Emery

Jika ada kesalahan dalam dunia ini, maka itu pasti adalah kesalaahan otak manusia yang tidak dapat bekerja dengan cerdas walau dengan kekuatan yang dapat menjatuhkan dewa manapun di langit.

Kesalahan akan nalar mereka membuat orang lain terjerumus ke dalam kegelapan tanpa batas. Dan korban kesalahan tersebut adalah anak kecil yang merelakan dirinya sendiri demi keamanan dan kebahagiaan orang lain.

Di dunia penuh dengan kekuatan di luar nalar ini ke egoisan selalu bertebaran di udara. Egois akan kekuatan, egois akan kekuasaan, egois akan harta. Dan itu lah yang menyebabkan saudara kembar ini terpisah.

Ein dan Ena namanya.


Lima belas tahun yang lalu.

“Kak, Ein!” Seorang gadis kecil bertubuh biru dan rambut panjang berlari ke arah seorang lelaki yang juga memiliki warna tubuh sama dengannya namun lebih muda-Ein, namanya.

“Ada apa, Ena?” Laki-laki kecil itu membalikkan tubuhnya membelakangi hamparan padang rumput yang luas sejauh mata memandang.

“Ada, ada seorang wanita berpakaian dan pernak-pernik serba putih di depan pintu rumah. Papa dan mama menyuruhku untuk memberitahu 'mu.”

Sore itu matahari tidak memunculkan semburat jingga-nya, melainkan gumpalan abu-abu dengan kilat kuning yang terlihat jelas di antara awan-awan itu, seolah ingin semua makhluk di bawahnya tau bahwa ia datang, suara guntur saling besahut-sahutan satu-sama-lain.

Mendengar berita yang disampaikan adiknya, Ein langsung berjalan cepat kembali ke rumah mereka. Dalam jarak 5 meter pun terasa aura membunuh yang sangat hebat. Ia mengenali sebagian aura itu, sebagian dari orangtua mereka, namun ia tidak tau siapa pemilik yang satunya. Ia duga itu adalah wanita-serba-putih yang dikatakan oleh adkinya-Ena.

Ena masuk lebih dahulu ke dalam rumah mereka, sedangkan Ein memeriksa luar rumah jika saja ada tanda-tanda bala bantuan dari pihak musuh atau alat berbahaya yang sengaja diletakkan di luar rumah. Namun fokusnya buyar begitu mendengar suara teriakan amarah anak laki-laki yang sudah pasti adalah adiknya yang lepas kendali. Ia berlari ke dalam rumah besarnya, berantakan, seluruh isi rumahnya pecah-belah. Ia berusaha menemukan sang adik, berusaha mengikuti suara jeritan yang bersahut-sahutan satu-sama-lain.

Ena dengan wjah bagian kanannya yang berwarna putih dengan mata kuning menatap nyalang terhadap setiap hal yang masuk ke jarak pandangnya. Tubuhnya berwarna hitam-putih, sebagian wajahnya yang lain berwarna hitam. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ena menggila.

Ein menemukan Ena, namun ia terlambat. Tak sempat ia menutupi segala kekacauan yang terjadi, kerumunan manusia sudah menerobos masuk dan berasumsi macam-macam yang jelas di luar nalar.

Tubuh orangtua mereka terbujur kaku di lantai bersimbah darah, seorang wanita serba-putih juga terluka cukup paran, Ein yakin itu karena Ena. Wanita itu berkata, “GADIS KECIL INI SUDAH GILA! SELAMATKAN AKU! IA SUDAH MEMBUNUH KEDUA ORANGTUANYA, AKU TAKUT MENJADI YANG SELANJUTNYA!” Ia menyerukan sebuah kebohongan yang langsung dipercayai oleh orang-orang. Sungguh di luar nalar orang waras.

“Ti ... Tidak. Ia yang membunuh papa dan mama.” Wajah kanan Ena menghitam dan wajah kirinya memutih, mata birunya menyorotkan ketakutan yang teramat mendalam, tubuhnya bergetar hebat.

Ein tidak bisa mengambil resiko. Ia harus mengamankan adiknya serta dirinya. “Ena, aku tidak percaya. Mengapa kau lakukan ini!? Kau sudah gila!”

Ena kaget mendengar itu, air matanya jatuh seiring para masa mengikatnya dan membawanya ke rumah sakit jiwa terdekat. Sedamgkan polisi dan pahlawan datang untuk mengurus mayat dan perempuan-serba-putih yang terluka itu. Sedangkan Ein harus ditahan di penjara karena dianggap menjadi salah satu pemicu yang menimbulkan kegilaan adiknya.

“Aku akan menyelamatkanmu, adikku. Kumohon, bertahanlah,” kata-kata itu adalah kata-kata terakhir dari Ein kepada Ena sebelum mereka terpisahkan.

Itu lah kisah perpisahan dari si kembar kecil berusia lima tahun yang terpaksa menjalani kerasnya hidup karena kebodohan manusia di sekitarnya.


Lima belas tahun kemudian.

“Dokter Ein, anda akan ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa Sabrodu. Selamat atas pekerjaan anda, akhirnya anda mendapatkan pekerjaan yang anda impikan,” ucap seorang laki-laki sembari memberikan sebuah kertas kontrak kerja.

“Terima kasih.” Suara wanita keluar dari mulut Ein, senyumnya manis.

Ein jauh berbeda dari yang sebelumnya. Tubuh kirinya berwarna biru dengan rambut pendek dan suara selayaknya laki-laki, sisi kanannya berwarna hijau dengan rambut panjang dan suara selayaknya perempuan, membedakan sisi antisosial dan sisi ramah dalam tubuhnya. Ia sekarang bekerja sebagai dokter psikolog dan ia selalu memakai sisi perempuannya setiap hari, membuat orang mengira ia benar-benar perempuan.

“Tetapi Dokter Ein, jika diizinkan bertanya, mengapa anda sangat ingin bekerja di rumah sakit jiwa? bukan 'kah di sana terdapat banyak monster dengan gangguan mental yang mengerikan?”

Mendengar pertanyaan itu ia hanya tersenyum. “Tentu saja tidak, mereka hanya perlu mendapatkan perhatian yang tepat. Pada dasarnya mungkin ini rasa kasihan yang bertumbuh.” “Tidak, aku ingin menyelamatkan adikku dan membalaskan dendamku pada si jalang putih, selebihnya aku tidak perduli.”


Empat belas tahun lalu, penjara Ein.

“Hei, bocah. Kenapa kau di penjara?” Tanya seorang anak laki-laki yang membawa sebuah buku di tangannya.

“Pergi. Bukan urusanmu.”

“Kakak yang menyerahkan adiknya ke kegelapan, sepertinya cocok menjadi inspirasi seniku. Pasti harganya tinggi.”

DUM!

Dentuman yang sangat keras membuat semua orang kaget dan mencari sumber suara, tanpa mereka sadari bahwa sumber suara itu berasal dari sel Ein. Seluruh tubuh Ein berubah warna, Sisi kirinya berwarna hitam dan sisi kanannya berwarna putih dengan mata hijau menatap penuh kebencian pada anak laki-laki di hadapannya. Suaranya berubah menjadi anak perempuan yang manis namun tetap mencekam.

“Wow, kekuatan yang sangat kuat, Nona Ein.”

“Cukup, Paint-rem. Tinggalkan ia sendiri.” Seorang gadis kecil dengan rambut putih dan sedikit warna merah muda muncul dengan santai dari balik lorong. “Jangan membuat masalah jika tidak ingin dikurung lagi di sini.”

“Baik, baik, calon pemegang MDR~,” ucapnya sebelum pergi dari penjara itu.

“Hahh. Ein. Bisa tenang?” Ia bertanya dengan lembut, mendekat ke arah sel Ein.

Tubuh Ein mulai kembali normal. Namun kali ini ia menggunakan sisi birunya, membuatnya waspada tingkat tinggi bercampur dengan ketakutan yang meluap-luap.

MDR duduk di depan sel milik Ein dan memberikan tangannya ke dalam. “Kemari lah,” pintanya dengan senyuman manis yang tak kunjung hilang.

Ein maju perlahan namun pasti. Dengan ragu ia mengambil tangan MDR dan duduk di depannya. Perasaan tenang menjalar ke seluruh tubuhnya, perasaan yang membuatnya aman dan tenang, perasaan yang sudah lama hilang.

“Jika kau tenang seperti ini, kau bisa cepat keluar dari penjara dan menyelamatkan adikmu.”

Ein membuka matanya terkejut. “Kau tahu?”

“Tentu saja. Keluarga kalian adalah salah satu klan yang cukup kuat dan ternama. Kematian kedua orangtua-mu dan berita gilanya adikmu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, lewat artikel ke artikel. Yah, sekarang mungkin sudah terkubur sehingga tidak banyak lagi orang yang tau. Tetapi menurutku berita itu penuh omong kosong. Isinya hanya penuh dengan spekulasi dan opini sebagai bahan bakar agar permasalahan ini tidak pernah redup.”

”... Kau cukup banyak bicara ya.”

MDR tertawa kecil. “Dan kau ternyata adlaah pendengar yang baik, Tuan Ein.”

“Siapa namamu?”

“MDR. Semua orang memanggilku itu.”

“Aneh. Medry.”

“Medry? Nama siapa itu?”

“Namamu, dariku untukmu.”

“Kenapa begitu?”

“Menyebut MDR rasanya terlalu sulit dan kaku.”

“Kalau begitu namamu Eina.”

“Namaku Ein.”

“Sulit memanggil dirimu dalam versi perempuan. Aku tidak bisa membedakan panggilan untuk kalian.”

“Hah, baiklah. Hanya di antara kita saja.”

“Aku janji.”

Senyum yang tak pernah padam dari bibir Medry selalu mempesona bagi Ein, seolah hangatnya sinar matahari menembus ke sel miliknya yang terletak di bawah tanah dengan dinding batu yang tebal dan sangat rapat.

Sejak hari itu tiada hari tanpa Medry berkunjung ke selnya. Dan setiap Medry datang Ein akan menyambutnya, Ein yang takut terhadap orang lain hanya bisa mentoleransi dua orang dalam hidupnya; adiknya dan Medry.

Sebagai senjata militer, tentu saja Medry tidak selalu manis dan hangat seperti matahari yang menenangkan. Terkadang ia akan menjadi matahari yang membakar dan menyiksa, dan Ein tau itu. Namun setiap orang pasti memiliki sisi yang tertutup dan Ein memaklumkan hal itu.

Detik berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, musim-musim berlalu, hingga awal tahun kembali menyapa, tak terhitung berapa lama mereka bersama, sang tahanan dan sang penjaga yang saling melengkapi, membutuhkan, membahagiakan. Masa tahanan Ein semakin berkurang seiring bertambahnya umur. Telah genap usianya sepuluh tahun, saatnya ia keluar dari penjara.

Saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada gadis kecil nan manis-nya.


Empat belas tahun kemudian.

Rencana Ein yang i rancang sejak kecil semasa di sel berjalan dengan baik. Ia akan menjadi dokter psikologis dan membantu adiknya keluar dari rumah sakit jiwa itu.

Harapannya hanyalah satu; semoga adiknya baik-baik saja.

“Eina~” Ia kenal suara ini.

Dengan senyum manis Ein menyambutnya. “Apa tugasmu sudah selesai, Medry?” Ein membuka tangannya bersiap menerima pelukan hangat Medry.

“Ahh~ Aku sangat lelah, Eina. Aku sangat merindukanmu~” Medry memeluk Ein dengan erat, tentu saja ia sudah terbiasa dengan hal ini. “Apa Ein mau keluar? Aku juga merindukanmu, Ein. Keluarlah~”

Dapat Medry rasakan pelukan Ein melonggar, ia melirik ke samping untuk memastikan apakah benar Ein sudah muncul.

Tatapan, reaksi, dan perubahan sikap yang drastis membuat Medry yakin bahwa Ein-nya telah muncul. “Aku merindukanmu, Ein.”

Senyuman penuh ketenangan terukir di bibir Ein. “Aku tak pernah melupakanmu satu detik pun.”

“Wah, wah. Kata-katamu semakin manis saja ya, apa kau mencoba membuat ku tersipu sekarang?” Goda Medry.

Warna merah menghiasi wajah Ein seperti tomat. “Ahh, eum. Yang lebih penting, apa kau sudah mendapat informasi tentang wanita-itu?”

“Sudah, ini berkasnya.” Medry meletakkan sebuah berkas di meja Ein dan duduk di sofa yang tersedia.

“Aku cek, ya~”

“Apa rencanamu selanjutnya, Eina?”

“Hmh, entahlah,” jawabnya dengan senyuman yang tak dapat diartikan. “Yang jelas aku akan membebaskan Ena terlebih dahulu.”

“Kau tau, Eina? Terkadang aku lebih senang jika Ein yang mengambil alih.” Senyum mengejek terhias di wajah Medry.

“Dan membuat rencana ini semakin parah? Tidak.”

“Huh, kalian ini satu tubuh tetapi selalu saja bertengkar.” “Jadi kapan kita mulai? Paint-rem sudah dalam perjalanan.”

“Tiga bulan dari sekarang.”

“Oke. Kalau begitu aku akan mengurus beberapa pekerjaan, jika kau tidak keberatan untuk ku tinggal.”

“Aku bukan anak kecil.”

“Bukan kau yang ku maksud, Eina. Ein?”

”... Aku ... Baik-baik saja.”

“Meragukan, tapi baiklah.”


Goresan garis menghiasi kertas yang bertumpuk menyatu di atas tangan seorang laki-laki. Wajah tenangnya memancarkan kehangatan bagi makhluk di sekitarnya.

“Kau yang di sana, apa yang kau lakukan?” Suara laki-laki menyapa indra si pelukis.

“Sedikit menggambar,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas dan pensil di tangannya.

“Boleh ku lihat?” Ia mendekatkan tubuhnya pada pelukis itu. “Wah, indah sekali. Namun yang ini lebih indah.”

“Yang mana?” Si pelukis menoleh ke arah orang itu dan mereka saling bertatapan. Matanya membelalak sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya.

“AH! YA AMPUN, AKU MINTA MAAF, MAAFKAN AKU. A-aku pasti membuatmu ti-tidak nyaman. AKU MOHON MAAF!” Suara wanita itu berasal dari tubuh yang sama dengan orang tadi, membuat si pelukis sedikit terkejut namun tidak heran.

“Ah, eum ... Tidak apa-apa. Terima kasih.” “Ngomong-ngomong aku Paint-rem. Siapa namamu?”

