crackiss

I write anything that come to my head

readjust | tujuh


Sukuna baru kali ini datang ke acara akhir tahun di tengah kota. Biasanya dia menolak, terutama karena banyak sekali orang yang datang. Namun, kali ini ia mencoba memilih datang. Tentu karena ucapan Yuuji, juga karena ia penasaran dengan acaranya.

Ia mendekati Gojo Satoru yang memakai seragam kantornya. “Ini emang biasanya serame ini ya?”

Ditanya begitu malah dijawab dengan tawa oleh Satoru. “Ini belum rame, Na. Kira-kira baru 1/10 dari yang harusnya dateng.”

Kalau tangan Satoru tidak penuh, pasti ia akan mengeluarkan ponsel dan memotret ekspresi temannya. Benar-benar lucu sekali. Matanya membola dan mulutnya terbuka. “Gila. Ini gue aja udah gerah liatnya. Terus acaranya mulai jam berapa?”

“Kalau gak ngaret mulai jam tujuh. Nanti pawai dulu dari pintu utara terus muterin Monas, baru deh acara musik.” Satoru sambil mengisi formulir di tangannya. “Mahito sama Suguru masih di jalan, lo kalau bosen ke pameran aja. Tuh, di sana. Lumayan sepi di sana.”

Sukuna mengangguk. “Terus lo mau keliling lagi?”

“Iye. Gue tinggal dulu ye? Nanti kalau acara pawai dah mulai gue samperin. Ketemu di sini lagi aja.” Tak lama, Satoru pamit dan Sukuna menggaruk kepalanya. Agak bingung karena melihat orang yang hilir-mudik, mencari lokasi untuk menggelar tiker dan makan di sana-sini. Teriakan anak-anak cukup membuat kepalanya pening. Hah, ia tak percaya jika di masa depan ia memutuskan memiliki anak, sedangkan saat ini mendengar tangisan bocah sudah membuatnya sakit kepala.

Mengikuti saran Satoru, Sukuna melangkah menuju pameran yang lebih sepi dibandingkan tempat lain. Mungkin karena di sini terdapat banyak benda pecah-belah sehingga dibatasi pengunjung. Sukuna mulai masuk, mengamati lukisan dan patung yang ada. Kemudian matanya menatap jajaran vas keramik.

Sukuna tak terlalu paham soal barang seperti ini hingga ia hanya melewati tanpa mengamati. Sampai akhirnya ia berada di pintu keluar. Langkahnya terhenti. Matanya mengedip cepat dan dengan terburu ia langsung berjongkok. Di hadapannya, Itadori Yuuji sedang memeluk diri sendiri.

“Um? Yuuji?” Mata yang membalas tatapannya itu bergetar. Untuk sesaat Sukuna dapat merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Ada lega yang dirasakan saat tangannya berhasil memeluk Yuuji. “Kamu balik.”

“Iya.” Suara yang lemah itu cukup membuat Sukuna ingin bertanya. Namun, tempatnya tak tepat.

Matanya melirik, cukup cemas dengan keadaan Yuuji yang seperti ini. Matanya seakan tak memiliki semangat hidup dan tubuhnya begitu kurus dengan kulit pucat. “Bisa jalan? Atau mau aku gendong?”

“Aku, bisa jalan.” Suaranya terputus, agak kering dan sedikit ketus. Perlahan Yuuji berdiri dan Sukuna tak bisa menahan diri untuk tak mengulurkan tangannya, takut lelaki berambut merah muda di hadapannya limbung. Langkahnya tertatih dan Sukuna merasakan jantungnya seakan bergerak begitu cepat, juga waktu berjalan sangat lambat. Yuuji memilih duduk di balik tempat pameran. Matanya mengitar, mencari tukang penjual minum.

“Yuuji, tunggu di sini ya? Aku beli minum dulu.” Setelah mendapatkan anggukan, Sukuna masih tak yakin untuk meninggalkan Yuuji. Ia melepaskan jaketnya kemudian memakainya pada tubuh Yuuji. “Jangan ke mana-mana. Aku perginya sebentar.”

Sukuna pergi tak lama. Hanya beberapa menit dan kembali dengan dua botol air mineral. “Minum dulu.” Ia menyodorkan botol yang telah ia buka.

“Makasih.” Tangan Yuuji agak gemetar dan Sukuna bisa melihatnya dengan jelas. Ia ingin bertanya, namun sepertinya Yuuji membutuhkan waktu. Jadi, ia memberikan jeda untuk bertanya.

“Bulan kemarin aku sempet check up ke dokter terus katanya paru-paruku ada masalah, tapi bisa sembuh selama rajin berobat dan nerapin hidup sehat. Thanks to you that I can manage my life better now.” Sukuna melirik, mentap Yuuji yang masih menunduk. “Menurutku kehadiran kamu masih aneh dan aku takut ini bagian dari halusinasi, tapi kamu nyata dan ada di sini. Satu-satunya yang bisa aku bilang cuma terima kasih.”

Kali ini, Sukuna menoleh. Tangannya ia ulurkan untuk menyentuh tangan Yuuji. Kelingkingnya meminta izin untuk ditautkan pada milik Yuuji. Dan sebuah senyum tercipta kata dua kelingking tersebut bertaut lembut. “Terima kasih sudah datang ke hidupku dan mengubah kebiasaanku. Dan maaf, aku gak bisa memberi sebanyak yang kamu lakukan.”

Yuuji tahu, ini adalah versi Sukuna yang berbeda. Lalu, kenapa ucapan yang ingin ia dengar selalu diberikan oleh Sukuna di hadapannya? Kenapa semua yang ingin ia dengar, ingin ia lakukan bisa kepada Sukuna ini? Sedangkan Sukunanya tidak.

Yuuji tak tahu. Haruskah ia marah pada dirinya, keadaan, atau permainan takdir yang aeakan menertawai? Mengembalikan dirinya pada masa lalu tanpa bisa mengubah masa depan. Mengembalikan luka yang ia simpan rapat untuk kemudian dihancurkan depan mata. Rasanya seolah ia berkali dipermainkan takdir.

Inginnya untuk kembali dikabulkan dan mungkin memang Yuuji begitu egois atau mungkin memang ia sedang ditertawai oleh takdir.

Ucapkan keinginanmu secara detail, hingga takdir tak salah menentukan akhir.

Harusnya Yuuji ingat, keinginannya adalah mengubah semua. Mengubah bagaimana hidup Sukuna menjadi lebih baik bahkan sebelum bertemu dengannya. Mengubah takdir mereka. Dan mungkin, jika pada masa lalu mereka bertemu di sini, berdasarkan keinginannya apakah mungkin mereka tak akan bertemu? Apakah saat ini, ia akan mengubah takdir mereka? Lalu, bagaimana dengan Jino?

Yuuji takut. Takut pada masa depan yang kini menjadi tak pasti. Takut jika banyak yang ia ubah sehingga apa yang menjadi kenangan indah bersama Sukuna di masa depan hanya akan menjadi mimpi, tanpa pernah datang pada realita.

Rasa takutnya membuat ia kesulitan bernapas. Panik membuat kepalanya terasa pecah. Yuuji tak tahu dan begitu banyak kekhawatiran dalam kepalanya. Sulit untuk ia urai hingga tangan Sukuna menangkup wajahnya. Jemarinya menghapus lembut air mata Yuuji.

“Napas, Ji. Pelan-pelan.” Dan segala risaunya seakan terangkat ketika mendengar suara Sukuna. Ah, segala jika yang ia harapkan untuk terkabul, mungkin akan terjadi di sini.

“Na, found your own Yuuji ya? Kali ini, kalian harus bahagia. Jangan ada rahasia, jangan ada khawatir yang disembunyikan, jangan ada alasan untuk bersembunyi. Jangan ada salah paham.” Yuuji menyentuh tangan Sukuna, mengusapnya pelan. “Kekhawatiran, ketakutan, cemburu, segala yang kamu rasain untuk Yuuji kamu, harus kamu ungkapin. Karena kalau enggak, gak akan ada yang tahu dan akhirnya malah melukai meski niat kamu melindungi.”

Perlahan, Yuuji berdiri. “Mari kita bahagia. Kamu, aku, dan masa depan yang gak kita ketahui.” Sebab tak seharusnya Yuuji takut pada masa depan. Segala risaunya tak perlu ia pikirkan lagi. Segalanya akan jelas pada waktunya.

Sebab saat ini, mereka akan menorehkan kisah baru. Yuuji mulai merasakan tangannya yang menghilang. Riuh orang makin terdengar. Lampu dinyalakan, musik mulai dimainkan.

Malam yang panjang segera dimulai.

Dan Yuuji, tak lagi memiliki penyesalan.

Tangannya mendorong punggung Sukuna, memberikan dukungan terakhir. “Kali ini, jangan pernah ada jika yang akan kalian harapkan oke?”

Sukuna mengangguk. Entah kenapa ia merasa aneh. Terutama ketika perlahan melihat Yuuji yang melambaikan tangan. Matanya pasti bermasalah karena satu detik sebelum Yuuji menghilang, ia melihat pantulan dirinya memeluk Yuuji dari belakang. Atau mungkin, itu bukan halusinasi.

Ia masih termnung di tempat. Masih memikirkan ucapan Yuuji sampai ia mendengar teriakan seseorang. Suara yang tak asing dan sosok yang tak asing.

Itadori Yuuji yang lebih muda berada lima meter darinya. Dan Sukuna tak pernah merasakan jantungnya berdebar sekencang ini. Ia menahan senyumnya untuk naik sambil melangkah.

“Sakit ya abis jatuh dari langit?”

Sukuna tahu, ini bukan seperti dirinya. Dan ia juga menyadari, ini pertemuan mereka berbeda dari cerita Yuuji. Jadi, tak masalahkan untuk melakukan hal yang berbeda? Sebab saat ini, ia melakukan sesuai kata hatinya. Sesuai inginnya.

Tanpa penyesalan.


readjust | enam


Sabtu terakhir ketika Itadori Yuuji dapat melihat suaminya.

