Cari Sekolah

Jarum jam menunjuk ke angka sebelas siang hari, dan teriknya matahari telah membakar kulit manusia pekerja keras. Aku bersama Rasya, adik ku satu-satunya yang kini beranjak remaja sedang duduk di atas motor matic milikku, yang tentu saja kepanasan seperti manusia pekerja keras lainnya.

Sebab itu aku menyuruh Rasya menggunakan kaos berlengan panjang untuk meminimalisir sengatan matahari ke kulit secara langsung.

Rasya tak lagi anak-anak, sebentar lagi ia akan menjadi anak Sekolah Menengah Atas. Dimana masa-masa itu yang paling ditunggu-tunggu olehnya.

Aku meyakini bahwa nantinya ketika ia resmi menjadi anak SMA, akan banyak teman perempuannya yang mengaguminya.

Siapa sih yang tidak mau memiliki kekasih dengan wajah yang tampan? Aku mengakui, Rasya memiliki pahatan wajah yang rupawan dengan hidungnya yang mancung serta kulitnya yang putih, mulut yang pandai sekali berbicara, dan badan tegap yang kapan saja selalu siap maju.

Jika Rasya bukan adikku, aku juga akan ikut mengantri di barisan perempuan perempuan yang menginginkan Rasya. Namun tetap saja, ada beberapa sifat yang tak ku sukai darinya. Contoh kejahilannya.

Tidak sedikit orang baru yang mengira aku sebagai adik dan Rasya sebagai kakak, dikarenakan tinggi badanku yang sekarang lebih pendek darinya. Kenapa laki-laki sangat cepat tumbuh tinggi?

Back to topic, aku membantu Rasya mencari sekolah, sebisa mungkin aku membantunya agar tidak menyesal dengan pilihannya.

Tadi pagi kami telah mendatangi beberapa sekolah mulai dari akreditasi A hingga B, tentu saja sekolah dengan akreditasi C tidak aku sarankan.

Dan di sinilah kami berdua berada, di depan sebuah gedung dengan pagar yang bertuliskan SMA WPES.

Sekolah terakhir yang kami kunjungi sekaligus sekolah yang disarankan oleh Ibu.

Kami masih berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi melebihi tinggi badan kami, terlihat di dalamnya terdapat halaman luas dengan sisi kiri yang menjadi jalannya ke parkiran kendaraan.

“Pusing Kak, sekolahnya bagus bagus semua,” keluh Rasya membuatku tertawa pelan.

“Kamu pingin sekolah yang kayak gimana?” Tanyaku menatap kedua manik matanya.

“Aku ngikut aja deh, Kak.” Jawaban darinya memudarkan senyumanku. Aku tidak menyukai Rasya ketika tidak memiliki pendirian.

Aku tidak ingin Rasya menjadi seperti ku dulu, yang tidak berani menyuarakan keinginannya dan memilih untuk mengikuti keinginan orang lain. Sebab itu akan membuahkan penyesalan dan waktu terbuang sia-sia.

“Kasih tahu Kakak, apa yang kamu pingin? Bidang apa yang kamu suka dan buat kamu merasa jadi diri kamu sendiri?”

Rasya membalas tatapanku dan terdiam, dapat aku baca bahwa ia masih dalam hati yang gundah.

Aku ulurkan tanganku menyentuh lengan atasnya, lalu ku usap pelan lengannya sambil berkata, “enggak perlu gegabah, kamu pikir-pikir dulu. Masih banyak waktu.”

Rasya tersenyum, “ayo pulang! Kakak mau siap-siap berangkat kerja!” Ajak ku pergi meninggalkan gedung kebanggaan banyak orang.