Bye bye my blue

Why am I jealous of what you have Holding tight onto things I’ll never manage How much better do I want to be I know you’re the same, maybe I’m just being selfish

Lagi-lagi iri menguasai diriku.

Harusnya aku patut senang dengan pencapaiannya. Harusnya aku ikut berbahagia dengan apa yang diraihnya. Tapi karena ketidakpuasanku ini membuatku tidak bisa turut andil akan kebahagiannya. Dan dia yang kini berdiri didepan kami, tau. Kalau aku sedang berusaha menyembunyikan perasaanku dan berpura-pura bahagia dengannya.

Jeong Yunho, lagi-lagi pencapaianmu membuatku iri.


Aku dan Yunho bertemu untuk pertama kalinya saat Desember di tahun keduaku di kantor ini. Aku dan dia berada di tim yang sama dan kubik yang bersebelahan.

Yunho masuk untuk menggantikan Kak Minkyung, penghuni kubik sebelahku itu, berhenti karena harus melahirkan. Padahal Kak Minkyung bisa aja ambil cuti melahirkan tanpa perlu resign. Tapi suaminya—Pak Younghoon—yang merupakan salah satu Bos besar di kantor ini menyuruhnya untuk resign, jadinya Kak Minkyung mau gak mau harus resign.

Singkat cerita dan entah bagaimana ceritanya aku dan Yunho jadi akrab. Mungkin karena kubikel kami yang bersebelah dan kami juga beberapa kali berbagi pekerjaan yang sama, mungkin itulah yang membuat kami jadi dekat. Dan tahap kedekatan kami sudah sampai di titik dimana intensitas kita pergi keluar yang terbilang sering sampai kami sama-sama tau latar belakang satu sama lain dalam waktu sebulan. Orang-orang di kantor juga udah mengira kami pacaran karena kedekatan kami.

Aku tau Yunho merupakan anak sulung dari 2 bersaudara yang kebalikan denganku si bungsu dari 3 bersaudara. Yunho tau soal keluargaku atau lebih tepatnya Papaku yang ngotot ketiga anaknya harus jadi dokter dan aku yang gak mau mengikuti keinginan Papaku itu juga tentangku yang kabur dari Surabaya ke Jakarta. Yunho juga tau segala ambisiku.

“Terus kamu jadinya masuk Akuntansi karena kabur dari keinginan Papa?” Tanyanya waktu itu. Saat itu kita kami sedang berada di salah satu warung sate taichan yang ada di Senayan.

“Iya. Aku gak kamu jadi dokter. Selain takut darah, aku gak mau bertanggung jawab atas nyawa orang. Tugas dokter terlalu berat buatku.”

“Papa ngamuk gak pas kamu kabur ke Jakarta?”

“Jelas. Papa stop ngebiayain hidupku. Untungnya ada beasiswa jadinya aku gak pusingin gimana cara bayar kuliahku. Dan Mama yang bantuin ngasih uang jajan selama aku kuliah. Tujuanku kabur ke Jakara tuh mau bukti ke Papa kalau aku bisa sukses tanpa harus jadi dokter. Aku bisa mandiri tanpa biaya dari Papa.” Jelasku malam itu. Yunho mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan malam itu. Malam itu merupakan salah satu malam yang panjang karena kami menghabiskan waktu dengan saling berbagi cerita. Aku merasakan yang selama ini sudah lama tidak aku rasakan saat berinteraksi dengan Yunho. Aku juga merasa kalau Yunho itu yang butuhkan selama ini. Lalu selang sebulan dari malam itu, aku dan Yunho akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan alias berpacaran.

Setelah kami pacaran, barulah mulai terlihat yang sebelum-sebelumnya aku tau. Termasuk Yunho yang diam-diam termasuk pekerja yang cerdas. Aku memang sudah merasa kalau dia memang pintar cuma dia selalu menutup-nutupinnya karena dia enggan mendapatkan pujian. Karena performa kerjanya yang baik, Yunho bisa sampai berada di posisi yang sama denganku dalam waktu kurun setahun, dia mendapatkan promosi. Dan dalam jangka 2 tahun, ia sudah menjadi Senior Auditor.

Aku yang berambisi besar merasa egoku terusik karena kenaikan jenjang karir Yunho yang cukup pesat. Walaupun saat Yunho menjadi Senior Auditor, aku juga mendapatkan promosi menjadi Audit Supervisor. Tapi egoku terusik kembali setelah setahun kemudian Yunho mengikutiku mendapatkan promosi dan menjadi Audit Supervisor.

Hubungan kami menginjak tahun ketiga saat itu. Jadi baik aku dan Yunho sudah mengenal masing-masing dengan baik. Yunho tau kalau aku iri dengannya saat dia menjadi Senior Auditor dalam waktu yang terbilang cepat. Dia juga tau kalau aku selalu merasa tidak puas dengan pencapaian-pencapaianku.

