untitled

dedicated to izha

makanannya sudah dingin, seperti lantai yang sempat kita sebut rumah. bangunan ini pernah membuat gerah, menjadi pabrik kasih dan kisah. kini hanya ada diriku sendiri, marah dan gelisah. kembang kol dan wortel luruh dengan kuah, sama sekali tak menggugah. malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku akan tertidur tanpa perut begah.

jalanan ini sempat ramai, kini hanya terisi oleh jejak kaki. benamkan memori dalam-dalam di setiap sudut gang-gang sepi. lampu jalanan di sebelah sini masih mati, jeonghan, tidakkah orang-orang menyadari? ternyata, kita menyusul takdir si pelita tanpa ada seorangpun yang mengetahui. bagaimana mungkin cerita ini dapat dibagi? bagaimana dengan ekspektasi? tertinggal, lantak, tak terpenuhi. bagaimana dengan doa tulus dari sanubari? semata mewujud menjadi angin malam yang menemani.

takkan ada lagi tangan yang mencegahmu tersandung. lututmu penuh bekas luka, katamu bekas bertarung. aku pernah mengecupnya satu-satu, sembari bersenandung, “banyak sekali yang telah kau tanggung.” kedua lengan ini temukan tujuan lain, tapi tetap tidak bisa menjadi penghubung.

bintang-bintang pernah jauh lebih terang. sejak kapan mereka hanya titik putih yang melayang? sejak kapan mereka berusaha mewujud menjadi diri ini, kecil dan berbayang? jeonghan, aku sempat menjadi layaknya ledakan, senantiasa mengguncang. aku bisa menjadi apapun saat dekapanmu menyambutku pulang. kini aku menatap rasi setiap petang, seolah menunggu seseorang pulang dari perang. apakah hidupmu senang? apakah langit malam masih membuatmu tenang?

makanannya berubah menjadi dingin, jeonghan. ribuan maaf menjadi permintaan terakhir sebelum kakimu melangkah dari pintu depan. remang ruangan mencegahku menatap entah senyuman atau dengusan terakhir yang kau lemparkan. hanya satu yang tertanam dalam ingatan: kegelapan.