(0️⃣+1️⃣) rei + ichiro — winter;

[1]

musim dingin adalah musim favorit ichiro. bermain salju, membuat boneka salju, bahkan membiarkan serpihan salju meleleh pada telapak tangannya yang kecil—ichiro menyukainya.

sayangnya, jiro dan saburo tidak bisa selalu menemaninya sebab: 1) mereka masih terlalu kecil; 2) mereka cepat kelelahan; dan 3) mereka mudah kedinginan.

di saat-saat seperti itu, ichiro memilih untuk menyelinap keluar rumah dan menikmati salju dalam kesendirian.

salju begitu indah, pikir ichiro. tiap keping salju memiliki motif yang unik dan berbeda. namun, ia meleleh begitu saja dan menghilang kala bertemu dengan telapak tangannya.

lagi, ia membiarkan kepingan salju menyapa telapak tangannya dan disambut oleh hasil yang sama.

‘mengapa hal-hal yang indah hanya berlangsung untuk sesaat?’

[2]

ternyata daya tahan tubuh ichiro dengan kedua adiknya sama saja. sama-sama payah.

tiga hari berturut-turut bermain tatkala salju turun (padahal tidak terlalu lebat, lho! — keluh ichiro), anak sulung itu pun jatuh sakit.

mungkin, hari itu yamada ichiro akan mati kedinginan apabila ayahnya tidak muncul untuk membopongnya sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang.

(dalam benaknya, ichiro menambahkan alasan menyukai musim dingin. dekapan ayahnya yang begitu hangat merupakan sensasi yang terbaik selepas bercengkerama dengan dinginnya salju.)

[3]

ayah jarang sekali terlihat di rumah. pernah, ichiro bertanya, “ibu, pekerjaan ayah apa, sih?” dan ibunya menjawab, “yang dikerjakan ayah banyak dan rumit, nak. kau tak perlu tahu itu. yang jelas, ayah bekerja keras untuk menafkahi kita berempat.”

ibu menjawabnya dengan senyum selembut kapas. ichiro hanya mengangguk.

apa pun itu, ia percaya bahwa ayah sedang berjuang sekeras mungkin demi keluarga tercintanya ini.

maka, walau merasa waswas, ketika ayahnya tak kunjung pulang, ichiro masih dapat berpikir positif seperti, ‘ah, pekerjaan ayah pasti banyak sekali!’ sehingga terpaksa lembur bahkan menginap di kantornya.

[4]

hari itu, badai salju menerjang ikebukuro. orang yang mengaku sebagai rekan ayah datang ke rumah.

“yamada-san meninggal. sungguh, maafkan kami.”

ibu syok. seketika menangis hebat. aku pun ... hanya berdiri mematung tak mampu berkata apa-apa. jiro ikut menangis.

aku sedih sekaligus kecewa.

sebenarnya apa yang ayah kerjakan hingga beliau rela membuang nyawanya sesantai itu?

“aku benci musim dingin.”

[5]

entah sudah berapa belasan tahun sejak hari ‘itu’, ichiro tidak ingat.

lebih tepatnya, tidak mau ingat.

musim dingin mengingatkannya dengan dekapan ayah yang begitu hangat dan menenangkan, namun juga mengingatkannya bahwa nyawa ayah yang direnggut di tengah musim dingin.

[6]

“ichiro, ternyata kamu sudah besar, ya! umur berapa kamu sekarang? 19?”

kalau begitu, yang berdiri di hadapannya ini siapa? hantu? bayang-bayang ayah yang menghantuinya? hologram? tapi semuanya terasa begitu nyata....

“hei, jangan kacangi ayahmu dong! aku bukan hantu kok.”

tidak, tidak. ayahnya sudah meninggal belasan tahun yang lalu, yang di hadapannya sekarang pasti seorang imposter.

“maaf, ya, aku menghilang bertahun-tahun lamanya. ayah terpaksa, nak.”

“bangsat.”

“hm? ichiro sekarang udah besar nih berani berkata kasar ke ayahnya sendiri?”

“persetan! ayahku sudah mati!”

ichiro membalikkan badan dan berlari. tangis membasahi kedua pipi. sampai mati pun, ia takkan mau mengakui orang yang mengaku sebagai figur ayah itu.

tidak ada ayah yang ‘kabur’ dari rumah dengan alasan terpaksa.

(ichiro membenci musim dingin, namun ichiro membenci amayado rei lebih dari apa pun di dunia ini.)

— end.

#genfic