“E ... Ena,” jawabnya malu-malu.

“Kalau yang tadi?”

“Di-dia tidak punya nama.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan En?” Ena hanya mengangguk sebagai jawaban. “Baiklah. Ena, apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku mencari ketenangan.”

“Apa tidak terlalu sepi? Kenapa tidak bersama temanmu saja?”

“Tidak. Aku tidak punya teman. Tidak ada yang mau menemaniku.”

Paint-rem terdiam sejenak sebelum menoleh ke arah Ena dan menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu aku akan menemanimu selama yang kau mau.”

Wajahnya memerah dan suaranya bergetar, pandangannya teralihkan untuk menghindari tatapan penuh makna dari Paint-rem untuknya yang sangat tidak baik untuk kesehatan jantung.

“Hahahahahahaha, wajah dan tingkahmu sangat lucu saat kau malu seperti itu.” Ena kesal dan membuang wajahnya. “Hah, jangan marah begitu, aku hanya menggodamu sedikit. Anggap saja sebagai balasan atas godaanmu tadi.” Paint-rem menekan-nekan pipi Ena perlahan sebagai bentuk candaan agar Ena tidak marah lagi padanya.

“Jangan menggangguku!” Ena menepis tangan Paint-rem.

Karena pasrah, akhirnya Paint-rem memilih untuk bangkit dari tempat ia duduk dan berpamitan dengan Ena untuk pergi dari taman rumah sakit jiwa itu. Perasaan bersalah melintas dalam hati Ena, apakah ia baru saja menyakiti perasaan orang yang baru saja ia temui? Mengingat kemungkinan bahwa mereka pasti tidak akan bisa bertemu lagi semakin membuatnya merasa bersalah. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan, rasa khawatir dan gengsinya lebih besar, mengalahkan perasaan bersalahnya. Akhirnya ia hanya dapat menatap sendu ke arah punggung laki-laki berambut putih dengan warna merah dan hijau di sebagian rambutnya sebelah kanan.

“Maaf,” gumamnya putus asa.


“Sudah bertemu dengannya?” Suara seorang wanita menyambut kedatangan Paint-rem di gerbang keluar.

Paint-rem hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Bagaimana?”

“Hmph, tidak jauh berbeda denganmu. Tapi ia cukup menarik.”

“Jangan sampai ketertarikanmu itu menghalangi rencanaku.”

“Tidak akan,” ucapnya sebelum meninggalkan Ein yang masih menatap bangunan rumah sakit di hadapannya.

Ingatan di mana ia menyangkal adiknya sendiri selalu terputar di benaknya, terkadng menjadi mimpi buruknya. Dan sekarang tinggal menghitung jam ia akan bertemu dengan adiknya, ia membyangkan reaksinya setelah terpisah selama lima belas tahun. Apa Ena akan membencinya? Apa semua akan berjalan lancar? Jika tidak, ia tidak tahu harus apa lagi jika usahanya selama ini ternyata sia-sia. Pikiran buruk selalu memenuhi benaknya kapanpun ia memikirkan soal Ena.

Langit menggelap, matahari pun sudah lelah menunjukkan sinarnya dan bulan bersemangat memamerkan keindahannya di antara bintang-bintang. Manusia berlalu lalang di bahu jalan, “Jangan menggangguku!” Ena menepis tangan Paint-rem.

Karena pasrah, akhirnya Paint-rem memilih untuk bangkit dari tempat ia duduk dan berpamitan dengan Ena untuk pergi dari taman rumah sakit jiwa itu. Perasaan bersalah melintas dalam hati Ena, apakah ia baru saja menyakiti perasaan orang yang baru saja ia temui? Mengingat kemungkinan bahwa mereka pasti tidak akan bisa bertemu lagi semakin membuatnya merasa bersalah. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan, rasa khawatir dan gengsinya lebih besar, mengalahkan perasaan bersalahnya. Akhirnya ia hanya dapat menatap sendu ke arah punggung laki-laki berambut putih dengan warna merah dan hijau di sebagian rambutnya sebelah kanan.

“Maaf,” gumamnya putus asa.


“Sudah bertemu dengannya?” Suara seorang wanita menyambut kedatangan Paint-rem di gerbang keluar.

Paint-rem hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Bagaimana?”

“Hmph, tidak jauh berbeda denganmu. Tapi ia cukup menarik.”

“Jangan sampai ketertarikanmu itu menghalangi rencanaku.”

“Tidak akan,” ucapnya sebelum meninggalkan Ein yang masih menatap bangunan rumah sakit di hadapannya.

Ingatan di mana ia menyangkal adiknya sendiri selalu terputar di benaknya, terkadng menjadi mimpi buruknya. Dan sekarang tinggal menghitung jam ia akan bertemu dengan adiknya, ia membyangkan reaksinya setelah terpisah selama lima belas tahun. Apa Ena akan membencinya? Apa semua akan berjalan lancar? Jika tidak, ia tidak tahu harus apa lagi jika usahanya selama ini ternyata sia-sia. Pikiran buruk selalu memenuhi benaknya kapanpun ia memikirkan soal Ena.

Langit menggelap, matahari pun sudah lelah menunjukkan sinarnya dan bulan bersemangat memamerkan keindahannya di antara bintang-bintang. Manusia berlalu lalang di bahu jalan, namun tidak dengan seorang perempuan yang tampak berdiri derdiam diri di tengah jalan.

“Target dalam jangkauan,” gumam perempuan itu.

Ein tersenyum, tak disangka ia kedatangan tamu yang tadinya ingin ia undang, namun ternyata tamunya tidak sabar untuk bertemu dengannya hingga ia berinisiatif untuk datang sendiri. Jadi Ein duduk di sofa ruang tamu seolah menunggu tamunya datang dengan sendirinya dari pintu depan rumahnya.

“Aku harap ia sopan.” Ein menyesap tehnya.

Tak lama, seorang wanita mengetuk pintu dan masuk ke dalam rumahnya sembari mengucapkan salam. Ein mempersilahkannya untuk duduk dan menuangkan teh baginya.

“Tak ku sangka engkau akan datang sendiri tanpa ku minta, Nona Plegy.”

“Aku hanya ingin memastikan secara langsung apakah kabar yang disampaikan oleh burung itu benar.”

“Kabar apakah yang dibawa oleh burung itu?”

“Kabar bahwa seorang humanoid-bertubuh-dwiwarna mencari orang yang memiliki tujuan untuk melenyapkan kaumnya dengan bayaran yang sangat mahal.”

“Ya, itu benar. Kabar itu ku sebarkan di dunia bawah. Jadi, informasi apa yang kau punya dan apa yang bisa membuatku percaya padamu?”

“Apa kau lupa, Ein Joel G? Kau memfitnah adikmu sendiri, kau juga tidak berpartisipasi dalam menyelamatkan orangtuamu. Pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri tentang apa kegunaanmu dalam dunia ini?” “Aku? Aku memang hina, maka pekerjaanku pun hina. Saat itu aku diperintahkan untuk membunuh kalian ber-empat, namun adikmu sungguh kuat dan menyulitkanku sehingga aku tidak dapat menyentuh kalian berdua. Sangat disayangkan bayaranku harus terpotong lima puluh persen.”

Ein berusaha menahan emosinya, menjaga ekspresinya agar tetap terlihat tertarik dan ceria. “Jadi, siapa orang yang memerintahkanmu itu?”

“Aku tidak tau apa kau familiar dengannya dan aku sendiri sudah lama tak berhubungan dengannya jadi informasiku pasti tidak akan terlalu membantu.”

“Apa aku memintamu berbicara soal hal itu? sebut saja namanya.”

“Sebelumnya, aku ingin jaminan.”

“Jaminan atas apa?”

“Jaminan atas nyawaku. Walau aku yang membunuh orangtua kalian, namun aku melakukan itu atas perintah. Jadi jika kau ingin mengetahui siapa dalangnya, kau harus menjamin keselamatanku karena musuhku bukan hanya kalian.”

“Apa uang tidak cukup?”

“Aku punya banyak uang.”

“Baik, aku jamin nyawamu seumur hidupku.”

“Namanya ialah, Janes Timyline.”

“Familiar.”

“Salah satu pemilik agensi tentara bayaran, pemilik tempat jual-beli budak internasional sekaligus orang yang cukup berpengaruh bagi negara.”

“Aku akan mengirim orang malam ini.”

“Ku kira kau akan pergi ke perusahaan bodyguard atau semacamnya.”

“Aku juga punya prajuritku sendiri. Kau terlalu meremehkanku, Plegy.”

“Benarkah? Kalau begitu aku pamit undur diri karena ada pesta yang harus ku hadiri.” Plegy berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar.

“Plegy, jangan meledak.” Ein tersenyum sebelum menutup pintu rumahnya.


Berita pagi itu mengatakan terjadi ledakan di sebuah gedung yang menelan cukup banyak korban jiwa karena pesta besar sedang diadakan di sana. Ein hanya menyesap kopinya santai mendengar berita itu, ia seperti sedang menikmati sarapan pagi sebelum memulai hari pertama di rumah sakit jiwa.

Setelah pengenalan lingkungan, Ein bertemu dengan para penghuni rumah sakit itu dan membaca berkas tentang mereka satu-per-satu. Ia juga mendapat kabar dari Medry bahwa Janes Timyline ternyata juga masuk ke rumah sakit jiwa yang sama dengan adiknya, tempat ia bekerja sekarang. Alasan yang tertera di berkas miliknya adalah; maniak pembunuh, penyiksaan, dan penggunaan kekuatan berlebihan. Namun Ein tau bahwa semua itu adalah alasan agar pemerintah dapat menjatuhkannya, kenyataannya ia tidak segila yang tertulis di berkas diagnosis miliknya.

“Baiklah, mari kita mulai hari ini dengan menyapa yang paling berharga terlebih dahulu.”

Paint-rem sebagai asisten Ein mengikutinya dari belakang menelusuri bangsal-per-bangsal. Memperhatikan kegiatan para orang yang berada di sini dan menyelesakan masalah antar pasien yang mulai menodongkan kekuatan mereka satu sama lain. Untunglah material bangunan rumah sakit jiwa ini cukup tahan kekuatan dahsyat, sehingga tidak mudah roboh ketika para pasien lepas kendali.

Ein masuk ke kamar yang bertuliskan nama adiknya-Ena Joel G. Bisa ia lihat kamar bernuansa putih itu cukup rapih dan seorang yang cukup mirip dengannya duduk di atas tempat tidur di samping jendela, ia melihat ke luar seperti raja yang melihat rakyatnya makmur dari atas singgasana.

“Ena.” Suara perempuan yang tidak familiar namun dapat di tebak oleh Ena.

“Aku kira kau laki-laki.” Suara berat tak dikenal menyapa telinga Ein, namun ia tau siapa pemilik suara itu.

“Dan aku kira adikku akan bersuara lembut.” Ein duduk di atas kursi yang tersedia.

“Maaf menghancurkan ekspetasimu, kakak.” Ia tersenyum dan ikut duduk di depan Ein.

“Maaf terlambat.” Suara asli Ein keluar, membuat Ena juga ikut mengganti suarnya.

“Sangat terlambat. Lima belas tahun aku menunggu momen ini.”

“Dan lima belas tahun aku berusaha menahan diriku untuk tidak menyusup ke kamarmu dan membebaskanmu.”

“Bagaimana, kak, di luar?”

“Tentu saja, kacau. Bagaimana dengan bangunan putih ini?”

“Tidak buruk. Jadi, apa selanjutnya?”

Ein tersenyum kepana Ena dan mempersilahkan Paint-rem untuk masuk. Tahap akhir dari rencananya akan berjalan sekarang.

Cukup lama dari waktu mereka masuk hingga mereka keluar, kerinduan antara dua saudara yang terpisah tak dapat diakhiri semudah itu rupanya. Paint-rem sendiri bingung mengapa ia mau menjadi asisten Ein yang sebenarnya sama gilanya dengan Ena.

“Jadi ... Paint-rem, benar?”

“Iya. Rasanya aneh mendengarmu menyebut namaku seperti kita baru pertama bertemu.”

“Pfft, aku tak mengira kau adalah rekan kakak. Ekhm, Ena, maksudku.”

“Aku harap kau cepat terbiasa.”

“Ahh, rasanya sulit.” “Tetapi, Paint-rem. Aku benar-benar merasakan kelegaan dalam dadaku.”

“Kenapa?”

“Ingat pertama kali kita bertemu di danau? Aku sempat sedikit marah terhadapmu, aku minta maaf.”

“Memang apa salahmu?”

“Aku rasa kata-kataku dan tindakanku waktu itu menyakitimu tanpa ku sengaja.”

“Hahahahaha, tidak apa-apa. Aku hanya berpura-pura saat itu. Aku tau kita akan bertemu lagi, itu kenapa aku berani bercanda seperti itu.”

“Sejak saat itu, wajahmu terus berputar di kepalaku bersamaan dengan kesalahan yang ku perbuat saat itu.”

“Apa ini pernyataan cinta?”

“Terkadang percaya diri pun ada batasnya.”

“Jadi aku tertolak?”

“Kau bahkan tidak menyatakan perasaanmu.” Ena menatap Paint-rem dengan bingung.

“Baiklah, aku menyukaimu, maukah kau hidup bersamaku?”

“Aku tidak mengerti mengapa kakak memilihmu sebagai partner kerjanya. Bagaimana bisa orang yang baru bertemu dua kali bisa jatuh cinta satu sama lain?”

“Kalau begitu apa yang kau mau?”

“Untuk pertama, aku ingin balas dendam.”

“Setelah balas dendam itu apa kau mau bersamaku?”

“Santai saja. Kita masih punya waktu untuk saling mengenal.”


Tiga hari berlalu, Ena mulai terbiasa dalam perannya sebagai Ein. Sesuai rencana yang dijelaskan Ein ia menjaga Plegy dan bertingkah seperti yang di ajarkan Medry dan Paint-rem. Rencana ini berhasil berkat lapisan lukisan dari Paint-rem pada waktu mereka bertiga berkumpul. Walau sedikit mencurigakan, namun Ein dan Ena memang tidak menonjol dalam kehidupan mereka, itu menjadi keuntungan bagi mereka saat ini.

“Apa ada yang sadar bahwa kita bertukar tempat?”

“Tidak.” Ein menyesap tehnya seolah ia menikmati kehidupan di rumah sakit jiwa ini.

“Bagaimana dengan si Janes?”

