write.as

Jihoon memasuki ruang pameran dengan wajah tertekuk.

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia terlalu pagi, ia tahu. Tapi sejujurnya sejak semalam, Jihoon tidak bisa benar-benar tidur dengan nyenyak. Seolah ada sesuatu yang mengganjal. Ada satu nama yang berputar di kepalanya tiap ia memejamkan mata, dan Jihoon muak. Makanya, ia putuskan untuk tetap terjaga setelah terbangun begitu saja di pagi-pagi buta.

Sejujurnya lagi, ia tidak dapat memungkiri bahwa masih ada sesuatu di dalam dirinya yang berharap. Hati kecilnya berbisik-bisik dengan setitik harapan bahwa pria yang ia dambakan akan secara magis, muncul dan datang ke pameran itu. Tapi Jihoon lagi-lagi menepisnya tiap keinginan tersebut mulai melambung terlalu tinggi, karena ia betul-betul lelah dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri yang selama tujuh hari ini terus mengharapkan hal yang sama. Dan hari ini sudah hari terakhir, jadi seharusnya ia sudah berdamai dengan diri sendiri, dan menerima bahwa pria keparat itu tidak akan datang.

Ketika Jihoon membuka pintu menuju ruang multifungsi yang disulap menjadi tempat pameran, ia disambut oleh keheningan. Lampu sudah menyala, tapi seperti yang ia duga, ia orang pertama yang datang hari itu. Menghela napas, ia setengah meregangkan tangannya sembari berjalan menuju area tempat lukisannya dipajang.

Jihoon lumayan beruntung karena ia mendapat spot yang strategis. Setiap karya dibatasi oleh sekat-sekat yang membuat keseluruhan ruangan itu terasa seperti maze. Tapi area miliknya langsung terlihat jika berjalan lurus dari pintu masuk ruang pameran.

Ia menguap lebar-lebar, kali ini meregangkan tubuhnya dengan lebih heboh. Ada bunyi kretek yang otomatis membuatnya mengaduh, dan ia meringis sambil memegang pinggangnya. Tapi atensinya langsung beralih ketika ia menyadari ada tamu yang sedari tadi berdiri di depan lukisan miliknya.

“Ah!” serunya buru-buru, langsung membenahi pakaian. Wajahnya memanas, mengingat ia terlalu sibuk sendiri tadi. “Maaf, saya baru sadar kalau...”

Ucapannya mengambang di udara, kedua matanya mengerjap.

Sosok itu tinggi besar, sedang memakai jaket hitam yang bertudung, menutupi kepalanya. Ia memunggungi Jihoon, kedua tangannya diletakkan di saku, dan ia tampak begitu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak menoleh sama sekali.

Ragu, Jihoon berkata lagi, “Maaf, tapi sekarang belum jam buka..”

“Lukisan ini,” sosok itu buka suara, masih memunggunginya. Jarinya menunjuk lukisan yang digantung paling kiri. “Bisa kamu ceritain soal lukisan ini?”

Jihoon tahu.

Ia tahu suara bariton itu.

Suara itu yang kerap menemaninya selama beberapa bulan terakhir. Suara berat yang tak pernah usai menggodanya, menegurnya, memberikan saran, menawarkan bantuan, dan mengucapkan kata cinta. Suara yang terakhir kali ia dengar adalah sehari sebelum hari yang menghancurkan semua rencana yang telah ia susun sedemikian rapi— namun itu pun hanya secara samar, gumaman putus asa yang Jihoon bahkan tidak yakin betulan ia dengar atau tidak.

Di tengah keributan debaran jantung dan berjuta emosi yang berkecamuk di dadanya, Jihoon sadar bahwa pria itu masih menunggu penjelasannya.

Ia menelan ludah.

“I-itu,” ia benci mendengar suaranya sendiri terbata-bata, “lukisan itu ngegambarin fase pertama dari keseluruhan tema yang saya angkat,”

Pria itu mengeluarkan gumaman. “Tema kamu memangnya apa?”

“Siklus perjalanan dari limitasi menuju kebebasan,” ucapnya pelan.

Ada gumaman lagi. “Berat, ya.”

“Nggak juga.”

“Boleh dijelasin lebih dalam?” suara pria itu lembut.

Menghela napas, Jihoon mengepalkan tangan. Ia melangkah maju, ke depan pria itu. Alih-alih menatapnya, ia langsung bersidekap, menatap lurus pada lukisannya yang pertama. Ia kemudian mengulang penjelasan yang sudah dihafal mati olehnya—sudah berkali-kali ia sampaikan ke tiap pengunjung yang datang dan menanyainya hal yang sama.

