write.as

DAYLIGHT

Atra tidak henti menertawakan Marcel yang rela memotong rambutnya karena ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu. Sebenarnya Atra sudah bilang untuk biasa-biasa saja, tapi Marcel bantah dengan alasan, “gak enak kalo ketemu Ayah Ibu rambutnya gak rapi, nanti dikira berandalan.” dan “emang kamu mau dicap punya pacar berandalan, terus dibilang gak bener pilih pacar?” — sungguh, Marcel benar-benar memikirkan first impression di depan Ibu dan Ayah.

“Puas banget ya ketawanya? Aku beneran panik, Tra.”

“Ayah kamu cuek banget, kayanya Ayah gak suka sama aku deh, gimana ya, Tra?” — astaga.

“Tenang ajaa, Ceeel. Ayah emang dasarnya kaku kalo ketemu orang baru.”

Dharmawangsa menjadi tempat terakhir yang Marcel dan Atra tuju, setelah tadi makan malam bersama keluarga Atra, lalu jalan-jalan untuk menemani Atra hunting foto, sekarang keduanya sudah bergelung di kasur, menceritakan banyak hal yang sempat terlewat.

“Jangan cemberut jelek.” kekehan Atra lepas saat melihat raut masam Marcel, pasti kekasihnya masih kepikiran sikap cuek sang Ayah.

“Dua atau tiga kali pertemuan juga Ayah bakalan luluh, apalagi kalo kamu bisa main catur.”

“Main catur? Serius?” masalahnya, Marcel tidak pernah tertarik dengan papan monokrom tersebut, tapi demi mengambil hati calon Ayah Ipar, ia rela belajar.

“Kok diem?” Atra membalik tubuhnya menjadi berhadapan dengan Marcel yang tengah bersandar pada kepala kasur.

“Nanti aku belajar main catur.” tak dielakan, tawa Atra kembali meledak; oke, Marcel benar-benar serius untuk disukai sang Ayah.

“Astaga Cel, sumpah, kamu lucu banget.” melihat Atra yang tertawa begitu lepas di depannya, membuat Marcel gemas sendiri. Aduh harusnya ia kesal ditertawakan seperti itu, tapi berhubung ini Atra, ia tidak akan kesal.

“Aku seriuuuus, Sayang.” satu tangannya terulur bermain di pinggang ramping sang kekasih; sampai tidak sadar jemari Marcel bergerak menggelitik titik sensitif Atra.

“Tangan kamu diemmm!” Marcel sadar, kulit pinggang Atra selalu menjadi titik yang paling dilarang untuk disentuh, karena geli!

Namun Marcel tetaplah Marcel, sekelebat ide jail memenuhi kepala saat mendapat larangan dari sang pacar, bukan menyingkirkan tangannya, ia malah semakin menjadi memberikan kelitikan tanpa henti. Membuat Atra menggulingkan tubuhnya kelawahan.

“ANJING MARCEL BERENTIII.” tawa Atra tidak tertahankan, kali ini bercampur dengan perlawanan untuk menghentikan aksi Marcel.

“Bangkeee reseeee, jangan nyebelin. Geliiii!” napasnya sudah terengah, ia berguling di atas kasur dengan Marcel yang sudah di atasnya; ikut tertawa.

“Ampun, ampun, udaaah. Gak ledekin lagi.” tidak tega, Marcel menghentikan aksinya; pandangannya terkunci pada sosok manis yang berada di bawahnya. Mata Atra terpejam, bibirnya sedikit terbuka berusaha untuk meraup oksigen sebanyak mungkin dikarenakan napasnya yang sudah tidak beraturan akibat tawa.

Marcel terpaku, menikmati pemandangan di depannya. Atra yang begini, seribu kali terlihat lebih indah.

“Sayang.” seperti sebuah insting yang tidak dapat tertahan; Marcel mendekatkan wajahnya pada perpotongan leher Atra, menggesekan ujung hidungnya; menghirup dalam wangi sang kekasih.

“Yaaaah?” Atra mulai gelisah, ia tau kemana tujuan sosok di atasnya; sangat jelas terasa dari gerak bibir Marcel yang perlahan menjamah lehernya, menghujani dengan banyak ciuman basah. Sial.

Atra tidak perlu melihat ke cermin, ia sudah bisa merasakan seberapa banyak noktah merah yang tercetak di lehernya — Marcel enggan untuk berhenti, ia benar-benar mengabaikan ucapan Atra.

“Aku besok ada acara, stop jangan banyak-banyak.” rengekan si manis semakin menjadi saat cumbuannya naik, “Marceeeeel.” kalau saja Atra tidak ingat ada jadwal yang mengharuskan untuk pakai dresscode khusus, ia akan dengan suka rela membiarkan Marcel menyesap kulitnya hingga meninggalkan lebih banyak tanda.

Marcel menghentikan aksinya, menatap Atra dengan kening berkerut, “Acara kemana? Aku gak tau.”

“Nikahan sodaraa, aku juga baru inget.” ia mengalungkan tangannya pada leher Marcel, yang ditatap hanya ber’o’ sebagai respon.

“Yaaah kamu gak bilang diawal, maaf yaaa aku kelepasan.” Atra memutar bola matanya jengkel — preet, kata maaf Marcel tidak sesuai dengan ekspresinya yang kini tampak bangga melihat tanda merah memenuhi leher dan dada Atra; oh, jangan lupakan seringai menyebalkannya.

“Halah jelek lu.”

“HAHAHAHAHA.” tawa Marcel yang semula memenuhi ruangan perlahan meredam dikarenakan aksi bibirnya yang beralih menikmati bibir ranum sang pacar.

Rasanya tetap sama, bibir Atra selalu menjadi candu bagi Marcel, ketika bibir tipis itu terbuka, Marcel tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk menyusuri rongka mulut Atra dengan lindahnya, mengabsen satu-persatu deretan gigi si manis.

Atra sudah sepenuhnya terbawa suasana, tidak tahu saliva milik siapa yang turun lewat ujung bibirnya, tapi sungguh, saat ciuman Marcel semakin rakus, Atra tahu tidak ada jeda untuk berhenti. Yang lebih besar benar-benar mengambil separuh pasokan udara miliknya hingga membuat lengkuhan si manis lolos.

“Eumh-” dengan tenaga yang tersisa Atra mendorong dada Marcel — jeda pada ciuman mereka menciptakan benang saliva yang begitu jelas saat bibir keduanya tidak lagi saling melumat.

Tidak tahu sejak kapan title good kisser Atra hilang, tapi ia akui ciuman Marcel benar-benar gila — Atra selalu menjadi yang pertama memohon jeda dan ia selalu menjadi yang paling berantakan. Seperti sekarang; bibirnya sudah membengkak dengan kilap saliva, sementara Marcel — dia masih menatap ranum itu dengan lapar, ingin lagi — namun tak lama maniknya bertemu dengan netra bulat Atra yang berkedip lucu.

Marcel terkekeh, “Kamu kenapa?” Atra terheran.

“Gapapa,” jemari Marcel bergerak menyeka bekas saliva pada sudut bibir Atra, “Kamu lucu.” — yang dipuji terdiam.

Ada hening untuk waktu sebentar.

“Jangan pergi lagi ya, Tra.” kalimat tak terkira itu berhasil menyentil hati Atra, sesal masih ada.

“Aku butuh kamu.”

“Iyaa, aku gak akan pergi lagi.”