melangkah hingga kaki tak lagi menapak

dedicated to ava

di suatu siang yang teramat terik, heeseung mengungkap keinginannya untuk mencoba hidup dengan mata terbelalak dan telinga terbuka lebar. posibilitas dan pengetahuan tidak pernah terasa lebih dekat ketimbang saat-saat kamu menghabiskan waktu bersamanya. garis antara hati yang mendamba teramat sangat dengan kobaran kecemburuan terkadang sulit dibedakan ketika dirinya hanya sejauh lima langkah dari tempatmu berpijak.

yang kamu tahu, dari jarak sedkat itu, dia akan meraih tanganmu. dia akan selalu meraih tanganmu. bahkan ketika kalian terpisah jalanan dan padatnya lalu lintas, dia akan menemukan cara untuk membuka jendela kamarnya hanya untuk melihatmu sudah berada di seberang, bermandikan sinar surya. baginya, kamu terlihat seperti pemandangan yang biasanya hanya ada dan terlukis di salah satu kanvas dari puluhan yang berserakan di seluruh penjuru kamarmu.

bagimu, hampir tidak ada yang membawa ketenangan lebih dari berjalan di sekitar kota tua bersamanya. bangunan yang menjulang di kiri-kanan adalah manifestasimu. dan baginya, tidak ada yang membawa kehangatan lebih dari melihatmu menyisiri detail lekuk dan desainnya dengan kedua matamu. ia tahu kelelahan, ia tahu rasanya terengah dan tersandung, sama halnya seperti ia tahu keinginan kuat untuk bertahan. menyaksikanmu pulang, ia berharap agar kamu berpegangan untuk waktu yang jauh lebih lama. kalian akan menyisir jalanan ini untuk waktu yang tak terhingga: tersasar, terjatuh, tersandung, tapi akan terus mencari jalan pulang.

kamu memimpikannya di suatu malam ketika kamu lupa menutup jendelamu. saat itu, jalanan kota lengang dan tidak ada orang lain selain kalian berdua. dia menarik tanganmu dan mengajakmu berlari entah mengejar apa — mungkin sebuah mimpi lain? angan? atau kenangan? yang kamu tahu bahwa ragamu menyatu dengan kencangnya angin yang membawamu terus ke depan, jasmani berubah menjadi kepingan kerinduan yang terus menerus berhembus. meski tak berwujud, kamu masih dapat merasakan kehangatan tangannya.

“ava,” suara berbisik dari segala penjuru. “temui aku ketika matahari hendak berganti purnama.”

maka kamu melakukannya, menemukan dirimu di bawah ungunya langit berawan — apakah angkasa selalu begitu cantik? warnanya seperti rimbunan syringa vulgaris yang tertanam di kebun belakang rumah nenek. ia menunjuk kembang api yang berletupan — seolah melukiskan hatimu — tapi yang kamu tatap hanyalah tangannya.

kamu menceritakan tentang ini kepadanya keesokan harinya. senyumnya merekah seirama dengan degup jantungmu yang memburu.

“kita bisa melakukannya,” janjinya di suatu pagi yang biasanya, jarang kalian habiskan bersama.

“baik,” katamu.

“buka jendelamu untukku, akan kuteriakkan namamu dari seberang jalan ketika waktunya tiba.”

selepas itu, kalian berduyun-duyun membuat memori baru untuk dikenang setahun, sepuluh tahun, seribu tahun dari saat ini. jutaan fajar dan senja kalian lalui bersama dan hidup tidak pernah terasa lebih cukup.


referensi: