5 cm per second

“Gue pernah baca dimana gitu kalo kecepatan bunga sakura jatuh dari pohon itu 5 cm per detik.”

“Hah?” Mingi melongo. Dia masih suka kaget kalo Monic (atau Nonik biasa dipanggilnya) itu suka random banget kayak gini.

Monic menyodorkan hapenya. “Tuh. Kecepatan bunga sakura jatuh dari pohonnya itu 5 cm per detik.”

“Lu ngapain dah ngesearch gituan, Nik?”

“Gapapa sih. Biar tau aja dan gue ngasih tau lo biar pengetahuan lo luas, Guy!”

Monic sendiri memiliki panggilan khusus untuk Mingi yaitu Iguy (gabungan dari Igi dan santuy karena Mingi anaknya santuy banget jadinya Monic panggil dia begitu)

Mingi mencibir. “Halah. Emang dasarnya lo kaga jelas aja. Ayo dah cabut nanti keburu malem.”

Mingi membereskan tasnya dan segera berjalan menuju parkiran motor. Monic mengikuti Mingi setelah ia menggendong tasnya. Mereka baru saja selesai les.

Mingi sama Monic ini udah temenan dari zigot karena Ibunya Mingi dan Maminya Monic ini bersahabat sejak SMA. Ini gak bercanda soal mereka temenan dari zigot karena baik Ibunya Mingi sama Maminya Monic ini hamil mereka berdua dalam waktu yang bersamaan. Bedanya Mingi lahir seminggu lebih dulu dari Monic. Terus mereka selalu satu sekolah yang sama sampai mereka kelas 12. Kata Maminya Monic sih biar ada temennya.

“Mampir gak?” Tanya Monic.

“Gak dulu deh. Ini anak basket ngajakin ngumpul di McD deket sekolah.” Jawab Mingi sembari membaca chat di hapenya.

“Oh yaudah. Jangan pulang malem-malem lu. Nanti di cariin Ibu.”

Mingi menyalakan motornya. “Iya. Eh bilangin si Mami, itu tupperware nya kayaknya mau diganti aja sama Ibu soalnya gak tau tuh sama si Kakak dikemanain.”

“Iyaaa. Tiati, Iguy.”

“Dah, Nonik.”

Mingi pun menjalankan motornya meninggalkan rumah Monic. Sampai di McD, Mingi disambut temen-temennya.

“Lu mampir kemana dulu jam segini baru nonggol? Tempat les lo biasa bubaran dari jam 6.” Tanya Hangyul.

“Nganter Nonik beli jajan dulu.”

Mendengar nama Monic disebut, Sunwoo—adik kelas Mingi—langsung nimbrung. “Kak Monic udah punya pacar belom sih, Kak Mingi? Masa iya dah secakep Kak Monic gak punya pacar.”

Raut wajah Mingi jadi berubah saat mendengar pertanyaan Sunwoo. Hal itu membuat Hwiyoung menyikut pelan Sunwoo yang berada disebelahnya. “Banyak nyawa juga lu nanyain Monic ke Mingi. Gak liat tuh hawanya Mingi langsung beda.”

“Monic punyanya Mingi, Nu, kalo lo mau deketin coba lo lawan dulu tuh pawangnya.” Sahut Yunho sembari merangkul Mingi dan membuat semuanya tertawa.

Udah bukan rahasia umum lagi kalo Monic selalu dikait-kaitkan dengan Mingi karena kedekatan mereka. Dan teman-temannya Mingi juga bisa melihat dengan jelas kalo Mingi itu suka sama Monic tapi entah Monic sadar atau gak sama perasaan Mingi tapi yang jelas perasaan Mingi ke Monic sejelas itu sampai si buta warna dan orang bintitan pun bisa melihatnya.

Tapi Mingi gak pernah menyatakan perasaannya karena dia takut. Ia takut merusak jalinan yang sudah ia bangun dengan Monic jadi rusak karena dicampurin dengan perasaan. Sampai akhirnya mereka berpisah untuk pertama kalinya setelah sekian tahun bersama, Mingi tetap diam dan gak menyatakan perasaannya.

Setelah lulus, Monic pindah ke Jatinangor karena dia keterima di Unpad. Mingi sendiri yang membantu dan mengantar Monic pindahan kesana.

“Jangan sedih ya, Guy, gak ada lagi yang bisa lo ajak drive thru malem-malem kalo lo gabut.”

“Ngapain sedih. Jatinangor kaga sejauh Mekkah kali. Masih bisa gue samperin.”

Monic ketawa. Dia memeluk Mingi sebelum dirinya masuk ke dalam kostannya. “Tiati ya. Sering-sering bales chat gue.”

Dan sampai Mingi pulang ke Jakarta, dia masih gak punya keberanian buat bilang apa yang dia rasain selama ini. Kini Mingi jadi takut jarak antara ia dengan Monic bakalan makin jauh. Karena jaraknya dengan Monic kini bukan hanya sekedar sentimeter atau meter. Tapi berpuluh-puluh kilometer.


Di suatu hari saat liburan menjelang semester 3 saat Monic kembali ke Jakarta untuk liburan, Mingi akhirnya bertekad untuk menyatakan perasaannya.

Mingi pun menghampiri Monic ke rumahnya. Monic tentu saja kaget dengan pernyataan Mingi dan membuatnya meminta waktu untuk menjawabnya.

Mingi hampir putus asa karena mendekati tanggal kembalinya Monic ke Jatinangor, gadis itu belum juga memberikan jawaban.

Tapi sehari sebelum Monic berangkat, dia mengirimkan chat ke Mingi. Memintan Mingi untuk menemeninya ke rumah makan padang langganan mereka berdua sewaktu SMA.

Gak pikir panjang, Mingi langsung bergegas menuju rumah Monic. Di rumah makan padang inilah, Mingi mengeliminasi jarak antara dia dengan Monic. 5 sentimeter per detik.

“Rasanya gue mau pamer ke semua sosmed gue deh.” Celetuk Mingi.

“Gih dah sana.”

“Sini dong deketan biar aku bisa pamer akhirnya pacaran sama kamu.”

Monic ketawa tapi tetap mendekatkan dirinya ke Mingi. Hari itu Mingi memposting foto dirinya dengan Monic di Instagramnya dengan caption : Mine ❤️


“Guy, kayaknya kita harus putus. Ternyata aku gak bisa ngejalanin ini dengan kamu jauh gini.”

Mingi langsung zoned out begitu mengangkat telepon dari Monic di suatu hari setelah mereka pacaran LDR setahun. Setelah semua jarak yang Mingi kira sudah ia pangkas.

Dan dua hari setelah telepon dari Monic itu, Mingi implusif nyamperin Monic ke Jatinangor.

“Kita udah gak bisa ya?” Tanya Mingi setelah mereka muter-muter dan berakhir kembali ke kostan Monic. Keduanya masih berada didalam mobil Mingi.

Hening cukup lama sampai akhirnya Monic bersuara, “Maaf.”

Saat itulah Mingi tau kalo semuanya sudah selesai.

Monic segera pamit turun setelah Mingi diam tanpa kata selama 10 menit dan dia gak ngasih kesempatan ke Mingi buat menahannya lebih lama lagi.


“Gue di Nangor nih.” Ujar Mingi saat dirinya keluar dari tol.

”Hah ngapain lo kesini?”

“Main aja. Gue di AGL ya.”

”Yaudah tunggu situ bentar.”

Mingi nyamperin Monic pasca dua bulan putus. Mingi bersyukur Monic gak canggung setelah putus darinya. Dia nyamperin Monic karena dia mau menyelesaikan semuanya. Dia cuma gak mau nyesel karena gak menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan.

“Iguuuuy!!!” Sapa Monic saat dia sampai.

“Nih sini duduk. Gue tadi udah pesenin buat lo.” Mingi menyodorkan piring ke Monic.

“Wih makasih, Iguy!”

“Lo abis kelas?”

“Gak tadi rapat BEM aja sih. Eh Gue sama Yunho satu departemen di BEM lho!”

Tahu-tahu ada suara yang memanggil Mingi. “Lah si Mingi. Ngapain lu disini?”

Mingi dan Monic langsung menengok, seorang cowok yang berperawakan tinggi yang lebih tinggi dari Mingi ini dan berpakaian rapi.

“Weh lo barusan diomongin sama Nonik tau-tau udah nonggol disini.” Mingi bersalaman dengan Yunho.

“Ini gue nganterin bindernya Monic tadi ketinggalan.”

Monic kaget dan mengambil bindernya. “Pasti tadi gue tinggalin gitu aja.”

“Iya makanya gue bawain.”

“Makasih, Yu. Eh sini-sini mesen ayam. Laper kan lo tadi abis rapat.”

Yunho melirik Mingi. “Gak ganggu kan gue?”

“Gak lah. Santai aja…” Monic menimpali dengan santai.

Puluhan menit berikutnya, Mingi menyuap nasi dan ayamnya yang terasa hambar sambil memperhatikan Monic dan Yunho mengobrol, sesekali Monic tertawa, dan rasanya sedih karena Mingi gak ingat Monic pernah tersenyum sebahagia itu ketika bersama dirinya.

Mungkin.

Memang selamanya ia hanya bisa jadi sahabat bagi Monic.

Saat melihat Monic dengan Yunho, ia sadar kalau hidup dan jarak itu lucu. Walaupun manusia terpisahkan jarak satu sentimeter kalo hatinya udah berubah semuanya akan percuma.

Yang berat dari jarak adalah saat hatinya yang berubah. Mingi sadar kalo hati Monic yang jauh dan membuat semuanya berubah.