Darkizhit

pu

#Pu

Arki mendengar seseorang memanggil namanya, tetapi kedengarannya jauh, seperti gema dari sisi lain lembah di pegunungan.

Dia mengenali suara ini, tetapi dia sepertinya tidak bisa menjawab, suaranya sendiri tercekat di tenggorokannya, dan suara yang memanggilnya itu semakin keras dan mendesak.

Saat dia akan menjawabnya, tiba-tiba dia mulai merasakan migrain dan matanya mulai terbuka perlahan.

Penglihatannya kabur, tapi dia sekarang bisa mendengar suara yang memanggil namanya dengan sangat jelas, dan segera setelah penglihatannya bersih, dia melihat mata biru safir menatapnya dari dekat.

Alya di hadapannya menghela nafasnya, entah karena apa. Lalu matanya menyorot tajam secara tiba-tiba dalam sepersekian detik menggantikan kilatan kekhawatiran di sana.

Arki menelan empedu di mulutnya, dan membuka mulutnya, suaranya keluar dengan bisikan serak. “Alya? Apa yang terjadi?''

Alya menghela kasar, kemudian menatap lurus ke arahnya. ''Apa yang terjadi? Kita tertangkap, itulah yang terjadi. Sudah ku bilang kita tidak boleh berpisah, orang-orang ini tidak seperti yang lain, ku bilang jangan berpisah—'' Alya membuang muka, kekesalan tertahan di wajahnya.

Arki menatapnya dengan tatapan keras kepala, dan kemudian melihat ke bawah, dan tiba-tiba matanya melebar. Dia mengangkat tangan kirinya ke udara dan berkata, ''Apa ini?''

Alya yang tadinya memalingkan muka dengan frustrasi, sekarang melihat ke arahnya, dengan tangan kanannya juga terangkat ke udara.

Dia mengernyitkan dahinya. ''Apa kamu bertanya? Ini borgol? Hal-hal yang tidak pernah kamu bawa, meskipun kamu seorang polisi—''

Alya menghentikan ucapannya sendiri ketika Arki menatapnya dalam diam dengan ekspresi kosong.

“Itu mereka. Mereka mengambilnya dari saku belakangku setelah mereka menjatuhkanku, dan ketika aku membuka mata, aku melihatmu berbaring di lantai di sebelahku, dan tangan kita diborgol. Mereka mengambil kunci dan segalanya.”

Arki menghela nafasnya dan bergumam pelan. Dia menyentuh earpiece di telinganya, dan menyadari bahwa itu tidak ada di sana. Dia menoleh ke arah Alya, dan Alya berkata, “Tentu saja, mereka mengambilnya saat kita tak sadarkan diri.”

Arki mendengus. Mencoba memikirkan cara untuk membuat mereka terbebas dari sana.

Alya melihat ke bawah ke tangan mereka yang diborgol bersama, lalu mengangkat tangan kanannya sehingga tangan kiri Arki juga terangkat, lalu dia meletakkannya, dan tangan Arki diturunkan lagi. Dia mengangkatnya lagi, lalu meletakkannya lagi.

Saat dia akan melakukannya untuk ketiga kalinya, dia mendongak, dan melihat Arki menatapnya dengan tatapan dingin yang stabil. Alya menurunkan tangannya dengan tenang dan membuang muka.

''Apa kau melihat salah satu dari mereka datang dan pergi dari sini? Kita pasti berada di suatu tempat yang tentu bukan di lantai dasar tempat ini,” kata Arki, bergeser untuk berdiri, tetapi dia terhuyung-huyung, dan membiarkan tubuhnya bersandar pada dinding beton di sampingnya, merasa bingung.

Alya menarik tangan kanannya, memaksa Arki untuk kembali duduk. “Hei, kamu tidak sadarkan diri dan hanya Tuhan yang tahu berapa lama, juga kita tidak tahu apa yang mereka masukkan untuk menjatuhkan kita, jadi tetap tenang dan duduk di sini!”

Arki mencemooh tetapi ekspresi khawatir di wajahnya telah benar-benar menguap. ''Benarkah? Hanya kamu yang bisa mengatakan sesuatu yang sangat tenang dalam situasi seperti ini, Nona Inspektur yang terlalu percaya diri.”

