Terdistraksi

Kehadiran dia bener-bener mendistraksi seluruh atensi gue. Entah karena emang pesonanya atau entahlah. Gue pun bingung menjelaskan aspek dia yang bisa membuat gue ke distraksi.

Gue mencoba kembali fokus tapi sialnya gak bisa sama sekali sejak dia duduk persis di hadapan gue.

Mata gue yang harusnya fokus sama buku bacaan gue, kini malah nakal dan gak berhenti menatap dia. AC perpustakaan naik turun seolah mengejek gue yang kepanasan karena ada dia. Atau lebih tepatnya mengejek gue yang lemah banget karena gak bisa fokus cuma gara-gara dia ada di depan gue.

Dia akhirnya gak sengaja menangkap mata gue yang sedang memandanginya. Alisnya terangkat. Sejurus diapun bertanya, “ada apa?”

“Ah! G-gak ada apa-apa, Kak.” Gugup. Bodoh banget gue kenapa malah gugup cuma karena 2 kata tanya itu.

Dia tersenyum. Tipis tapi amat manis menurut gue karena lesung pipinya muncul.

Halah bucin lo! pikir gue.

“Okey kalo gak ada apa-apa.” Dan dia pun kembali fokus sama laptop yang sedari tadi menyala di hadapannya.

Gih minta nomor telponnya. Mumpung ketemu hari ini! Kata setan di dalam pikiran gue.

Kesempatan gak datang dua kali, woy! Lagi-lagi setan di dalam pikiran gue bersua.

Gue pun menimbang-nimbang. Apakah harus gue minta? Tapi itu bakalan keliatan aneh atau menggangu dia gak sih? Eh tapi dia kan udah kenal sama gue secara kita kan satu himpunan. Pernah satu kepanitian bareng.

Setelah mantap dan memutuskan buat meminta nomor telponnya seperti yang dikatakan setan-setan dipikiran gue, kesempatan kayak gini gak dateng dua kali.

Atau gak sama sekali. Karena pas mau membuka suara, ada seorang perempuan menghampiri dia membuat gue menelan perkataan gue.

“San!”

“Jangan berisik Jiwoo. Ini perpustakaan.”

Dan perempuan itu cengengesan. Lalu dia sadar sama kehadiran gue dan menyapa gue. “Hai, Gian!”

“H-hai Kak Jiwoo.”

Dia—Choi San, kakak tingkat gue—memberesi barang bawaannya dan mengajak Kak Jiwoo pergi.

“Ayo kita ngerjain tugas tapi jangan disini. Di ruang baca aja.”

Kak Jiwoo pun melangkahkan kakinya duluan tapi sebelumnya dia sempat melambaikan tangannya ke gue.

“Ini. Gue tau kamu dari tadi mau minta ini kan?” Secarik kertas kini ada di hadapan gue. Dan isinya adalah deretan angka yang gue tebak itu pasti nomor telpon.

Gue kaget. Dari mana dia bisa tau? Oh dan ada lagi yang membuat gue lebih kaget.

“Gue bisa baca pikiran omong-omong.” Ujarnya lalu meninggalkan gue yang melongo karena baru aja tau fakta tersebut.