Day five: Rekonsiliasi

#30DaysGoyuuDrabble

“Aku ingin memperbaiki hubungan,” ujar Satoru cepat. “Hubungan denganmu.”

Alis Yuuji tertaut. “Kurasa hubungan kita baik-baik saja, Gojo-senpai.”

“Ya ampun ....” Tangan kanan rambut putih itu menyambar satu helai tisu yang ada di meja. Perlahan dia menyeka bibir yang basah dengan tisu. “Ternyata kau pandai sekali berdusta,” lanjutnya. Sarkasme.

“Tapi ... aku memang tidak berbohong, Gojo-senpai. Aku berkata sesuai keadaan.”

“Keadaan kita tidak normal, Yuuji. Berjauhan ... singkatnya.”

“Maaf, aku tidak mengerti.”

Sesap pertama Yuuji menghabiskan seperlima minumannya. Manisnya float—atau topping berupa es krim vanila—sedikit menenangkan gugup yang menyergap. Dia tahu bahwa kakak kelasnya ingin membicarakan gelagat anehnya beberapa hari terakhir.

Satoru memasukkan sepotong kecil kue brownies ke mulut setelah berkata, “Coba mengertilah. Otakmu kan, pintar.”

“Ujung kalimatmu palsu, Gojo-senpai.” Yuuji menyendok sedikit float. “Aku akan menganggapnya sebagai ejekan.”

“Memang,” Satoru terkekeh. “Tertular oleh sikapmu kemarin-kemarin.”

“Terserah.”

“Sekarang Yuuji yang ketus, ya.”

“Memang.” Mata madu itu melirik sekilas makanan di depannya. “Udah, habisin dulu makanannya baru ngomong. Aku dengarkan nanti.”

“Yuuji ....”

“Apa?”

Satoru menghela napas. “Enggak jadi.”

Tadi, Satoru memesan segelas kopi susu yang sekarang masih mengepul, dan Yuuji memilih caramel macchiato dingin. Walau pilihan minuman lain ada banyak, tetapi Yuuji memilih ini. Tidak ada alasan spesifik. Dia cuma ingin menyamakan jenis minumannya dengan milik Satoru.

Omong-omong, Satoru sempat kesulitan saat memesan di depan. Dia ceroboh, karena tidak merobek sedikit kertas dan lupa bertanya kepada Yuuji apa saja pesanannya. Keadaan cafe memang masih sunyi. Namun, bertanya dengan suara nyaring dari ujung ke ujung di tempat umum itu memalukan. Bagaimana jika Suguru dan Shoko menyembul dari pintu, lalu tiba-tiba berada di sampingnya sambil memasang ekspresi, “Aku tidak menyangka bahwa Satoru sememalukan ini.” Esok hari di sekolah dia bakal jadi bulan-bulanan.

Beberapa menit diisi oleh kunyahan dan lirikan Satoru kepada Yuuji. Laki-laki jangkung itu mulai gelisah. Ini pertama kalinya dia harus mengejar seseorang. Rasanya ingin cepat-cepat selesai dan membuat hubungannya kembali seperti semula.

Namun, benarkah keadaan semula itu yang dimau Yuuji? Sahabatnya, Shoko, mengatakan bahwa Yuuji menjauhinya karena sikap jual mahalnya itu. “Kau bodoh, Satoru. Lama-kelamaan Yuuji akan menganggap kau memang tidak menaruh rasa padanya,” begitu ceramah Shoko saat dirinya mencurahkan hati di sela-sela waktu misi.

Sesungguhnya;

Sejak pertama kali Yuuji memberi perhatian, Satoru merasa terjebak di labirin besar yang diciptakan oleh pikiran imajinernya. Pemilik iris biru itu selalu frustrasi. Sepanjang mencari jalan untuk keluar dari labirin, dia selalu berhenti di tempat buntu. Bayang-bayang wajah Yuuji terus menghantui. Ia kerap tersandung. Bahkan jatuh tersungkur. Oleh sulur berduri yang merambati jalan-jalan setapak bertabur batu-batu tajam.