“Keluarga Sukuna Ryomen?” Panggilan itu membuat kepala berambut merah muda terangkat. Dalam pelukannya, Jino menatapnya, membuat ia mau tak mau harus tersenyum. Langkahnya agak goyang kala mendekat ke meja resepsionis. “Ini surat kematian dari kami, nanti tinggal kasih ke RT untuk diurus ya. Lalu, untuk saat ini kami belum bisa menyediakan ambulans. Jadi, mohon untuk menyewa sendiri.”

Yuuji sekali lagi hanya mengangguk. “Tanda tangan di sini, lalu untuk pembayaran bisa dilakukan setelah menyelesaikan biaya perawatan di konter depan.”

Tangannya memberikan kartu keluarga dan ktp sebelum kembali melangkah untuk menyelesaikan biaya perawatan. Yuuji sudah pernah melalui ini, jadi kurang lebih ia sudah tahu alurnya. Ia hanya belum terbiasa dengan kosong yang diberikan saat mendapat telfon dari Choso.

Bukan namanya yang menjadi wali pasien, tetapi Choso. Bukan ia yang pertama kali tahu suaminya dirawat, tetapi kakaknya. Dan bukan juga Yuuji yang menemani, sebab selama ini Sukuna bersembunyi dalam kebohongan.

Katanya, ia akan sibuk untuk tugas di luar kota sehingga sulit dihubungi, nyatanya berada di bawah perawatan intensif. Katanya, ia tak bisa terus mengabai, sinyal jelek alasannya, padahal ia memang tak bisa berbicara sebab tenggorokannya harus disambung alat bantu pernapasan. Katanya, tiga bulan di luar kota, nyatanya di rumah sakit.

Dan Yuuji, dibiarkan tanpa mengetahui apapun. Dan Yuuji, ditinggal bersama segala prasangka yang kini ia sesali.

Sukuna, selalu tahu cara untuk membuat Yuuji sesak.

Kalau bukan karena Jino di dalam gendongannya, mungkin sejak tadi Yuuji sudah limbung. Ia masih menggunakan piama, kakinya dibalut sandal yang berbeda, sementara Jino kini menggunakan hoodie milik Yuuji. Ia bahkan tak ingat bagaimana caranya tiba di rumah sakit. Beberapa menit lalu, ia berdiri di depan tubuh tak bernyawa suaminya, disertai pertanyaan, “Paahh, kok Ayah tidur di sini?”

Dan Yuuji hanya bisa mengusap pipi putranya, “Ayah kecapekan, jadi gak bisa pulang.”

“Sampai kapan?” Dan pertanyaan Jino tak bisa Yuuji jawab. Selama ini, ia melewati kehilangan sendirian, tanpa ada pertanyaan seperti itu. Otaknya berkabut, tak bisa menjawab juga menjelaskan konsep meninggal pada putranya. Sehingga yang Yuuji lakukan hanya mengusap puncak kepala Jino dan memilih menyelesaikan urusan administrasi, berlari dari Sukuna yang tak akan bisa menahannya lagi.

“Ji?” Panggilan itu menyadarkan Yuuji dari pikirannya. Ia mendongak, mendapati Megumi dengan napas terengah.

Dengan senyum lirih, Yuuji mengangkat tangannya. “Hai. Sini duduk. Sukuna lagi dimandiin dulu. Terus administrasi udah selesai sekarang aku lagi nunggu buat ambulans datang. Untung banget tadi Mbak Shoko nelfon dan bilang ada ambulans yang bisa dipake.”

Megumi ikut duduk. Ia diam, tak mengatakan apapun dan hanya mendengarkan. “Sukuna sakit. Nama penyakitnya bahkan belum sempat aku ingat karena terlalu sulit. Yang jelas kanker, stadium akhir. Kata Dokter, Sukuna bertahan sampai titik ini aja udah keajaiban. Aku bahkan gak bisa mengatakan terima kasih atau ikut bersyukur sebab aku gak tau sesakit apa dia selama ini.” Yuuji menatap kosong meja resepsionis di depannya.

Ada beberapa orang yang sedang menunggu dan perawat yang hilir-mudik. “Aku cuma tanda tangan sana-sini karena ternyata Sukuna udah nyelesaiin seluruh biayanya.” Yuuji tak tahu apa yang sedang ia katakan. Ia hanya menceritakan semua yang baru ia lewati. “Aku gak bilang aku terbiasa dengan kehilangan, tapi saat ini aku gak tau apakah aku layak merasakan sedih ini. Atau sekedar berkabung seperti seharusnya. Aku ... gak tau.”

Yuuji tak paham kenapa Megumi langsung memeluknya erat. Yang pasti ia hanya bisa menggenggam tangan Jino yang tertidur dalam pelukannya. Yuuji tak merasa ia menangis, anehnya pipinya basah. Ia bahkan tak tahu harus merasakan apa, namun tubuhnya memberikan respon kehilangan. Sementara hatinya terasa kosong.

Kata kehilangan baru Yuuji rasakan ketika ia ingin tidur. Jino tak ada dengannya. Putranya tidur dengan Choso—yang mungkin paham jika adiknya butuh waktu sendiri. Yuuji tak pernah merasakan kasurnya terasa begitu besar, selama ini rasanya malah kecil. Terutama ketika ia, Sukuna, dan Jino tidur bersama. Bahkan sering kali Sukuna mengeluh sempit.

Ucapan belasungkawa yang datang bergantian membuatnya menyalakan mode pesawat. Yuuji tak ingin diganggu dengan segala notifikasi yang tak ia tahu harus jawab bagaimana. Ini bukan kehilangan pertama bagi Yuuji, namun perasaan kosong ini jelas yang pertama.

Tangannya membuka galeri ponsel suaminya. Isinya hanya foto Yuuji dan Jino. Sukuna tak terlalu suka berfoto, ini yang sering kali Yuuji keluhkan saat mereka pergi liburan. Setelahnya, ia membuka aplikasi pesan, membuka namanya membaca ulang pesan yang dikirim.

Pengingat untuk Yuuji makan, meminta foto terbaru Jino, dan yang terakhir saat Sukuna bilang ia rindu rumah. Pesan terakhir yang Yuuji balas foto dirinya dan Jino.

Air matanya mulai turun lagi. Baru semalam dan Yuuji takut melupakan wajah Sukuna. Terakhir kali ia melihat di dalam peti. Tubuh suaminya luar biasa kurus hingga membuat Yuuji kini sesak sendiri. Wajah pucak, jejak jarum, juga perban yang menutupi tenggorokan. Tubuhnya menjadi saksi betapa Sukuna berusaha untuk hidup. Sendirian.

Yuuji kira dengan ia menyeka air matanya, rasa kehilangan akan ikut terhapus. Ia kira rasa sesaknya tak akan tinggal. Namun, kenyataannya malah berbalik. Tangisnya makin kencang, air matanya makin mengalir, dan oksigen terasa makin sulit ia hirup.

Hingga Choso masuk ke kamarnya dan tangisan Yuuji tak juga berhenti sampai kesadarannya menghilang.

Yuuji selalu berharap ketika terbangun, ia berada di salah satu scene film di mana pemerannya akan bertemu orang yang meninggalkan mereka. Kalau hidupnya adalah bagian dari film, mungkin ia akan menemui Sukuna dalam mimpinya. Namun, bahkan ketika kesadaran itu terenggut, tak ada Sukuna di dalamnya.

Sukuna seakan sengaja untuk tak pernah datang selepas kepergiannya. Tak sekalipun Sukuna pernah datang. Hingga Yuuji menyalahkan diri sendiri. Hingga Yuuji menganggap Sukuna membencinya. Meski kenyataannya tidak dan Yuuji yang paling tahu perihal itu.

Sukuna pergi, meninggalkan Yuuji bersama rasa bersalah, kekosongan, juga penyesalan. Tanpa sempat ia mengatakan selamat tinggal atau menemani ketika sendirian.

Dan yang paling melukai adalah kenyataan bahwa Sukunanya pergi dalam sunyi, di bawah gelap kesepian.


readjust | lima


Baru kali ini Sukuna merasa gugup untuk memasuki rumahnya sendiri. Lelaki itu sudah tiba sejak beberapa menit lalu, namun masih berdiri di depan pintu. Tangannya mencengkram tasnya erat ketika akhirnya menekan tombol di pintu. Suara pintu terbuka seakan menjadi sapaan maut untuknya.

Malaikat mautnya muncul tak lama setelah ia melepas sepatu. Wajahnya terlihat lebih lelah dari pertama Sukuna bertemu. “Hai! Aku masih masak, jadi kamu bisa mandi dulu aja.”

Agak menyeramkan bagaimana Yuuji terlihat begitu nyaman di rumahnya dengan celemek yang tak Sukuna ingat ia miliki. Yuuji bersikap santai, seakan ia memang sudah terbiasa di tempat ini. Seakan tak pernah pergi.

Sukuna melangkah dengan penuh pertanyaan. Ia tak melanjutkan langkahnya ke kamar, namun duduk di meja makan. Punggung Yuuji terlihat lebih kecil dari sebelumnya. Seakan waktu perpisahan mereka telah memakan setengah berat badan lelaki di hadapannya. “Omong-omong, berapa umurmu?”

Yuuji menoleh dengan spatula di tangan. “Lima tahun lebih tua dari kamu.”

“Masih seperti bocah.” Sukuna mengagum tanpa bisa Yuuji dengar. Ia berdeham, kembali menatap Yuuji yang sibuk memindahkan makanan ke piring. Sukuna cukup tahu diri untuk membantu Yuuji. keduanya berdiri, bersisian. “Lalu, kapan pertama kali kita bertemu?”

Mata Yuuji terlihat bersinar, begitu lembut menatap ke piring. “Acara akhir tahun di ibu kota. Aku gak akan kasih tau yang mana, karena kamu sendiri yang harus cari tau.” Ada senyum jail yang diciptakan oleh Yuuji.

“Siapa yang jatuh cinta duluan?” Sukuna membawa piring keduanya sementara Yuuji membawa gelas. “Pasti kamu ya?”

“Engga tuh.” Dengan cepat Yuuji menjawab. Bibirnya menekuk, “itu kamu. Di awal kamu bukan tipeku, jadi tentu aja kamu duluan yang jatuh cinta.”

