if i could reach you (lureum)

Lee Yeoreum sayang semua anggota tanpa terkecuali.

Bahkan kepada tiga anggota berkewarganegaraan Cina yang sudah lama tidak dijumpainya pun, rasa sayangnya kepada mereka tidak berkurang sedikit pun. Namun, Yeoreum sadar bahwa ia menaruh perhatian lebih kepada seseorang seiring berjalannya waktu. Ekor matanya acapkali mengikuti Lee Luda ke mana pun ia pergi melangkah, memperhatikannya bahkan ketika mereka tidak berdiri bersebelahan, dan menanyakan kabarnya ketika jarak di antara mereka terbentang begitu lebar sehingga mereka tidak mampu bertemu untuk beberapa waktu.

Mungkin hal itu terjadi karena beberapa alasan.

Mungkin karena mereka bergabung ke dalam agensi dalam waktu yang cukup berdekatan. Mungkin karena mereka berakhir di grup yang sama. Mungkin karena mereka cukup sering dipasangkan dalam pair dance choreography ataupun karena bagian nyanyian dan tarian mereka yang seringkali berurutan. Mungkin juga karena mereka (lagi-lagi) berakhir di grup—tepatnya, subunit—yang sama.

Menurutnya, itu wajar.

Yang tidak wajar adalah jantungnya yang senantiasa berdegup kencang tak karuan tiap berada di dekat Luda, menginginkan perhatian lebih darinya, dan berharap sesuatu akan timbul di antara mereka.

Walaupun demikian, Yeoreum tak mau berharap dengan perasaan yang tak kunjung berbalas ini.

Sebab, ketika gelagat yang lebih tua dua tahun darinya mulai berubah semenjak kian sering bergaul dengan Eunseo, ia tahu. Ketika senyum di bibir Luda terukir lebih mudah saat Eunseo berada di sisinya, ia tahu. Ketika Luda mulai menaruh perasaannya pada Eunseo, ia tahu—bahkan saat empunya belum menyadari perasaannya sendiri.

Yeoreum tahu bahwa peluangnya kecil bahkan mungkin nyaris tidak ada baginya untuk bersemayam di hati Luda. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap memberikan afeksi dan mencintai Luda dengan caranya sendiri.

Maka, ketika Eunseo mengumumkan status hubungannya dengan Bona, Yeoreum dapat merasakan sejumlah perasaan berkecamuk dalam dirinya. Marah, karena Eunseo dengan tidak sopannya mengumumkan bahwa ia kini berpacaran dengan Bona saat ia baru saja mendorong Luda untuk menyatakan perasaannya pada Eunseo. Sedih, karena ia yakin Luda sedang mengalami patah hati pertama sekaligus terbesarnya saat ini. Juga senang, karena mungkin akhirnya ia memiliki kesempatan untuk mengubah status hubungannya dengan Luda.

Tapi dibandingkan itu semua, yang Yeoreum inginkan adalah agar Luda kembali tersenyum dan sesekali melontarkan kalimat pedas seperti sedia kala.

Pagi itu, Yeoreum terbangun lebih pagi dari biasanya. Jam yang terpampang di dinding menunjukkan pukul enam pagi lewat lima menit. Masih terlalu dini untuk memulai aktivitas sehingga niatnya adalah sebatas meminum segelas air dan kembali bergelung nyaman di balik hangatnya selimut. Namun, sosok Luda yang terduduk di meja makan jelas tidak bisa ia hiraukan. Kaget sekaligus khawatir adalah tiga kata yang menggambarkan perasaannya saat ini. Maka, diambilnya mangkuk beserta sendok seraya menarik kursi tepat di hadapan Luda.

“Luda unnie... gapapa?”

Pertanyaan yang sungguh retorik. Dalam hati, Yeoreum merutuki dirinya karena telah melemparkan pertanyaan yang bodoh itu.

Luda memang bukan anggota yang paling ceria seperti Dayoung atau paling bersemangat seperti Eunseo, tetapi Yeoreum sadar bahwa Luda menjadi lebih diam dari biasanya sejak kejadian itu. Bahkan kini, Luda tengah termenung dengan semangkuk sereal di atas meja. Ponsel yang biasanya menjadi pusat atensi saat makan dianggurkan.

