demon hifumi x human gentaro (🥂📚);

Malam semakin larut. Ribuan bintang bekerlapan mengisi langit malam, menemani bulan yang kini berbentuk bulat penuh; memamerkan keelokannya.

Shibuya yang selalu ramai akan suara dan acara, kini sunyi. Orang-orang telah tidur terlelap, terbuai dalam mimpi indah.

Begitu pula dengan Yumeno Gentaro.

Usai menekan tombol send pada layar, ia langsung menghempaskan tubuh ke kasur empuk yang begitu menggoda. Badannya yang kaku-kaku beserta matanya yang pegal lantaran menatap layar terlalu lama langsung terasa lebih baik.

Penat yang Gentaro rasakan akibat mengejar deadline semalam suntuk membuatnya terlelap dengan mudah. Lagi, mimpi mengisi tidurnya. Kali ini, ia bermimpi menjadi kru pembajak laut yang tengah dalam perjalanan mencari harta karun. Banyaknya hambatan yang menghadang di tengah perjalanan tidak membuat mereka menyerah. Serangan pembajak laut lain, bagian kapal yang rusak, hingga terdapat kru yang berkhianat. Semuanya dapat teratasi dengan kerja sama yang baik.

Tanpa sadar, bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. Mimpi ini mengingatkannya dengan buku cerita kanak-kanak yang dibacanya semasa kecil dahulu. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.

Hingga waktu menunjukkan pukul satu dini hari.

Mimpinya yang indah terusik akibat kehadiran makhluk yang menyeramkan.

***

Makhluk itu muncul lewat tengah malam, seperti makhluk-makhluk menyeramkan lainnya.

Iblis.

Begitu sebutannya.

Iblis itu sangat tinggi dan kurus. Matanya merah menyala, dengan pupil vertikal—mirip seperti pupil kucing. Gigi-giginya runcing dan panjang. Helaian rambutnya kuning keemasan dengan corak hijau. Ia mengenakan pakaian serba hitam, dipadu dengan jubah yang mencapai mata kaki, termasuk sepatu pantofel yang dikenakannya.

Gentaro terbangun ketika makhluk itu tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar, menyeringai ke arahnya.

“Yumeno Gentaro,” kata makhluk itu. Suaranya begitu rendah dan lantang, sampai Gentaro bisa merasakan vibrasi suaranya di dada.

“Apakah kau mengenalku?” tanya sang iblis sambil berjalan mendekati Gentaro.

Pantofelnya yang bergesekan dengan lantai keramik bergema dalam ruangan, seiring dengan suhu ruangan yang tiba-tiba menurun tajam; dingin menusuk.

Gentaro menoleh ke kiri, mendapati jendela kamarnya yang kini terbuka lebar. Oh, baiklah, mungkin dia lupa menutupnya. Namun, itu tak penting sekarang. Sebab kini, sang iblis telah berdiri di hadapannya dengan sedikit membungkuk untuk menangkup kedua pipinya.

Gentaro enggan mengakui ini. Meskipun makhluk itu tampak menyeramkan, tangannya ternyata cukup lembut. Hal yang paling tidak masuk akal dari eksistensi iblis sendiri yang tidak masuk akal. Perlu dipertanyakan apakah seorang Yumeno Gentaro masih waras atau tidak.

“Apakah kau mengenalku?” ulangnya. Tatapan matanya yang merah menyala seakan mampu menembus jiwa.

Ah, sepertinya Gentaro benar-benar tidak waras.

“Tidak. Memangnya, kau siapa?” tukas Gentaro.

“Kau mengenalku. Kau hanya tidak menyadarinya.”

“Aku tidak pernah melihatmu, tuh,” balasnya cepat. Iris hijau keunguan bersirobok dengan iris merah menyalang. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, hanya kepastian.

“Tentu saja kau mengenalku,” desis sang iblis, “cepat atau lambat, kau akan menyadari identitasku sebenarnya,” tambahnya dengan senyum samar penuh sarat mengembang pada wajah.

“Sampai jumpa.”

Tangkupan pada kedua pipi Gentaro berangsur terlepas, seraya iblis itu berdiri. Ia menatapnya sejenak sebelum menghilang ditelan gelapnya malam.

Iblis, batin Gentaro. Iblis tidaklah nyata. Makhluk-makhluk menyeramkan, baik itu hantu, iblis, vampir, dan sebagainya—tak ada satu pun dari mereka yang sungguhan ada. Sosok-sosok tersebut hanya ada di dalam cerita fiksi. Adalah sugesti semata apabila aku melihat iblis. Mungkin aku lelah.

Setelahnya, Gentaro tertidur lebih pulas dari biasanya.

***

Sang surya mulai beranjak dari peraduan, mengintip sosok penulis dari balik tirai dengan malu-malu.

“Ngh….”

Hangatnya cahaya mentari yang menghantam sepasang kelopak mata serta tubuh membuat kelopak mata berkedut samar. Pada hari-hari biasa, mungkin Gentaro akan mengutuk sinar matahari yang muncul dengan polos serta burung gereja bersahut-sahutan. Ya, itu saat dirinya dikejar-kejar oleh deadline yang senantiasa membuat stres berkepanjangan. Kali ini, senyum merekah pada wajah anggunnya. Senyum kemenangan. Setidaknya untuk beberapa bulan ke depan ia akan terlepas dari “neraka” ini dan dapat bersantai sejenak.

Maka, hal pertama yang dilakukannya adalah meregangkan tubuhnya. Dilanjutkan dengan melakukan sederet gerakan yoga yang dihafalnya. Setelah melakukan rutinitas pagi harinya, Gentaro hendak beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka lantaran pusing tiada tara menyergap kepala.

“U- ugh...” ringisnya. Jalannya sempoyongan. Dirinya pun jatuh terduduk di atas kasur. Sensasi ini mirip seperti sensasi menegak lima botol bir—sesuatu yang pernah Gentaro lakukan tatkala merasakan frustrasi yang amat mendalam—kecuali lebih parah. Kepalanya seperti mau pecah.

Rentetan kejadian kemarin, terutama semalam, berputar berulang kali dalam otak layaknya kaset rusak. Seketika itu juga matanya membulat.

Iblis.

Semalam iblis menyambangi rumahnya.

Tidak, tidak mungkin. Ia pasti hanya bermimpi. Mungkin ia kurang tidur hingga bermimpi yang aneh-aneh. Pasti begitu. Iblis tidak pernah ada dan takkan mungkin menyambangi rumahnya.

—kalau begitu, tangan lembut siapa yang mengelus pipinya? Suara dalam dan serak siapa yang mengisi indera pendengarannya? Semuanya terasa begitu nyata.

“Jangan konyol,” Gentaro menegur dirinya sendiri, “kau terlalu tua untuk berkhayal tentang makhluk fiksi.”

Gentaro bergegas beranjak untuk merapikan sprei kasur hanya untuk menemukan—

—setangkai bunga mawar hitam.

Tergeletak di samping batalnya.

#hifugen