Lukisan itu menggambarkan setumpukan kubus dengan warna dominan abu-abu gelap. Kubus-kubus itu memiliki garis yang luwes, seolah meleleh dan menyatu ke satu sama lain. Semuanya tumpang tindih dan memenuhi kanvas dengan padat. Sesak. Namun setiap objek disusun sedemikian rupa sehingga membentuk pengulangan. Yang membuat janggal adalah ada satu titik kecil berwarna biru cerah di tengah kanvas, terlihat seperti anomali di antara warna suram di sekitarnya.

Confined. Terjebak dalam rutinitas. Tidak bisa keluar dari zona nyaman. Itu yang ada di pikiran saya ketika melukis karya ini,” jelas Jihoon. “Mereka semua menempel erat, kayak males banget buat ke mana-mana, walaupun sesak dan bikin gak bisa napas,”

Kemudian Jihoon menunjuk ke titik biru itu, “Ini saya,”

Wajah Jihoon memanas ketika mendengar ada dengusan geli di belakangnya. Namun pria itu buru-buru berkata, “Maaf, lanjut,”

Mengeluarkan misuhan kecil, Jihoon kembali bersidekap. Ia beralih ke lukisan kedua.

“Jadi sebenarnya semua lukisan di sini itu nyambung,” ucapnya, “kalo diperhatikan, si titik biru itu juga ada di lukisan ini, malah makin berkembang.” Beda dari yang sebelumnya, lukisan yang kedua lebih berwarna dan abstrak. Tapi, warnanya masih monokromatik—yaitu hanya berada di satu tone warna yang sama. Goresan kuasnya lebih berantakan, naik turun dan ke berbagai arah, seperti bingung menentukan tujuan. Warnanya bertransisi dari hijau gelap ke terang, ditambah titik-titik merah yang menghujani di bagian atas, dan titik biru yang tadi Jihoon sebutkan pun berevolusi menjadi garis-garis acak yang memenuhi kanvas.

“Artinya?” tanya pria itu.

“Penasaran. Bertanya-tanya. Mulai merasa tidak puas dengan kehidupannya. Ingin mencari hal baru,” Jihoon menjelaskan lagi.

“Trus, si biru ini nemuin nggak? Hal baru itu?”

“Sabar,” Jihoon berseru kesal, “belom nyampe sana.”

Ada gelakan tawa pelan. “Saya diem deh.”

Jihoon kemudian bergerak lagi ke kanan, menunjuk ke lukisan ketiga. Lukisan ini unik, karena terdiri dari sembilan kanvas berukuran 20 x 20 yang disusun membentuk satu lukisan besar. Jika dilihat begitu saja, orang mungkin akan komentar, “Ini apaan sih?” karena sejatinya lukisan yang ini betul-betul membingungkan. Ada bagian yang rapi, ada bagian yang sangat berantakan. Kubus-kubus di lukisan pertama juga muncul lagi.

“Di sini mulai timbul konflik,” mulai Jihoon, menunjuk sisi kiri bawah lukisan itu yang lebih rapi, “..antara mau kembali ke zona nyaman atau terus mencari hal baru itu. Kayak ada yang narik dan nahan-nahan. Makanya kesannya kayak perang antar dua sisi gitu.”

“Si biru kok gaada?”

“Ish,” Jihoon mengerucutkan bibir, “ada! Itu dia,” dia menunjuk ke titik mungil di bagian bawah.

“Yah, kok jadi titik lagi?”

“Karena dia bingung. Mau maju atau mundur. Jadinya balik ke wujud semula. Tapi lihat ke atas,” dan Jihoon mesti berjinjit kecil untuk menunjuk bagian kiri atas lukisan yang jauh lebih berantakan. Ada garis luwes berwarna merah yang meliuk-liuk, menuruni kanvas. “Dia yang menjadi trigger untuk meyakinkan si biru,”

Bahkan tanpa menoleh pun, Jihoon bisa mendengar senyuman dari suara pria itu, “Hmm, jadi ada tokoh baru ya.”

“Si merah udah ada kok, di lukisan kedua,” cibir Jihoon, “kakak yang gak sadar.”

Lukisan yang keempat ini adalah lukisan yang paling besar.

Jihoon menarik napas, sebelum berbicara.

“Di sini,” ucapnya kaku, “di sini, semuanya berbeda,”

Pria di belakangnya mengeluarkan dehaman setuju.

“Ini lukisan paling sulit di antara semua lukisan yang lain. Saya berulang kali mesti revisi karena Pak Dongwook gak puas. Selalu masih kurang, selalu disuruh tenggelam lebih dalam lagi,” Jihoon memulai, ada kefrustrasian terselip di dalamnya. Biasanya ketika ia menjelaskan ini, tamu-tamu akan tertawa mendengar ceritanya. Tapi pria itu hanya diam.

Ia menghela napas. Jemarinya meraba permukaan kanvas itu. Ia merasa nostalgik.

