write.as

deal, ketiknya.

sambil merutuk, jinhyuk mematikan layar ponselnya.

apapun, pegang ucapannya—apapun akan dilakukannya untuk menghindari kencan-kencan mendatang yang disodorkan kepadanya ibarat lauk nasi. makan ini, sepiring udang kecap. ini bagus untuk kesehatanmu, semangkuk buncis rebus. jinhyuk yakin betul ini akan jadi sesuatu yang disesalinya kala akhir tahun menjemput, tapi dia butuh tiga bulan tanpa gangguan itu seperti paru-parunya butuh asupan oksigen tambahan. sembilan perempuan dalam kurun waktu enam bulan, kesemuanya kandas karena dia tidak bisa jadi pria idaman mereka... jinhyuk sejujurnya tidak setegar itu.

efek diliburkan, parkiran S.T.A.R. Labs sudah mulai renggang sejak pukul empat sore tadi. jinhyuk memperhatikan mobil-mobil itu beranjak pergi satu demi satu dari puncak gedung tertinggi. itu tempat favoritnya kalau sedang suntuk, tempat favoritnya untuk berkontemplasi. kalau kau jeli, ada pintu rahasia di belakang kafetaria yang bisa kaunaiki untuk mencapai tempat ini, meskipun tidak ada yang betul-betul spesial dari tempat itu. sekilas, ia hanya terlihat seperti balkon merangkap atap setengah-jadi yang cuma dilapisi aspal dan berukuran setidaknya 10x20 meter, tapi nilai jual tempat itu yang sesungguhnya adalah pemandangannya. tidak kalah keren dengan pemandangan dari belle isle park, kalau jinhyuk boleh bilang.

ada sesuatu dari percakapannya dengan sang ibu yang membuat jinhyuk ingin segera berada di sana—terperangkap di ketinggian empatbelas kaki dalam rangkaian perimeter yang terbuat dari beton, memperhatikan megapolitan di sepanjang lapang pandangnya mulai menyala satu persatu sementara matahari menyusut di ujung horizon. ada sesuatu dari percakapan itu yang terasa lebih... bengis, di sekelilingnya; lebih menghunjam daripada biasanya, sehingga yang dibutuhkannya sekarang cuma ini—menyendiri di atas atap, sementara hampir seluruh kolega kerjanya sedang dalam perjalanan pulang menuju orang yang mereka sayangi.

masa tdk ada semuanya?

(you’re unlovable.)

ibu tdk akan paksa2 lagi

(nobody wants you.)

lebih dr itu, mau tdk mau ibu yg jodohkan

(you’ll die alone.)

barangkali benar bahwa banyak orang jatuh cinta dengan ide dan konsep dari seorang lee jinhyuk, tetapi bukan kepada lee jinhyuk itu sendiri.

makanya segala puja dan puji itu selalu terdengar artifisial. siapapun itu yang berakhir menikah denganmu akan jadi orang paling beruntung sedunia itu, meskipun diutarakan dengan tulus, jadi terdengar seperti formalitas berhubung mereka bicara tentang orang yang belum tentu ada di dunia ini. kalau, jinhyuk berakhir menikah. kalau, seseorang yang rela menikahinya itu betulan ada. dan ia bukannya gila romansa atau bagaimana—tapi fakta bahwa dia ini manusia yang susah dicintai terkadang berhasil membuat tenggorokannya tercekat dan rongga dadanya menyempit.

seperti sekarang, contohnya. sudah berapa jam dia berdiri di sini, bersandar di pembatas balkon atap yang terbengkalai dan memperhatikan kehidupan berlalu-lalang di bawahnya? hanya beberapa jengkal di dekat jinhyuk, ponselnya diletakkan terbalik. sengaja supaya layarnya tidak terlihat. cukup satu senggolan dan ponsel itu akan hancur berkeping-keping.

tapi untuk pertama kali di sepanjang hidup jinhyuk menggunakan area ini untuk dirinya sendiri, baru kali ini pintu di belakangnya terbuka.