Alya tak menjawab, tak mendengarkan juga, dia berdiri dan berjalan, secara otomatis menyeret Arki dengan tangannya yang diborgol mendekati pintu. Dan seperti yang diharapkan, pintu itu terkunci.

Alya bergeming, tiba-tiba berbalik, dan tersenyum lebar. Arki menatapnya, tidak mengerti alasan di balik tatapan itu.

“Aku tahu kau membawa gadget seperti laba-laba yang selalu kau gunakan untuk membuka semua jenis kunci, kan?'' Alya berkata, dan kemudian menyipitkan mata merendahkan, ''... Atau kamu bisa menendang pintunya.”

Arki menghela nafas, dan lalu menendang pintu dengan suara keras. Debu naik ke udara sampai ke lorong, lalu dia menoleh kembali kepada Alya.

''Kita harus cepat, jika mereka ada di sini, mereka pasti mendengar suara itu,'' ucap Arki, dan Alya di sana, dengan mata terpaku tidak percaya mengangguk dan mereka mulai berjalan menyusuri lorong gelap yang panjang.


''Apakah ini jalan yang benar?'' Alya bergumam, saat Arki membawanya ke lorong, memeriksa untuk melihat apakah ada pintu lain yang terbuka dan menemukan semuanya terkunci.

Arki menjawab dari depan. ''Jika kau berpikir bisa membawa kita ke arah yang benar, silahkan.''

Alya mengerutkan kening, tapi berhenti mengeluh. Lalu secara tiba-tiba Arki berhenti di tengah jalan, dan Alya menabraknya, lalu berkata, ''Ada apa? Apakah kamu menemukan tikus mati atau sesuatu?''

Arki tidak menjawab pertanyaan yang terdengar bodoh itu, dan malah mengklik tombol di arlojinya dan lampu obor menyala darinya. Arki kemudian mengarahkannya ke dinding di sebelah mereka.

Alya berbalik untuk melihat dan ada peta bangunan, hampir pudar oleh karat dan waktu, tetapi mereka bisa melihat di mana lift itu berada, dan lab terbesar, yang terletak di lantai paling atas.

''Jadi itu sebabnya tidak ada dari mereka di sini.'' Alya bergumam, dan Arki mulai berjalan ke tempat lift itu berada.

Alya berkata dari belakangnya dengan nada ragu. ''Ki, aku rasa lebih baik kita naik tangga saja. Bagaimana jika mereka—''

''Itu di lantai 30, dan kita di lantai 5 sekarang,'' balas Arki.

''Ya, tapi tetap saja, mereka bisa mengawasi—''

Alya mulai lagi, dan Arki berhenti berjalan dan berbalik, menatap Alya dengan tatapan mantap, dan mengatakan, ''Bukankah kita harus menangkap mereka sebelum mereka melarikan diri? Kita tidak tahu kapan mereka akan menyelesaikan eksperimen mereka dan melarikan diri dengan mesin portabel teknologi ilmiah bodoh itu.''

Sebelum Alya bisa menjawab, Arki berbalik dan menariknya, berjalan lebih cepat ke ujung lorong panjang, tempat lift berada. Alya menghela nafas dan memutuskan untuk memercayainya—meskipun kecemasan masih terus berputar di perutnya.

Saat mereka masuk ke dalam lift, dan lift itu mulai bergerak naik, mereka berdua menghela nafas lega. Setelah sekitar satu menit, Arki menoleh ke Alya, menatapnya dengan pandangan merendahkan. ''Lihat? Tidak masalah—''

Kemudian lift tersentak, lalu berhenti bergerak. Mereka berdua saling memandang dengan bingung, dan kemudian kesadaran tiba-tiba muncul di wajah mereka.

Alya mengusap wajahnya berang. ''Mereka masih di sini dan mereka tahu kita kabur, sialan!”

Arki berdengung, sedikit menunduk dan memegang dagunya lalu berkata dengan suara rendah. ''Mereka pasti telah mengawasi kita selama ini. Aku tidak melihat kamera CCTV—''

“APA KATAKU!'' Alya kemudian berhenti, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Arki bergumam, ''Sudahlah. Jika mereka memang mengawasi kita, sudah lama kita ditembaki dari atas dan kita mati dalam hal apapun, tanpa senjata dan Namie yang membimbing kita.”