Mungkin, semua usaha pelarian diri yang nihil tadi merupakan manifestasi betapa kacau alam bawah sadarnya. Satoru kehilangan arah. Tidak memahami isi pikirannya sendiri. Jiwanya terbelah menjadi dua kubu: eskapisme (kecenderungan menghindar dari kenyataan) dan realisme (kehendak untuk menerima kenyataan).

Kapan dia bisa bebas?

Kapan dia dapat menghapus rasa gelisah?

Kapan dia mampu mengenyahkan bayang-bayang sialan?

Tidak ada yang tahu. Atau ... belum. Seseorang belum berdiri di depannya. Belum mengulurkan tangan.

Satoru bertanya, “Memangnya Yuuji tulus? Bagaimana jika selama ini delusi semata karena aku terlalu banyak mengambil informasi. Atau mungkin—”

“Senpai, sudah belum? Kenapa bengong?” Teguran Yuuji mengembalikan pikiran Satoru.

Hanya satu pemecahan masalahnya. Satoru harus menemui Yuuji. Utarakan segala unek-unek, termasuk rasa gengsi tersebut.

Serta ....

Perasaan cinta yang dikubur dalam-dalam.

“Yuuji, maksud sebenarnya adalah ...,” Satoru menelan ludah. “Aku ingin berterus terang kepadamu.”

“Mau jujur? Oh, silakan.”

Satoru mencebik. “Jawabnya jangan cuek begitu, dong, Yuuji ...!”

“Aku tidak peduli.” Teguk terakhir terjadi di minuman Yuuji. “Sudah, lanjutkan apa yang mau senpai katakan.”

“Begini. Yuuji pasti menyadari kalau aku bersikap dingin padamu. Setiap kali kamu memberi perhatian, aku menepisnya. Tapi, ketika kamu berdekatan dengan yang lainnya aku langsung bersikap posesif. Aku pikir kamu sudah muak karena rasanya aku menarik ulur. Tidak memberi kejelasan.”

Lantas, Yuuji mengangguk.

“Aku jengkel ... pada fakta bahwa, Satoru tidak ingin Yuuji membagi perhatian kepada lainnya. Makanya aku berusaha tidak peduli sama kamu. Siapa tahu, kamu menyerah dan pergi. Nyatanya aku malah berbalik dan mengejarmu.”

Lagi-lagi, Yuuji mengangguk sekenanya.

“Kemudian ...

... aku ... suka padamu.

Oke! Dari dulu, aku memang berusaha untuk memendamnya, bahkan mencoba distorsi—memutarbalik fakta dengan pura-pura membencimu. Tapi ... sial sekali! Saat kau memberi senyum ke orang lain, perasaanku campur aduk. Marah, karena bukan aku alasan dari senyum tulusmu itu. Senang, karena aku ingin pamer kalau Yuuji adalah adik kelasku dan dia paling manis. Terakhir, aku sedih ... karena perasaanku belum sampai. Akibat keegoisanku.”

Hening.

Yuuji menghentikan makan, mencerna rentetan kalimat Satoru yang sepanjang rel kereta api, dan mengerjap-ngerjap lucu. Satoru pun ikutan berkedip dengan wajah merah semu.

“Ahem,” Yuuji berdeham—mengurangi suasana tak nyaman. “Lalu, bagaimana dengan masalah hubungan? Gojo-senpai mau apa?”

Yang ditanya menyesap tetes akhir kopinya. Kuenya tersisa sejumput saja. Sisanya ludes. Nafsu makan Satoru naik drastis, seiring sampah pikirannya yang berhasil dibuang.

“Gara-gara perasaan aneh itu yang membuat senpai merasa di labirin besar?”

“Ya.”

“Menarik.” Yuuji manggut-manggut. “Kalau begitu, mari bangun ulang hubungan kita. Dari mengenal lebih jauh tanpa gengsi, boleh?”

“Boleh.”

Satoru mengerling ke arah pintu. Beberapa pengunjung lain mulai berdatangan. Kemudian memandangi piring-piring dan dua gelas yang telah kosong. “Lho, enggak disangka makanan kita sudah habis. Yuuji, mau jalan-jalan sebentar? Masih ada waktu sebelum Pak Yaga memanggil.”

“Dengan senang hati, Gojo-senpai.”