write.as

Jihoon berusaha menahan sungutan. Dia mengambil pensilnya dan memulai sketsa kasar. Gara-gara kedatangan si orang gak jelas itu, kelas elektif mereka jadi tidak kondusif. Dosen mereka yang notabene sudah berumur dan memiliki anak pun malah sibuk mengerjapkan mata genit dan terkikik sendiri.

Hari ini, seniman menyebalkan itu datang bersama temannya. Entah teman atau rekan kerja, Jihoon tidak peduli. Sedari tadi ia berusaha menghiraukan keberadaan mereka berdua, membayangkan eksistensi mereka seperti kutu, alias tidak penting. Bukan hal yang mudah, karena sekelilingnya sibuk berbisik-bisik (yang sudah pasti kedengaran sang subjek pembicaraan) tentang betapa tampannya Kak Daniel, eh udah lihat video Kak Daniel di Bali belom, aduh absnya seksi ya

Jihoon ingin menjedukkan kepala, lantaran imej perut kotak-kotak dan rambut basah mampir kembali ke otaknya. Ia mencorat-coret buku sketsanya sambil menahan dumalan.

Telinganya mendengar suara kikikan lagi, dan ia hampir mendelik. Di sebelahnya, Woojin menahan tawa.

Ponselnya bergetar, dan Jihoon yakin pesan baru di grup Kiwkiw itu sedang mengomentari wajahnya lagi. Ia meneruskan sketsanya dengan wajah tertekuk.

“Kalau sudah selesai, kalian bisa langsung pulang ya. Kita asistensi di pertemuan berikutnya saja,” suara ibu dosen terdengar nyaring, disambut dengan setengah sorakan dan setengah keluhan.

Tentunya, Jihoon berada di pihak kedua. Ia benar-benar muak. Apalagi ketika ia melirik, si ibu dosen itu sedang sibuk mengobrol dengan si seniman— yang bersender santai di salah satu meja, menganggukan kepala sopan ke setiap kalimat beliau.

‘Upil kuda. Kaos kaki busuk. Kutil sapi.’ umpat Jihoon dalam hati, kembali mengalihkan perhatian ke kertasnya.

Benaknya kembali memutar waktu ke kejadian kemarin, dan perasaan malu yang ia rasakan.

Apa segitu tidak berharganya karyaku sampai mengomentari aja dia enggak sudi?!

Padahal dosen-dosen lain memberinya nilai A yang cemerlang dan lukisan tersebut selalu mendapat pujian. Jihoon tidak mengharapkan kata-kata manis, ia selalu terbuka akan kritik. Tapi kalau tidak ada sama sekali, bagaimana cara dia perbaiki?

‘Betul-betul kurang ajar. Belum tau aja dia. Apa ajak gelut aja, kayak saran Niel?’ Jihoon mengerutkan kening. Imajinasinya mulai meliar, membayangkan dirinya mengangkat tubuh besar pria itu dan menghantamkannya ke tanah sampai bumi terbelah jadi dua. Musik kemenangan berkumandang. Tidak sadar, Jihoon tersenyum puas. Ia terkekeh, lalu membayangkan bagaimana ia akan memutar pria itu seperti gasing sebelum melemparkannya ke—

“Hei.”

Bahunya diketuk.

Jihoon tidak perlu menoleh untuk mengetahui suara milik siapa itu.

Daniel mengangkat alis melihat kertas gambar Jihoon yang sudah memiliki bolongan besar di bagian tengah, akibat penekanan pensil yang terlalu kuat. Ia berdecak pelan.

“Apa salah kertas sampai kamu tega menyiksanya seperti itu?” tegurnya. Jihoon masih menunduk, menggenggam kuat pensilnya. Seluruh tubuhnya kaku.

Dari sudut matanya, Jihoon bisa melihat pria itu menggelengkan kepala heran.

Lalu, ia tiba-tiba melakukan sesuatu yang membuat napas Jihoon tertahan.

Dia menundukkan tubuh, hampir sejajar dengan wajah Jihoon. Sebelah tangannya menahan senderan bangku, sementara tangan kirinya membalikkan kertas di buku sketsa Jihoon ke lembaran baru yang masih bersih. Harum aftershave yang musky memenuhi penciuman Jihoon.

Seperti menaruh sentuhan terakhir, Daniel meraih tangan Jihoon yang masih memegang erat pensilnya— tangan yang tak sengaja membolongi kertas sketsa itu— dan meletakannya di atas lembaran buku sketsa tersebut.

“Fokus.”

Suara rendah itu berkata.

Lalu dia berdiri, dan berjalan meninggalkan Jihoon yang wajahnya bersemu merah muda.