“Di fase ini, saya mau ngegambarin awakening. Ibaratnya kayak nemuin oasis di padang pasir. Atau.. atau ketika seseorang yang buta baru bisa melihat setelah operasi. Pokoknya, semua kerasa jelas. Semua kerasa hidup.”

“Warnanya cerah sekali,” komentar pria itu, “nggak ada warna-warna gelap kayak di lukisan sebelumnya,”

“Karena emang saya udah terlepas dari limitasi yang nahan saya, jadi bebas,” potong Jihoon. Lalu ia cepat-cepat berkata, “Maksudnya—si biru ini udah gaada yang nahan-nahan lagi,”

“Si biru kan, kamu?”

“Pokoknya,” Jihoon bersikeras, mengabaikannya, “si biru udah nemuin apa yang ia cari.”

“Yaitu?”

“Cinta.” Jihoon menggigit bibir, merasakan matanya memanas. Ia memejamkan matanya erat selama beberapa saat, mengontrol dirinya sendiri.

“Ah.”

Ada hening beberapa saat sebelum Jihoon melanjutkan dengan suara tercekat, “Dia kembali nemuin rasa cinta akan hal yang ia kira udah ia lupain. Dalam hal ini, seni rupa,”

“Hmm, kayak cinta lama bersemi kembali gitu ya?”

“Iya. Tapi nggak cuma itu,” ia menarik napas, “dia juga nemuin cinta baru,”

Pria itu terdiam.

“Karena ada cinta yang ngajarin dia tentang artinya hidup. Ada cinta yang eksplosif, yang penuh rasa penasaran, yang bikin dia selalu ingin lagi. Mungkin karena ini yang pertama bagi dia, jadi dia sempet takut. Tapi akhirnya dia mutusin untuk ngelawan rasa ketakutannya dan memberikan semua yang dia punya,”

Suara Jihoon memelan. “Dan dia beneran ngasih semua yang dia punya. Di malam itu.”

Jihoon yakin pria itu tahu malam mana yang ia maksud.

“Yaudah. Pokoknya gitu.” ia memandangi lukisan itu lagi, memperhatikan semburat vibran warna biru dan merah yang tampak saling mengkomplemen satu sama lain.

“I see.”

Helaan napas yang Jihoon keluarkan begitu berat. Ia berpaling ke lukisan terakhir.

“Yang ini cuma satu warna,” pria itu berkomentar lagi.

Dan memang benar, lukisan yang terakhir ini hanya tersaput satu warna; yaitu ungu pastel. Ukurannya juga paling kecil dari yang lain.

“Fase terakhir. Content,” Jihoon berkata, “puas. Stabil. Balik ke tempat yang nyaman, tapi kali ini udah nggak terkekang lagi. Dia bebas.”

“Kenapa ungu?”

“Karena—” Jihoon menunduk. Suaranya mengecil.

“Karena si biru dan si merah udah menyatu. Dan warna yang dihasilkan dari perpaduan kedua warna itu adalah ungu,”

Hening. Lama sekali.

Lalu, suara pria itu memecahnya.

“Does that mean they get their happy ending?” tanyanya halus.

“Mungkin,” jawab Jihoon kelu. “Di versi yang saya buat sih, gitu.”

Lalu, ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

Ada dua tangan besar yang memegang pundaknya, perlahan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arah pria itu.

Yang balas menatap Jihoon adalah sepasang mata sipit yang memandangnya teduh.

“Kalau di versi ini?” tanya Daniel, “will we get our own happy ending too?”

Jihoon memalingkan wajah, tidak kuat melihat tatapan Daniel.

“Tergantung,” ucapnya cepat, “si merah aslinya nyebelin banget. Suka berasumsi sendiri dan ninggalin orang.”

“Kok si biru bisa sih, jatuh cinta sama si merah?”

Jihoon memutar bola mata, “Dipelet.”

Gelakan tawa berat itu terdengar seperti melodi di telinga Jihoon. Tapi, ia tidak mau menyerah begitu saja.

“Maafin saya ya,” Daniel berkata lagi, setelah tawanya berhenti. “Maafin saya yang payah ini. Saya kemakan sama asumsi dan pikiran saya sendiri. Harusnya saya percaya sama kamu, berpegang sama kamu aja. Tapi saya terlalu takut untuk ngehadapin kenyataan,”

“Kenyataannya salah lagi,” cibir Jihoon.

“Saya ngerasa kayak orang paling bodoh sedunia begitu tau kalau semuanya nggak bener. Apalagi begitu sadar kalau orang yang paling saya sayangi malah nangis gara-gara saya,” ia menangkup pipi Jihoon, membuatnya terpaksa menatap pria itu, “I couldn't forgive myself for letting that happen.”