“Sudah ku masukkan racun ke setiap makanan dan minumannya. Kematiannya tak akan lama.”

“Apakah keluarganya akan menjadi pengganggu?”

“Jika mengganggu aku akan memberskannya. Namun jika aku belum keluar saat itu, ku mohon wakilkan aku untuk memecahkan kepala keturunannya satu-per-satu.”

Sano boys x Takeomi Drakey Kakuiza Akashin

Cw // NSFW , incest , gangbang , sex party (?) , unprotected sex

Ini mereka ku timeskip biar gak minor. Dan ini murni cuman buat hiburan, jadi plot nya mungkin kurang. Tambahan, Izana anak angkat di sini


Ini libur, sabtu tepatnya. Kakak beradik Sano berkumpul di paviliun Mikey, membangunkan si adik laki-laki terkecil dengan penuh cumbuan manis dari Izana dan berjuta sentuhan sensual dari Shinichiro membuat si kecil melenguh dalam tidurnya merasa terganggu akan perbuatan kedua kakaknya.

“Jiro gak mau bangun?” bisik Izana di telinga Mikey “jangan pura-pura tidur deh” Izana meremas kejantanan Mikey yang mulai mengeras di bawah sana perlahan.

Mikey berteriak kecil dan membuka matanya tiba-tiba karena merasakan remasan Izana yang mulai menguat.

“Shh, gapapa dek, emang biasanya kamu suka kan” kali ini Shinichiro membuka celana Mikey dan menaikan bajunya menyuruh Mikey untuk menggigit ujungnya menampilkan perut mulus serta bagian bawahnya. “Izana, ikutin Mikey tiduran di sebelahnya” walau nadanya terdengan ramah namun penekanan dan intimidasi dapat di rasakan oleh kedua adiknya. Izana menuruti Shinichiro dan meniru Mikey di sebelahnya. Wajah kedua adiknya memerah menunjukkan rasa malu ketik mereka memperlihatkan kejantanan mereka yang ereksi dan lubang mereka yang berkedut meminta untuk di masuki.

“pinter pinter nahan ejakulasi. Yang keluar pertama di anggap kalah”

Masing masing satu jari masuk ke kedua lubang adiknya sebagai permulaan, mereka masih bisa menahannya dengan baik. Ketika bertambah 1 lagi jarinya, kedua adiknya saling bersahut-sahutan desahan. Terutama ketika Shinichiro melebarkan lubang milik mereka. Di lihat kedua adiknya masih kuat maka ia tambahkan satu jari lagi di dalam lubang mereka. Mikey meremas seprai di bawahnya menggigit bibir berusaha menahan ejakulasinya. Namum Izana benar-benar melepaskan desahannya dan berusaha menutup kakinya.

“Izana, siapa yang bolehin kamu nutup kaki?” Izana membuka kakinya dengan paksa berusaha menghindari amarah Shinichiro. Sedikit lagi Mikey dan Izana sudah tak kuat menahan. Namun seorang lelaki yang bertubuh lebih besar dari Shinichiro berdiri di belakangnya dan meremas kejantanannya.

“Oh mau sok-sok an nge-top nih ceritanya?” tangannya mencelos masuk ke dalam celana Shinichiro membuatnya menarik jari dari kedua lubang adiknya secara tiba-tiba. Jelas ia diberi tatapan kecewa oleh kedua adiknya yang gagal mancapai pelepasannya.

“Omi...heunghh~ kapan datenggmnh?” “Tadi, kamu gak denger? Keasikan ya? Sadar posisi Shin”

Takeomi membuka celana Shinichiro dan membalikan posisinya menungging mengulum penisnya.

“kalian, siapin lubang abang kalian”

Menuruti perintah Takeomi tak hanya menjilati, namun Mikey dan Izana memasukkan masing-masing 1 jari mereka dan memainkan lubang Shinichiro sesuka hati mereka. Tak lupa di lebarkannya lubang itu membuatnya terbiasa agar tak sakit ketika kejantanan Takeomi masuk nanti.

“kalian perhatiin ya, gimana having sexnya abang kalian”

Takeomi menggendong Shinichiro membelakanginya dan melebarkan pahanya, menunjukkan lubangnya dan kejantanan Shinichiro yang ereksi. Ia masukkan penisnya perlahan sedangkan Izana dan Mikey menonton hal itu tepat di depan wajah mereka.

Harga diri Shinichiro seolah langsung berbalik begitu Takeomi datang, desahannya tak berhenti, tubuhnya terus bergoyang memohon lebih, dan wajahnya bak lacur yang tengah ke-enakan. Tak tinggal diam Izana dan Mikey ikut menjilat penis Shinichiro yang terpampang jelas memberikan stimulasi lebih bagi kakak nya. Namun merasa tak puas, mereka menatap takeomi seolah meminta giliran mereka.

“Sini kalian” Takeomi duduk di pinggir kasur dengan Shinichiro yang bergerk sendiri di pangkuannya berpegang pada pundaknya, dan di kedua sisinya ada Izana dan Mikey yang tengah dimainkan lubangnya oleh jari Takeomi yang jelas lebih besar dan kasar dari pada Shinichiro, mereka juga menggesek-gesekan penis mereka di sisi pinggang takeomi merasakan otot dari lelaki besar kekasih kakak mereka. Gerakannya di percepat menuju pelepasannya di dalam Shinichiro membuatnya lemas terkapar di kasur.

Tersisa Mikey dan Izana yang memohon Takeomi untuk digagahi lebih dulu. Izana menang, membuat mikey kesal. Izana berbaring ketika Takeomi langsung memompanya dengan cepat, Mikey? Ia berdiri di atas Izana dengan penisnya yang tengah di kulum oleh takeomi dan lubangnya di mainkan oleh jarinya, tentu saja tak ia biarkan keluar.

Satu korban lagi melayang siang itu ketika Takeomi menyemburkan spermanya di dalam tubuh Izana. Izana merangkak lemah ke arah Shinichiro dan Menciumnya, mereka menggesek penis satu sama lain dan memain kan jari di lubang satu sama lain.

“Mikey, karena kamu yang bertahan paling lama dari mereka, kamu yang dapet hadiah” Mikey melebarkan pahanya tanda ia siap. Namun sebelum Takeomi memasukkan penisnya, ia arahkan kedua kaki Mikey ke pundaknya dan memasukkan penisnya, dalam posisi ini penisnya masuk benar-benar dalam, hingga menyentuh titik prostat Mikey membuatnya melengkungkan pinggang tanda kenikmatan. Tak hanya itu, ia juga memainkan putingnya dan menekan perutnya merasakan seberapa dalam penisnya masuk. Izana iri, terutama Shinichiro, namun nanti ia akan meminta lebih pada Takeomi setelah ini. Takeomi mempercepat gerakannya menyemburkan spermanya ke dalam perut Mikey, namun memang karena Mikey sering tidur, ia kembali tertidur setelah itu.

Sedangkan sekarang Izana duduk di wajah Takeomi dan Shinichiro kembali menaik turunkan pinggangnya. Selagi Takeomi memainkan lidahnya di bawah sana, Izana dan Shinichiro bergulat lidah, bertukar saliva satu sama lain. Masih tak cukup dengan lidah Takeomi dan kakaknya, Izana menurunkan tubuhnya mengulum penis Shinichiro yang tengah bergerak naik turun. Takeomi pun menambah gerakkan jari di lubang Izana membuatnya semakin terangsang, sedangkan Shinichiro menggenggam rambut Izana membantunya bergerak di bawah sana. Ketika permainan Takeomi semakin cepat dan liar, tak hanya Shinichiro yang mengeratkan genggamannya pada rambut Izana, namun Izana juga menghisap penis Shinichiro lebih kuat lagi, membuat merka bertiga ejakulasi bersamaan. Sperma Izana membasahi dada Takeomi, sedangkan ia menelan habis seluruh sperma Shinichiro. Shinichiro sendiri akhirnya tumbang karena dua kenikmatan yang ia rasakan sekaligus. Izana menggulingkan tubuhnya ke samping Takeomi, sedangkan Mikey tidur di sisi yang berlawanan dengan dirinya. Shinichiro tak sanggup untuk bergerak lagi, jadi ia tumbang di atas tubuh Takeomi dengan kejantanannya yang masih tertancap di dalam lubangnya


Sekitar pukul 3 sore, merka terbangun dari tidur nyenyak mereka dengan keadaan tubuh lengket dan bau Takeomi serta spermanya masih melekat di tubuh mereka dan di paviliun Mikey. Sedikit membersihkan kamar kemudian mereka mandi bersama. Tidak, lebih tepatnya Shinichiro memandikan kedua adiknya yang terus bertengkar memperebutkan dirinya.

Setelah selesai, Mikey langsung kembali tidur di kasur nyamannya dengan kemeja kebesaran milik Draken yang ia pinjam-curi-beberpa hari yang lalu. Namun kedua kakak nya memiliki rencana lain.


Di sisi lainnya, Takeomi sedang berkumpul dengan Kakucho dan Draken, bukan membahas hal penting, hanya sekedar berkumpul.

Ia baru satu jam berada di sana, sebenarnya dapat ia tebak setelah kepergiannya pasti tiga kucing kecil itu akan bangun tak lama setelahnya. Namun ia menghiraukan pemikiran itu, 'toh mereka sudah ku puaskan terlebih dahulu' begitu pikirnya.


Membiarkan Mikey yang sedang tidur tenang, Izana dan Shinichiro mulai menyusun rencana mereka dan bersiap-siap menjalankannya.

Shinichiro menggunakan crop top longgar berwarna hitam dengan celana senada. Sedangkan Izana menggunakan kaos oversized abu-abu dengan celana senada yang dapat menampilkan pahanya mungkin lebih. Tapi tak hanya mendandani diri mereka sendiri, mereka juga memakaikan Mikey sepasang stocking pink bening dan garter pink berenda.

“Mau di fotoin?”

“Foto Mikey aja dulu bang, mumpung dia belum ganti posisi”

“Ok ok. We'll gonna have sex party tonight~”

Selesai memotret Mikey, mereka saling memotret diri satu sama lain, memamerkan tubuh mereka yang sengaja meminta di jamah. Persiapan selesai, sekarang waktunya mempraktekkan rencana mereka. Shinichiro duduk di pinggir kasur dengan Izana di pangkuannya mencumbunya dengan manis, menunggu Takeomi untuk mengangkat telefon darinya.

“Nakal ya~, curi start dari Mikey”

“Salah dia sendiri tidur”


Ponsel Takeomi berdering di tengah pembicaraanya dengan Draken dan Kakucho, awalnya ia tak berniat untuk mengangkatnya namun setelah melihat nama Shinichiro ia segera berubah pikiran.

“Shin?” “Omi dimana? Lagi nongkrong ya?” “Iyoo, nih ada Draken sama si Kucho”

Suara erangan kecil Izana terdengar membuat baik Kakucho dan Takeomi kaget, karena setelah itu di susul dengan erangan Shinichiro yang tak kalah sensual.

“Shin, kamu ngapain?” “Pwahh~come home daddy, bring your friends too. let's have a sex party“ “Naughty boy“ “Heungh~...Iza, be patience. Come as soon as you can, we'll wait

Dan setelah telepon terputus, sebuah pesan berisi tiga buah foto masuk ke nomor Takeomi yang di kirim oleh Shinichiro.

“Mikey pasti tidur, gua skip du-”

“Liat nih” Takeomi langsung memberikan foto paha Mikey dengan balutan stocking pink bening dan garter putih berenda.

Wait holy shit, it's Iza?

“Gua berangkat sekarang, kalo gak mau gua ambil lagi pacarnya buruan”

Draken dan Kakucho langsung melesat mengikuti Takeomi menuju kediaman Sano dengan motor mereka masing-masing. Jika sudah terpojok nafsu, apapun mereka lakukan, termasuk kecepatan motor yang tak masuk akal dan menerobos segala hambatan.


Takeomi membuka pintu kamar Mikey dengan kasar menampilkan Shinichiro yang tengah memangku Izana sembari menjilati lehernya. Kakucho langsung bergerak menarik Izana turun dari pangkuan Shinichiro dan menciumnya. Salah satu tangannya memeluk pinggang Izana, mempersempit jarak di antara mereka, sedangkan yang satunya lagi mengangkat sebelah kaki Izana dan masuk memainkan pantat serta lubang nya dari sisi samping celana.

Begitu Izana turun dari pangkuan Shinichiro, Takeomi langsung mendorongnya terjatuh ke belakang menahan kedua tangannya di atas kepala dan langsung memainkan kejantanan Shinichiro.

Draken yang masuk paling terakhir di sambut oleh Mikey yang masih tertidur di dengan nyenyak di atas kasurnya. Namun salah satu yang menarik perhatiannya bukan hanya stocking serta garter yang sesuai dengan foto itu. Melainkan kemeja putihnya yang ia sempat cari beberapa waktu ini.

He didn't wear panties, go fuck him like crazy. Ahn!~Kaku-chan, what was that for?

Focus on me, baby

Mendengar ucapan Izana, Draken memutuskan untuk melihatnya sendiri dan benar saja.

“Jiro, bangun”

Draken mendudukkan Mikey dan membuatnya menghadap ke arahnya kemudian ia membuka celananya, menampilkan kejantanannya yang sudah menegang dan menyodorkannya ke depan wajah Mikey. Ia menggoncangkan tubuh Mikey sedikit berusaha membuatnya terbangun sempurna dari tidurnya.

Begitu terkejut Mikey ketika ia baru saja membuka mata dan ia langsung di sodorkan oleh kejantanan Draken di depan wajahnya. Setengah ragu, ia mencium kepala kejantanan kekasihnya sebelum mengulumnya dan mulai memasukkannya ke dalam mulutnya.

As always, babe. Your blow job never disapoint me

Bagian pemanasan selesai, sekarang Mikey berbaring di atas kasur dengan Izana di atasnya bertumpu dengan tangannya, mirip dengan posisi 69. Namun dengan tambahan Draken dan Kakucho bersiap memasukkan penis mereka ke dalam lubang Mikey dan Izana, sedangkan Mikey dan Izana saling megulum penis satu sama lain. Dan dimulailah terdengar suara-suara yang memberkati seluruh ruangan itu.

Shinichiro di pojokkan ke dinding oleh Takeomi dan ia mengangkat tubuh Shinichiro barulah ia ikut memulai aksinya seperti yang lain. Setengah iri ia sebenarnya ingin merasakan juga bagaimana rasanya melakukan hal itu bersama-sama. Seolah dapat membaca pikiran Izana, Takeomi bertanya.

“Kau juga mau?” Shinichiro tidak langsung memberikan jawaban, namun Takeomi sudah hafal dengan gerak-gerik Shinichiro. “Woy, geseran”

Draken dan Kakucho mengubah posisi mereka menjadi doggy style dan Takeomi membaringkan Shinichiro di antra mereka. Kegiatan mereka tetap berlanjut, namun dengan tambahan Mikey dan Izana yang sekarang menjilat, menggigit, dan menghisap puting Shinichiro membuat sang empunya tubuh melontarkan suara sensualnya.

“Shin, kau seperti memilikki anak” canda Takeomi.

Shinichiro menyunggingkan senyumnya “anak mu” balasnya setelah bersusah payah mengatur desahannya.

“Ku keluarkan yang dalam ya, siapa tau hamil beneran”

Belum sempat Shinichiro memberi respon, Takeomi sudah langsung menaikan kecepatan gerakannya dan memperdalam tusukannya hingga menyentuh prostatnya, kedua adiknya yang masih memainkan putingnya juga membuatnya semakin terbuay oleh stimulasi-stimulasi yang ia dapat.

“Gilahh~Omi, terlalu dalam!~”

“Gakk suka?”

Noo~Harder!~

Di sisi sebelah, Mikey berganti posisi menjadi yang memimpin gerakkan di atas draken. Ya ia juga mahir jika di minta untuk menungangi pasangannya. Terasa kejantanan Draken yang memompa begitu dalam. Izana masih dalam posisi yang sama, namun tenaganya sudah mulai melemah, jadi ia menunggingkan pantatnya membiarkan Kakucho memopanya lebih kuat dan lebih dalam lagi.

Baby, do you want me to fill you inside?”

Do it, Kaku-chan. Fill me inside till i can't take it no more

Dan tanpa basa-basi ternyata Draken sudah ejakulasi lebih dulu di dalam lubang Mikey, dan langsung mengeluarkan but plug dari dalam meja nakas di samping tempat tidur.

“Tahan sampe makan malam selesai, nanti ku kasih hadiah” kemudian ia menggendong Mikey ke kamar mandi lebih dahulu membersihkan tubuhnya dan Mikey.

Sebuah ide terlintas di benak Kakucho, ia mengangkat Izana membelakanginya dan melebarkan pahanya memamerkannya pada Takeomi. Mengerti maksud dari apa yang Kakucho lakukan, ia melakukan hal yang sama pada Shinichiro dan mereka mendekat satu sama lain, membuat kejantanan Izana dan Shinichiro saling bergesekkan seraya Kakucho dan Takeomi memompa lubang mereka dari belakang.

Tak bisa menahannya lebih lama lagi, Kakucho mempercepat gerakannya membuat kejantanan Izana dan Shinichiro semakin bergesekkan lebih cepat dari yang sebelumnya, Shinichiro semakin tak bisa menahan ejakulasinya lagi.

“Shin, bareng. Tahan sedikit lagi” bisik Takeomi tepat di telinga Shinichiro. “Kucho, mau liat yang muncrat gak?”

Mengerti kode dari Takeomi, ia dan Takeomi mempercepat hentakan mereka hingga menyentuh prostatnya dan menyemburkan sperma mereka di dalam sana. Benar saja perkiraan Takeomi, tak hanya Shinichiro namun Izana juga muncrat bersamaan. Sperma mereka bercampur dan berantakan dimana-mana, sedangkan Izana dan Shinichiro masih bergetar karena ejakulasi yang baru saja mereka alami.

Draken dan Mikey keluar dari kamar mandi dan menatap mereka aneh.

“Ngapain?”

“Ya nungguin kalian selesai”

“Pake kamar mandinya bang Iza aja ata bang Shin sih”

“Ya terus kita gendong mereka yang telanjang bulet begini begitu?”

“Terus sekarang siapa yang mandi?”

“Yang tua ngalah”

Kakucho langsung menggendong Izana menuju kamar mandi. Hampir saja Takeomi marah dan hendak melempar bantal jika tidak di hentikan oleh tawa kecil Shinichiro yang mengalihkan dunianya.

Setelah pertemuan pertama mereka saat itu, paginya mereka membuat kontrak perjanjian. Karena Mikey ada jadwal kuliah siang, mereka masih bisa saling mengobrol satu sama lain. Dan Mikey mendapat tawaran untuk tinggal bersama Draken di kediamannya. Menolak awalnya, semua yang ia dapatkan dari Draken sudah lebih dari cukup, namun lelaki itu menggunakan kuasanya untuk membuat Mikey menuruti permintaanya.

“Kenchin, aku kuliah dianterin siapa?”

“Aku sendiri”

“Gak ganggu? Kerjaanmu banyak kan”

“Enggak, manis. Ayo berangkat, kampus mu agak jauh kan dari sini?”


Di dalam mobil Mikey di minta untuk menceritakan kesehariannya, namun sepertinya ia sudah terlanjur nyaman dan senang jadi ia malah keluar topik berkali-kali selama perjalanannya.

Mobil Draken sangat menarik perhatian orang banyak, jelas bukan hanya karena tampilannya yang elegan, namun juga karena pengemudinya yang tampan membuka kan pintu untuk seorang Sano Manjiro yang turun dari mobilnya membuat banyak orang kaget. Sebelum meninggalkan Draken mereka sempat berpelukan, setidaknya itu yang orang lain lihat. Namun pada kenyataanya sebenarnya Draken tengah meremas bokong Mikey saat itu.

“Prepare your self when i pick you up”

Mikey merasa tertantang, ia menyunggingkan senyumnya sebelum berjalan pergi meninggalkan Draken yang masuk ke mobilnya.

Baru beberap langkah, ia sudah di hujani oleh kedua sahabatnya yang menanyakan 1001 pertanyaan bak orang yang sedang wawancara kerja. Agak risih memang, tapi ia bangga dapat mendapatkan tuan yang lebih hebat dari kedua sahabatnya, jadi ia memamerkan momennya dengan Draken agar kedua sahabatnya iri.

“Key, lo di kasih after care sama dia?”

“Gak mungkin, gue dapet sumber dari mantan-mantan slutnya Draken mereka cuman di tinggalin begitu aja” ucap Kazutora yang memang tau banyak informasi.

“Wow, jadi lo jalan sendiri Key ke kamar mandi?”

“Pasti menyakitkan”

“Ini kalian berniat denger dari sisi gua gak sih? Gak gua gak jalan sendiri ke kamar mandi, gua di mandiin”

What!? Ceritain lebih!”

“Iya iya, kepoan banget sih kalian” “Sejauh ini gonta-ganti master, gua pribadi suka sama Kenchin. First of all, dia masih bisa di ajak ngomong dan diskusi, terus cara dia main juga...ahh gak bisa gua gambarin pake kata-kata”

“Bisanya pake desahan ya? Hahahaha” goda Sanzu.

“Bacot. Lanjut, dia gak se kasar yang orang omongin, malah lebih ke lembut”

“Beloman kali Mik”

“Yaa liat aja nantinya. By the way kemeja-nya dia alus banget sumpah, wangi pula”

Wait, kemeja?”

“Kemeja putih biasa sih, tapi enak bahannya lemes gitu”

“Key, dia gak pernah kasih kemejanya ke siapa-siapa”

“Pantes gua perhatiin bau lo agak beda” ya hidung sanzu cukup tajam hasil dari keseringan ngelem.

Mikey dilanda kebingungan dengan informasi dari sahabatnya. Apakah ia di perlakukan spesial? Tidak, ia tak boleh berpikiran seperti itu dahulu, karena itu dapat menuju ke sakit hati yang sangat parah. Mikey bertekat untuk menanyakan perihal ini ke Draken saat pulang kuliah nanti.

Selama kuliah hari ini ia tak bisa fokus sama sekali. Pikirannya berkelana mengingat kenikmatan yang ia alami malam tadi, mengingat bagaimana suara berat Draken, bagaimana besar ukuran tubuhnya, dan se-atletis apa otot-ototnya. Tak bisa ia sembunyikan wajahnya yang memerah saat ini. Ia sangat tak sabar menunggu kegiatannya selesai dan di jemput oleh Draken, kembali memamerkan tuannya pada khalayak umum.

Fokusnya benar-benar terpecah, saat ini ia bersama teman-temannya namun pikirannya tak ada di sana.

“Segitu gak sabarnya kah lu, Mik?”

“Hah? Sayur gua warnanya ijo?”

“Gila!” kata Kazutora memukul kepala bagian belakang Mikey. “Sadar dulu elah, ngewe bisa nanti. Fokus kuliah!”

“Bisa request pulang sekarang gak?”

“Lu bukan yang punya univ ini” ucap Kazutora sedikit kasar berharap ia dapat menyadarkan sahabatnya.

“Gua suruh Kenchin beli” sayang sekali akal sehat Mikey sudah tak tertolong saat itu.

“Woy sadar halu cuk. Gua yang ngelem kok lu yang mabok”

Kedua sahabatnya hanya bisa menggeleng tak percaya melihat kelakuan Mikey yang sudah di luar nalar mereka.


Langit berubah warna, sinar matahari mulai redup, dan akhirnya Mikey bisa terbebas dari tempat penyiksaan berkedok tempat belajar itu. Ia membuka handphone miliknya ingin memberi kabar pada Draken untuk menjemputnya, namun betapa mengejutkan laki-laki itu sudah berada tak jauh di depan gerbang kampusnya bersandar di mobil hitamnya menatap lurus ke arah Mikey.

Dengan langkah percaya diri Mikey menghampiri Draken dan berjinjit memeluk leher yang lebih tinggi memberi ciuman padanya, Draken memegang pinggang Mikey merapatkan tubuh mereka berdua.

Miss me?

So much

Draken langsung membuka pintu kursi pengemudi dan duduk di sana. Mikey keheranan apa maksud perbuatannya sesaat, hingga Draken menariknya duduk di pangkuannya dengan kaki Mikey memanjang ke kursi di sebelahnya. Barulah ia tutup pintu mobilnya.

“Kenchin, kalo ada yang liat gimana?”

“Gak bakal, kaca ini terlihat hitam dari luar”

“Tapi apa kamu gak ke ganggu?”

“Enggak” kemudian Draken langsung melajukan mobilnya meninggalkan kampus Mikey.

Dengan Mikey dalam pangkuannya, ia dapat merasakan kejantanannya yang tertgesek oleh paha Mikey, dan Mikey pun tidak bodoh untuk menyadari bahwa penis Draken sudah mulai mengeras di bawah sana, ia malah semakin menekan kan pahanya ke kejantanan tuannya dengan sengaja, Draken tak bodoh untuk menyadari hal itu. Sebagai peringatan ia memberi Mikey sebuah lirikan sebagai kode untuk menjaga sikapnya.

Namun bukannya menuruti kode dari tuannya, Mikey malah mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Draken namun ia menaruh dagunya di bahu sang tuan agar tak mengganggu penglihatannya saat berkemudi.

Manjiro, i'm warning you. Don't do anything stupid

Mikey masih tak menghiraukan peringatan kedua itu. Ia malah menggesekkan penisnya dan penis Draken satu sama lain yang masih terhalang oleh celana mereka, namun ia tak bisa bohong jika itu tidak enak. Di keluarkannya sedikit desahan dan erangan tepat di samping telinga Draken, bahkan ia juga menggigit pelan, mencium, dan menjilati telinga sang tuan berusaha menggodanya lebih parah lagi.

I've give you a warning Jiro, but you won't listen to me. So prepare your self

Mikey menyeringai penuh kemenangan karena ia dapat kembali merasakan betapa hebatnya bersetubuh dengan Draken. Sesekali Draken melepaskan sebelah tangannya hanya untuk meremas pantat Mikey kuat dan cepat, atau terkadang memukulnya.

Sesampainya di rumah Draken, ia langsung menggendong Mikey dan mencumbunya kasar. Ciuman itu berantakan namun dalam, tak tinggal diam tangannya di bawah sana meremas pantat Mikey membuat sang empunya mengeluarkan lenguhan kecil di sela cumbuan mereka.

Sesampainya di ruangan bernuansa warna merah-tempat malam kemarin mereka bersetubuh-Draken langsung mencantelkan sepasang borgol tangan berwarna hitam di jeruji langit-langit ruangan itu. Tak lupa membuka seluruh pakaian Mikey sebelum menjerat tangan Mikey di borgol itu membuat seluruh tubuh Mikey terekspose sempurna.

Jilatan Draken turun dari leher ke dada dan perut Mikey berakhir di kejantanannya yang semakin mengeras. Di tiupnya penis Mikey memberikan sensasi dingin yang membuat kejantanannya berkedut. Namun bagi Draken ia ingin menikmati lebih, jadi ia meletakkan kedua kaki Mikey di pundaknya dan berdiri tegak membuat tubuh bagian bawah Mikey terangkat. Bagian selatan Mikey kali ini benar-benar terekspose sempurna memperlihatkan lubangnya yang berkedut dan penisnya yang mengeras.

Menikmati makanan yang tersaji di hadapannya, Draken langsung melahap lubang Mikey memainkan lidahnya di dalam sana dan satu tangannya memainkan penis Mikey serta satu tangannya lagi bermain di puting Mikey. Di beri kenikmatan di tiga titik secara bersamaan membuat Mikey hampir kehilangan kewarasannya, ia mengeratkan pelukan kakinya di leher Draken dan tangannya mencengkram rantai yang dapat ia raih mengangkat tubuhnya dan bergerak tak karuan di kala Draken berhasil menemukan titik prostatnya dan bermain di sana.

“*Kenchin~heumhh i wanna cum-Hannh!” Draken malah mencengkram penisnya semakin erat, membuatnya kesulitan untuk ejakulasi.

Who said you could call me like that?

“Heunggh~Master i'm sorry, this little slut didn't realize his place. I'm just a little slut made to fullfil your lust~

Good boy, you realize your position now. I'll give you a reaward

Draken melepas cengkramannya pada kejantanan Mikey dan langsung memasukkan dua jarinya ke dalam lubang Mikey menggantikan lidahnya kemudian mengocokkan jarinya dengan liar menstimulasi prostatnya. Satu tangannya kembali mengocok kejantanan Mikey dengan tempo lebih cepat dari sebelumnya, membuat sang empunya tubuh semakin mengeluarkan desahan tak karuan dan teriakan kenikmatan mengisi ruangan itu diikuti dengan lantunan kecipak basah dari lubangnya.

Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat Mikey ejakulasi mengeluarkan semua spermanya. Kakinya terjatuh dari pundak Draken, nafasnya terngah-engah, dan badannya sungguh lemas. Dengan perlahan Draken membuka borgol tangan Mikey dan dengan sigap menagkap tubuhnya yang lemas kemudian menggendongnya membaringkannya di kasur sembari menciumi seluruh tubuhnya.

“Jiro, kau sudah lelah?”

“Heumhh lumayan”

“Aku ingin mencoba sesuatu yang baru, kau masih kuat?”

“Asal tak perlu menahan beban ku rasa aku masih bisa”

Seringai Draken mengembang, ia turun dari ranjang dan mengambil segelas air dan memberikannya pada Mikey, “anggap saja persiapan sebentar” Mikey duduk dan menerima gelas itu dan meminum air di dalamnya perlahan kemudian memberikan gelas kosong di tangannya pada Draken.

Tak terlihat sesuatu yang aneh beberapa saat setelah itu, namun wajah Mikey mulai terlihat memerah menunjukan suhu tubuhnya yang meningkat. Draken yang sudah mulai menyadari perubahan dari Mikey mencoba menguji kepastiannya, ia meniup telinga Mikey memuat si kecil menggelinjang karena sensitivitasnya yang meningkat.

Draken tersenyum mengetahui percobaanya memasukkan aphrodisiac ke dalam minuman Mikey berhasil. Draken melanjutkan percobaanya ke tahap yang kedua, ia menutup mata Mikey dengan kain hitam dan menjelajahi tubuh mulusnya, membuat Mikey meminta lebih. Nafasnya terdengar berat dan Draken membantu Mikey berbaring terlentang di atas kasur itu dengan pahanya yang terbuka lebar.

“Saya mulai tahap terakhirnya”

Draken menyalakan bdsm candle berwarna merah yang cukup besar. Mikey yang tak bisa melihat lagi-lagi sensitivitasnya bertambah.

You know the safe word sweetie, say it when you can't handle it

Bisiknya sebelum memasukkan penisnya ke dalam lubang Mikey dan bergerak perlahan. Namun Mikey terus saja meracau tak sabar meminta lebih.

“Tadinya mau saya kasih jeda sedikit, tapi kamu yang mau ya”

Tepat setelah Draken membisikan kalimat itu di telinga Mikey ia mengambil lilin merah itu dan meneteskannya di mulai dari dada Mikey sambil mengocok kejantanannya. Mikey sendiri sudah mendesah berteriak dalam kenikmatan karena stimulasi yang berlebihan di kala tubuhnya sedang sangat sensitive akibat pengaruh aphrodisiac dan matanya yang tertutup.

Salivanya terus mengalir turun ke lehernya, air mata juga membasahi penutup matanya, tubuhnya menggeliat dalam kenikmatan, tak dapat ia ingat ini sudah keberapa kali ia ejakulasi. Namun yang jelas kenikmatan yang ia rasakan kali ini benar-benar membuatnya gila. Pikirannya kosong, memang benar ia tak perlu menahan beban apapun, namun ia tak di peringatkan akan stimulasi yang akan menyerangnya bertubi-tubi.

Lilin itu kembali menetes di daerah perutnya dan Draken juga meneteskannya di beberapa daerah lain, leher Mikey contohnya. Dan kali ini Draken membuka penutup mata Mikey membuatnya dapat melihat wajah kacau si cantik yang sangat menggoda. Ide jahil semakin memenuhi kepalanya, tak cukup meneteskan lilin itu di perut dan dada Mikey, ia juga meneteskannya di pangkal paha Mikey, membuatnya menggelinjang bergetar, karena stimulasi itu ia kembali ejakulasi, namun tak mengeluarkan sperma barang setetes pun, alias dry cum.

Merasa akan segera mencapai pelepasannya, Draken mematikan lilin merah itu dan menaruhnya di meja nakas. Selagi tangannya masih mengocok kejantanan Mikey, satu tangannya menekan perut Mikey merasakan seberapa dalam kejantanannya masuk sekaligus mendekatkan prostatnya dan menyerang titik itu bertubi-tubi. Hingga Draken menyemburkan spermanya di dalam lubang Mikey langsung menyentuh titik prostatnya bersamaan dengan ejakulasi Mikey yang mengotori perutnya.

Kesadaran Mikey mengabur, wajahnya kali ini sudah sangat kacau. Walau tak se sensitive tadi, namun tubuhnya masih bergetar akibat kenikmatan yang menyerangnya bertubi-tubi melebihi ekspetasinya. Draken berbaring di sebelahnya tak meminta lebih karena ia sendiri sudah puas dan Mikey terlihat sudah sangat lelah. Ia memeluk Mikey mendekat membagi kehangatan dalam dirinya.

“Saya tidak mengira kamu akan sekuat ini, saya pikir kamu akan mengucapkan safe wordnya di tengah-tengah permainan tadi”

Kenchinhh~Mikey's a good boy right?

Yes, you're my good little boy. Get some rest hun

A.B.A :

Udah baca cw nya kan sebelum baca ini. Di perjelas lagi di sini

Note: NSFW, underage sex, kata-kata kasar, fluff, angst

Sumpah ini characternya masih minor, jadi jangan di contoh. Kalian udah sejauh ini berarti kalian udah tau konsekuensi dan dapat membedakan mana yang baik dan benar. Dan ini hanya fiksi, hanya untuk entertaiment (hiburan) belaka. BUKAN BUAT DI CONTOH! Saya gak membenarkan sama sekali tindakan ini di praktekkan atau terjadi dalam kehidupan nyata. Kalo gak suka atau gak nyaman gak usah di lanjut!

Umm itu aja? Dah, selamat membaca. ヾ(¯∇ ̄๑)


Semua di mulai ketika Baji memukuli Chifuyu hingga babak belur sebagai pembuktian ia keluar dari Touman. Setelah itu Baji tidak sekalipun bersinggung sapa dengan Chifuyu. Bukan menghilang, Baji masih di sana, namun ia menghindar tak sanggup melihat wajah Chifuyu yang hancur karena ulahnya sendiri.

Dan di sini lah ia sekarang, menyusuri jalan yang ia kenal dengan asal-asalan, entah di bawa kemana ia oleh kaki-kaki nya. Namun derit kecil dari ayunan yang bergerak pelan membuatnya berhenti di tempat mengangkat kepalanya menatap terkejut ke arah lelaki pirang yang menjadi sumber bunyi itu. Namun lelaki pirang yang bertubuh lebih kecil darinya itu tak terlihat kaget sama sekali.

“Akhirnya ketemu juga”

Chifuyu berdiri dari ayunan tersebut. Sebelah matanya yang di perban menimbulkan rasa bersalah yang makin besar di hati Baji, membuatnya tertunduk dan berniat membalikkan badannya kembali ke rumah.

Namun sebuah tangan kecil menahan pergerakannya, ia terlalu takut untuk sekedar membalikkan badan, ingin ia lanjut berjalan dan menghempas tangan Chifuyu, namun ia bukan lah orang yang sekasar itu. Apalagi terhadap Chifuyu-nya.

“Kak Kei, kenapa menghindar?”

Baji terdiam di tempatnya namun tak berani menatap Chifuyu. Ia mengepal tangannya sendiri menahan luapan emosi antara ingin memeluknya dan menjauhinya.

“Kak Kei gak mau jawab?”

“Puy, lepasin”

“Cipuy tau kak, jangan menghindar terus”

Baji langsung menatap Chifuyu datar. Tatapannya dalam, tak tersirat makna dari tatapan matanya, namun Chifuyu tau ke khawatiran yang ditunjukkan mata kekasihnya itu.

“Kamu tau artinya apa?”

Tanpa basa-basi Chifuyu langsung menarik Baji ke apartemennya. Baji mengikutinya tanpa perlawanan, namun hatinya terasa berat. Seluruh pikiran masuk ke dalam otaknya, menimbulkan ketakutan bagi dirinya. Tepat ketika Chifuyu membuka pintu dan hendak menarik Baji masuk ke apartemennya, namun Baji diam di tempat.

“Chi, jangan. Kakak gak mau kamu kenapa-kenapa”

“Aku juga gak mau, mangkanya aku mau tetep di samping kak Kei. Boleh kan?”

“Kamu tau resiko-”

“Aku tau, kita tanggung berdua”

“Puy, kakak berusaha ngubah semua ini buat kamu, kakak mau kamu bahagia”

“Bahagia ku tanpa mu, itu bukan bahagia kak!” Chifuyu menjawab setengah berteriak, dan Baji langsung memeluknya, membawanya masuk ke dalam agar tidak mengganggu para tetangga sekitar. “Jangan tinggalin aku terus”

Baji menggendong Chifuyu ke kamarnya, Chifuyu memeluk leher Baji menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Baji menghirup dalam-dalam aroma lelaki yang ia rindukan itu. Baji sendiri ragu dengan pilihannya saat ini, ia tak ingin Chifuyu terluka namun juga tak ingin terpisah darinya.

Baji duduk di kasur dengan Chifuyu yang masih di pangkuannya memeluknya erat. Tak bisa ia pungkiri, ia dapat merasakan tubuh Chifuyu yang mengurus dan kulitnya yang dingin akibat udara malam tadi. Mencoba berbagi kehangatan Baji membalas pelukan Chifuyu dan ikut menghirup wangi si kecil dari kepalanya, wangi manis yang ia rindukan.

“Kak Kei”

Panggil Chifuyu sebelum mencium bibir baji dan mengulumnya. Tangannya melingkar di leher Baji seraya memperdalam ciuman mereka. Tangan Baji meremas bokong Chifuyu membuat sang empunya mengeluarkan lenguhan kecil dalam sela ciuman mereka. Suara basah decak lidah bergema di ruangan itu bercampur dengan desahan kecil yang keluar dari mulut mereka.

Chifuyu meremas baju Baji meminta waktu untuk melepaskan ciuman mereka sebentar dan mengambil nafas. Di lepasnya pagutan bibir mereka, di depannya dapat ia lihat wajah Chifuyu yang memerah dan terengah-engah, saliva berantakan di sekitar mulutnya bahkan jatuh ke pakaian mereka. Mata sayunya seolah menunjukkan kelelahan dan kenikmatan meminta lebih di saat yang bersamaan.

“Puy, kayaknya udah-”

“Lanjutin kak. Aku siap”

“Chi, ini bukan cuman masalah kamu siap atau enggak”

“Kakak gak mau?” tanyanya dengan jurus andalannya-wajah memelas bagaikan anak anjing-

”...Cuman sama kakak”

“Cuman buat kakak”

Chifuyu kembali menyerang bibir Baji, memainkan lidah mereka satu sama lain. Sedangkan tangan Chifuyu bergerak melepaskan celananya membuat tubuh bagian bawahnya terekspose sempurna dan melepas kaos yang dikenakan Baji, menampilkan otot indah dari tubuh bagian atasnya kemudian mengikatkan rambut panjang baji yang tergerai agar tak menghalangi aksi mereka.

Chifuyu menurunkan ciumannya ke leher Baji, di buatnya tanda kecil kemerahan di leher kekasihnya. Kemudian turun menjilati bahu dan dada bidangnya, Baji sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang bertumpu pada tangannya memberikan akses bagi si kecil untuk bergerak lebih leluasa bermain di dada nya, menciumi putingnya yang mengeras, menjilat serta mengigitnya.

Pergerakkan Chifuyu kembali turun ke perut Baji, ia menjilat serta menciumnya tak lupa meninggalkan sedikit bekas kemerahan di sana. Ia terus turun dan menurunkan celana Baji menampilkan penisnya yang sudah mengeras berdiri tegak. Dengan salah satu jemari lentiknya ia menelusuri penis Baji dari kepala hingga pangkalnya membuat penisnya berkedut. Baji melepaskan geraman pelan ketika Chifuyu mulai mengurut penisnya perlahan sambil memainkan bolanya.

“Belajar dari mana, heum?”

Chifuyu memalingkan wajah memerahnya sebelum menjawab “Aku sempet nonton beberapa kali”

“Beberapa kali” Baji mengarahkan wajah Chifuyu berhadapan dengannya membuat hidung mereka bersentuhan satu sama lain. “Tapi gerakan mu nggak mencerminkan orang yang cuman nonton beberapa kali” lagi-lagi Chifuyu mengalihkan pandangannya. “Could you be honest with me, Chifuyu? I'll give you a reward

Merasa terintimidasi dan terpojok, akhirnya Chifuyu membuka suara mengatakan kejujuran, “...A-aku sering nonton, kadang aku latihan sendiri”

Good kitty~” bisiknya di telinga Chifuyu dengan nada rendah. “Coba kamu praktekin apa aja yang udah kamu pelajarin”

Kali ini wajah Chifuyu berhadapan langsung dengan penis Baji yang ereksi. Dengan telaten ia menjilati dan mengulum kepala penisnya dan memasukkannya perlahan ke dalam mulut hangat Chifuyu. Baji menikmati permainan Chifuyu, jadi ia memutuskan untuk memberikan kucing kecilnya ini sebuah hadiah sekaligus pemanasan.

Tubuh kecil Chifuyu membuat Baji tak kesulitan untuk menjangkau lubang Chifuyu dan memasukkan satu jarinya. Terkejut di awal merasakan satu jari Baji masuk di lubangnya dan bergerak perlahan, fokusnya terbagi menjadi dua antara mengulum penis dan merasakan jari yang bermain di lubangnya. Baji menambahkan satu jarinya masuk ke lubang Chifuyu mengobrak-abrik lubangnya perlahan mencari titik prostatnya sekaligus melebarkan lubangnya agar muat ketika ia memasukkan penisnya nanti.

Tak hanya suara kecipak basah dari bawah tempat Baji memainkan dua jarinya, namun desahan tertahan Chifuyu dan erangan rendah Baji juga ikut meramaikan suara dalam ruangan itu bagaikan paduan suara.

“Pwahh. Kak Kei, masukin sekarang Bisa?” tanya Chifuyu melepaskan kulumannnya terhadap penis Baji dan mengadah ke atas bertatapan dengan sang pemilik meminta izin.

“Udah siap?” Chifuyu langsung mengangguk sebagai jawaban kemudian mengambil ancang-ancang memasukkan penis Baji ke dalam lubangnya dan duduk di pangkuannya. Namun Baji dengan cepat mengangkat paha Chifuyu menahannya untuk melakukan lebih jauh.