Sukuna tertawa melihat bagaimana Yuuji menolaknya seperti ini. Sejujurnya, tanpa perlu ditanya ia tahu jawabannya. Tentu saja Sukuna akan jatuh cinta lebih dulu. “Terus gimana caranya saya bisa bikin kamu takluk? Sampai menikah lagi?”

Yuuji mulai memotong tuna di atas piringnya. Matanya kembali mengawan, “kamu hanya berusaha begitu keras hingga aku menyadari usaha tersebut.” Kali ini ia menatap Sukuna lurus. “Kamu gak menggebu, kamu hanya tau langkah yang harus dilakukan. Kamu gak memaksa, kamu mendekat secara perlahan. Kamu gak hanya mendekatiku, tapi juga keluargaku. Kamu sama Kak Choso bahkan lebih dekat dibandingkan sama aku. Kalian lebih sering bareng karena urusan bisnis, juga hobi mancing.”

Sukuna menaruh alat makannya. Nama Choso terdengar tak asing. “Choso? Alumni JJH juga?”

Yuuji mengangguk kecil. “Iya. Tapi kalian baru dekat pas kamu ngapel ke rumah.”

Sukuna mengangguk. Tentu saja karena sejujurnya mereka adalah saingan sejak SMA. Sejak awal entah kenapa tak saling suka. Sekarang Sukuna jadi penasaran, bagaimana mereka bisa dekat?

“Terus, apakah saya jadi suami yang baik untuk kamu?” Sukuna bisa melihat bagaimana Yuuji berhenti memotong tuna dan matanya yang bergetar penuh penyesalan. Sukuna bahkan baru sadar jika mata Yuuji merah dan lebih bengkak dari sebelumnya. Jelas itu jejak tangisan yang disembunyikan.

“Kamu adalah ayah yang baik dan suami yang penuh rahasia. Tentu kamu baik. Memberikan semua yang aku butuhkan untuk bertahan hidup dan menutupi semua yang bisa melukaiku, sampai akhirnya kita malah saling melukai.” Yuuji tak melanjutkan, ia memilih menghabiskan makan malam dan Sukuna membiarkan. Keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing hingga berakhir duduk di sofa, bersisian dengan air hangat di tangan masing-masing.

Sukuna yakin Yuuji akan melanjutkan ceritanya, sehingga ia menunggu. “Kamu yang tahu aku membenci rumah sakit memilih menyembunyikan penyakit kamu dengan membawa Jino ke rumah kita. Kata kamu, Jino adalah seorang anak yang ditinggalkan di rumah sakit. Dan aku menyambutnya dengan senang hati. Jino begitu kecil dan membuatku ingin melindungi.”

Yuuji ingat hari di mana Jino datang ke rumah mereka. Tanpa curiga mendengar kata rumah sakit, ia membiarkan Sukuna menjadikan tempat itu alasan. Tanpa ia sadari, itu adalah hari di mana Sukuna divonis hanya memiliki sisa hidup lima tahun lagi.

“Aku dan kamu menyayangi Jino. Dan kamu perlahan berubah. Makin tertutup. Makin gak memperhatikan diri sendiri dan hanya fokus kerja. Bahkan di hari libur. Buat kamu semua harus selesai lebih cepat. Alasanmu selalu agar aku dan Jino bisa hidup lebih nyaman.” Yuuji menarik kakinya, memeluk untuk dijadikan sandaran dagunya. “Dan kamu benar, setelah kepergian kamu, aku dan Jino hidup dengan sangat nyaman. Uang asuransi, lalu banyaknya investasi yang gak aku tau, juga tabungan pendidikan Jino yang udah kamu persiapkan dengan matang. Seakan, tidak. Nyatanya kamu mempersiapkan semuanya untuk kami.”

“Aku kira aku membencimu?” Sukuna agak tak paham dengan situasi ini.

Yuuji memiringkan kepalanya, ada senyum simpul juga setetes air mata yang menghiasi wajahnya. “Karena kamu bersikap demikian. Seakan menghindariku dan gak mau menjelaskan hingga banyak salah paham. Kamu pergi, meninggalkan kenyamanan dalam pusaran kesalahpahaman. Dan aku, berulang kali hanya bisa menyalahkan.”

Yuuji tak melanjutkan ucapannya. Keduanya saling diam untuk beberapa saat. Sedikit banyak, Sukuna bisa paham situasinya. Mungkin dirinya di masa depan begitu takut meninggalkan hingga akhirnya berusaha melakukan yang terbaik. Ada pengorbanan yang harus dilakukan ketika sisa hidupnya hanya hitungan jari. “Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri. Bukan salah kamu aku memilih fokus pada pekerjaan. Sepenuhnya itu adalah keputusanku. Aku hanya fokus pada masa depan yang tanpa aku. Jadi, jangan menyalahkan diri sendiri. Karena itu seharusnya tak perlu kamu lakukan. Aku yakin dia gak benci sama kamu. Seperti kata kamu, hanya merahasiakan agar kamu gak terluka meski nyatanya malah sebaliknya. Aku harap setelah ini kamu akan memaafkan diri sendiri dan hidup lebih baik lagi. Jangan hanya fokus pada hal yang sudah ditinggalkan. Kamu minta aku hidup lebih sehat 'kan? Mari lakukan bersama.”

Sukuna tersenyum lembut. Ia berdiri sambil membawa cangkir yang telah kosong. “Katanya kalau minum susu hangat jadi mudah tidur. Gimana kalau—” ucapannya terhenti bersama sosok Yuuji yang sudah menghilang. Tanpa jejak. Tanpa pamit.

Sekali lagi, ia ditinggalkan. Sukuna, takut. Jika ia terlalu terbiasa dengan segala keadaan ini. Lalu, sampai kapan mereka akan seperti ini?

Ia menaruh kedua cangkir di atas wastafel kemudian membuka lemari es. Di dalamnya sudah ada banyak kontainer makanan dengan banyak kertas di atasnya. Itu, untuk sarapan dan makan siang. Hanya tinggal dipanaskan katanya.

Hah, mungkin setelah ini Sukuna harus belajar memasak. Ia tak bisa mengandalkan seseorang yang bisa pergi tanpa suara..

Lemari es ia tutup, bersama perasaan yang makin kalut.


readjust | empat


Sukuna menatap ponselnya yang ramai dengan pemberitahuan. Banyak pesan masuk, namun bukan dari Itadori Yuuji. Ia melirik ke arah jam dinding di tengah ruangan, membuat beberapa staf menatap gugup penuh pertimbangan. Mereka saling melirik, menilai situasi ketika si bos hilang fokus. Jelas sekali hanya raganya di dalam ruangan. Pikirannya berkelana entah ke mana.

Jogo, sekretaris sekaligus tangan kanan Sukuna akhirnya mendekat. “Pak, presentasinya ada yang salah?” Pertanyaan ditunjukkan penuh kehati-hatian, takut menyinggung hati yang sudah runyam. “Perlu di—”

Ding!

Kalau itu adalah ponsel staf, sudah pasti akan mendapat tatapan sinis tanpa akhir juga sindiran sampai entah kapan. Namun yang berdenting adalah ponsel atas mereka.

Sukuna melirik jam di dinding, pukul sepuluh tepat dan nama Yuuji ada di sana.


Yuuji rasa saat ini sedang dipermainkan oleh Dewa. Harapannya hanya bisa menemani Jino, namun tak didengar. Yuuji hanya memejamkan matanya sekejap dan kini ia sudah kembali ke apartemen Sukuna. Sofa berwarna khaki yang ia duduki terasa dingin. Sama seperti tangannya.

Matanya terpejam sambil menggenggam ponsel di tangan. Tunggu, ponsel? Dua kelopak matanya menutup dan membuka dengan cepat. Di tangannya kembali ia pegang ponsel pemberian Sukuna.

Yuuji benar-benar kembali di saat ia tak menginginkannya. Di saat hatinya penuh bimbang dan tujuannya mengabur. Saat ini ia tak bisa berpikir jernih. Segalanya tumpang-tindih, tanpa tahu mana yang seharusnya ia selesai lebih dulu.

Khawatir tak mau pergi dari kepalanya. Berada di masa lalu selama beberapa jam harus dibayar dengan tidur selama beberapa jam. Saat ini tubuhnya di masa depan mungkin akan tertidur. Akan buruk jika Choso atau Megumi mengetahui hal ini. Mereka mungkin akan menganggap ia kelelahan. Satu yang Yuuji takutkan adalah terbangun ketika Jino sudah sadar. Ia tak mau anaknya khawatir berkepanjangan.

Yuuji ingin segera kembali, namun ia tak bisa sebelum menyelesaikan urusannya di sini. Masalahnya, Yuuji tak tahu, urusan yang mana yang harus ia selesaikan?

Hari pertama ia kembali adalah untuk membuat Sukuna makan lebih sehat. Hari kedua ia kembali untuk membuat tempat tinggal Sukuna lebih layak dan bersih. Lalu hari ini, apa yang harus ia lakukan?

Ponsel kecil di tangannya berdenting, menyadarkannya dari gusar. Sebuah pemberitahuan masuk. Pesan dari Sukuna, pertanyaan akan kapan Yuuji kembali. Juga permintaan maaf dari lelaki itu.

Yuuji tak bisa menahan dirinya. Bibirnya ia gigit, kencang hingga kebas besi dapat ia rasakan.

Yuuji tak menangis.

Di hari Sukuna meninggalkan.

Juga ketika kemarin lalu Jino sakit.

Ia menahan diri.

Sehingga rasanya begitu lucu ketika ia menangis hanya melalui sebuah permintaan maaf. Rasanya seakan kondisinya menjadi lelucon bagi semesta. Bagaimana ia memohon agar Sukuna di masa depan kembali dan bagaimana Sukuna di masa ini memintanya kembali. Pun ketika ia meminta maaf atas egoisnya yang kemudian dikembalikan oleh Sukuna saat ini.

Keduanya melakukan hal yang sama. Pada subjek yang mungkin hanya menjadi persimpangan. Bukan tujuan, juga bukan pemberhentian.