“Saya kesel banget sama kakak, tau nggak?” balas Jihoon sebal, “kakak tau nggak perasaan saya yang udah bikin TA ini berbulan-bulan, udah nyusun semua rencana secara mateng, tapi malah ditinggal sama orang yang jadi tujuan semua karya ini dibuat?”

Tanpa menunggu jawaban, Jihoon berseru lagi, kini ia sudah melepaskan genggaman Daniel. “Udah gitu, nggak pulang-pulang. Ngedekam di Hongkong. Kakak tuh nggak mikir panjang banget sih? Tau nggak kalo Kak Daniel ninggalin Ori di apartemen? Ntar Ori siapa yang urus kalo Kak Daniel pergi?”

“Sayang—”

“Kak Daniel tuh betein. BETEIN. Kayak nggak ada hari sejak pertama kita ketemu di mana saya nggak sebel sama kakak. Annoying, tau? Masih untung saya nggak mutusin semua hubungan kita begitu kakak minggat ke luar, masih untung saya orangnya sabar dan berhati mulia—UGH, Kak Daniel aja yang nggak tau kan kalo saya banyak yang ngejar sebenernya?! Tapi saya tuh emang gak tertarik. Giliran beneran jatuh cinta malah sama orang super nyebelin kayak—”

Ucapannya terputus.

Pelukan Daniel terasa hangat.

Seperti pulang ke rumah.

Bulu kuduk Jihoon meremang ketika napas Daniel mengenai lehernya. Pria itu berbisik, “Thank you. Thank you for loving me.”

Kelopak mata Jihoon terasa panas. Ia menggigit bibirnya.

“Mungkin saya nggak berhak mendapatkan cinta kamu. Mungkin saya juga nggak berhak dimaafkan oleh kamu. Tapi untuk semua yang kamu kasih ke saya, semua usaha dan jerih payah kamu, serta tiap waktu di mana kamu pernah mencintai saya..” ia mengeratkan pelukannya, “there are no other words I can say except thank you.”

Jihoon membenamkan wajahnya ke dada Daniel. Bergumam pelan.

“Masih kok.”

“Hmm?”

“Masih kok. Saya masih cinta kakak.”

Daniel melepaskan pelukan itu sejenak, matanya berbentuk bulan sabit saking senyumnya terlalu cerah.

“Really?”

“Ya menurut kakak aja lah. Masa tiba-tiba lenyap gitu aja.” misuh Jihoon, “kan aneh kalo kayak gitu.”

“If that's the case,” ucap Daniel, “will you give us a chance?

“Buat?”

“To get our own happy ending,” senyumnya, “seperti si biru dan merah di lukisan kamu,”

“Kalo Kak Daniel nggak main kabur-kaburan dan nyebelin lagi,” Jihoon menunduk, menolak menatapnya, “mungkin saya mau,”

“Kayaknya saya nggak bisa janji untuk nggak nyebelin. Soalnya kamu kan udah bias, saya napas aja bisa dibilang ngeselin sama kamu,” tawa Daniel, lalu ia berkata, “tapi saya bisa janji untuk nggak pergi-pergi lagi. Untuk selama yang kamu mau, saya bakal tetap di sini,” ia mengecup kening Jihoon, “bersama kamu.”

Kini wajah Jihoon benar-benar panas. “Jangan cium-cium di ruang pameran.”

“Tenang. Temen saya jagain kok,” Daniel mengedikkan bahu santai ke arah pintu. Jihoon berusaha melongok, dan benar saja—ada sepasang kaki yang berdiri di depan pintu kaca tersebut. Sepasang kaki yang pemiliknya bernama Hwang Minhyun.

Sebelum Jihoon sempat bertanya, Daniel sudah menundukkan kepala. Ciuman yang ia layangkan ke bibir Jihoon terasa manis, lembut, dan penuh penantian. Ciuman ini terasa seperti pulang ke rumah di hari yang lelah. Ciuman ini membuat Jihoon tak kuasa untuk tidak berpegangan pada bahu Daniel, lantaran lututnya terlalu lemas. Lengan pria itu sigap menahan pinggangnya, dan keduanya menyatu dalam satu rengkuhan hangat.

“Jangan pergi lagi,” bisik Jihoon di antara ciuman itu. Ia merasakan Daniel mengangguk, sebelum menyatukan bibir mereka kembali. “I love you.”

Kali ini, Daniel yang menarik diri. Matanya bersinar begitu bahagia.

“Say that again?”

“I love you.”

“Lagi.”

“I love— udah ah!”

Tawanya kencang.

Hidupnya komplit.

“I love you too,” satu kecupan dilayangkan ke hidungnya. “I love you more than you can ever imagine,”

“Hmm..”

“I love you,” ulangnya lagi, lalu Daniel berbisik rendah di telinga Jihoon, sebuah bisikan yang membuat sekujur tubuh Jihoon menegang dan darahnya seolah berhenti. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

“I love you, Kak Ji.”