“Kakkk~”

Aren't you being a little whiney today, kitten? Sabar dulu, kalo kamu langsung masukin begitu bisa sakit, yang ada nanti kamu langsung kapok. ini first timemu kan?”

'Cause i really miss you and i don't want you to leave me again. Dan ya i-ini first timeku. Gak usah ngejek” Chifuyu memanyunkan bibirnya dan di beri ciuman singkat oleh Baji.

“Aku gak bakal ninggalin kamu lagi, sayang. Dan aku gak bakal ngejek kamu yang milih first time having sexmu sama aku. Tarik nafas okay, this'll hurt a little

“Aaaaaa~” jelas dapat Chifuyu rasakan bagaimana penis Baji masuk perlahan kedalam lubangnya, membuat lubangnya terbisa secara perlahan.

“Puy, jambak aja gak papa kok atau mau nyakar atau gigit gak masalah”

Mendapat izin dari sang empunya tubuh, Chifuyu memilih untuk menggigit ceruk leher Baji dan menjambak rambutnya. Sakit memang, namun Baji masih bisa menahan semua itu karena ia yakin itu akan berubah menjadi kenikmatan sedikit lagi.

Seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di mata kirinya menikmati cahaya rembulan yang turun menyinari malam itu, diperhatikannya bintang-bintang yang sangat terlihat jelas. Tidak, ini bukan di kota. Ia sekarang berada di puncak gunung.

Dinikmati kesunyian dan angin malam yang menerpa rambut cerahnya. Ia hanya mengenakan celana panjang dan kaos putih tipis, tidak kah ia takut sakit? Tidak.

“Mau apa kamu di belakangku terus?” ucap si pirang membalikan tubuh bertatap-tatapan dengan lelaki bersurai putih di belakangnya. “Aku muak mengabaikanmu. Apa yang kau mau?”

“Umm ... hanya mengikuti?” jawab si surai putih gugup.

“5 bulan. Jika kamu arwah penasaran, pilihlah orang lain selain diriku. Tak ada yang kamu dapat dari mengikutiku.”

Ia adalah seorang pemuda yang baru saja terkena musibah, kesulitan melilit hidupnya bagaikan hujan yang terus turun tak henti walau matahari bersinar cerah. Benar jika ia katakan 'tak ada yang kau dapat dari mengikutiku' memiliki sesuatu pun tidak. Hanya bergantung dari uang kematian orang tuanya dan pekerjaan paruh waktu yang ia kerjakan.

“Hey, aku belum mati.”

“Kalau begitu, kamu sama denganku?”

”... Bisa iya, bisa tidak.”

“Lalu kamu ini apa? Kamu selalu hadir bagaikan hantu yang menempel padaku, tapi kamu bilang kamu belum mati dan juga tidak out-of-body experience sepertiku. Lalu kamu apa? Malaikat?”

“Aku akan merasa tersanjung jika kamu menganggapku begitu, namun sayangnya aku bukan malaikat.”

“Jin? Siluman?” tebaknya

“Hey, siluman tak setampan diriku. Dan wujud mereka aneh, aku manusia.”

“Kamu terlihat seperti siluman kakek-kakek bagiku.”

“Bagian mana dari diriku yang tampan ini terlihat seperti kakek-kakek!?” ucapnya tak terima.

“Rambutmu.”

“Hey! ini namanya model, Seishu.”

“Wah, curang sekali. Kamu bisa tahu namaku, tapi aku tak tahu namamu. Ah, aku lupa penjaga tak memiliki nama.”

“Aku bukan penjagamu.”

“Lalu siapa kamu?”

“Hajime Kokonoi.”

Seishu tak terlalu terkejut, namun ia masih memikirkan sebenarnya laki-laki di depannya ini apa.

Semenjak kecelakaan yang menimpa keluarga nya beberapa bulan yang lalu Seishu dapat melakukan out-of-body experience mungkin dampak dari kecelakaan. Jiwanya sering terpisah dari raga, terutama ketika tertidur.

Tak hanya itu, ia juga dapat merasakan kehadiran makhluk menyeramkan di sekitarnya, bahkan ia dapat melihat mereka jika energi mereka terlalu besar. Itulah alasan kenapa ia tahu Koko mengikutinya.

Dan tentu selama out-of-body experience ia perlu menjaga sikap agar tak di tempeli oleh hantu lain. Sekarang ia cukup terbiasa mengendalikannya, bahkan sudah bisa berpergian seperti ini. Tak lupa kebiasaan barunya saat tidur, menggunakan jam, agar saat jiwanya keluar dari raganya nanti ia masih dapat melihat arloji untuk kembali ke tubuhnya.

“Inupi, kurasa ada baiknya kamu kembali sekarang.”

“Inupi?”

“Panggilan dariku untukmu. Kamu tak suka?”

“Terserahlah, selama kamu tak mengacaukan hariku, itu tak masalah.”

Seishu memejamkan kelopak mata, dan kembali ke kamarnya menatap raga tanpa jiwa yang tertidur pulas.

“Sekarang jam 2 pagi. Lebih baik kamu masuk dan tidur, aku takut kamu akan kelelahan jika langsung kembali ke tubuhmu dan beraktivitas.”

“Aku ada kelas jam 8.”

“Kita sudah saling mengenal, namun aku bisa membangunkanmu.”

Tak begitu percaya sebenarnya, namun Seishu memilih untuk mengikuti saran Koko.

Benar saja, ia dibangunkan dengan cipratan air di wajahnya. Mata Seishu mengerut merasa terganggu dengan cipratan air yang membasahi wajahnya.

Akhirnya ia bangun dengan langkah gontai menuju kamar mandi dan menggosok gigi.

“Kemana perginya semangat hidupmu?”

“Dari awal aku memang tak bersemangat untuk hidup, Koko.”

“Ayolah, masih punya raga saja kamu sudah harus bersyukur.”

“Tapi lebih menyenangkan tanpa raga.”

Kokonoi terdiam, ia menunduk mengalihkan perhatiannya dari Seishu yang sedang menyantap sarapan.

“Mungkin awalnya itu akan menyenangkan. Namun ketika kamu menyadari mereka punya apa yang dulu kamu miliki, itu akan membuatmu iri. Ditambah jika kau memiliki raga namun kamu tak dapat masuk ke ragamu.”

“Maksudnya?”

“Coma.” “Ketika tubuhmu tak sadar, jiwamu bisa keluar kemana-mana namun kau tidak bisa masuk ke ragamu.”

“Itukah dirimu?”

Koko mengangkat kepalanya menatap Seishu dengan senyuman pilu. Entah sejak kapan air di mata Seishu mulai berkumpul hingga kelebihan muatan dan jatuh mengalir perlahan bak air sungai di dataran tinggi yang mengalir turun dengan tenang.

“Hei, mengapa kamu menangis? Seharusnya aku yang menangis karena aku yang mengalaminya.”

“Ko, kamu tahu di mana rumah sakit tempat kau dirawat?” tanya Seishu dengan suara senetral mungkin.

“Di rumah sakit yang sama dengan kakakmu.”

“Kau bertemu aku di sana?”

“Iya, lalu aku mengikutimu karena kau terlihat bereaksi saat aku mencoba berinteraksi denganmu,” bohongnya.

Setelah Seishu menyelesaikan sarapannya dan ibu jari Koko menyeka air mata Seishu. Senyumnya menenangkan Seishu dan sentuhan di pipi Seishu sangat lembut, jika saja ia dapat memegang raga lelaki ini mungkin akan terasa hangat dibandingkan dingin.


Selepas kuliah, Seishu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah sakit tempat kakaknya, Inui Akane dirawat.

“Mengapa kakak tidak istirahat?”

“Nanti, aku sedang menunggu Yuzuha.”

“Maaf aku menjadi adik yang tak berguna,” ucapnya menunduk dengan air mata yang mulai berkumpul di matanya. “Aku tak bisa menolong ayah dan ibu, kehidupan kita melarat, bahkan sekarang kita malah bergantung pada kak Yuzuha.”

“Kurasa hanya aku yang bergantung pada Yuzuha, lagipula tak apa, toh kami akan menikah,” senyumnya berusaha menenangkan Seishu. “Bukan salahmu, Sei. Aku baik-baik saja dan berhasil hidup, malah kamu terluka.”

“Kubilang berapa kali, ini hanya luka kecil.”

“Tetap saja kau terluka, dan terima kasih telah menyelamatkanku.”

Seorang wanita dengan rambut bronze tergerai masuk ke ruangan itu dan wajahnya tampak tegas, Shiba Yuzuha, tunangan Akane. Ia menghampiri Akane dan mencium keningnya, di saat itu ia bersyukur ia masih dapat melihat tunangannya.

“Sei pulang kuliah cepat?”

“Iya, tadi dosennya ada yang tidak hadir.”

“Mau minum kopi?”

“Tidak perlu, kak. Aku ingin menjenguk temanku yang juga sedang sakit di sini, titip kak Akane ya.”

“Serahkan dia padaku, kamu tak perlu khawatir.”

“Terima kasih banyak kak.”

Sedari tadi Koko hanya diam memperhatikan interaksi mereka bertiga. Ketika Seishu keluar, barulah ia mulai bertanya,

“Menjenguk teman?”

Seishu berjalan ke meja resepsionis dan bertanya pada perawat yang berjaga disana, “Maaf, pasien bernama Hajime Kokonoi ada di kamar berapa?” mendengar pertanyaan Seishu, Koko cukup terkejut.

“Inupi, untuk apa bertanya seperti itu? Kamu tak perlu menjengukku,” Seishu mengabaikan pertanyaan Koko.

“Ruang vip, lantai lima, kamar nomor tiga.”

“Terima kasih.”

Ia langsung menuju ke kamar Koko mengabaikan Koko yang berusaha berbicara dengannya.

Ditemukannya kamar Koko, kamar itu tampak sepi seolah tak ada yang hidup di sana, bahkan tak ada bodyguard berjaga seperti di kamar lainnya.

Ia membuka pintu kamar Koko perlahan, dan mendapati sesosok tubuh tanpa jiwa yang terbaring dengan infus dan EKG-elektrokardiogram-menempel di dadanya, menampilkan denyut jantung yang beraturan.

“Koko, tak ada yang menjagamu?”

“Apa yang kamu harapkan dari anak gagal?”

Seishu duduk di pinggir kasur tempat raga Koko terbaring tak sadar. Disentuhnya bagian sisi kiri kepala Koko yang memiliki potongan rambut sangat pendek.

“Kenapa model rambutmu seperti ini?”

“Aku sempat menyelamatkan seseorang sebelum coma, ini adalah akibat dari menyelamatkan orang itu.”

“Apakah orang itu tau kamu menyelamatkannya?”

“Tidak, aku juga tidak akan memberitahunya karena aku tak ingin membebani dia.”

“Warna rambutmu ...”

“Putih?”

“Alami.”

“Pertanyaan atau pernyataan?”

“Pernyataan.”

“Salah, aku mewarnai rambut.”

“Tapi seharusnya warna rambutmu sudah pudar berganti dengan warna rambut aslimu.”

“Aku cat rambut di salon yang mahal.”

“Kamu stres.”

Koko terdiam menatap Seishu yang mengelus rambutnya yang sedang tertidur lelap.

“Sejak kapan?”

“Entahlah, mungkin cukup lama”.

“Pasti kamu tahu banyak hal tentangku. Mengapa kali ini kamu tidak menceritakan tentang dirimu sendiri?”

“Kenapa kamu ingin tahu?”

“Ini idak adil. Kamu tahu segala hal tentang ku, namun aku tidak tau apa-apa tentangmu. Lagipula bukannya kamu yang bilang, 'kau cantik, Seishu. Apa aku bisa mendapatkanmu saat bangun nanti?'

“Kamu tidak tidur!?” Seishu hanya tertawa kecil sebagai jawaban. “Ugh, aku tidak nyaman bercerita sekarang. Boleh nyicil gak?”

“Memangnya aku pedagang yang bisa kau tawar?”

“Nupii, aku belum siap,” Koko merengek mengalihkan pandangannya.

Seishu mengelus rambut arwah Koko dan tersenyum lembut. “Kutunggu bila kau siap.”


Tidak bercerita banyak, pukul tujuh malam Seishu melangkah keluar dari rumah sakit bersama dengan jiwa Koko yang mengikutinya.

Menapakkan kaki di jalan sepi itu, Seishu menikmati malam melewati genangan air selepas hujan dengan sinar rembulan dan lampu-lampu taman di sekitarnya. Angin dingin berhembus menerpa rambutnya, baju yang ia kenakan cukup tebal walau sebenarnya masih kurang untuk melindunginya dari serangan dingin, namun dapat ia tahan.

Seorang anak kecil menunduk di pinggir jalan, hati Seishu tersentuh melihatny. “Hey kamu tak apa?” tanya Seishu seraya menepuk kecil pundak anak tersebut. Namun ketika anak itu hendak membalikan tubuhnya menatap Seishu, Koko langsung menarik Seishu ke dalam pelukannya bertujuan agar Seishu tak dapat melihat anak kecil bertampang rusak itu.

“Sei, kamu lelah?”

Si surai pirang hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Kamu kenapa? Biasanya kamu dapat membedakan mereka.”

Seishu mundur beberapa langkah dari pelukan Koko, “Teringat masa lalu.”

Seishu kembali berjalan, kepalanya tertunduk mengingat masa lalunya ketika ia masih kecil dan tertinggal seperti hantu anak kecil tadi. Air mata kembali berkumpul di bola matanya, angin malam menerpa wajahnya memaksa air mata itu turun jatuh ke tanah.

Pundak Seishu bergetar menunjukan dirinya menangis tanpa suara. Koko dapat mengetahui bahwa hal ini berkaitan dengan masa lalunya, ingin ia raih pundak bergetar itu, medekapnya dalam pelukan, menenangkan si pirang, namun tampaknya lebih baik memberi ia waktu sendiri saja.

Jujur, hati Koko ter-iris, ia tak tau entah apa yang alami Seishu semasa kecilnya, tapi siapapun itu yang membuat malaikat hatinya menitikan air mata, jelas tak bisa ia maafkan.

Akhirnya mereka sampai di tujuan, rumah Seishu. Toh ia tinggal sendiri, kehadiran Koko cukup mengusir sepinya. Tak ada yang mengganggu? Tidak sering, namun Seishu juga sudah tak peduli. Bagi Seishu tak ada yang lebih menakutkan dari keadaanya saat ini.

