terakhir kali satoru melihat tawanya dua hari lalu. muridnya pulang dengan mata yang sembap dan hatinya seketika mencelus. balasan pilu pun terlontar, saat mencoba tanya pada rekan kerja sekaligus adik kelasnya. ia mendengar bahwa anak laki-laki itu sedang berduka; menyesali mengapa dirinya tidak cukup untuk menyelamatkan teman barunya.

beberapa cara ditempuh agar laranya meluruh. namun, tawa dan senyumnya bilas berubah hambar. ramai ekspresi tiap film diputar, juga celotehan kecil perihal alur dan pelakonnya tidak ia temukan malam ini. satoru tidak suka. ada yang kurang. harus dikembalikan.

“ayo kita pergi ke tempat yang jauh sekali ... hingga kita berdua saja, mau?”

mata pemuda di hadapan satoru membulat.

“tolong ajak aku, sensei!

mereka berangkat di petang hari setelah menyetujui tawaran yang lebih tua. tidak ada barang lebih yang dibawa; hanya raga dan harapan satoru agar yuuji dapat kembali ceria.

kini, mereka duduk bersisian di kereta dengan jemari saling bertaut. kereta melaju kencang tanpa bising suara. entah mengapa, suasananya lengang. tidak banyak orang yang mengisi lorong. padahal jam menyentuh pukul lima—yang berarti, waktunya jiwa-jiwa lelah melepas diri dari kerepotan duniawi. seakan semesta ingin mereka berdua sejenak.

anggaplah mereka sedang menulis kenangan di sisa waktu terbatas. sebelum semuanya berubah. sebelum yuuji kembali bersedih. sebelum hari eksekusi tiba. sebelum, sebelum, sebelum tiada lagi hari-hari yang normal.

lama yuuji memandangi ombak yang datang dan pergi. separuh jiwanya seperti ikut terombang-ambing. deburannya datang menyapu pasir dan kaki, kemudian mundur meninggalkan kekosongan. namun, horizon berlukis jingga di depannya memberi panorama menarik.

“yuuji,” satu panggilan tidak dihiraukan.

dan dua, tiga, empat, hingga lima panggilan baru terjawab.

“bagaimana?” tanya satoru, ada getaran gelisah di penghujung kata.

seulas senyum diberikan. “indah ... terima kasih, sensei!

gelayut gamang di hati satoru terlepas saat ia menjawab. “syukurlah,” balasnya lega. “tolong, lain kali cerita pada sensei, ya? kita akan jalan-jalan sambil mendengarkan kamu cerita. jadi tolong tersenyumlah, ya?”

mereka pulang dengan membawa buah tangan.

beberapa kotak kue dan sepasang cincin.