Saat kami sama-sama menjadi Supervisor Auditor, hubungan kami jadi merenggang. Aku jadi gila dengan pekerjaanku. Di pikiranku adalah aku bisa bekerja sama baiknya dengan Yunho. Tidak, aku bahkan bekerja lebih baik dari Yunho.

Tapi karena kegilaanku dalam bekerja, membuatku tumbang sampai-sampai aku harus di opname. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Yunho semarah itu denganku.

“Kamu harus bedrest seminggu.” Ujarnya sehabis menemui dokter yang merawatku.

Dia baru saja kembali dari Surabaya saat mendengar kabar aku pingsan di kantor dan dilarikan ke rumah sakit. Dia langsung ke rumah sakit begitu sampai di bandara. Karena tidak adanya wali yang mendampingiku, jadilah Yunho yang menjadi waliku.

“Aku gak bisa bedrest lama-lama. Bentar lagi mau peak season. Banyak yang harus aku handle.”

“Kamu ngurus diri sendiri aja gak becus, gimana mau ngurus perusahaan orang?! Udahlah jangan terus-terusan kamu turutin ego dan ambisi kamu yang gak pernah puas itu. Diri kamu lebih penting. Gak usah ngeyel dan bedrest sampe kamu pulih betul.” Ultimatumnya hari itu.

Semenjak masuk rumah sakit, aku jadi tidak bekerja segila sebelumnya. Dan Yunho makin strict. Dan kami berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Sebelum keambisiusanku mengekang.

Akhirnya keirianku makin membuncah saat Yunho di promosikan menjadi Manager. Malam yang harusnya jadi perayaannya menjadi Manager, malah kami isi dengan adu mulut.

Aku yang memancingnya sampai kami bertengkar hebat untuk pertama kalinya. Semua disebabkan aku yang iri dengan pencapaiannya. Iri dengan semua yang diraih. Dan seharusnya itu aku yang berada di posisinya karena aku bekerja lebih dulu disini. Aku dengan segala hasil kerjaku yang seharusnya berada diposisinya sekarang.

“Aku pulang aja deh.” Yunho bangun dari sofa. Memberesi semua barang-barang bawaannya. “Kamu sama aku butuh waktu untuk dinginin kepala kita. Besok aku jemput dan kita omongin lagi kalo udah sama-sama dingin.”

Aku mendekap erat bantal yang ada dipelukanku. “Kamu gak usah jemput aku. Aku gak mau ketemu dulu sama kamu.”

Tangannya yang hendak mengambil kunci mobilnya yang dia gantung tempat kunci terhenti. “Ini kita kenapa sih?” tanyanya. “Aku gak punya kuasa buat mindah-mindahin jabatan! Aku sama kayak kamu juga jadi kacung disana!” marahnya.

“Pernah aku minta buat naik jabatan ke Bos? Enggak! Aku kerja, ngikutin perintah dia. Dia mungkin ngerasa kalo kinerja aku pantes buat dapet ini, ya aku terima aja. Sekarang dimana salahnya?”

Aku diam. Keadaan akan makin buruk. Yunho gak pernah semarah ini dan kami belum pernah bertengkar sehebat ini.

“Sekarang maunya gimana?” Tipikal Yunho. Dia gak akan pergi sebelum semuanya selesai. At least sampai ada kejelasan. “Aku nolak promosi ini?” tanyanya.

“Kamu bakal ngelakuin kalo aku minta?”

“Enggak.” Jawabnya lugas.

“Yaudah kalo gitu kita putus aja.” ucapku.

Raut kaget nampak di wajahnya. “Nggak usah bercanda.”

Aku bangun dari sofa dan berjalan menuju dapur. Aku tau kalau Yunho juga mengikutiku. “Aku serius.”

“Kenapa?” tanyanya. “Karena aku atasan kamu dan kamu gak mau jadi bawahan pacar kamu?”

Aku duduk di kursi bar sembari menuang air ke gelas. “Pacaran bikin aku susah fokus.” elakku. “Aku harus fokus biar gak ketinggalan.”

Dia mendengus. “Nggak ada yang percaya alasan sebodoh itu. Termasuk kamu sendiri.” Lalu dia pergi meninggalkanku dengan kartu akses dan kunci apartemenku diatas meja makan.

Yang aku harapkan dari percakapan tadi adalah Yunho yang kembali dan memohon agar hubungan kita tidak berakhir. Kemudian aku tertawa miris. Sekali lagi aku mengenalnya dengan baik. Yunho tidak akan kembali begitu kata putus terucap diantara kita. Egonya terlalu tinggi untuk mengemis kembali padaku.

Aku duduk terdiam di meja bar. Perlahan air mataku turun. Suara bantingan pintu saat Yunho keluar masih terngiang di telingaku. Rasa sakit dan sesak tiba-tiba menyusup ke dalam dadaku. Aku yang memutuskannya kenapa aku yang harus merasakan ini. Harusnya aku baik-baik saja. Dan perasaan menyesal menyelimutiku.

Although I have a lot, I’m still not quite like you Every day I walk alone, over the painful memories I know it’ll hurt but I can’t help noticing Maybe that’s why I keep longing for you