Detak

#Goyuumonth, Day 4 — Heartbeat

Akhir-akhir ini Satoru punya kebiasaan baru. Setiap saat, asalkan ada Yuuji, dia akan menyempatkan diri menaruh kepala di dada muridnya. Supaya apa? Tentu saja untuk mendengar detak jantungnya.

Sejak jantung Yuuji dicabut oleh Sukuna tempo lalu, Satoru diam-diam parno sendiri. Ketika melihat tubuh dingin muridnya yang terbaring kaku, perasaan kesal mendadak menyergap hati. Dia jarang merasa seperti ini. Dan setelah sekian lama, remaja tanggung itu menjadi alasannya. Bahkan, dia sempat berpikir untuk menghabisi nyawa para petinggi Jujutsu.

“Benar-benar langka, ternyata kamu juga bisa bertindak berdasarkan emosi,” ujar Shoko ketika masuk ke ruang autopsi.

Pun, Satoru diam-diam membenarkan ucapannya.

Tidak dipungkiri, Satoru ingin generasi baru yang kuat nan cerdas. Hakari dan Yuuta akan menjadi ahli jujutsu yang setara dengannya. Tentu saja Yuuji adalah salah satunya. Seharusnya. Namun, jelas di depan matanya tubuh Yuuji sudah tidak bernyawa.

Yuuji ialah aset masa depan. Satoru tidak boleh kehilangannya.

Namun, benarkah hanya itu?

Tidak lebih?

Jangan lupakan, bagaimana bahagianya Satoru sewaktu murid kesayangannya tiba-tiba bangun dengan jantung yang utuh. Dia langsung mendatangi Yuuji yang kebingungan. Dengan ucapan selamat datang yang seramah mungkin, mereka saling tos. Setelah itu, ia langsung menyembunyikan Yuuji dari para petinggi dan orang lain dengan alasan pelatihan.

Selama masa persembunyian Yuuji itulah, Satoru menemukan kebiasaan barunya.

Adiksi terhadap detak jantung Yuuji.

Deg, deg, deg.

Stabil.

Masih bersuara. Masih berdenyut.

Satoru lega. Benar-benar lega. Degub jantung Yuuji menjadi melodi indah baginya. Bagai musik favorit.

Terkadang, ketika ingin lebih jelas mendengarkan, Satoru akan mencuri stetoskop Shoko dan menggunakannya. Seperti saat ini. Mereka sedang menonton film bersama di basemen. Mata mereka terpaku pada layar televisi, hanya saja telinga Satoru disumpal eartips. Seakan mata birunya memandang kosong ke depan karena terlalu fokus pada debaran Yuuji.

“Sensei.” Yuuji memanggil di sela-sela adegan seru. Tangannya memagut boneka kutukan.

Satoru menoleh. “Iya, Yuuji? Ada apa?”

“Kenapa sensei mendengarkan suara jantungku?”

“Hmm, karena apa ya?” Satoru mengusap-usap dagunya. “Coba Yuuji tebak!”

“Huh? Eeer ....” Ekspresi Yuuji kelimpungan. “Karena ... karena sensei memastikan jika aku hidup?” Jawabnya ragu.

“Hm? Ahaha!” Satoru tak kuasa menahan tawa tepat mendengar jawaban polos dari muridnya. Hampir benar, tapi lebih dari itu. “Lucu sekali! Ayo coba tebak lagi ...!”

“Eh?”

Sesaat, suasana hening. Suara dari televisi mengisi kekosongan. Yuuji sibuk berpikir. Kernyitan di dahi muncul. Hebatnya boneka kutukan dipelukan Yuuji tidak berkutik.

Semenit. Dua menit. Tiga menit. Pikiran Yuuji buntu.

Dia menyerah.

“Tidak ada harapan. Sensei, aku tidak dapat memikirkannya ....”

Kemudian, Satoru melepaskan stetoskop yang dikenakan. Dia intens menatap mata madu muridnya. Tangannya pun menangkup wajah Yuuji. Kedua ujung jempolnya mengusap pelan pipi gembil itu. “Yuuji ...,” panggilnya lembut. Di waktu bersamaan yang dipanggil mulai berdebar kencang. Kaget karena perlakuan tiba-tiba oleh gurunya. “Alasannya karena ....” Ia menunduk, memberi kecupan singkat di sisi bibir Yuuji. “Sensei tidak ingin kehilangan kamu.”