepengin punya anak begitu saja. Aku pengin hubungan serius. Sebuah keluarga,” dia bertopang dagu, matanya jadi agak bersinar, “ada pria yang aku suka.”
Hati Levi mencelos. Sedikit.
“Siapa pria enggak beruntung itu?”
“Levi Ackerman.”
Ini bukan sekali dua kali Hange bikin sinting.
Tapi kali ini, dia betul-betul menguras kewarasanku.
Dalam sepersekian detik yang sunyi, mendadak ia hancurkan dengan senyum yang membuat jantungku melompat. Sekali. Dua kali. Degup yang membuat bola mataku berputar akibat khawatir salah tingkah.
Levi mencoret tulisannya. Menggelikan.
Bintang jatuh itu melamarku. Dan, aku menolaknya.
“Ajakan aneh yang super-duper mendadak,” Levi pura-pura sibuk dengan layar komputer, “Aku enggak menganggap lamaranmu otentik.”
“Jahat banget.”
Lalu, dia menahan napas. Membenahi posisi kacamata bacanya, lalu menyandarkan punggung, “Bukan begitu maksudku. Mari kita reka ulang, ya, Kacamata.”
Pria itu mendapati kedua netra cantik itu membola dari balik lensa.
“Hange Ackerman enggak kedengaran buruk.”
Aku pernah berdoa. Aku punya permohonan. Aku meminta pada Tuhan saat separuh dunia tengah terlelap, meski kuatensi lampu-lampu masih menjadi gemerlap dari jendela apartemen.
Jika seandainya bahagia itu ada, maka aku ingin mendekapnya lama.
Hange Zoe tampak amat cantik dibalut gaun seputih mutiara.
Dan jika selamanya itu ada, maka jadikanlah itu Pria Penuh Harap, dan Nova yang ia tatap.
Levi selalu memandang dunia lewat lensa abu-abu dan monokrom. Hujan dan badai. Hitam dan putih. Ia menyeret kaki setiap subuh dan kembali untuk menghempaskan diri ke ranjang pukul delapan malam.
Pegawai-pegawai kantoran lain mengatakan ia mirip zombie. Anak-anak yang pulang sekolah larut menganggapnya hantu penunggu tiap malam. Tapi Hange mengatakan dia mirip semesta gemintang dan lubang hitam yang atraktif.
Dan jantungnya mengalun dalam melodi yang tidak biasa begitu ia membuka mata.
Di sebelahnya, ada Hange yang terlelap dengan cantiknya.
Levi berhenti menulis surat. Ia mungkin sudah lupa. Mungkin tidak. Tapi Hange punya berbagai cara untuk memberi warna pada tiap sisi kelabunya. Dia menarik Levi, membawanya pergi pada malam-malam yang dingin untuk menyalakan kembang api. Berpretensi tengah menyaksikan supernova.
Hange bilang bintang punya cara yang paling romantis untuk mati. Levi tidak tahu apakah ia harus merinding atau terpana saat istrinya mengatakan itu, tapi di detik kemudian, ia berucap: “Aku ingin kepergianku nanti secantik itu.”
“Ngomong apa, sih?”
Dia menyeringai. Levi menariknya mendekat sebelum membenamkan wajahnya di ceruk leher sang wanita.
“Tahu, enggak, Levi? Sebuah konfesi,” dia berdeham, “dulu, aku pun pernah berdoa pada bintang jatuh.”
“Oh, ya? Apa yang kamu harapkan?”
“Redamancy with Levi Ackerman.”
“Reda—apa?”
“Redamancy,” Hange merepetisi, “the act of loving in return.”
“Oh.”
“Kalau kamu, pernah bedoa apa?”
Levi membungkamnya dengan kecup kilat di pipi.
“Aku anggap, kamu bintang jatuhku.”
Wajah itu semerah tomat. Sebelum dia sempat menjerit dalam ketidakpercayaan dan sipu, Levi buru-buru berlari masuk rumah.
Malam itu, mereka tidak tidur. Biasanya juga begitu, sih. Tapi Levi membawa Hange pada dingin udara malam dalam mobil tua yang mereka kendarai di lengang jalanan bersalju.
Malam Natal yang seharusnya mereka pakai untuk duduk di sekitar perapian, digunakan untuk menatap setiap sisi Irlandia. Dari radio mereka, ada musik lawas yang mengalun.
“Adalah sebuah keajaiban kamu mau mengajakku jalan-jalan di udara sedingin ini.”
Levi menyandarkan punggung, “Kepengin saja.”
Levi membawa mobil itu menepi, lalu dia melepas sabuk pengaman sebelum atensinya dia alihkan pada sang istri, “Kupikir kamu butuh jalan-jalan sejenak untuk melepas penat. Akhir-akhir ini kamu kelihatan enggak oke.”
“Oh? Jadi, biasanya aku oke?”
“Aku enggak bilang begitu.”