Alya melengos sinis. “Itu kata penenang yang sadis.”

Mereka berdua tetap diam. Sampai kemudian, setelah beberapa saat berada dalam keheningan, lampu di lift padam, dan mereka berdiri dalam kegelapan total. Lampu darurat redup dan berkedip dan menyala di lift, dan mereka berdua berdiri di sana dalam diam, menunggu sesuatu terjadi.

Setelah beberapa saat ketika tidak ada suara, tidak ada gerakan sama sekali, Alya berbisik, ''Apa mereka sengaja memutuskan aliran listrik, atau itu kecelakaan selama percobaan?''

“Pasti yang terakhir. Karena jika itu kemungkinan sebelumnya, mereka akan memotong kabel lift dan membiarkan kita jatuh. Dan kita mati terperangkap di sini, seperti tikus di dalam sangkar.”

“Ki, cukup.” Alya mendelikkan matanya dan mengerang frustrasi.

Beberapa menit berlalu dengan perputaran waktu yang terasa sangat lama, dan selama itu, tidak ada salah satu dari mereka yang bersuara. Keduanya nampak diam, menunggu keajaiban datang, lebih tepatnya, menunggu orang-orang itu memperbaiki apapun yang mereka kacaukan.

“Ah, sepertinya aku—”

Alya menoleh. Setelah ketika tak ada suara apapun di antara mereka, Arki berbicara, namun berhenti sendiri. Membuat Alya mengerutkan alisnya penasaran. “Sepertinya kau apa?”

Arki menghela nafas berat lalu menurunkan dasi yang melingkar di lehernya. Membuka satu dan dua kancing teratas kemejanya sambil mendesah panjang. Dia mendongakkan kepala dan matanya tertutup.

Alya membulatkan matanya. “Apa yang kamu lakukan?”

Arki di sana, menoleh padanya dengan dahi mengernyit gelisah, lalu berkata, “Ini tertutup.”

“Ya lalu?!” Alya berteriak dengan tidak sengaja. Kepalanya mendadak panik tanpa alasan, terkejut dan tidak mengerti secara bersamaan.

Arki kembali mendesah. “Klaustrofobia. Aku di sana.” Dia berkata dengan suara keras, seolah tengah berbicara pada puluhan orang.

Alya tidak tahu, tapi dia merasa harus mengerutkan keningnya semakin dalam setelah kalimat asing berbahasa aneh itu mengisi indera pendengarnya dan berdenging di kepalanya. “Hah?” Dan itu respon satu-satunya yang keluar dari mulutnya.

“Akh! Idiot!” Arki mengerang, mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya lalu merosot saat punggungnya membentur dinding lift di belakangnya.

Untuk beberapa alasan, Alya tersinggung, karena kalimat itu. Tapi kemudian dia langsung berubah jadi panik saat melihat Arki mulai terduduk dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya yang tertekuk.

Alya menghela gusar. Dia ikut berjongkok, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Arki dan menggerakkannya ke depan dan ke belakang secara berkali-kali. Mencoba menarik kembali kesadarannya.

“Hei, halo? Adlantha? Apa ada sesuatu yang bisa saya hubungi untuk bisa berbicara di sana?” Alya berkata dengan cepat, seperti dikejar sesuatu. Lidahnya sampai terbelit-belit sendiri.

Lalu di sana, Alya terkesiap saat merasakan bahu di cengkeramannya gemetaran. Apa kamu menangis? Apa dia menangis karena sesuatu? Alya terus mengulang pertanyaan itu seperti kaset rusak dan dia tidak peduli.

Arki sedikit mengangkat kepalanya tapi matanya tidak mengarah pada Alya sedikitpun. “Itu sama sekali ... tidak menenangkanku, kau tahu?” Suaranya gemetar dan nyaris terdengar berbisik.

Alya mengerut bingung. Kesal di satu waktu bersamaan karena udara panas di sekitar mereka, dan Arki malah memainkan permainan “Tebak aku.”-nya. “Aku tidak tahu! Apa yang terjadi? Apa kamu melihat masa depan bahwa kita akan mati—”

Alya membulatkan matanya ketika melihat Arki mendadak memukul dadanya sendiri dengan kencang dan terbatuk kesakitan. Tapi dia tidak berhenti, terus melakukannya dan Alya dengan sigap menarik tangan kanannya sehingga tangan kiri Arki berhenti menyakiti dirinya sendiri.