Setelah membersihkan dirinya, Seishu langsung tidur menghilangkan penat yang menumpuk di hari itu. Koko memantau, berusaha mencegah sang malaikat hatinya astral projection lagi. Ia tak ingin kesayangannya kelelahan, jadi ia mengelus rambut Seishu berusaha memberinya kenyamanan dan menggenggam salah satu tangan Seishu seolah mengatakan, 'Tenang, aku ada di sini.'


Entah apa yang dipikirkan Koko setelah itu. Yang jelas saat Seishu terbangun, ia tak mendapati Koko di mana-mana, tapi ada secarik kertas bertuliskan bahwa Koko pergi sementara namun tak akan kembali dalam waktu dekat.

Lega walau kesepian melandanya, ia bersandar di dinding terdekat dan merosotkan tubuhnya perlahan duduk di lantai. Tak bisa di pungkiri bahwa ia juga khawatir.

Rasanya rumah saat ini bukanlah rumah. Memang belum lama ia berinteraksi dengan Koko, namun selama ini Koko diam-diam memberinya kenyamanan saat di rumah. Bukan kenyaman yang dapat diberi keluarga atau pun teman, kenyamanan yang Koko berikan jauh di atas itu semua.

Sepulang dari kuliah, ia kembali ke rumah sakit mampir sejenak menemui raga Koko, berharap jiwa Koko berada di sana. Namun tetap nihil, ruangan itu malah terasa makin sepi dan menyeramkan tanpa jiwa Koko disisinya.

Pikiran Seishu mulai berkecamuk. Jika jiwanya tak ada di sini, di mana ia sekarang? Apa hal buruk terjadi? Raganya terlihat baik-baik saja. Namun apa itu dapat menjamin jiwanya baik-baik saja?

Seishu menggenggam tangan Koko, berharap itu dapat membuatnya bangun dari ketidaksadaran dan menarik jiwanya untuk kembali menyatu dengan raga. Namun jelas itu hanya usaha yang sia-sia.

Segala pikiran mulai memenuhi kepalanya. Di satu sisi ia sangat mengkhawatirkan Koko, namun ia juga berusaha mengenyahkan pikiran karena itu hanya membebani hidupnya. Hidup sendiri saja sudah susah, sekarang malah memikirkan orang lain. Namun otaknya tak dapat bekerja sama dengan hatinya. Mau semenentang apapun otaknya terhadap kekhawatiran kepada Koko, hatinya tetap khawatir, malah semakin besar rasa khawatirnya ketika ia ditentang.

Akhirnya ia pulang ketika malam semakin larut. Selama berjalan ia terlihat mengingat kembali masa lalunya, dari mulai ketika ia kecil, hingga sebesar sekarang menjalani hidup yang sulit. Ia tersenyum remeh pada bulan seolah mengejek takdir yang ia terima. Atau mungkin memang itu arti dari senyumannya.

Masuk ke dalam rumah tanpa menghidupkan lampu adalah kebiasaan Seishu dari dulu, gelap dan tenang itu lebih membuatnya nyaman. Namun kali ini ia menyalakan lampu dapur yang cukup memberi cahaya ke beberpa bagian rumah. Termasuk tempat dimana piano peninggalan ibunya berada.

Ya, entah kenapa benda terkutuk bagi Seishu itu bisa selamat. Dulu semasa ia kecil, mendiang ibunya sering memaksanya untuk berlatih piano. Tentu saja dengan segala pakasaan dan pukulan diterimanya. Dan bahkan hingga detik terakhirnya, tak pernah ia mendapatkan penghargaan barang ataupun senyum dari ibunya.

Lalu mengapa ia tak menjual piano tersebut? Mungkin bernilai tinggi, tapi bagi Seishu benda ini cukup berhasil menyalurkan emosinya. Tidak, ia tidak berniat menekuninya, ia hanya memainkan piano tersebut dengan sesuka hati.

Sebelum membersihkan diri, Seishu duduk di depan piano tersebut dan menyentuh setiap jengkal tutsnya. Memainkan Perlude in C Sharp Minor karangan Rachmaninoff. Lantunan nada indah menggema di ruangan itu dengan wajah Seishu yang terlihat datar. Ia masih memikirkan berbagai alasan dan kemungkinan di mana Koko berada.

“Tak mau kah kamu kembali untuk menjelaskan segalanya sebentar, Ko.”

Merasa sudah lelah, ia menghentikan permainannya dan melempar diri ke atas kasur berharap jiwanya dapat keluar lagi agar ia dapat mencari Koko lebih leluasa.

Sia-sia, hal itu tak terkabul. Disaat ia sangat menginginkannya, hal itu tak terjadi. Dan sekarang ia terbaring menatap langit-langit kamarnya berusaha untuk tidur.

“Sialan, sekarang rasanya aku seperti kehilangan rumah.”


Setelah malam itu keseharian Seishu kembali monoton. Bangun pagi, kuliah, bekerja, menjenguk kakaknya dan kali ini ia juga menjenguk Koko walau sebentar masih berharap jiwanya kembali muncul di sana.

Terhitung hanya 4 hari lamanya ia berpisah dengan Koko, dan 4 hari itu pula kondisi rumah Seishu makin suram. Karena selama ini, walau dulu Koko sempat tak menunjukkan keberadaanya, ia tetap merawat Seishu seperti menempelkan sticky note mengingatkan Seishu akan jadwalnya sehari-hari. Kadang Koko juga suka jahil menghidupkan keran kamar mandi bermaksud mengingatkan Seishu membersih kan dirinya, atau membuka pintu kulkas untuk mengingatkan Seishu makan malam.

Kali ini, di sini lagi ia duduk di depan piano seperti 4 hari yang lalu. Kali ini ia memainkan When the love falls-Yiruma. Netra Seishu menatap sendu ke arah jemarinya yang bermain di atas tuts hitam dan putih benda tersebut.

Orang itu, jiwa itu, menghadirkan perasaan yang seharusnya sudah ia buang jauh-jauh semenjak tragedi kebakaran, atau mungkin lebih lama lagi. Ya, Koko berhasil mengembalikan perasaan dalam diri Seishu. Sekarang, kemana perginya sosok Koko? Apakah selama ini ia hanya bermain-main?

Pikiran Seishu semakin tenggelam seiring nada yang ia lantunkan, pikirannya berkecamuk memikirkan hal yang tidak penting, mulai dari teori-teori aneh dalam hidupnya sampai mempertanyakan keberadaan koko. Ia tahu ini akan menuju semakin dalam dan semakin berbahaya. Namun siapa peduli? Kakak-nya berada di rumah sakit, kedua orang tuanya tak ada yang peduli dan syukurlah sudah meninggal, Koko entah ada di mana.

Sebuah kertas kecil jatuh dari atas mendarat perlahan di atas tuts piano membuat permainannya tehenti.

Lihat ke belakang.

Dengan tergesa-gesa Seishu membalikkan tubuhnya, mendapati Koko senyuman Koko yang sudah lama hilang. Rasa geram dan bahagia bercampur aduk saat itu juga.

“Hai,” ucapnya dengan senyum ramah mungkin sengaja membuat Seishu jengkel.

Seishu bangkit dari duduknya dan melakukan hal yang sedari tadi sudah ia tahan, akhirnya ia memukul kepala Koko, “emang dasar sengaja banget ya.”

“Aduh, aduh. Kok kepalaku dipukul sih, cantik.”

“Jaga mulutmu.”

“Hehe ... Kenapa marah? Tidak mau memberiku pelukan? Memangnya kamu tidak merindukan aku?”

“Gak.”

Seishu kembali duduk di depan pianonya dan melantunkan nada asal namun tetap menghasilkan suara yang indah mengabaikan Koko yang berusaha mencuri perhatiannya, dengan cara mengganggu permainan Seishu.

Dari mulai mencolek pipinya, menekan tuts piano membuat suara yang menjengkelkan, hingga kali ini ia memeluk Seishu dari belakang dan meletakkan dagunya di atas kepala Seishu.

“Apa yang kamu inginkan?”

“Lirik aku, Seishu. Aku sudah kembali tapi kamu tidak memberiku perhatian.”

“Siapa yang menyuruhmu pergi tanpa kabar?” Koko tak menjawab, namun ia tetap diam dalam posisinya. “Jelaskan, 4 hari ini kamu kemana?”

“Khawatir, ya.”

“Iya.” Seishu mendongak menatap Koko.

“Baru pertama kali ada yang khawatir padaku seperti ini.”

Seishu menambahkan, “Dan baru pertama kali aku khawatir pada seseorang seperti ini.”

Koko menghela napas tak sanggup menghindar lagi dari segala perkataan Seishu. Ia berdiri di samping piano Seishu membuatnya bisa bertatapan dengan lebih leluasa.

“Aku pergi menemui rekanku untuk membantunya sedikit menyelesaikan pekerjaan kami. Aku ingin segera lepas dari genggaman ayahku, jadi walaupun sedang sakit begini aku ingin mengurus semua urusanku agar ketika bangun nanti aku terbebas dan bersamamu,” ucapnya sedikit menggoda Seishu.

“Tapi caranya bagaimana? Apa rekanmu bisa melihatmu?”

“Tidak. Aku pakai cara yang sama denganmu, aku memberinya petunjuk dengan menulis di selembar kertas,” ucapnya terhenti kemudian ia lanjutkan, “Sudah malam, gak mau tidur?”

“Tidak mau” Seishu berjalan ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Koko ikut naik ke atas kasur dan duduk memperhatikan Seishu. Mengingat permintaan Seishu, akhirnya ia berani menceritakan sedikit tentang dirinya. Seishu mendengarkan dengan baik namun, ia hanya tak bisa diam dalam satu posisi, jadi ia sering bergerak tak jelas, atau bahkan memainkan suatu benda sembari mendengarkan cerita Koko. Dan itu membuat sang pembicara jengkel, merasa tak didengarkan.

Seishu sengaja membuka jendelanya, membiarkan angin malam masuk dan cahaya rembulan menyinari kamarnya. Ia memperhatikan Koko yang bercerita dengan tenang, surai putihnya yang tersapu oleh angin dengan wajah yang diterpa sinar rembulan menunjukkan keindahan. Akhirnya, di malam itu Seishu mendapatkan perasaannya kembali.

“Pi, kalau aku berhasil kembali ke tubuhku ... kamu mau bersama ku?”

“Dalam artian apa itu?”

Umm ... confession?

“Oke, aku mau,” tanpa pikir panjang Seishu langsung memberikan jawabannya.

“Hah? I mean we'll be a couple if i wake up.

Yea, i know, and i said yes.

I ... i thought you hate me.

Your just anoying, it doesn't mean i hate you.

Koko tersenyum sendiri entah apa yang ia pikirkan, dan itu membuat Seishu bergidik ngeri sekaligus merasa lucu akan tingkah laku Koko. “hehe ... aku tidak jomblo lagi,” ucapnya kecil.

“Kalau jiwa dan ragamu masih terpisah itu artinya kamu masih disebut jomblo. Maka dari itu cepat kembali ke ragamu, agar kita bisa bersama,” ucap Seishu sebelum ia menarik selimutnya bersiap untuk tidur.

Sedangkan Koko salah tingkah mendapat pengakuan dari Seishu, membutanya banyak berulah hingga memaksa Seishu untuk memukul kepalanya lagi untuk membuat Koko diam agar Seishu bisa tidur dengan tenang.

“Sei ... Kamu udah tidur?”

Yang dipanggil tak memberikan sahutan membuat Koko yakin bahwa ia sudah tertidur.

“Aku akan ceritakan semuai. Aku benar-benar ingin bangun kali ini. Mulai dari mana, ya? Mungkin dari awal. Ya, awal aku bertemu denganmu. Bukan 5 bulan yang lalu, tapi dari 3 tahun yang lalu, aku teman kuliah Akane. Saat itu, aku mampir ke rumah Akane untuk mengantarnya pulang, di sana lah pertama kali aku bertemu denganmu, anak suram tanpa semangat hidup. Kulihat dirimu dan Akane bagaikan matahari dan bulan. Semenjak saat itu aku sangat tertarik padamu.

Aku terus mencari alasan untuk datang ke rumahmu hanya untuk memperhatikan dirimu. Kamu pasti tidak sadar karena kamu memang tak peduli dengan sekitarmu. Tapi aku peduli. Di saat kebakaran itu ... aku yang menyelamatkanmu, tepatnya saat itu aku baru saja mengantar Akane dan berpapasan denganmu.

Dan ketika rumahmu terbakar, kau langsung berlari ke dalam. Aku tak mengerti mengapa kau membahayakan nyawamu demi kakak mu yang selalu dipuji, dipuja, dan dibanding-bandingkan denganmu, bahkan kau juga berusaha menyelamatkan orang tuamu yang selalu menyiksamu setiap waktu.

Aku melihatmu berhasil membawa keluar Akane, tapi ketika melihatmu kembali masuk, aku langsung mengejarmu. Saat itu aku tak bisa menyamai langkahmu. Tetapi kamu tiba-tiba terdiam di tempat terkejut dengan pemandangan yang kamu dapati, jasad orang tua mu yang tewas mengenaskan. Hingga tak sadar ada kayu berselimut api yang terjatuh di atasmu. Saat itu aku benar-benar berharap bisa berlari lebih cepat. Aku memelukmu, tapi kayu itu berhasil mengenai kepalaku dan mata kirimu. Maaf aku tak bisa melindungimu sepenuhnya, namun aku bersyukur kau terluka tak terlalu parah.

Kemudian aku membawamu keluar, menutupi hidungmu dengan bajuku agar asap tak masuk ke paru-parumu. Namun, aku terkena imbasnya. Seharusnya aku tak coma selama itu.Tapi ketika aku melihatmu dan Akane ada di rumah sakit yang sama denganku. Aku memutuskan untuk mengikutimu. Persetan dengan keadaanku, kebahagiaanmu lebih penting dari pada diriku. Karena aku tau, jika aku kembali ke tubuhku saat itu, aku tak akan memiliki kesempatan lagi untuk bertemu denganmu.

Dan tadi kamu menyatakan hal itu ... itu membuatku ingin bangun, namun kamu tahu kan tidur 5 bulan pasti banyak yang berubah. Jadi, jika aku 'menghilang' nanti, itu berarti hanya ada dua kemungkinan. Mati atau aku berhasil kembali ke tubuhku.”


Pagi, itu Seishu terbangun, kembali dengan kesehariannya dengan Koko. Ia lebih baik sekarang, hidupnya lebih berwarna.

Namun, kuliah dserta pekerjaan membuatnya semakin sibuk, bahkan kadang ia tak sadar bahwa Koko sedang menghilang. 'biarlah, pasti ia mengurus pekerjaannya lagi' begitu pikirnya.