Sebuah kurva yang terpatri di wajah sang istri membuat Levi mengatupkan rahang. Jemarinya gesit merogoh tasnya, lalu bibirnya bergumam, “Aku punya sesuatu buat kamu. Hadiah ulang tahun.”
Levi berdecak, tapi dengus tawanya keburu mengudara, “Kurasa, aku terlalu tua untuk hadiah semacam itu.”
Hange menyeringai. Lalu sebelum Levi sempat bertanya apa yang akan ia berikan, yang Hange keluarkan hanyalah gestur jemari berbentuk hati. Dalam gelak Hange, pria itu memutar bola mata.
“Eh, enggak. Aku cuma bercanda,” lalu dia mengeluarkan selembar surat dari dalam tasnya, “aku punya hadiah sungguhan, lho. Jangan cemberut. Nanti makin jelek.”
Dan amplop biru muda dengan stiker-stiker karikatur itu sempat membuatnya tergelak skeptis, “Apa ini? Surat cinta?”
Namun, saat ia membukanya, Levi membisu dan matanya membeliak.
“Kacamata.”
“Ya?”
Levi menarik napas, dalam gelaknya yang Hange rindukan, ia temukan senyum yang terpatri di wajah beku miliknya, “Ah, enggak. Enggak apa-apa.”
Sebelum wanita itu sempat bertanya, Levi menyentil keningnya. Direspons desis dan alis yang bertaut heran. Namun ketika melihat netra Levi yang sebening kristal, Hange tidak bisa untuk tidak terpana.
Ujung kedua hidung mereka bertemu. Dwinetra pria bersurai hitam itu terpejam, “Aku enggak bisa lebih bersyukur lagi.”
Dalam aroma napas teh dan mint yang mengadiksinya, Hange mengukir kurva saat Levi memberinya kecup singkat, dan tidak ada lagi yang berbicara setelahnya.
Hanya sebuah cahaya terang yang melesat menerpa keduanya, dan klakson yang membinasakan sunyi malam.
“Levi—!”
Tidak terelakkan. Sebuah mobil dalam kecepatan tinggi tergelincir oleh salju. Terlalu lambat menarik rem. Hantamannya membuat mobil itu terpental, dan tubuh Levi terpelanting.
Dalam konsiusinya yang mengawang, netra Levi mencari Hange lewat pandangannya yang mengabur. Tubuh itu masih terduduk di kursi penumpang. Dengan sabuk pengaman.
Di atas salju yang beku, ada likuid merah yang tergenang.
Selamat ulang tahun, Levi Ackerman.
P.s: Anggota keluarga akan jadi tiga! Atau, empat?
Harapan ...
Ah.
Aku ingat saat-saat aku berharap pada kematian—menunggu layaknya menanti bis di halte kala hujan. Aku ingat saat aku sengaja menantang maut, dan aku ingat bagaimana aku tetap hidup, tidak peduli seberapa sering aku berada diambang maut.
Tuhan memberiku kesempatan—aku berusaha melepaskan diri dari tiap kesempatan yang Ia beri. Aku berteriak marah, tapi tidak ada jawaban.
Maka kuucap permohonan pada bintang jatuh, dan aku menemukanmu, padahal kamu selalu ada di sana. Tapi, aku merasa aku telah menemukan bagian yang hilang.
Kamu dan aku—kita langit malam dan bintang yang jatuh cinta pada semesta gemintang. Gelapku kau isi dengan pendar binarmu. Untuk pertama kali, ada hal yang membuat dunia terasa lebih hidup.
” ... ah,”
Tuhan, tunggu dulu. Jangan bawa aku.
—semuanya menggelap, aku bahkan tidak bisa melihat tubuhmu lagi. Apa kamu baik-baik saja?
Biarkan aku memberi kecup pada bintang jatuh itu, sekali saja. Sebelum Kau membawaku pada konstelasi.
Hange menemukan dirinya remuk redam di ruang aroma disinfektan yang menyengat. Bersama dengung dan suara mesin rumah sakit, dia temukan sulit sekali untuk menggerakkan tubuhnya.
Sore itu, pukul tiga. Tanggal tiga puluh Desember.
Dunia milik Hange luluh lantak.
Waktu tidak memberiku kesempatan, eh? Padahal aku ingin melihatnya tumbuh besar.
Aku pernah mengatakan padamu, bahwa kamu adalah bintang jatuh milikku.
Tapi—akulah yang kembali pada angkasa.
Kuucap maafku dalam pilu, kuharap aku tidak pudar dalam benakmu seiring waktu yang berlalu.
Apa kamu tahu, Bintang Jatuh?
Kamu lebih cantik dengan rambutmu yang tergerai.
Aku menunggumu di konstelasi. Saat masamu tiba, mari bersinar bersama di langit malam yang infiniti.
Untukmu, Bintang Jatuh.
Terimakasih.
Harapan Levi Ackerman ... ialah untuk mati.
Hange Zoe menginginkan cinta dan abadi.
Tuhan memberikan keduanya.
Fin.