“Apa? Apa yang terjadi? Hei, katakan padaku! Apa yang kau lakukan?”

Arki menarik tangannya kembali, tapi Alya menang dalam sesi tarik menarik kali ini karena Arki menyerah dan merengek. “Tidak, aku butuh itu untuk tetap sadar.”

“Tidak ada! Bertopanglah pada yang lain!”

“Idiot! Aku sesak! Aku tidak bisa bernafas! Ini sempit! Bunuh saja aku! Gila! Brengsek, aku tidak bisa!”

Alya diam hanya untuk melihat bagaimana mata itu menatapnya dan basah, menahan emosinya. Tangannya mengepal di kerah kemejanya, menariknya dan mendorongnya lagi.

Kepalanya terbentur keras ke dinding lift karena dorongan Arki, dan Alya meringis karena itu tapi tidak marah. Dia mendekat lagi, menjangkau Arki yang panik. Mencekal bahunya kali ini dan sedikit penuh tekanan di sana.

“Arki, tenang, oke? Tenang. Kita akan keluar, aku janji. Tenang ya? Oke?” Alya melontarkan mantra penenang dan matanya menatap lurus.

Arki kehabisan cara untuk menahan perasaannya dan kali ini membiarkan matanya menjatuhkan air mata yang sejak tadi membendung di sudut matanya. Terengah-engah, dan menggelengkan kepalanya. Menelan ludahnya susah payah. “Tidak. Itu tidak akan baik-baik saja.” Dia berbisik lirih.

Alya mencengkeram semakin kuat kedua-dua di cekalannya, mencoba mengembalikan kesadaran yang entah sudah melayang ke mana. Dan kemudian berkata dengan lugas dan jelas. “Arki, percaya padaku. Kita akan keluar dari sini, dan menangkap mereka, dan ini semua akan berakhir. Semua akan baik-baik saja, tenang oke, tenanglah.”

Arki diam, menatap Alya. Dia menarik dan menghembuskan nafasnya pelan, lalu menunduk, dan kembali menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangannya di atas lututnya. Mulai diam dan kembali bungkam. Dan Alya menganggap itu sebagai dia mendengarkannya.

“Aku melihat itu, di dalam lemari.”

Alya kembali menoleh untuk melihat Arki berbicara dalam kepalanya yang menunduk dan meski menunduk, suaranya masih terdengar jelas walau sedikit teredam.

“Aku pikir ingin memberi kejutan pada Ibuku, mengejutkannya. Seperti yang dilakukan orang lain pada Ibu mereka. Bahagia melihatnya mencariku.”

“Tapi aku ... di dalam lemari, melihatnya. Ibuku, ditembak, bunuh diri, karena aku tidak ada, dia ketakutan, panik karena apapun alasannya. Dan aku hanya diam, bersembunyi, dari Ibuku.”

Suara Arki memelan seiring kalimat itu berakhir. Dan Alya hanya diam mendengarkan, lalu menghela nafasnya. Dia mengulurkan tangannya dan merangkul Arki lebih dekat, tak bisa dan  bingung untuk melakukan apapun.

“Kejutanku tak membuatnya terkejut?” lanjut Arki.

Alya menghela pelan, lagi. Tak bisa menyusun kalimat apapun.

“Aku tidak tahu,” jawab Alya, pada akhirnya.

Arki tersenyum tipis. “Ya.”

“Tapi itu semua membawamu ke sini, Arki, membuatmu setidaknya menemukan apa yang harus kamu lakukan. Membuatmu mendapatkan tujuanmu. Bersama ... kami.” Alya tidak tahu apa yang dirinya sendiri katakan, tapi dia penuh keyakinan.

Dan Arki tersenyum kecil. Membiarkan saja dirinya ditarik dalam rangkulan erat. “Ya, itu tidak buruk.”

Lalu lampu lift menyala, dan lift tersentak dan mulai bergerak naik lagi perlahan. Arki dan Alya saling memandang, kemudian Alya melepaskan cekalannya dan sedikit menjauh, menatap Arki dengan jengah, begitu juga dengan Arki kepadanya.

