Biru

#5ULokalWeek ; childhood-fantasy

Yuuji menarik kopernya yang tersangkut pada ceruk-ceruk aspal berlubang. Ditariknya perlahan sembari memandang pesisir pantai sana. Angin laut meniup helai rambut dan pakaiannya, begitu juga perasaannya yang mulai mengeruh. Ada pilinan gelisah yang melilit dadanya.

Pantai kali ini terasa berbeda. Lebih ramai. Lebih asing.

Ada yang hilang;

Fragmen kenangannya.

Mari mundur sejenak ke belasan tahun yang lalu.

Dulu, Yuuji pernah jatuh cinta, pada seorang bocah yang lebih tua empat tahun darinya tatkala usianya baru menginjak enam tahun.

Cintanya bisa dikatakan cinta monyet. Sekadar perasaan suka yang terbesit karena teman sepermainannya begitu asyik.

Bagi anak kecil, tentu tidak paham alasan apa yang memberinya senyuman setiap pagi. Namun, yang pasti, Yuuji menikmati hal yang ia lewati bersama laki-laki yang mata birunya sama dengan laut di depan rumah kakeknya tersebut.

Yuuji ingat terus bagaimana kawannya menyebut nama.

“Gojo Satoru,” dengan alis bertautan dan bibir mencebik. Yuuji yang antusias, segera menarik tangan putihnya dan mengajaknya berlari menyusuri bibir pantai.

Liburan musim panas ini mereka menghabiskan waktu bersama. Bermain voli pantai dengan Satoru yang selalu menang. Petak umpet yang berujung Yuuji menemukan Satoru karena kulit cerahnya. Kemudian berlari-larian, bersepeda menuju toko kelontong, memanjat pohon kelapa, terbaring di pasir sambil menghitung hamparan rasi, hingga menginap di rumah kakek. Yuuji senang dengan hal-hal sederhana itu, dan ia ingin Satoru juga merasakan hal yang sama.

“Nanti ketemu lagi, ya?”

“Aku enggak bisa jamin.”

“Kenapa?”

“Kakiku bisa diambil kapan saja.”

Terkadang, Yuuji menemukan Satoru diam menekuri deburan ombak ketika senja tiba. Pertanyaan apa dan mengapa memenuhi benaknya. Apalagi, kemarin ia berkata kakinya bisa diambil kapan saja.

Saat itu mereka sedang menggali pasir, mencari setitik lubang tempat undur-undur laut bersemayam. Setelah jawaban itu, Yuuji keheranan. Memangnya, kaki bisa lepas pasang seperti lego? Kalau manusia bagaimana? Yuuji menggaruk pipi gembilnya. Ia coba pada jari gemuknya. Tidak bisa. Hanya rasa sakit.

Mungkin Kak Satoru berbeda, pikirnya.

Keanehan lainnya ialah, Satoru sangat misterius. Tepat surya menyapa, ia menunggu Yuuji selesai mandi dan sarapan. Pagi-pagi sekali ia mengetuk pintu, dan memanggil nama si surai merah muda sebanyak tiga kali ibarat sebuah mantra. Lalu, kakek membukakan pintu dan mengajaknya masuk ke dalam, yang dengan cepat Satoru tolak. Ia lebih memilih duduk di teras untuk mengobrol kecil. Topik yang dibicarakan tak jauh dari cucunya makan malam dengan apa, tidur pukul berapa, serta segala urusan duniawi Yuuji saat Satoru tidak ada di sebelahnya.

Pernah kakek bertanya di mana rumah Satoru, tapi ia balas dengan menunjuk laut. Arah percakapan segera diganti. Sehingga ia tidak pernah membicarakan dirinya. Hanya datang, bermain, pulang, dan berputar terus sampai liburan musim panas hampir usai.

“Hari ini terakhir kita bermain,” ucap Satoru sembari merebahkan Yuuji. “Besok kamu pulang, kan?”

Yuuji mengangguk. “Iya! Besok ayah dan ibu datang menjemput!”

“Baguslah, aku tidak perlu menemuimu lagi.”

“Kok gituu?! Nanti Yuuji kangen ....”

“Kan, besok kamu sudah pergi.”

Satoru menarik garis di sekitar kaki Yuuji.

“Kak Satoru sendiri enggak kangen?”