“Hmm.” Tatapannya kosong kala menyendok sesuap sereal ke dalam mulutnya. “Gapapa kok.”

“Unnie…”

Hati Yeoreum tercelos mendengarnya. Ia tidak pernah mendengar Luda berbicara dengan nada sedatar itu.

Perasaan bersalah segera menghujamnya bagai ribuan jarum yang menusuk dada. Mungkin akan lebih baik jika Yeoreum diam saja. Mungkin akan lebih baik jika ia tidak membantu Luda mengafirmasi perasaannya. Mungkin akan lebih baik jika Luda tidak mengakui perasaannya sama sekali dan membiarkan perasaan tersebut hilang bagai buih tergerus aliran air. Mungkin juga—

—ah, sudahlah. Membayangkan sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi jika ia melakukan ini ataupun melakukan itu tidak ada gunanya.

Karena yang terpenting bagi Yeoreum adalah berada di sisi Luda; membuatnya bahagia dan merasa nyaman.

“Luda unnie.”

“Ya?”

“Aku akan selalu berada di sisimu, oke?”

Bola mata Luda yang membulat kaget diikuti sudut bibirnya yang tertarik membentuk lengkungan senyuman tipis adalah jawaban Luda pada pagi itu.

Luda dan Yeoreum menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Terkadang, Luda akan mengajaknya mengobrol di kala senggang. Membuka obrolan dengan mengajaknya bertukar pandang tentang berbagai isu terkini hingga membicarakan tentang hal-hal random sekali pun. Di kesempatan lain, Luda akan menyerocos tentang game yang sedang dimainkannya; memberikan segala macam komentar dan mengatakan bahwa Yeoreum harus mencoba game tersebut agar paham apa yang dirasakannya. “Kamu harus nyobain game-nya, Yeoreum! Nggak bakalan nyesel, deh.” Yeoreum ingat Luda berujar demikian dengan berapi-api.

Yang paling membekas dalam ingatan Yeoreum adalah saat Luda berkata “Kuharap kamu bakalan nyobain game-nya beneran. Aku mau main sama kamu soalnya.” dengan suara yang kian memelan seiring tiap bait lolos dari bibirnya seolah malu.

Yeoreum hanya dapat melongo dan mengerjap bingung sementara Luda beranjak pergi meninggalkannya.

Adalah suatu kehormatan Luda mengajaknya untuk bermain game bersama di saat biasanya ia lebih memilih untuk bermain game dengan Bona atau Dawon. Rasanya seperti Luda sengaja mengundangnya masuk ke dalam personal space dengan mengizinkannya bermain game bersama. Bukan berarti Luda tidak suka bermain game bersama anggota-anggota lainnya, tentu saja bukan. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa Luda memang lebih menyukai bermain dengan Bona dan Dawon jika dibandingkan dengan anggota lainnya sehingga Yeoreum dapat merasakan hatinya yang penuh karena suatu kebanggaan tersendiri.

Jika pun indra pendengarnya keliru menangkap ucapan Luda, setidaknya indra penglihatnya tidak mungkin salah melihat rona merah yang menjalar ke kedua pipi hingga cuping telinga Luda.

Dan itu menggemaskan.

Ketika Yeoreum berjalan memasuki kamar Luda, ia segera disambut dengan penampakan Wii U yang telah menyala dan suara intro dari Mario Kart yang telah berputar memenuhi seisi ruangan. Menyadari kehadiran Yeoreum, Luda yang tengah berkutat dengan ponselnya lantas segera mematikan ponselnya kemudian memberi ruang agar Yeoreum dapat duduk di sampingnya.

“Aku kira unnie sukanya main game sejenis FPS?”

“Uh-huh.”

“Terus kenapa kita malahan main Mario Kart?”

Seulas cengiran tampak pada bibir Luda. “Well… Aku rasa FPS bukanlah game yang tepat dimainkan untuk seorang pemula kayak kamu. Lagipula, yang penting kita bisa main bareng. Ya, ‘kan?”

“Bener juga, sih… Aku mana paham kenapa unnie bisa dan suka main game tembak-tembakan gitu.”