Tak berapa lama kemudian, mereka saling tersenyum, lalu tertawa tanpa alasan, dengan maksud yang sama.

“Aku akan membunuhmu kalau ini tersebar ke MPD,” ujar Arki sambil tertawa.

“Kalau begitu lakukan semua perintahku dan dengarkan aku,” ucap Alya, tertawa kencang.

Keduanya perlahan mereda dari tawa mereka. Ekspresi masing-masing hilang, digantikan dengan tatapan tajam saling menantang.

Alya lebih dulu berdiri dan melangkah maju dan bertanya apakah Arki bisa berdiri, tapi pertanyaan itu dipotong saat dia melihat Arki berdiri dengan biasa saja, seperti kepanikan tadi tidak pernah ada.

Lift mencapai lantai atas, dan mereka melangkah keluar. Keduanya menemukan alat pemotong besi dan borgol berhasil terputus karena itu. Memungut beberapa senjata api dan beberapa peluru yang tergeletak di atas meja, beruntung mereka temukan.

Arki dan Alya berpisah untuk melihat tanda-tanda percobaan, atau mesin teknologi portabel, tetapi yang mereka lihat justru ruangan itu kosong.

“Apa mereka lolos?” gumam Alya, pada dirinya sendiri. Tetapi Arki dapat mendengar itu di sebelahnya dan menjawab, “Mereka belum pergi. Mereka pasti melihat polisi yang ditempatkan di luar dan mereka tak bisa menggunakan lift karena kita tadi.”

Keduanya diam dan Arki kemudian mendengar sedikit suara, dan dia melihat Alya, dia juga mendengarnya.

Mereka mulai berjalan menuju suara, dan akhirnya beberapa suara pelan datang dari sisi lain lorong.

Mereka melihat sebuah pintu besar di sana, dan Arki menendangnya begitu saja. Pintu itu jatuh di sisi lain.

Ruangan itu dipenuhi setidaknya dua puluh orang, dan koper-koper berisi uang diletakkan di atas meja. Segera setelah mereka melihat dirinya dan Alya, mereka menutup koper. Mulai waspada melihat keduanya.

“Yah, Ki. Aku tidak mahir tangan kosong,” bisik Alya. Sementara Arki hanya tersenyum miring dan tipis, lalu seseorang dari mereka maju dengan mengacungkan pisau lipat.

Arki menghindar. Membiarkan itu mengarah ke Alya, dan gadis itu refleks berteriak lalu menangkap pergelangan tangannya, kemudian membantingnya ke depan.

Arki melihat itu, dia praktis tersenyum tipis. “Aku juga tidak.” Dia menyikut seseorang yang menyerang mereka dari belakang, lalu menarik lengannya dan dia membungkuk untuk membuat orang itu terbanting ke depan.

“Jadi jangan bebani aku.” Arki mendorong Alya, mendekati belasan orang yang berkerumun di hadapan mereka.

Alya memekik kaget. Dia refleks memukul siapapun yang maju hendak menyerangnya, secara cuma-cuma.

Sementara dalam keributan, Arki menyadari bos besar mereka melarikan diri dengan koper. Dia berteriak pada Alya untuk mengurus sisanya, dan mengejar mereka sendiri.

Tak memedulikan teriakan Alya yang samar di telinganya, Arki berlari menaiki tangga, hingga kemudian dirinya sampai di ujung jalan buntu.

Bos besar yang dikejarnya otomatis berbalik menghadapnya. Tersenyum miring dan menjatuhkan kopernya begitu saja. Dia merentangkan tangannya dan lalu mengatakan, “Ingin menangkapku, Nona?”

Arki meraih tas pinggang yang menyimpan pistolnya, bersiap-siap menarik senjata baja itu kalau saja pria di hadapannya tak tertawa.

“Sebelum itu, keberatan untuk menebak apa yang ada di dalam koper ini?”

Arki mengerutkan dahinya. “Untuk apa?”

“Untuk keberlangsungan hidup temanmu.”

Jawaban disertai seringai tajam itu otomatis membuat Arki membelalakkan matanya, lalu memutar kepalanya, hanya untuk melihat Alya di sana, ditawan dengan moncong pistol mengarah ke cangkang kepalanya.

Suara kekehan memenuhi indera pendengarnya. Arki mengepalkan tangan. “Bodoh,” gumamnya dengan gigi terkatup rapat.