“oh,” bisik seseorang, tangannya membatu di pegangan pintu.

jinhyuk menoleh lewat bahu.

“hei, dok,” ia tersenyum tipis. tubuhnya berbalik lamat dalam gestur menyapa orang di belakangnya. “tahu rahasia tempat ini juga, rupanya.”

dokter kim wooseok memandangnya seperti ia tidak tahu harus mengambil langkah maju atau menutup pintunya kembali keras-keras. sejujurnya, pria itu selalu memandangnya seperti dia ingin kabur dari jinhyuk—fakta yang sangat dimakluminya. masih baik sang dokter tidak berusaha menghindarinya, meskipun secara teknis, ia berhak-berhak saja.

pria itu menelan ludah. “tidak pulang, coach?”

“pulang ke mana? saya tinggal di dekat sini,” tidak ada jawaban untuk itu. jinhyuk mencoba lagi, lebih lembut kali ini. “kalau... dokter mau pakai tempatnya, saya bisa pergi sekarang, kok.”

“—no,” jawab sang dokter, tanpa kehilangan jeda sedikit pun. ia terdengar kaget dengan jawabannya sendiri, sebelum melanjutkan, “nggak apa-apa, coach,” dan mulai berjalan menghampiri jinhyuk. memposisikan dirinya sendiri di pembatas atap sekitar satu meter dari jinhyuk, lebih tepatnya.

“tidak pulang, dok?” beo jinhyuk, setelah beberapa saat.

“sebentar lagi.”

“maksud saya, ke kampung halaman.”

pria itu tersenyum pelan, “saya asli detroit selatan.”

“ah,” jinhyuk mengangguk. “took a midnight train, going anywhere?

ada sepasang mata yang menatapnya heran.

jinhyuk berdehem canggung. “itu lirik lagu, dok. don’t stop believing.”

dokter kim wooseok hanya menghadiahinya sebuah anggukan paham-tidak paham—tidak berhasil menangkap kelakarnya. jinhyuk menghela napas, berharap angin senja bisa menyapu kecanggungan yang ditimbulkannya seperti orang bodoh. tapi baginya sekarang ini, selama sang dokter tidak tersinggung atau lebih buruk lagi, kabur. itu saja sudah lebih dari cukup.

“saya juga,” mulai jinhyuk lagi, entah kenapa. cari mati, sepertinya. “lahir di sini, seumur hidup belum pernah keluar dari detroit.”

“begitu?”

“begitu,” jinhyuk tersenyum, seraya melipat tangannya. mereka masih sama-sama memandang ke depan. “makanya, bagi saya—libur lima hari tidak ada apa-apanya. dibanding coach jaehwan, mungkin, ya.”

ini sukses menarik perhatian sang dokter. “coach jaehwan...”

“keluarganya dievakuasi ke carolina utara,” matanya memicing sedikit akibat angin yang menerpa wajahnya. “hell’s gate, ann arbor, sembilan tahun yang lalu. sampai sekarang baru pulang, berapa? baru empat atau lima kali, mungkin. jadi libur kali ini sebetulnya supaya coach jaehwan bisa pulang saja—ups.”

bunyi sesuatu terjatuh menyentuh aspal. jinhyuk berjongkok memungutnya. benda itu tetap hangat di kepalannya meskipun baru saja menyentuh aspal. bisa jadi karena selalu ada tangan yang menggenggamnya. bisa jadi karena selalu dikantongi kemana-mana, sebab begitu berharga. jinhyuk membuka telapak tangannya, dan di sanalah liontin milik sang dokter berada.

(dearest, darling, beloved—)

pandangan mereka berserobok dengan jinhyuk masih dalam keadaan berjongkok dan dokter wooseok merunduk memperhatikannya.

