Ini temu pertama bagi Satoru, setelah sekian tak bersua dengan perempuan di hadapannya kini. Mereka duduk berseberangan; dengan posisi Satoru menyenderkan punggung bertumpu bantal-bantal usang—yang sedikit melorot pada dinding. Sedangkan perempuan itu diam bersimpuh dengan kedua tangan mengantup di pangkuannya.

Penerangan kamar yang remang bersama heningnya suara, membuat suasana menjadi ganjil. Pun, dua pasang mata beradu tatap, saling menelusuri setiap jengkal entitas. Birunya Satoru menangkap pantulan cahaya pada wajah perempuan itu. Ada bekas luka, darah, dan koreng di sudut bibir; juga guratan di hidung mungil. Mungkin orang lain yang melihatnya akan tergugu, atau memalingkan wajah kasihan, atau bahkan meludah jijik. Tapi, berbeda untuknya, ini cantik, terlampau cantik. Sempurna yang terpaksa bersembunyi; menunggu disibak oleh seseorang yang tepat. Dan Satoru berpikir, dialah yang akan menarik cantik itu sendiri.

Beralih pandang. Perempuan itu, yang dijuliki sebagai oiran yang jatuh, memandang takjub Satoru. Rambut putih keunguan, mata bagai cakrawala, bahu lebar nan tubuh tegap, dan hal terpenting: kedudukan terpandang di masyarakat. Sangat mengherankan mereka dapat bertemu lagi ketika dirinya sudah kehilangan segalanya. Yang tersisa ialah sebuah julukan, kimono mewah peninggalan masa jaya, serta rumah tua di sudut kota.

“Di mana lagi?”

Sepatah pertanyaan mengalun. Membuyarkan tatapan mimpi si perempuan. Lantas ia ikut bertanya, “Lukanya?”

“Ya.”

“Bahu,” jawabnya pelan sembari mengelus daerah yang disebut.

“Perlihatkan.”

Sebuah perintah. Tajam dan otoriter. Yang menerima sekilas membayangkan kala Satoru menjadi seorang mandor. Pastilah semua orang mendengarnya. Membangkitkan rasa tunduk dengan tatapan dan nada kering bagai belati.

Perlahan, mata Satoru mengikuti gerakan halus perempuan di depannya. Dibalik kimono itu, tampak bahu seputih susu dengan beberapa goresan luka. Tidak dapat dipungkiri, bahu mungil dengan tulang sedikit mencuat memberi kesan lembut. Terlebih, ada rona merah di sana. Entah karena malu, atau memar yang memudar. Bagi Satoru tidak masalah apa pun alasannya. Tetap cantik. Selalu cantik.

“Itadori Yuuji.” Satoru mendekat. Membelai helaian rambut milik Yuuji. “Rambutmu cantik, mengingatkanku pada kelopak sakura. Tidak hanya itu, semuanya memang cantik. Aku suka.”

“Terima kasih, Tuan.”

Yuuji mengulum senyum. Ada perasaan aneh ketika diucapkan kalimat manis. Ia beranggapan bahwa dirinya tidak lagi menarik. Namun, Satoru terus memujinya.

“Tidak perlu berterima kasih. Kamu memang pantas untuk disanjung. Lagi pula, aku datang ke sini untuk membawamu.”

Yuuji menatap lurus kepada Satoru. “Tuan menginginkan seorang pelayan?”

“Bukan.” Satoru tersenyum lalu mengecup kening Yuuji. “Aku ingin menikahimu. Jadilah istriku.”