“Ya, seperti itu. Itu yang seharusnya kau tunjukkan padaku.”

“Bukan.”

Pria itu berhenti tertawa. Dahinya mengerut, satu alis terangkat dalam kebingungan yang eksplisit. Dan Arki tidak bisa menahan sudut bibirnya terangkat ketika menyadari perubahan raut wajah keriputnya.

Arki tak banyak bicara, berlari mendekati Alya, lalu melemparkan tinjunya pada ulu hati gadis itu hingga dia terbatuk dan tersedak sedikit darah yang meluncur keluar dari mulutnya.

Pria tua tersenyum. “Heh, sepertinya dia rusak—”

Bugh!

Arki menendang kaki seseorang yang menawan Alya saat laki-laki itu terkesiap atas tindakannya pada Alya barusan. Dia menarik tangan berpistolnya, mematahkannya sehingga senjata api itu terjatuh ke atas lantai.

Saat keributan kembali terpancing, Arki mencengkeram rambut Alya dan memaksanya untuk membungkuk hingga dahinya bersentuhan dengan lantai, sementara tangannya yang lain menarik pistol di sarung senjatanya. Kemudian bunyi ledakan mesiu memekakan telinga.

“AKH! BANGSAT!” pekikan yang diikuti erangan kesakitan terdengar setelahnya, meredam ketegangan dalam situasi sempit penuh kepanikan.

Darah mengalir dari tangan yang menutupi telinganya yang terkena serempetan timah panas dari tembakan acak asal Arki.

“Ambil itu, idiot.” Arki kembali melemparkan peluru, dan pistol yang akan meledak ke arahnya terjatuh saat Arki menembak tangan itu. Berakhir di betis, kemudian pria benar-benar dilumpuhkan.

“Sabar, anjing!” Dan Alya mengerang kesakitan atas ulah Arki membenturkan dahinya lagi dan lagi, memintanya dalam kekerasan untuk mengambil pistol yang tergeletak dengan mulutnya.

Segera setelah Alya menggapainya, Arki merebutnya. Dan kini kedua-dua tangannya memegang pistol yang tertodong ke dua arah yang berbeda.

“Selamat tinggal, orang-orang najis.”

Bunyi tembakan beruntun memenuhi seisi ruangan.


Alya menjabat tangan kepala divisi satu, menganggukkan kepala dan tersenyum formal setelah pria yang usianya jauh di atasnya mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

Tepat setelah pria itu undur dari hadapannya untuk mengurus timnya sendiri, Alya mendengus. Merutuki dalam hati kerjasama yang merepotkan. Alya tidak akan mau ikut lagi.

“Interogasi.”

Alya menoleh dan mendapati iris zamrud yang menatapnya dengan datar yang netral. Praktis membuat dahinya berkerut dalam kekesalan.

“Apa tidak ada sedikitpun rasa bersalah dalam—”

“Untuk apa?”

Alya bungkam. Tahu bahwa pertanyaan itu sama sekali tak membutuhkan jawaban darinya. Menyeret dirinya dalam sebuah kemarahan apoplektik yang jelas.

Arki sekilas tersenyum miring yang dapat dilihatnya melalui ekor matanya. Melihat Arki berjalan di depannya tanpa kata-kata, dengan tegak, posisi sempurna. Alya tersenyum miring. Dia pun melangkah cepat untuk meraih tangan Arki.

“Apa?” Dan Arki otomatis menoleh dengan ekspresi bingung yang samar di wajahnya.

“Ini lantai 30, Arki. Kita butuh lift.”

Alya menahan dirinya sendiri untuk tidak meledak dalam tawa ketika melihat ketegangan di wajah Arki yang menentang ekspresi netral di wajahnya.

“Apa yang kau inginkan?”

Tidak mendengarkan Arki, Alya menyeret gadis itu ke dalam lift. Mendorong Arki yang berontak hingga menabrak dinding lift, sementara dirinya dengan cepat menekan tombol agar lift segera tertutup.

FUCK!” Arki merosot dan berjongkok di atas lantai ketika lift tersentak dan mulai meluncur ke bawah.

Alya tidak bisa tidak tertawa pada itu.

Setidaknya dia jadi tahu alasan Kaptennya jarang naik lift di kantor.