Pertemuan mereka saat ini, tak akan memiliki akhir yang mereka inginkan. Yuuji membenamkan wajahnya, pada tumpuan lutut. Tangisannya mengisi ruangan yang baru kali ini Yuuji rasakan begitu besar.

Yuuji ingin marah. Pada segala kondisi juga kuasa yang mempermainkannya.

Dan kemudian ingatannya, kembali membawanya, pada hari Sukuna pergi, juga harapan yang membawanya kembali.


readjust | tiga


Baru sekarang Yuuji merasa tak berdaya. Ketika tubuh kecil Jino terasa lebih hangat dibandingkan biasanya, ketika tangis anaknya lebih tercekat dibandingkan biasanya, juga ketika kepalanya kosong. Awalnya ia kira Jino hanya terbangun karena mimpi buruk, nyatanya tubuh putranya begitu hangat dan perlahan makin panas. Panik datang ketika Choso tak bisa dihubungi. Sebelumnya, ada Sukuna. Ada ia yang tenang dan menenangkan. Ada Sukuna yang bisa berpikir lebih cepat ketika panik datang ke Yuuji.

Sekarang, ketika ia hanya sendiri Yuuji bena—benar merasa tak berdaya. Ia terlalu terbiasa dengan keberadaan Sukuna. Terlalu terbiasa untuk ditemani. Terlalu terbiasa hingga ia terlena.

Jino jarang sakit. Dan ini pertama kalinya Jino sakit, tanpa Sukuna yang menemani. Dulu, ketika Jino sakit, Sukuna yang akan membawa putra mereka ke rumah sakit. Sukuna yang akan menunggu sebab Yuuji tak sanggup melihat putra mereka berada di ruang putih dengan jarum yang menusuk tangan.

Yuuji terlalu takut. Pada sakit yang dialami putranya juga bagaimana Jino akan diobati. Sebab perlu berkali untuk jarum bisa menembus kulitnya. Jino mereka selalu kesulitan untuk diinfus. Bahkan untuk suntik vaksin, dokter kesulitan untuk mencari titik yang pas. Hingga ketika Yuuji pertama menemani Jino untuk divaksin yang ia lakukan adalah memarahi dokter dan menghentikan prosesnya. Ia menangis lebih kencang setelah melihat lebam kecil bekas jarum suntik yang gagal menembus kulit.

Hingga setelahnya, Sukuna yang membawa Jino untuk pengecekan rutin tiap bulan. Sebab Sukuna paham bahwa Yuuji begitu sensitif ketika berada di rumah sakit. Tak bisa disalahkan jika mengingat ia kehilangan orang terkasih di rumah sakit. Terakhir kali ia ke rumah sakit ketika mengurus kakeknya dan beberapa waktu lalu harus mengurus suaminya.

Yuuji mengusap wajahnya. Tangannya masih gemetar. Takut dan dingin di punggung masih ia rasakan meski dokter sudah keluar dan mengatakan semua baik-baik saja. Jino hanya kelelahan dan stres. Tak terlalu parah, hanya menunggu infus habis dan ia bisa membawa Jino pulang.

Akan tetapi, melihat bagaimana Jino terlelap sendirian di atas kasur putih tak membuat Yuuji tenang. Ada takut yang terus berdatangan, tak kenal jeda bersama bisikan. Rumah sakit tak pernah memberikan kenangan manis dalam hidup Yuuji. Dan belum kering luka yang diberikan, sekarang ia harus kembali ke tempat yang sama. Berulang bibir bawahnya ia gigit hingga rasa besi dapat ia rasakan. Hingga sebuah sapu tangan menyeka bibirnya. Saking berantakan isi kepalanya, ia sampai tak menyadari Megumi ada di hadapannya. Sahabatnya berlutut sambil menyeka darah di bibirnya. “Jangan sakit. Kalau lo sakit juga, Jino nanti sama siapa?”

Matanya bergetar, meski tak ada air mata yang turun. Takutnya lewat sebentar. Kali ini lebih tenang. “Makasih, Gum.”

Yuuji benar-benar bersyukur ada Megumi yang datang. Bahkan meski itu adalah untuk alasan memberikan oleh-oleh. Nyatanya, Yuuji benar-benar terbantu, dengan segala kebetulan yang ada.

Dan Megumi paham hingga ia mengangguk. Pria berambut hitam itu berdiri kemudian memberikan sebotol air pada Yuuji. “Minum dulu. Gue mau ngurus administrasi. Jangan gigitin bibir lo tapi telfon Bang Choso. Gue gak sempet nelfon karena batere gue abis.”

Yuuji mengiyakan dalam diamnya. Usapan lembut di puncak kepalanya membuat ia terdiam untuk beberapa saat. Matanya menatap kamar di hadapannya, tempat Jino beristirahat. Dan gambaran Sukuna terbaring di kasur tersebut terulang dalam ingatannya. Berulang ia mengatakan hasilnya akan berbeda sebab Jino hanya demam biasa. Jino sudah ditangani oleh dokter dan kini akan baik-baik saja.

Semua akan baik-baik saja, ia mencoba meyakini diri sendiri.

Itadori Yuuji tak pernah sebenci ini pada sebuah tempat. Pada sepotong ingatan. Dan ia tak pernah lebih membenci keajaiban yang tak mengenal waktu untuk ia sekedar bersedih.

Sebab ketika ia membuka mata, Sukuna ada di hadapannya. Sukuna sepuluh tahun lalu dengan aroma alkohol yang kuat—bercampur tembakau juga parfum entah berapa banyak penggoda. Yuuji menoleh, menatap jam dinding. Pukul enam pagi.

Dan Yuuji membenci kenyataan bahwa ia bahkan tak bisa memilih berada di dekat orang yang ja kasihi. Ketika mereka membutuhkan.


readjust | tiga


Baru sekarang Yuuji merasa tak berdaya. Ketika tubuh kecil Jino terasa lebih hangat dibandingkan biasanya, ketika tangis anaknya lebih tercekat dibandingkan biasanya, juga ketika kepalanya kosong. Sebelumnya, ada Sukuna. Ada ia yang tenang dan menenangkan. Ada Sukuna yang bisa berpikir lebih cepat ketika panik datang ke Yuuji.

Sekarang, ketika ia hanya sendiri Yuuji benar-benar merasa tak berdaya. Ia terlalu terbiasa dengan keberadaan Sukuna. Terlalu terbiasa untuk ditemani. Terlalu terbiasa hingga ia terlena.

Jino jarang sakit. Dan ini pertama kalinya Jino sakit, tanpa Sukuna yang menemani. Dulu, ketika Jino sakit, Sukuna yang akan membawa putra mereka ke rumah sakit. Sukuna yang akan menunggu sebab Yuuji tak sanggup melihat putra mereka berada di ruang putih dengan jarum yang menusuk tangan.

Yuuji terlalu takut. Pada sakit yang dialami putranya juga bagaimana Jino akan diobati. Sebab perlu berkali untuk jarum bisa menembus kulitnya. Jino mereka selalu kesulitan untuk diinfus. Bahkan untuk suntik vaksin, dokter kesulitan untuk mencari titik yang pas. Hingga ketika Yuuji pertama menemani Jino untuk divaksin yang ia lakukan adalah memarahi dokter dan menghentikan prosesnya. Ia menangis lebih kencang setelah melihat lebam kecil bekas jarum suntik yang gagal menembus kulit.

Hingga setelahnya, Sukuna yang membawa Jino untuk pengecekan rutin tiap bulan. Sebab Sukuna paham bahwa Yuuji begitu sensitif ketika berada di rumah sakit. Tak bisa disalahkan jika mengingat ia kehilangan orang terkasih di rumah sakit. Terakhir kali ia ke rumah sakit ketika mengurus kakeknya dan beberapa waktu lalu harus mengurus suaminya.

Yuuji mengusap wajahnya. Tangannya masih gemetar. Takut dan dingin di punggung masih ia rasakan meski dokter sudah keluar dan mengatakan semua baik-baik saja. Jino hanya kelelahan dan stres. Tak terlalu parah, hanya menunggu infus habis dan ia bisa membawa Jino pulang.

Akan tetapi, melihat bagaimana Jino terlelap sendirian di atas kasur putih tak membuat Yuuji tenang. Ada takut yang terus berdatangan, tak kenal jeda bersama bisikan. Rumah sakit tak pernah memberikan kenangan manis dalam hidup Yuuji. Dan belum kering luka yang diberikan, sekarang ia harus kembali ke tempat yang sama. Berulang bibir bawahnya ia gigit hingga rasa besi dapat ia rasakan. Hingga sebuah sapu tangan menyeka bibirnya. Saking berantakan isi kepalanya, ia sampai tak menyadari Megumi ada di hadapannya. Sahabatnya berlutut sambil menyeka darah di bibirnya. “Jangan sakit. Kalau lo sakit juga, Jino nanti sama siapa?”

Matanya bergetar, meski tak ada air mata yang turun. Takutnya lewat sebentar. Kali ini lebih tenang. “Makasih, Gum.”

Megumi mengangguk. Pria berambut hitam itu berdiri kemudian memberikan sebotol air pada Yuuji. “Minum dulu. Gue mau ngurus administrasi. Jangan gigitin bibir lo tapi telfon Bang Choso. Gue gak sempet nelfon karena batere gue abis.”

Yuuji mengangguk. Usapan lembut di puncak kepalanya membuat ia terdiam untuk beberapa saat. Matanya menatap kamar di hadapannya, tempat Jino beristirahat. Dan gambaran Sukuna terbaring di kasur tersebut terulang dalam ingatannya. Berulang ia mengatakan hasilnya akan berbeda sebab Jino hanya demam biasa. Jino sudah ditangani oleh dokter dan kini akan baik-baik saja.

Semua akan baik-baik saja, ia mencoba meyakini diri sendiri.

Itadori Yuuji tak pernah sebenci ini pada sebuah tempat. Pada sepotong ingatan. Dan ia tak pernah lebih membenci keajaiban yang tak mengenal waktu untuk ia sekedar bersedih.