Kekehan lolos bersamaan dari bibir mereka.

“Omong-omong, aku seneng kamu menerima ajakanku. Makasih, Yeoreumie.”

“Santai aja, unnie. Kebetulan aku emang lagi lowong kok. Penasaran juga kenapa unnie seneng banget main game, sih?”

“Kurasa kamu akan paham setelah kita main.”

Setelah lima ronde yang kebanyakan berisi keluhan dari Yeoreum, seperti “Kok mobilku jalannya lamban banget dibandingin mobil unnie!?”, “Kok mobilku kebalik melulu!?”, dan lain sebagainya yang seringkali diikuti sorak sorai kemenangan Luda, sang maniak game pun memutuskan untuk menghentikan permainan mereka sejenak.

“Kayaknya kamu harus ganti kendaraannya deh… Coba ganti ke motor aja ya soalnya lebih cepet. Lebih enteng juga. Mungkin kalo pake mobil yang tadi terlalu berat di kamu jadi kamu susah ngendaliinnya,” ujar Luda seraya mengikis jarak di antara mereka. Dengan jarak yang sedekat ini, Yeoreum dapat mencium wangi parfum mint yang menguar dari Luda. Itu membuatnya sedikit malu. Semburat merah spontan mewarnai pipinya dan jantungnya seolah hendak melompat keluar dari rongganya. “Coba ganti ke motor yang ini. Motorlnya lebih ringan, jadi seharusnya kamu bisa lebih ngebut.”

“A-ah, oke,” balas Yeoreum tergagap. “Makasih atas sarannya, unnie.”

Dan benar kata Luda.

Setelah dua kali percobaan menggunakan motor pilihan Luda, Yeoreum akhirnya berhasil mengalahkan Luda untuk pertama kalinya.

“Yay! Aku menang!”

Kekalahannya membuat Luda mengerang frustrasi, namun bibirnya yang mengerucut lucu segera tergantikan dengan senyuman lebar yang begitu tulus.

“Kamu menang juga akhirnya, Yeoreum!”

“Hehe. Semua ini berkat Luda unnie.”

Setelahnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan menonton serial di Netflix sembari mengunyah popcorn.

Kalau boleh jujur, film horor yang tengah ditayangkan biasa saja. Bukan masterpiece, namun bukan pula berkualitas rendahan. Tipikal film horor yang berisikan karakter yang terlampau lugu atau pemberani ketika dihadapkan situasi menegangkan dengan jumpscare yang sesekali turut hadir untuk meningkatkan tensi. Tentunya, hal itu tidak menyurutkan mereka untuk menikmati film tersebut dengan cara mereka masing-masing.

Sesekali, Luda akan mengomentari tiap adegan yang menurutnya menarik dan mengumpat tiap terdapat karakter yang menurutnya bertindak gegabah sehingga berujung… ya, apa lagi kalau bukan kematian.

Berbeda dengan Luda yang tampak seperti hendak melayangkan bogem mentah kepada para karakter di dalam serial horor tersebut–gregetan dengan kelakuan mereka, katanya–Yeoreum justru sesekali tersenyum bahkan tertawa. Ia sangat menikmati sesi menonton bersama ini. Sebab, Luda begitu ekspresif dan itu membuatnya gemas.

(Yeoreum sama sekali bukan penggemar film horor, namun mungkin kini Yeoreum mulai menyukai film horor.)

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Jika bukan karena panggilan dari ibunya yang harus dipenuhinya, Yeoreum jelas akan memilih untuk berlama-lama di kamar Luda. Menghabiskan waktu di kamar pujaan hatinya, menghabiskan waktu bersamanya–bahkan sekadar memerhatikannya melakukan apa pun juga terdengar oke–intinya, menghargai tiap detik yang dilewatkannya bersama dengan Luda. Namun, angan tetaplah akan menjadi angan, sebab Yeoreum diminta tolong oleh ibunya untuk memasak di rumahnya. Lagipula, selalu ada kesempatan lain untuk berkunjung dan melakukan bermacam aktivitas di kamar Luda. Hanya sesekali tinggal di dorm bukan berarti Yeoreum tidak bisa mengunjungi kamar para anggota yang memilih untuk menetap di dorm, salah satunya, yaitu Luda.