“jatuh lagi, dok,” gumam jinhyuk, sembari berdiri. ditimangnya benda itu di kepalan tangan, sambil jinhyuk merasai teksturnya. ukiran ornamen floral yang kokoh. ukiran tulisan di dalamnya jauh lebih kokoh lagi. sang dokter masih belum juga angkat bicara—masih memandang jinhyuk seperti dia tidak mempercayai liontin itu di genggaman tangan jinhyuk. “mungkin harusnya dikalungi saja, jangan dikantongi. biar tidak gampang jatuh lagi.”

telapak tangannya mengulur terbuka.

“sayang kalau barang seberharga ini jatuh terus, dok,” jinhyuk mencoba tersenyum lagi. meskipun liontin itu beratnya terasa seperti satu ton. dan seolah-olah ingin keluar dari genggaman tangan jinhyuk, tidak sudi berada di sana.

barulah setelah itu, ada suara dehem.

“kaitnya sulit,” aku sang dokter, mengambil liontin dari tangan jinhyuk ragu-ragu. dia menimang liontin tersebut dengan cara yang sama, memandangnya seolah-olah itu benda sakral. “makanya tidak pernah saya kalungin, coach.”

jinhyuk menatapnya. “mau saya bantu?”

tatkala pria di hadapannya mengangkat wajah dengan sorot mata penuh skandal, jinhyuk lagi-lagi mengutuk lidahnya yang kelewat kasual. buru-buru, ia mengangkat kedua tangan di hadapan dada, dalam gestur defens. “maaf, dok. cuma menawarkan bantuan saja, bukan—bukannya—”

di luar dugaan, liontin itu justru diserahkan kembali.

jinhyuk bergantian menatap sang dokter dan uluran tangannya, cuma bisa berharap ekspresinya sekarang tidak seperti ikan kakap yang terdampar di daratan. ada ludah yang diteguk manakala jinhyuk menerima liontin tersebut dan pria di hadapannya itu berbalik memunggungi jinhyuk, dan. menunggu liontinnya dipakaikan ke lehernya. sambil menarik napas dalam-dalam, ia merentangkan rantai liontin itu dan mulai memposisikan dirinya sendiri di belakang sang dokter, begitu dekat dengan tengkuknya.

“kalau begini, kan,” bisiknya pelan, tidak memercayai suaranya sendiri. bohong kalau jinhyuk bilang jemarinya tidak bergetar sedikit sewaktu menyatukan kembali kait rantainnya di tengkuk sang dokter. “bisa dibayangkan sebahagia apa suami dokter, lihat liontinnya dikenakan begini.”

yang bersangkutan cuma menghela senyum pelan.

“suami saya,” jawab pria itu pelan, seperti hanya ingin didengar oleh angin yang berhembus di antara mereka, “sudah meninggal, coach.”

jinhyuk bisa merasakan syaraf-syaraf di penghujung jemarinya terputus untuk sepersekian fraksi waktu.

“saya,” bisik jinhyuk, setelah menemukan koherensinya untuk mengaitkan liontin itu dengan benar. “saya... mohon maaf sekali, dok.”

“nggak apa-apa,” jawab pria itu lagi, sembari berbalik usai jinhyuk menurunkan tangannya. mereka kembali berdiri berhadapan, dan kali ini jinhyuk betul-betul bisa menelisik wajah sang dokter di hadapannya dengan sebenar-benarnya fakta—senyumnya yang letih.kelopak mata yang merah hanya di ujung-ujungnya saja. kantung tebal di bawah kedua matanya yang tersapu concealer senada warna kulit. caranya menjawab tidak apa-apa, seolah-olah jawaban itu sudah dilatih.

dia tahu betul wajah siapa itu.

itu wajah orang yang menghabiskan setiap malamnya menangis sampai fajar menjelang.

seketika, keluhan ‘aku ini orang yang paling malang sedunia’ yang beberapa saat lalu diheboh-hebohkan jinhyuk jadi terkesan sepele sekali.