Sebab ketika ia membuka mata, Sukuna ada di hadapannya. Sukuna sepuluh tahun lalu dengan aroma alkohol yang kuat—bercampur tembakau juga parfum entah berapa banyak penggoda. Yuuji menoleh, menatap jam dinding. Pukul enam pagi.

Dan Yuuji membenci kenyataan bahwa ia bahkan tak bisa memilih berada di dekat orang yang ja kasihi. Ketika mereka membutuhkan.


readjust | dua


Yuuji menggenggam erat tangan Jino di sisinya. Putranya tertidur lelap setelah lelah seharian bermain. Pipi gembul putranya ia usap, lembut hingga kening keduanya merapat. Matanya terpejam. Mengembalikan ingatan beberapa bulan lalu. Ketika ia tidur bersisian bersama Sukuna yang memunggungi.

“Kalau kamu emang gak bisa datang ke acara Jino, bilang. Kamu tau Jino udah nunggu acara piknik ini ’kan? Kamu tau akhirnya Jino harus seneng dateng sama Kak Choso?” Malam itu keduanya tidur saling memunggungi sementara putra mereka menginap di rumah Choso. Yuuji bersyukur karena Jino menginap, setidaknya anak mereka tak akan mendengar pertengkaran ini.

“Aku gak datang karena ada urusan.” Sukuna menghela napasnya jengah.

Mendengar itu Yuuji berbalik, menatap suaminya tajam. “Selama beberapa bulan ini, kamu selalu ngomong hal yang sama. Urusan kamu itu apa sih? Sesibuk apa kamu sampai gak bisa ngabarin aku?”

Deret giginya bertemu, mencipta suara tak nyaman di telinga. Ada kemarahan yang tersulut bersama tatap mata menuntut. Ia ingin dijawab, beserta semua alasan yang ditutup. “Aku gak akan menuntut banyak. Selama ini kamu lebih suka menutupi, gak masalah. Seenggaknya, Na, kalau bukan untuk aku, lakukan untuk Jino. Di titik ini aku udah gak berharap apapun sama kamu.”

Yuuji mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Ia menghela napas panjang kemudian memilih beranjak dari ranjang mereka. “Jemput Jino besok. Ajak dia jalan-jalan. Jino udah nunggu selama dua bulan untuk piknik sama kamu. Lakuin itu bukan sebagai suami aku, tapi Ayah Jino.”

Malam itu, Yuuji memilih tidur di kamar putranya. Dan seharusnya mungkin ia tak melakukan hal tersebut. Yuuji terlalu marah, terlalu kecewa, dan Sukuna sama seperti malam-malam sebelumnya. Memilih bungkam meski Yuuji berteriak kencang.

Ketika Sukuna pergi, Yuuji baru menyadari betapa rapuhnya pernikahan mereka. Dipenuhi banyak kesalahpahaman, tak dipenuhi penjelasan. Memilih pergi bersama tuntutan dan bungkam bersama kenyataan. Keduanya memilih menjaga jarak aman, berdiri di atas seutas tali juga retak kaca. Dan kenyataan bahwa Yuuji baru mengetahui Sukuna sakit parah ketika suaminya pergi adalah luka terbesarnya. Juga membayar segala tuntutan yang Yuuji anggap sebagai balas dendam Sukuna.

Keduanya tak memilih memahami. Yuuji memilih lari dan Sukuna membiarkan. Keduanya mempertahankan sesuatu yang tak ingin mereka hancurkan, tanpa merasa perlu untuk memahami. Sebab bagi keduanya, itu adalah pernikahan yang mereka jalani.

Dalam diam di sisi masing-masing keduanya memilih berpaling.

Dan kini, hal terakhir yang Yuuji inginkan adalah memejamkan mata. Sebab kenangan bersama Sukuna selalu datang tanpa bisa ia cegah. Berputar layaknya film. Mengulang bagai rangkai komidi putar. Kenangan yang sama, luka yang lebih dalam. Yuuji menutup matanya, hanya sekejap hingga ia merasakan sinar yang perlahan menyusup, mengintip ke dalam kelopak matanya.

Matanya perlahan membuka, bertemu dengan lingkar bulat yang membuatnya jatuh cinta. Sukuna Ryomen berada di hadapannya. “Udah balik?”

“...ya.” Ada bahagia yang perlahan menyusup dala dadanya. Sukuna ada di hadapannya.

Tangannya terangkat, menyentuh pipi Sukuna. Diusap pelan dengan kening yang ia satukan. Sukunanya hangat. Sukunanya hidup. “Kamu ada di sini dan kamu hangat. Kamu hidup.”

Sukuna benci sentuhan di wajah. Ia tak suka tangan orang lain menyentuhnya, lalu katakan bagaimana ia bisa menyingkirkan ketika Yuuji terdengar begitu sedih? Ia tak bisa dan berakhir membiarkan bersama pertanyaan yang ia pilih untuk dimakan.

Pagi ini, masih penuh dengan kebingungan. Bersama pertanyaan. Juga rasa syukur.

Dia ada di sini. Dia kembali.


readjust | satu


Seumur-umur Sukuna tak pernah merasa setakut ini. Sepanjang hidupnya yang menginjak dua puluh tujuh, tak pernah sekalipun ia menggigil ketakutan. Bulu kuduknya naik, tubuhnya gemetar. Saat ini ruangan terasa lebih dingin dari seharusnya.

Lelaki asing di hadapannya menatap lurus dengan mata berembun penuh harap. Matanya seakan menyimpan banyak luka, juga cerita yang telah mereka lakui bersama. Lekuk matanya mengembung, besar seakan telah lama menangis tanpa henti ditemani lingkar hitam. Bagai panda. Bagai takut pada tidur.

Tubuhnya kurus. Seakan sudah menyerah pada hidup. Jika memang orang di hadapannya adalah suaminya di masa depan, kenapa jadi seperti ini?

Sukuna menggigit bibirnya. Ia teringat ucapan di depan pintu tadi.

“Sukuna, aku tahu kamu ketakutan. Tapi aku gak bohong. Ini aku Yuuji, seseorang yang ada di masa depan kamu. Tolong keluar dan aku bakal jelasin semuanya.”

Sukuna tidak segila itu untuk percaya pada seseorang yang berada di sampingnya saat tidur. Wajahnya ia usap, mengingat bagaimana lelaki itu tidur di sisinya, menatapnya dengan penuh rindu sedang Sukuna mendorongnya hingga jatuh. Dan lihat, sekarang si pemuda yang dijuluki penakluk wanita tengah bersembunyi di kamar mandi. Menghindarkan si lelaki asing yang ia sikapi bagai malaikat maut.

“Gimana caranya gue bisa percaya? Orang kaya lo yang tiba-tiba muncul terus ngaku-ngaku jadi masa depan gue. Mana bisa gue percaya? Gue masih suka perempuan.” Sukuna berbohong. Jelas. Nyatanya ia tak begitu peduli perihal gender. Tergantung inginnya saja. Selama hanya berstatus teman tidur, ia tak terlalu peduli.

Entah kenapa Sukuna bisa mendengar dengusan sinis di luar sana. “Gue serius!”

Sukuna tak paham kenapa ia merasa harus membela diri seperti ini. Seakan ada dorongan dalam dirinya yang mengatakan untuk jangan mengalah. “Bohong. Kamu gak peduli sama cewek atau cowok. Buat kamu selama bisa dimasukin semua oke.”

Wajah Sukuna memerah. Jika yang mengatakan hal itu adalah orang lain, Sukuna hanya akan melewatinya dengan tak peduli. Namun, mendengar ucapan tersebut, dari seseorang yang mengaku masa depannya memiliki efek yang berbeda. “Jangan sok tau! Keluar sana! Gue gak tau lo siapa dan gue juga gak mau tau! Keluar!”

“Kalau aku punya pilihan, aku gak akan memohon untuk kamu menemui aku. Bukan aku yang harus keluar, tapi kamu. Ayo, keluar, Na. Waktuku gak banyak di sini.” Sukuna bisa mendengar nada putus asa di sana.

“Gak. Lo orang aneh. Dibayar sama siapa lo sampe tau semua tentang gue? Lo yang keluar! Dari rumah gue! Keluar! Gue gak mau ketemu sama lo! Kalaupun lo ada di hidup gue. Gue yakin, gue di masa depan bakal benci sama lo!”

Napas Sukuna naik turun bersama akhir kata ditutup nada tinggi. Ia berteriak, penuh emosi. Penuh kekesalan juga kebingungan. Tak masuk akal bagaimana seseorang bisa masuk ke dalam apartemennya. Terutama ketika apartemennya adalah salah satu gedung dengan keamanan tertinggi. Sudah pasti lawan bisnisnya merencanakan sesuatu. Mungkin dari perusahaan J. Atau mungkin dari musuh ayahnya. Semua kemungkinan itu bisa terjadi.

“Kamu benar.” Ada suara yang penuh putus asa di sana. Serak, penuh jeda seakan ia di luar sana menahan emosi yang ingin meledak. “Kamu di masa depan begitu membenciku. Sangat membenci sampai gak mau mendengarkan ucapanku. Sangat membenci sampai kamu meninggalkan aku tanpa pemberitahuan apa-apa. Sangat sangat membenci sampai kamu merahasiakan segalanya. Sangat sangat membenci sampai menjadikan kematian kamu sebagai balas dendam.”

Setelahnya yang Sukuna dengar adalah hening. Ia menyisir rambutnya ke belakang. Sukuna masih tak paham dengan segala keadaan pagi ini. Sukuna harusnya sedang menyelesaikan dokumen untuk rapat besok. Ia juga seharusnya memulai pagi dengan kopi dan beberapa batang rokok. Paginya berantakan. Penuh kejutan yang hingga saat ini belum ia pahami.

Sekali lagi, Sukuna memijat kepalanya. Sakit sekali rasanya. Bahkan meski ia berkali-kali memejamkan mata, lelaki di hadapannya tak pergi juga. Nyata. Bukan sebuah ilusi. Bukan juga bagian dari mimpi. Begitu menakutkan bagai malaikat pencabut nyawa.