“Luda unnie, aku pulang dulu, ya?” ujar Yeoreum di ambang pintu depan. Sorot matanya menyorotkan sedih, tidak rela harus berpisah dengan unnie kesayangannya.

Luda menatapnya heran. “Kok kamu kayak minta izin gitu? Ya santai aja kali, kan aku bukan ibumu.”

Kali ini, giliran Yeoreum yang mengerucutkan bibir sebal. “Unnie, ish...”

Luda terkekeh, dan entah mengapa itu justru membuat Yeoreum berdebar.

(Mungkin tanpa disadarinya, ia sudah jatuh terlalu dalam pada yang lebih tua.)

Hening mengudara untuk beberapa saat. Tidak ada yang saling berbicara, hanya kontak mata yang terjadi di antara mereka seolah ingin mengatakan sesuatu namun urung. Hingga akhirnya Luda memecahkan keheningan dengan satu dehaman pelan dan tatapan dalam penuh makna.

“Makasih, ya,” mulainya.

“Buat?”

“Buat semuanya. Karena udah mau main bareng sama aku, berada di sisiku, dan mengajakku ngobrol di saat duniaku rasanya seperti jungkir balik.”

Tatapan Luda kian mendalam. Di saat yang sama, debaran di dadanya juga kian bergemuruh. Dadanya berdebar penuh antisipatif seiring rasa mual yang turut serta mengocok perutnya.

Entah mengapa–entah keyakinan dari mana–Yeoreum yakin bahwa hubungan mereka setelah detik ini, momen ini, dan apa pun yang terucap pada malam ini tidak lagi akan sama.

(Dan kalau boleh jujur, ia takut.)

(Takut akan kekecewaan yang mungkin akan dihadapinya.

Takut bahwa ia tak sekuat yang dikiranya.)

“Aku sungguh berterima kasih atas semua yang kamu lakukan di saat aku begitu murung belakangan ini, Yeoreum. I appreciate it, I really do.”

“Tapi kalau kamu kira aku akan membalas perasaanmu, aku gatau. Aku gabisa janji apa pun, jadi… kumohon jangan berharap lebih.”

Oh.

Oh.

Jantungnya seolah merosot ke dengkul.

Debaran pada dadanya perlahan memelan seiring pijakan kakinya yang kian melemas.

Rasanya seperti dunia berhenti berputar. Mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan, namun tidak bisa bersama.

“Aku gatau kenapa dan kapan secara pasti kamu bisa menyukaiku. Yang jelas, aku tahu perasaanmu sebab kamu tidak setransparan yang kamu kira. Hebat ya aku bisa engeh sama perasaan orang lain tapi nggak sama perasaanku sendiri? Haha.”

Yeoreum bahkan tidak tahu bahwa dirinya setransparan itu.

Apakah perasaannya setransparan itu hingga bahkan pujaan hatinya dapat menyadari perasaannya? Di saat Luda sendiri tidak mampu menyadari perasaannya terhadap Eunseo?

Apakah tindakannya selama ini begitu kentara?

Apakah… selama ini ia justru membuat Luda tidak nyaman?

“Tapi satu hal yang perlu aku tekankan lagi, aku menghargai semua yang telah kamu lakukan demi aku, Yeoreum. Aku sangat berterima kasih.”

Tiap bait yang lolos dari bibir Luda bagai jarum yang terus menerus menghujam dadanya tanpa henti. Dinginnya malam yang biasanya menenangkan, justru terasa menusuk, menembus pori-porinya hingga bagian terdalam.

Seharusnya, Yeoreum tahu bahwa Lee Luda dan hangat memang bukanlah paduan frasa yang serasi.

Seharusnya, Yeoreum paham bahwa berharap tidak akan membawanya ke mana pun.

Seharusnya, Yeoreum mengerti bahwa membalikkan hati tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dan kini, ia merasakan langsung betapa dinginnya ucapan Luda, meskipun ia menatapnya dengan iba.

“Maaf, ya.”

────────

END.

#lureum #wjsnfics