Satoru tidak menjawab. Ia sibuk meraup segenggam pasir, lantas menutupi kaki yang lebih muda. Dilakukannya berulang sampai membentuk sesuatu.

“Ini aku,” ucap Satoru tiba-tiba. Ia memandang kaki Yuuji yang sudah ditutupi gundukan pasir.

“Kak Satoru itu aku ...?”

“Ish! Bukan!” Satoru berpindah posisi, kini duduk di samping kepala Yuuji. “Tahu puteri duyung?”

“Ariel,” jawab Yuuji polos.

Satoru mengerjap. “Y-ya betul, Ariel.”

“Terus, kakak duyung ya?”

Tak terbayangkan oleh Satoru jika Yuuji menebaknya. “Ya,” balasnya singkat, tanpa elakan. “Yuuji merasa aneh?”

“Enggak!” Yuuji menggeleng. “Oh iya, duyung punya kaki? Bukannya ekor?”

Satoru terkekeh. “Justru itu, aku punya kaki karena tugasku mengumpulkan sesuatu. Jika tidak, aku akan menghilang.” Ia berhenti sebentar. “Dan kamulah sesuatunya ....” Suaranya kian mengecil di penghujung kalimat. Ada ragu menggantung.

“Kalau begitu, Kak Satoru ambil saja!”

Namun, yang dimaksud berapi-api.

Yuuji bangun. Gundukan pasir di kaki berantakan. Manik madunya menatap tajam.

Satoru langsung menghela napas. Jantungnya seakan menabuh. “Tidak bisa! Sudahlah kamu enggak bakal paham. Mending kita main lagi.” Ia berdiri, menepuk celana, serta mengulurkan tangan.

Yuuji menepis. “Enggak mau!”

“Yuuji, ayo bangun!”

Yuuji bergeming. “Enggak sampai Kak Satoru ambil!”

“Ayolaaah!”

“Enggaaak!”

“Kenapa enggak mau?!”

“Nanti Kak Satoru menghilang! Aku enggak mau!”

“Kalau aku ambil, nanti kamu ma—oke, baiklah.”

Satoru balik duduk. Meraih kedua tangan Yuuji dan diusapnya lembut. Bertolak belakang dengan angin yang mulai berembus kencang. Gulungan ombak pun ikut membesar, bahkan airnya mencapai posisi mereka. Tetapi, tidak ada yang berpindah tempat. Yuuji seolah-olah terbuai sosok Satoru.

“Sebagai gantinya, kamu yang mengambil.”

Di usia ke dua puluh tahun, tempat-tempat yang menjadi bagian masa kecil Yuuji telah banyak berubah. Tak terkecuali pantai ini. Permukiman warga kecil, termasuk rumah kakeknya, sudah digusur untuk lahan pembangunan pariwisata. Berjejer hotel, losmen, restoran, dan segudang fasilitas lainnya di jalanan. Menggantikan sisi perdesaannya. Kehidupan kini dengan dahulu tidak pernah sama lagi. Semuanya menghilang bagai coretan pasir tersapu ombak.

Yuuji tidak akan mengalami dirinya memanjat pohon kelapa, mencari bintang laut, dan bermain bersama Satoru lagi. Ah, benar. Setelah musim panas ke enamnya, ia tidak menemukan Satoru. Walau berulang kali mendatangi pantai ini dan mencarinya. Ajaib. Seolah sosok itu melebur, atau ditelan, atau pun menghilang begitu saja.

Sesungguhnya, Yuuji tidak mengingat apa-apa setelah ia bersikeras meminta Satoru mengambil sesuatu darinya saat itu. Buntu. Nihil.

Namun, masih ada yang tersisa.

“Ini kunci kamar 0703 untuk Tuan Itadori Yuuji,” seorang resepsionis memberikan kartu kamar hotel.

Yuuji mengulas senyum. “Terima kasih!”

“Sama-sa—OH?!” Wanita muda itu menutup mulut. Terpengarah. “Maaf, saya terkejut. Anda memiliki dua mata berbeda warna.” Ini pertama kalinya menyaksikan sesuatu yang luar biasa.

Senyum Yuuji semakin terkembang seiring kelopak matanya menyipit. “Tidak apa-apa. Ini memang tidak biasa.”

Satu yang Satoru tinggalkan.

Sebuah mata biru.

Biru.