“Oke, jadi nama lo siapa?” Sukuna menatap si asing yang mulai menarik ujung bibirnya.

Benar kata Suguru. Anak ini tipenya. Bahkan hanya sebuah sudut bibir yang terangkat sudah memberi pengaruh pada jantungnya. “Itadori Yuuji. Panggil aja Yuuji walau biasanya kamu manggil saya sayang sih, tapi kayanya kecepatan ya?”

Sukuna tak bisa menahan diri untuk tak memutar bola matanya. Meski dalam hati ia ingin berteriak. Oh, jangan tanya Sukuna kenapa sebab ia sendiri tak paham. “Oke, Yuuji. Sekarang saya harus antar kamu ke mana?”

Mata di hadapannya berkilat, senang. Entah karena mendengar panggilan namanya atau karena kata kamu. Sebuah simpul ditarik di dua sudut bibir si rambut merah muda. “Kamu gak bisa anter aku ke tempatku.”

Sukuna bukan penggemar film sci-fi. Bukan juga penggemar sains. Imajinasinya tak seliar itu untuk menjelaskan segala hal tak masuk akal ini. “Kenapa gak bisa?”

Ah. Sukuna butuh kopi. Jika tidak, ia bisa makin gila. Ia berdiri, diikuti Yuuji. Langkah Yuuji begitu santai seakan telah mengakui apartemennya dengan baik. Membuat Sukuna merasa begitu aneh. Tak nyaman. Seakan teritorinya telah diganggu. Pun sama ketika Yuuji dengan santai mengeluarkan termos listrik dan mengisinya dengan air.

Sukuna menatap melalui ekor matanya sambil menggiling biji kopinya. “What are you doing?”

“Bikin air panas.” Dijawab santai, ditutup senyum simpul. Kalau hanya itu mungkin Sukuna akan bisa fokus dengan ritual membuat kopi. Namun, Yuuji tak berhenti di sana. Ia membuka kulkas berpintu dua, menatap lama kemudian menghela napas. “Kamu tau gak, berdasarkan penelitian, sarapan itu sangat penting.”

“Terus?” Sukuna masih mengikuti gerakan lelaki asing yang terasa begitu familiar di rumahnya. Yuuji mengeluarkan nasi instan yang Sukuna telah lupa kapan ia membelinya. Sukuna bahkan tak tahu jika microwave-nya masih berfungsi. Selama ini ia mengira alat itu sudah rusak.

Dengan bahan seadanya, kini pagi Sukuna ditemani dengan kopi dan nasi goreng. “Aku bakal bikin makan malam yang layak kalau nanti kamu nemenin aku belanja.”

“Gak perlu. Saya bisa makan mi instan.” Sukuna selalu diajari untuk menghabiskan makanan di atas meja. Jadi meskipun ini dibuat oleh orang asing yang kemungkinan juga kehilangan akal, ia tetap mengangkat sendok dan mulai menyantap nasi goreng di piring.

Sukuna bisa merasakan tatapan dari hadapannya. Terasa menuntut. “Makan. Bukan cuma saya yang harus ngabisin nasi di piring ini.”

Dua bibir yang mencebik itu rasanya ingin Sukuna ci—buru-buru ia menggeleng. Sukuna pasti sudah gila. “Nasi gorengnya lumayan.”

Dua sudut bibir itu tak lagi menarik simpul bagai bulan sabit, namun menarik lebar bagai huruf D. Lebar hingga dua sudut matanya yang kini menjadi sabit. “Besok bakal aku bikinin lebih enak kalau kamu nemenin aku belanja.”

“Nemenin atau bayarin?” Sukuna tak percaya ia mulai menggoda.

Ada kekehan kecil yang keluar, bersama hangat yang mulai menjalar pada buku jarinya kemudian naik pada jantungnya. “Dua-duanya karena di sini, saat ini aku gak punya uang.”

Sukuna tak percaya pada cinta pertama. Namun, mungkin saat ini ia bisa mengubah hal tersebut.


Pernyataan


Izuku yakin, perasaannya pada Shinso adalah suka. Meski lelaki itu mengatakan bukan. Pesan maaf darinya belum terkirim. Ia akan bicara lagi dengan Shinso setelah ini.

Saat ini Izuku perlu berbicara dengan sahabatnya. Rumah Katsuki berada di kompleks sebelah. Hanya perlu berjalan beberapa menit dan Izuku sudah tiba. Tangannya menekan bel tanpa kenal kata sabar. Berulang terus ditekan hingga pemiliknya keluar.

“Ngapain sih mencet bel banyak-banyak gitu? Sekali ’kan cukup.” Izuku pasti sedang sangat sensitif karena mendengar amarah Katsuki malah membuatnya terharu. “Malah bengong lagi. Masuk.”

Izuki mengangguk, mengikuti si pemilik rumah dari belakang. Katsuki tak mengira Izuku akan datang. Ia belum siap melihat sahabatnya berada di satu ruangan yang sama dengannya.

Ini bukan kali pertama mereka berduaan di kamar Katsuki. Namun, ini pertama kalinya setelah Katsuki menyadari perasaannya. Ia mengacak rambutnya, frustasi. Perlahan ia melirik Izuku, matanya langsung membola. Dengan cepat ia menghampiri temannya, “Kenapa nangis? Shinso mutusin lo? Apa dia ngomong yang nyakitin lo?” Kepala Katsuki penuh dengan banyak pertanyaan.

Izuku menggeleng, membuat Katsuki menghela napas. Ia mengangkat wajah sahabatnya dengan lembut seraya menyeka air mata yang terjatuh. “Terus kenapa nangis?” Katsuki merendahkan suaranya kali ini. Raut khawatir dari wajahnya belum menghilang. “Siapa yang nyakitin lo? Bilang sama gue. Nanti gue hajar.”

Kali ini, Izuku menatapnya dengan mata yang masih berair. “Kalau gue bilang lo yang bikin gue nangis gimana? Lo mau ngehajar diri lo sendiri?”

Oh. Ternyata ia alasan Izuku menangis. “Sori.”

Izuku tak bermaksud membuat Katsuki terlihat mengenaskan seperti ini. Izuku tak menyukai kerutan di kening Katsuki. Tangannya terulur, menyentuh kening sahabatnya. “Kacchan, kenapa menghindar? Gue ada salah? Atau lo gak suka gue deket sama Kak Shinso? Gue bakal jauhin Kak Shinso asal bukan lo yang ngejauhin gue. Gue gak bisa kalau lo yang jauh dari gue.”

Katsuki mungkin akan menganggapnya aneh, namun Izuku tak peduli. Ia lebih memilih memeluk sahabatnya erat. Tak mau melepaskan. Ia lebih memilih melepaskan orang yang ia suka dibandingkan kehilangan Katsuki.

Pelukannya pada tubuh Katsuki belum juga dilepaskan. Rasanya begitu nyaman, bersama detak jantung Katsuki yang begitu kencang. Oh, atau itu detak miliknya?

“Tsk, Deku. Lepasin dulu, gue gak bisa napas.” Izuku mendongak, matanya berkilat. Ujung matanya yang memerah diusap lembut oleh Katsuki. “Kenapa dipanggil Deku malah seneng gitu?”

“Kalau manggil Deku artinya Kacchan udah gak marah. Iya ’kan?” Katsuki mendengus. Sejak awal ia memang tak marah pada Izuku. Lagipula, ia tak bisa marah dengan lelaki di hadapannya. Izuku terlalu manis.

Ah. Katsuki langsung memalingkan wajahnya. Pemikirannya membuat ia malu sendiri. “Udah dibilang gue gak marah.”

“Terus kenapa menghindar?” Sekali lagi, Izuku menuntut.

Katsuki menghela napas. Ia menekan bahu Izuku, membuatnya duduk dengan tenang. Izuku tak tahu kenapa, namun ucapan Shinso terngiang di kepalanya. “Tadi,” bukanya sambil berpindah posisi untuk duduk di samping Katsuki. “Sebelum ke sini Kak Shinso bilang kalau yang gue rasain ke dia bukan suka.”

Izuku memainkan tangannya saat melanjutkan ceritanya. “Terus, mungkin itu benar kali ya? Mungkin gue gak suka dia, mungkin cuma kagum.” Izuku menoleh, jarinya menggaruk pipinya pelan. “Hehe, mungkin kayanya gue emang gak cocok suka-sukaan.”

“Mulai deh mikir aneh-anehnya.” Pipi Izuku ditarik hingga meninggalkan merah. “Lagian, kalau lo cuma kagum emang kenapa? Itu juga bagian dari suka kok. Maksud Shinso ngomong gitu mungkin biar lo sadar kalau lo gak sesuka itu sama dia. Mungkin ada orang lain yang lo suka lebih dari rasa kagum lo ke dia.”

“Oh.” Izuku diam sejenak sebelum ia menoleh. “Kalau gitu kayanya gue suka sama lo lebih dari rasa kagum gue ke Kak Shinso.”

Katsuki diam. Ia bahkan tak sanggup bernapas juga berkedip. Ia takut jika ini hanya mimpi. “Gue juga gak masalah kehilangan banyak hal, asal bukan kehilangan lo. Gue rela ngelepas Kak Shinso, asal bukan lo. Artinya gue lebih suka sama lo dibandingkan Kak Shinso. Dan kayanya bukan kagum karena sekarang, pas gue ngomong gini jantung gue rasanya mau pecah.”

Seakan takut Katsuki tak percaya, Izuku membawa tangan sahabatnya ke dada kirinya. Membiarkan Katsuki merasakan degup jantungnya. “Kalau gini, artinya gue suka sama lo? Atau ini juga bukan suka?”

Katsuki menghela napasnya. Kepalanya disandarkan pada bahu Izuku. “Hah, bisa gila gue.” Makinya. “Can you even kiss me?” Gumamannya sampai di telinga Izuku.

“Bisa.” Dan jawaban Izuku bukan sesuatu yang ia harapkan. Bukan. Tentu saja Katsuki mengharapkannya, namun ia tak menyangka akan dijawab secepat ini. Wajahnya ditangkup oleh dua tangan Izuku. “Kalau gue cium lo bakal ragu juga atau enggak? Atau sekali lagi ini bukan suka?”

