🥂📚 — hifugen children!au (🎃);

Saat usianya tujuh tahun, Gentaro teringat dirinya yang menangis di atas sofa sembari membaca buku di malam Halloween yang seharusnya menyenangkan. Kostum penyihir membalut tubuh mungilnya, dengan topi bertengger di kepala dan jubah yang menjuntai sampai betis. Ia memberengut sebal, membalik halaman buku bergambar tema Halloween di tangannya dengan penuh kebencian.

Seharusnya, malam ini ia akan mengelilingi komplek untuk mengoleksi manisan. Seharusnya, malam ini ia akan memamerkan kostumnya ke semua orang. Seharusnya, ia tak berdiam diri saja di rumah.

Andai saja, flu tidak menyerangnya dengan tiba-tiba tanpa aba-aba. Kedua orang tuanya pun lantas melarangnya dengan keras untuk keluar atau tidak akan dibelikan novel lagi.

Astaga. Payah sekali Gentaro ini tunduk karena ancaman.

Membaca buku memanglah menyenangkan, namun, ia juga ingin merasakan Halloween seperti yang digambarkan di buku-buku.

Apakah benar semenarik itu?

Gentaro mendengus sebal. Ia tidak akan tahu jawaban dari pertanyaannya untuk sekarang. Manik hijau keunguannya memindai interior ruangan tengah rumah. Dindingnya telah dihias wallpaper labu, diberi stiker kelelawar, siluet kastil Eropa, serta bulan purnama yang tampak menyeramkan. Tidak lupa, terdapat pula nuansa mencekam dengan sarang laba-laba yang hadir di pojok kiri seolah rumah berhantu. Gentaro mendengus sebal sekali lagi. Hiasan di rumahnya memang begitu keren, tapi ia ingin keluar!!! Ia ingin bersenang-senang!!!

Ah, betapa malam Halloween yang menyedihkan.

Hingga suara nyaring bel rumahnya berbunyi, membuatnya buru-buru bangun. Seharusnya tidak ada lagi yang bertandang. Ia teringat dengan perkataan sang ibu bahwa anak-anak di komplek telah menyambangi rumahnya. Lalu siapa? Maka, dengan penasaran membuih dari dalam dada, Gentaro buru-buru mengambil toples berisi aneka macam permen lantas meraih kenop pintu—yang masih sedikit tinggi baginya—lalu mendorongnya keluar.

“Hai! Trick-or-treat!”

Manik hijau keunguan mengerjap. Senyum lelaki di hadapannya begitu lebar dan rambutnya yang berwarna kuning mengkilap juga tidak membantu. Ia terang sekali, batinnya. Ia pun memindai kostum yang dikenakannya. Lelaki itu mengenakan kostum werewolf. Bando serigala bagai mahkota menghias kepala, sarung tangan serigala, dan—oh, terdapat ekor juga yang menyembul keluar.

Gentaro kira, kostumnya lah yang paling keren, tetapi kostum lelaki di hadapannya tak kalah keren.

“Omong-omong, aku Izanami Hifumi!” serunya ceria. Senyum di bibirnya begitu mengembang dan sekali lagi Gentaro dapat bersumpah lelaki ini begitu terang.

“Aku Yumeno Gentaro,” balasnya kemudian dengan senyuman. Suaranya terdengar parau akibat menangis. Tangannya pun mengambil sebanyak mungkin permen dari dalam toplesnya, lalu memasukkannya ke dalam kantung lelaki itu.

“E-eh, memangnya gapapa kalau sebanyak ini?” Manik keemasan Hifumi membelalak dengan takjub, menatap toples yang dipegang Gentaro dan kantungnya bolak-balik dengan syok sekaligus bingung. Lagi, Gentaro menaruh segenggam permen ke dalam kantungnya.

“Gapapa kok,” jawabnya, “tapi dengan syarat.”

Senyum Hifumi seketika pudar. Tuh, ‘kan! Pasti ngasih sebanyak ini ada maunya! batinnya.

“Apa itu?”

“Jadilah temanku!”

Kali ini, giliran manik keemasan yang mengerjap bingung. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya senyum sumringah menghias wajah Hifumi.

“Tentu saja!”

.

Malam itu, Hifumi tidak langsung pulang. Mereka berakhir duduk di teras rumah, berbagi kisah, canda dan tawa. Hifumi diajak ke ruang tengah oleh ibu Gentaro karena malam semakin dingin, dan beliau tidak ingin ada anak lain yang terkena flu. Membagi panekuk dengan sirup maple buatan ibu Gentaro. Membagi kue kering yang Hifumi dapatkan hasil keliling komplek hari ini. Mereka juga berjanji untuk menghabiskan Halloween-Halloween selanjutnya bersama.

“Sampai jumpa nanti, Gen-chan!”

Hifumi menggusak kepala Gentaro (topi penyihirnya sudah dilepas, tentunya) dan Gentaro mengangguk dengan semangat.

“Sampai jumpa, Hifu-nii!”

— end.

#hifugen