Katsuki menatap sepasang mata yang penuh kerisauan di hadapannya. Dua tangannya menyentuh tangan Izuku di pipinya. “Deku, di dunia ini ada banyak banget bentuk suka. Dan lo gak perlu takut sama salah satu bentuknya. Mau lo sebatas kagum, mau sebatas suka ngeliat, sampai batas ingin memiliki, semuanya sama-sama suka. Bedanya, apakah lo bisa genggam tangan mereka? Apakah lo bisa berdiri di samping mereka? Apakah lo bakal ngerasa kehilangan? Apakah lo bakal ngerasa kangen? Semuanya itu langkah yang perlu lo tau. Perlu lo yakinin kalau lo mau ngabisin waktu sama seseorang.”

“Kalau Katsuki sendiri gimana? Orang itu siapa?” Katsuki tahu ia tak bisa menyembunyikan. Kalau bukan sekarang, sudah pasti ia akan kehilangan lebih banyak.

Matanya menatap lurus pada mata Izuku. “Orangnya ada di depan mata gue. Seseorang yang baru gue sadarin paling gue sayang ketika dia bareng yang lain. Seseorang yang pengen gue milikin sampe gue berdoa biar orang yang dia suka kecelakaan. Seseorang yang pengen gue rebut dari orang lain. Dan orang itu lo. Gue suka sama lo.”

“Oh.” Izuku mendorong Katsuki menjauh. Wajahnya terasa panas sekarang. Ia yakin wajahnya sudah merah. “Oh, bentar.”

Katsuki malah terkekeh. Wajah Izuku ditarik, ditatap lekat-lekat. “Sekarang, tau ’kan bedanya?”

Izuku mengangguk. Ia masih bisa mendengar debaran jantungnya, juga matanya yang tak sanggup menatap Katsuki. Rasanya berbeda. Saat mendengar pernyataan Shinso, iya memang merasa senang. Namun, tak seperti ini. Tak mendebarkan. Tak membuatnya segera ingin memeluk erat.

“Jadi, suka gue juga gak?” Wajah Izuku disentuh lembut, dibawa mendekat ke arahnya. “Liat gue.”

“Suka.” Cukup satu kata yang membawa bibir keduanya menyatu. “Jadi pacar gue kalau gitu.”

Dan berbeda dari sebelumnya, kali ini Izuku mengangguk. Sebab ia tahu, jika bersama Katsuki semua akan berbeda. Sebab rasa sukanya berbeda. Sebab jika bersama Katsuki, ia tak ingin melepaskan. Tak ingin berpisah.

Nyatanya, selama ini yang ia sukai ada di dekatnya. Selama ini Izuku terlalu sibuk mendongak ke atas, sampai lupa ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Menggenggam tangannya dengan erat.

“Kacchan, Izuku juga sayang Kacchan.” Izuku memeluk kekasihnya erat-erat. Kalau yang ini, tak ingin ia lepaskan.

Dan Katsuki membalas pelukan tersebut sama eratnya. Kali ini ia tak akan menjadi bodoh untuk terlambat menggenggam. Sebab Katsuki pun tak ingin melepaskan.


ChoIta and SukuIta Tag: nsfw, incest , explicit


Yuuji sedang santai, di sofa bersama boneka panda di atas perut. Kakinya yang jenjang dipamerkan, satu naik ke atas punggung sofa sementara yang satu selonjoran. Boxernya turun, memperlihatkan pahanya tanpa kenal malu. Ya, untuk apa juga malu karena dia ada di rumahnya.

Kaus putih tanpa lengan yang ia kenakan agak turun, memperlihatkan pucuk cokelat terang yang mengintip. Kalau ada yang lewat dan melihat penampilan Yuuji, sudah pasti akan menelan ludah. Si rambut merah muda terlihat menggoda bahkan tanpa perlu melakukan apapun. Hanya rebahan di sofa bersama satu kaki terangkat. Acara di televisi membuatnya terlalu fokus hingga tak sadar pintu rumah terbuka.

Hingga tak sadar ada dua laki-laki yang sedang menatapnya. Satu yang lebih tua berdeham, membuat perhatian Yuuji teralih. Kakinya langsung turun dan tengkurap untuk melihat kakaknya. Dua sudut bibirnya terangkat. “Eh, Kak Cho sama Kak Una udah pulang. Kok gak salam sih?”

Si rambut merah muda—Sukuna namanya—mendecak. Tas ia taruh secara asal dan langsung ikut merebahkan diri di atas tubuh Yuuji—yang sudah telentang. Kepalanya ia taruh, disela leher Yuuji, menghirup aroma tubuh adiknya banyak-banyak. “Ji, malam ini tidur sama Kakak. Kak Una butuh dihibur.”

Yuuji tertawa pelan. Rasanya seperti lonceng surga yang didentingkan. Tangannya mengusap-usap puncak kepala yang sewarna dengan miliknya. “Tapi, ini jadwalnya sama Kak Cho ’kan.” Ia melirik pada Kakaknya yang lebih tua.

“Yuuji emang maunya tidur sama siapa?” Balas Choso santai. Tangannya menarik Sukuna untuk berdiri. “Yuuji pilih sendiri. Kak Cho gak apa-apa kok.”

Yuuji ikut duduk, menatap dua kakaknya bergantian. Di tempatnya Sukuna sulit fokus. Tali kaus Yuuji turun, memperlihatkan bahunya juga puncak dadanya yang mengintip dari kaus. Belum lagi boxer-nya yang naik hingga pangkal paha. Sukuna ingin tangannya meraba paha adiknya, meninggalkan merah remasan tangannya. Pun ia ingin bekas gigitannya ada pada puncak dada Yuuji.

Choso melirik, pada Sukuna yang otaknya sudah ada di pangkal paha. Isinya tentu sudah bukan hal baik. Adiknya yang satu ini pasti memiliki hari yang buruk, hingga butuh hiburan. Makanya, Choso tak masalah. Tak masalah jika Yuuji memilih Sukuna. Sebagai Kakak yang baik, Choso harus mengalah.

“Um,” suara Yuuji menarik perhatiannya. Ia menoleh, mata fokus pada adik bungsunya. “Kalau Yuuji maunya sama Kak Cho dan Kak Una, gak boleh?”

Ah. Sialan. Choso yakin ia pandai menahan diri. Namun, di hadapan adiknya—yang menatap layaknya anak anjing—Choso selalu kalah. Ia bisa merasakan bulu kuduknya naik saat menoleh pada Sukuna. Insting mereka sama. Ingin membuat adik mereka berantakan. Lebih berantakan dari penampilannya sekarang.

“Boleh dong, Sayang.” Choso menjawab. Ia langsung berlutut di hadapan adiknya. Ujung matanya dikecup kemudian pipi, ujung hidung dan pipi yang lain. “Buat adiknya Kak Cho, apa sih yang enggak?”

Pipi Yuuji memerah. Mendapatkan perhatian dari Kakak sulungnya membuat ia senang. “Hehe, makasih Kak Cho.” Ucapannya semanis senyum di bibirnya.

Sukuna tak suka pada pemandangan di hadapannya. Tak suka jika ia tak ada di sana. Tangannya naik, menyisir rambutnya ke atas dan kemudian langsung menarik bajunya lepas—mempertontonkan tatonya.

Yuuji menelan ludahnya susah payah. Sukuna terlihat sudah tak sabar. Matanya meredup dan Yuuji bisa melihat bagaimana pusat di balik celana jeans milik Sukuna telah naik, mulai menegang. Kakaknya benar-benar sudah menahan diri sepanjang hari.

“Ji, gak noleh narik ucapan kamu.” Sukuna narik dagu adiknya, dilumat pelan. “Jangan mikir buat tidur malam ini.”

Yuuji tahu, ia baru saja menggali kuburnya. “Malam ini bakal panjang.” Kata Sukuna sambil mengangkat tubuh adiknya. “Kak, gue duluan.”

Choso mengangguk. Ia lebih dulu mematikan televisi, mengunci pintu, dan baru kemudian ia naik ke kamar Yuuji. Pintu kamar adiknya terbuka lebar. Pakaian tercecer di atas lantai dan Choso membiarkannya.

Kancing kemejanya ia buka, bersama dasi yang ia tanggalkan. “Kak Cho,” panggilan Yuuji membuatnya menoleh. Dua adiknya sudah mulai bermain rupanya. Mata Yuuji sudah sayu sementara Sukuna sudah mulai menggigiti tempat favoritnya, puncak dada Yuuji. “Hng, Kak Una, jangan kencang-kencang, sakit.”

“Haha, kamu 'kan sukanya yang kenceng Ji. Kamu 'kan sukanya yang bikin sakit.” Ledek Sukuna. Dengan sengaja ia menggigit puncak dada Yuuji. Puncak itu digigit, ditarik hingga pemiliknya mendesis.

“Ah, hng, Kak Una.” Desahan yang didapat membuat Sukuna menyeringai. Ia benar, Yuuji menyukainya. “Ahn, sakit.”

Lidahnya mulai menjilati bagian yang ia gigit. Berputar kemudian mengikuti daerah areola. Sementara tangannya yang lain mencubit dada kiri Yuuji. Memainkan putingnya dengan jari.

Choso yang melihat Yuuji langsung duduk di sisi kasur. Ia menunduk, memberikan ciuman lembut pada bibir merah adiknya. Sudah pasti merah dan bengkak karena Sukuna. Hanya beberapa menit bibir Yuuji sudah begini. Choso menggeleng pelan.

Dengan perlahan ia menikmati bibir adiknya. Diisap pelan, dikulum lembut bersama terian lidah keduanya. Mulut Yuuji terasa panas. Nikmat sekali. “Kak Cho, hn Kak Una.” Bibir basahnya memanggil kedua nama Kakaknya.

Sukuna naik, menatap adiknya dengan mata menyala. “Mau apa?” Lututnya dengan sengaja menekan selangkangan Yuuji. Membawa desisan yang keluar dari bibirnya. “Ayo, ngomong Ji, mau apa?”

Tuntutan terdengar, menekan bersama lutut Sukuna yang bergerak berulang di satu titik. “Ugn, mau Kak Una. Mau Kak Cho juga.” Pengakuan manis dibalas dengan kecupan di pipinya, oleh dua kakaknya.

“Anak pinter.” Puji Sukuna lembut.

“Ganti posisi, Na.” Sukuna langsung paham. Tubuh Yuuji agak diangkat oleh Choso, disandarkan pada dadanya.

Sementara paha Yuuji dibuka lebar-lebar, tentu saja celananya sudah tanggal entah sejak kapan. “Kak Cho, cium.”

Choso menunduk, mengabulkan permintaan adiknya. Tangannya mulai meraba, dari perut naik ke dada. Perlahan memetik puncak dada adiknya. Disentuh, diputari areolanya dan perlahan ditarik. Ada desahan yang tertahan di bibirnya.

Choso melirik, pada Sukuna yang mulai mempersiapkan bukaan di bawah sana. Sudah tiga jari dan Choso ikut membantu. Mengusap batang Yuuji agar pemiliknya sedikit rileks. “Kak Cho, hng, lebih cepat.”

“Ssh,” Choso menenangkan sambil tersenyum. “Malam masih panjang, Ji, mau ke mana sih, cepet-cepet banget?” Kecupan diberikan pada pipi adiknya. “Nikmatin dulu.”

Inginnya Yuuji pun begitu, namun gerakan tangan kedua kakaknya seolah berteriak, memintanya dengan cepat mengeluarkan segala yang ia tahan. Jemari Sukuna mengisi dirinya, menekan titik yang membuat tangannya memeluk lengan Choso. “Ahn, Kak Una, pelan-pelan. Ahn.”

Sukuna tertawa, jelas sekali perasaannya membaik setelah melihat Yuuji meneriaki namanya. Tiga jarinya menghentak, masuk dalam-dalam sambil menekan satu titik yang membuat punggung Yuuji membusur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Choso untuk mengurut batang milik Yuuji yang mengacung tinggi dengan cepat. Denyutan bisa ia rasakan. Pencapaian Yuuji dalam genggamannya hanya butuh pelepasan, namun ia hentikan. Membuat adiknya merengek. “Kak Choo! Aku tadi udah mau keluar!”

“Sh, Yuuji.” Choso membuka mulut adiknya dengan jarinya. Dua jarinya mengapit lidah si adik yang tak mau diam sebab kenikmatannya diganggu. “Ingat, gak boleh keluar sebelum Kakak selesai.”

Yuuji benci peraturan tersebut. Mentang-mentang ia anak bontot, jadi harus mengalah. Kalau begitu, harusnya mereka jangan iseng!

“Hegh! Kak Una! Ahn, jangan tiba-tiba ah! Pelan-pelan!” Yuuji kewalahan. Sebab secara tiba-tiba, tanpa ucapan Sukuna mendorong masuk dirinya, dalam-dalam.

Yuuji merintih, tangannya berusaha menyingkirkan tangan Choso, namun gagal. “Sh, Yuuji, Kak Una harus keluar dulu. Tahan.”

“Ah, tangan Kak Cho kalau gitu.” Sekali lagi, ia menyingkirkan tangan kakak sulungnya, memohong lewat tatapan. “Ahn, Kak Cho, please.”

“Sampai Sukuna selesai, Sayang.” Bibir Yuuji kembali dikecup, dibawa bersama lumatan pelan.

Sementara keduanya menarikan lidah mereka bersama, Sukuna menarik pinggang Yuuji, menghentak lebih dalam. Gerakan kasarnya membuat Yuuji terhenyak dan menggigit bibir Choso cukup kencang. “Ah, Kak Cho, hng, maaf.” Ucapan maafnya berada di antara lenguhan juga desahan panjang.

“Gak apa, Yuuji. Keluarin suara kamu, biarin Sukuna denger nama kamu.” Choso mengusap lembut puncak kepala adiknya.

Yuuji kali ini menggeleng. “Ah, kalau mulut aku sibuk manggil Kak Una, itu Kak Cho gimana?”

Choso melirik ke arah Sukuna kemudian tertawa. Ternyata mengajari banyak hal pada adiknya membuahkan hasil juga. Ia menunduk, memberikan kecupan di puncak kepala. “Perhatiannya Adik Kak Una. Seneng deh Kak Cho.”

“Kalau gitu, hng, Kak Una! Pelan-pelan! Ah! Itu, di situ! Lagi!” Omelannya dengan cepat berubah jadi permohonan.

Pipi Yuuji disentuh oleh Choso, membuat perhatiannya teralih. Mulutnya dipaksa terbuka, “lidahnya Ji, keluarin.” Dan seperti biasa, adiknya menurut.

Kepala Yuuji ditarik, mendekat pada batangnya yang sudah mengeras sejak tadi. Perlahan, seluruhnya masuk dan Choso bisa merasakan panas mulut adiknya. Ah, merasakan mulut Yuuju membuatnya tak sabar ingin menyatukan diri mereka secepatnya.

Ujung puncak batangnya menekan rongga mulut Yuuji, kencang hingga pemiliknya tersedak bersamaan dengan hentakan dalam Sukuna. Mulutnya ingin berteriak, namun tak bisa. Tangannya akhirnya bergerak, memukul paha Choso, meminta agar batangnya dilepaskan dari mulut Yuuji.

Choso melakukannya setelah melihat Sukuna melepaskan penisnya dari dalam diri Yuuji. Masih ada jejak putih di sana. “Cho, gantian.” Sukuna berujar dan Choso menurut.

Choso itu kakak yang baik. Tiap permainan adiknya pasti akan dituruti. Dan sekarang ia mengangkat kaki Yuuji, ditaruh di atas bahunya. Milik Yuuji terlihat memerah. Puncaknya agak biru, mungkin karena terlalu lama tadi ia tahan. Kasihan.

Mata gelapnya mendongak, menatap pada Sukuna. “Ji, bersihin.” Dan adiknya, menurut. Choso dan Sukuna berhasil mendidik Yuuji jadi adik yang baik.

“Yuuji, abis ini boleh keluar.” Choso menciumi betis Yuuji sambil perlahan ia memasuki lingkar basah yang memanggilnya, meminta untuk dipuaskan: diisi banyak-banyak.

Jika Sukuna suka penyatuan dalam satu hentakan, Choso lebih suka melakukannya perlahan. Perlahan menikmati jepitan yang menciptakan lenguhan dari balik mulut yang penuh batang.

Dan Yuuji hanya bisa menahan napas tiap kali ia merasakan puncak milik Choso meraba seluruh lubangnya secara perlahan. Tanpa terburu. Berhenti setengah sambil menekan perut Yuuji seakan menilai, sudah sejauh mana is sampai. Naik lagi hingga seluruhnya bisa berada di dalam diri Yuuji.

“Yuuji, bersihin punyaku, jangan fokus sama Choso doang!” Sukuna terdengar kesal karena mulut Yuuji berhenti bergerak.

Ia akhirnya mengangguk. Kembali menjulurkan lidahnya untuk membersihkan cairan di batang Sukuna. Sejujurnya, mulutnya mulai pegal karena tadi baru selesai mengulum milik Choso. Namun, ia tak bisa mengatakannya. Ia tak mau membuat Sukuna sedih.

Tak masalah membuat rahangnya pegal asal Sukuna senang. Dua mulut Yuuji sibuk. Satu melahap milik Sukuna, satu lagi milik Choso. Dua-duanya panas, rapat, dan basah, memberikan sensasi luar biasa dalam tiap pergerakan mereka.

Pinggang Yuuji sejak tadi ikut bergerak tiap kali Choso menghentak masuk—ia menarik pinggang kakaknya agar menekan makin dalam dengan kaki. “Ah, Ji, abis ini kita keluar bareng. ” Ucapan Choso membuat Yuuji mengangguk.

“Heh, ajak gue juga lah. Kita keluar bareng.” Sukuna menarik leher Yuuji, menekannya, mengambil alih gerakan untuk menciptakan kepuasan untuk diri sendiri.

Melihat pemandangan di hadapannya membuat Choso mempercepat gerakannya, menekan dalam titik sensitif Yuuji. Tangan Choso kembali memompa batang milik Yuuji, batang keras yang sejak tadi ia tahan agar tak keluar.

“Ah, Yuuji.” Jika namanya dipanggil dengan nada rendah seperti itu, tandanya Choso akan segera mencapai puncaknya. Sukuna dan Yuuji sudah paham. Sehingga keduanya ikut mempercepat gerakan masing-masing. Tangan Yuuji mencari miliknya yang kemudian dipompa bersama Choso.

Berulang, berlanjut hingga Yuuji bisa merasakan denyutan di dalam dirinya. Dari milik Choso, milik Sukuna, juga dirinya.

Dan juga panas yang ia rasakan. Dalam mulutnya, dalam lubangnya, juga di atas perutnya.

Yuuji bergetar. Batangnya masih mengeluarkan cairan yang bercampur dengan warna bening dan sedikit kental. “Squirting lagi? Enak ya, Ji?”

“Hng.” Jelas sekali kesadaran adiknya sudah tak ada di sini. Ia masih merasakan kenikmatan yang didapat. Bahkan meski mulutnya penuh, ia tak peduli.

Choso perlahan melepaskan dirinya, membuat cairan putih miliknya dan Sukuna keluar tanpa bisa dicegah. Ada lenguhan yang keluar dalam tiap pelepasan Choso di dalam dirinya. “Good job, Yuuji.”

Pipi Yuuji dikecup pelan. “Tidur, nanti Kakak yang bersihin.”

“Hng,” sekali lagi Yuuji hanya bisa menjawab dengan gumaman. Matanya perlahan menutup dan Sukuna mengambil kesempatan tersebut untuk mengecup kelopak matanya.

Malam itu, setelah Sukuna dan Choso membersihkan diri masing-masing, juga memindahkan Yuuji ke kasur Choso, mereka tidur bersama. Memeluk Yuuji untuk mencari kehangatan.

Satu lagi hari damai di rumah keluarga Itadori.

Satu lagi hari damai antara saudara Itadori.

Ah, damainya.