Tak bisa di pungkiri jika ia juga merasa khawatir. Namun, memangnya apa yang bisa ia lakukan? Dia sedang terkekang oleh kesibukan di kampus dan di tempat kerjanya.

Hey, cantik. Istirahat dulu

Seishu mengambil secarik kertas itu dan membacanya sedikit tersenyum.

“Gitu dong senyumnya dipamerin, 'kan, dunia jadi lebih indah,” kata Koko muncul di samping Seishu dengan senyum menjengkelkannya.

Tak bisa Seishu pungkiri hatinya berdegup kencang dan terasa hangat. Rasa lelahnya tergantikan oleh rasa bahagia.

“Tumben kakek-kakek gak lama perginya.”

“Heh!Siapa yang kamu panggil kakek-kakek?”

“Ups, tersinggung, ya. Maaf kakek Hajime,” ledek Seishu dengan sengaja, kemudian ia tertawa kecil.

“Awas, nantiku ubah juga namamu jadi Hajime. Hajime Seishu.”

“Maka dari itu bangunlah terlebih dahulu.”

Seishu masuk ke kamarnya untuk beristirahat melepas penat seperti saran Koko. Ia berbaring di atas kasur dan Koko juga seperti biasa duduk di sampingnya.

“Ko, aku mau cerita.”

“Cerita apa?”

“Masa laluku. Kamu belum tahu semuanya, 'kan?”

“Boleh, aku penasaran. Nantiku ceritain juga masa laluku.”

“Aku lupa tepatnya mulai kapan, tapi yang ku ingat dari kecil aku memang terus dibandingkan dengan Akane. Mereka lebih menyukai anak perempuan daripada laki-laki, mereka berharap aku juga perempuan. Itu juga alasan kenapa aku memakai high heels aku bisa bermain piano. Semua itu ku lakukan demi membahagiakan mereka, berharap mereka dapat melihatku sebagai anak mereka walau sekali saja.

Untungnya Akane tidak seperti mereka. Walaupun ia baik padaku, semua perhatian tetap tertuju padanya. Aku tak pernah dipandang, selalu dibandingkan. Karena itu pula aku tak punya teman. Kamu orang pertama yang benar-benar ada disisiku dan memihakku”

“Kau tidak cemburu pada Akane?”

“Bohong jika aku bilang, aku tidak cemburu padanya. Bohong jika aku tak ingin dia mati. Namun, saat kebakaran itu aku harus menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia keluargaku, tapi aku tak ingin dihujani dengan kebencian dari orang di sekitarku karena malaikat mereka mati. Lagipula dia juga baik padaku, anggap saja balasanku karena ia menjadi satu-satunya orang yang memperlakukan ku sebagai manusia pada saat itu,” jelasnya Seishu kemudian ia melanjutkan, “Sekarang giliranmu”

“Mirip sepertimu, mungkin. Aku hidup dengan ayah ku dan beberapa anak haramnya, lebih tepatnya calon kandidat penerus perusahaan. Aku dipaksa untuk bisa semua hal, harus menjadi manusia sempurna di mata mereka. Itu membuat ku tertekan, tak ada kesenangan, seluruhnya tentang kesempurnaan, tidak boleh gagal. Aku ingin keluar dari lingkaran setan ini, jadi aku bergabung dengan 'Bonten' salah satu organisasi yang dibuat oleh temanku. Saat sadar nanti aku ingin lepas dari genggaman ayahku. Dan mengapa ku katakan aku adalah anak gagal, karena aku tidak bisa sesempurna saudara tiri ku. Lebih tepatnya aku sengaja agar aku bisa bebas dari ayahku.”

“Kemana ibumu?”

Senyumnya lembut namun sendu, matanya menatap ke arah lain dengan penuh penyesalan, “ia mati di depan mata ku, dibunuh oleh ayahku. Aku melihatnya sembunyi-sembunyi karena penasaran. Sebelum ia membunuh ibuku, ia mengatakan sesuatu-


Flashback

“Jika ia tak bersusah sekarang, ia tak akan menjadi apa-apa di masa depan! Caramu mendidik terlalu memanjakannya!”

“Dia masih anak-anak! Dia anak kita! Cukup, kita bercerai dan Koko akan ikut dengan ku!”

DOR!

Flashback end


Satu tembakan tepat di kepala ibuku. Aku bersembunyi di balik tembok dan menatap jasadnya jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari kepalanya. Jika aku cukup bodoh saat itu, aku akan berlari ke jasad ibuku, namun aku menahan diri karena aku berpikir ibuku pasti ingin aku bahagia, jika aku mati saat itu ia tidak akan bahagia sama sekali. Dan di sini lah aku sekarang memperjuangkan kebahagiaanku.”

“Konyol, takdir mempertemukan dua orang dengan masa lalu menyedihkan untuk mengobati satu sama lain.”

“Memangnya kamu bisa membahagiakanku?”

“Entahlah, kamu yang memilihku.”

“Hehe ... Nupii”

“Apa?”

“Tak apa, hanya ingin memanggilmu saja,” katanya sembari menjulurkan lidah.

“Kalauku tarik lidahmu tercabut atau tidak, Ko?”

“Jangan gitu dong, ganteng. Udah bobo sini. Besok kuliah pagi, 'kan?” Terlalu malas untuk berdebat lebih jauh dengan Koko lebih jauh, Seishu berbaring di sampingnya dan tertidur dengan Koko yang mengelus rambut pirang Seishu, menenangkan dirinya memberikan kenyamanan bagi Seishu.

“Tunggu, ya. Sei.”

Setelah memastikan Seishu tertidur ia menaikan selimut menutupi seluruh tubuh Seishu kemudian turun dari kasur.

Ia menuju dapur tempat biasanya Seishu menyimpan sticky notes dan menuliskan beberapa kalimat sebagai tanda ia siap kembali ke tubuhnya.

Sei, aku pamit mau pulang ke tubuhku, ya. Ingat janji kita. Datang ke taman yang biasanya kita lewati sekitar jam delapan malam hingga jam setengah sepuluh. Kalau aku tidak datang, pulang aja, biar besok aku yang datang menemmu


Sekarang di sinilah Koko, di depan rumah sakit tempat ia dan Akane dirawat. Ia memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Namun sebelum menuju ke kamarnya, ia mengunjungi Akane yang tengah menatap pemandangan langit malam.

“Akane ... kamu lebih baik, 'kan, sekarang? Aku menjaga adikmu, memberinya kebahagian yang seharusnya ia dapatkan. Kebahagiaan yang tak dapat kau berikan. Aku akan kembali ke tubuhku sekarang. Aku ingin menjaganya lebih dekat lagi. Bahagialah Akane, adikmu aman bersamaku. Namun sementara aku titipkan ia padamu, aku ingin terbebas dari lingkaran setan ini. Aku tak ingin Seishu ikut terseret ke dalam masalahku.”

Akane menanggapinya, “Aku akan menjaganya sampai kamu kembali, Ko. Kamu tak perlu menegaskan hal itu, aku sudah tahu bahwa aku adalah kakak yang buruk. Aku merasa akan ada masalah besar di antara kalian. Namun, aku akan berusaha menjaga Seishu dengan baik. Maka selesaikan rencanamu segera dan kembalilah kepada Seishu, saat itu akan kuberikan ia sepenuhnya padamu.” mata Akane terlihat berkaca-kaca memikirkan betapa tak bergunanya ia sebagai kakak selama ini.

Koko meninggalkan ruangan Akane dan menuju ke ruangan di mana tubuhnya terbaring tenang dan segala macam kabel menempel pada dirinya. Ia menarik napas, menenangkan diri, kemudian dengan tenang ia masuk perlahan ke tubuhnya, setelah itu semuanya hitam. Ia berhasil masuk kembali ke dalam tubuhnya dan sedang berusaha meraih kesadaran.


“Ko?”

Seishu berjalan keluar dari kamarnya mencari keberadaan Koko. Awalnya ia mengira Koko pergi mengerjakan sesuatu lagi. Namun, ia menemukan sticky notes yang ditinggalkan oleh Koko.

Perasaan senang dan khawatir kembali bercampur dalam benak Seishu. Namun, ia berusaha beraktivitas seperti biasa sembari menunggu datangnya malam.

Seishu tak seharusnya berharap.

Karena sekarang, pukul sebelas malam ia berdiri di taman sendirian tanpa ada tanda-tanda kehadiran atau kemunculan Koko di mana-mana. Bahkan, pagi hari Seishu tak juga mendapati sosok Koko.

Tak peduli dengan piyama yang masih ia kenakan, Seishu berlari secepat yang ia bisa menuju rumah sakit tempat Koko dan kakaknya dirawat. Menerobos masuk ke kamar rawat Koko yang sunyi dan bersih tak ada seorang pun di sana.

Ia membalikkan tubuhnya melangkah ke meja resepsionis, mencoba bertanya di mana pasien bernama Hajime Kokonoi berada. Namun jawaban yang ia dapatkan ialah,

“Apa anda tidak mendapat kabar dari pihak keluarganya? Pasien tersebut sudah meninggal kemarin malam sekitar pukul delapan dan seharusnya sekarang sedang dikremasi oleh pihak keluarga.”

“Terima kasih.”

Dengan langkah gontai Seishu berjalan keluar dari rumah sakit, mengabaikan panggilan dari suara tegas Yuzuha, tatapan Akane dari balik kaca bening ruang rawatnya pun tak disadarinya.

Rasanya seluruh dunia hancur dan runtuh. Ia kehilangan alasan untuk hidup lagi, ia kehilangan kebahagiaannya lagi, ia kehilangan rumahnya ... lagi.

Kemana ia akan pulang sekarang? Ia bahkan tak tahu kemana langkahnya membawa. Namun, ia melihat seorang kakek yang tengah tersenyum sembari berjalan di taman.

“Enaknya kamu bisa menikmati hari dengan senyum di bibirmu. Aku mana mungkin akan mengalaminya, anak pembawa sial sepertiku seharusnya jalan menunduk dan mati,” gumam Seishu.

Kakek yang ia perhatikan tadi mengalami kejang-kejang, diduga serangan jantung. Bukan hal itu yang membuat Seishu gemetar ketakutan, tapi ia melihat jiwa kakek itu keluar dari tubuhnya melayang semakin tinggi dan jauh. Membuat kaki Seishu lemas terjatuh ke tanah. Ternyata jiwa bisa keluar juga saat tubuh dalam kondisi bangun, dan itu membuatnya semakin takut serta waspada.

Seishu harus menolong kakek tersebut, namun ia tak sanggup. Seluruh tubuhnya kaku tiba-tiba teringat tubuh hangus orang tuanya, teringat Koko yang sekarang mungkin sudah menjadi abu, teringat bahwa ia hanya manusia kecil yang sudah tak punya apa-apa lagi. Seketika Seishu membuang seluruh pikiran buruknya dan dengan sekuat tenaga ia mencoba menolong kakek itu dibantu oleh orang lain. Ia tak tau ternyata perasaannya benar-benar sudah hidup kembali.

Berhasil.

Namun, ia tetap tak merasakan kelegaan apapun di dadanya. Hanya senyum palsu yang ditampilkan. Padahal pikiran Seishu masih melayang tentang kematian orang yang paling berharga untuk dirinya.

Yang lebih menyeramkan bagi Seishu adalah setelah kejadian itu ia terus teringat akan jasad orang tuanya yang terbakar hangus. Menyebabkan Seishu memukul kepalanya sendiri berharap ia dapat melupakan hal itu. Namun, nihil.

Setelah hari melelahkan penuh kepalsuan itu, Seishu membuka topeng wajahnya, menunjukkan raut wajah yang sebenarnya. Tapi sepertinya takdir ingin membantingnya sekali lagi. Ia kembali keluar dari tubuhnya setelah beberapa hari ini ia bisa tidur dengan tenang.

Lagi-lagi tempat pertama yang ia tuju adalah puncak gunung tempat ia pertama kali berinteraksi dengan Koko. Seketika air matanya tumpah setelah ditahan seharian ini. Melelahkan.

“Janji apa? Kamu meningalkanku, Koko. Aku hanya berharap, berharap jika suatu saat kita terlahir kembali. Aku ingin kita bahagia, bersama kembali menepati janji.”

Matahari mulai menampakan sedikit sinarnya. Membuat jiwa Seishu terpaksa pulang ke raganya dengan pikirannya tak henti bersahut-sahutan.

'Salahmu. Pembawa sial. Lihat siapa lagi yang mati karena berada di dekatmu. Kamu ingat seberapa hancurnya jasad ayah dan ibumu? itu karena kamu.'

Seishu menatap tubuhnya yang tertidur tenang dan mengambil pisau dari dapur, kemudian menghunuskan pisau itu ke arah jantung, tapi ia berhenti tepat di atas piyama yang menutupinya, lalu melemparkan pisau tersebut secara asal ke sudut ruangan.

“Mana mungkin aku bisa melakukannya.”

Seishu memaksa masuk ke tubuhnya, dengan pikiran yang tidak tenang terus menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan yang terjadi. Sekarang ia panik karena jiwanya tak dapat masuk kembali ke raganya.

“APA LAGI!? KAMU INGIN MEMBUNUHKU JUGA!? SILAHKAN! AKU MUAK! HANCURKAN SAJA SEGALANYA! AKU TAK PUNYA APA-APA!”

Tiba-tiba pandangannya menghitam dan ia berhasil masuk lagi ke tubuhnya. Diangkatnya lengan kirinya dan diperhatikan dengan serius, berharap ia benar-benar berhasil mati.

Seishu menyibak selimutnya dan mengambil pisau yang tergeletak di pojok ruangan selepas ia lempar tadi, membawa pisau itu ke daerah dapur dan berhenti di depan tembok, tembok di mana kedua orang tuanya hangus terbakar, kemudian ia menyayat kulit pergelangan tangannya mengeluarkan cairan merah amis yang menetes ke lantai.

“Ini yang ingin kalian lihat dari anak kalian?”

Ia beranjak mencuci pisaunya, tak menghiraukan darah yang terus menetes dari lengannya.

Perih.

Berdarah.

Sakit.

Namun, itu tak sebanding dengan seluruh keadaanya saat ini.


“Berhasil?”

“Terima kasih, Akane. Aku minta maaf.”

“Cepatlah kembali.”

”... tiga minggu?”

“Cukup.”

Pintu kamar rawat terbuka menampilkan sesosok pemuda berambut pirang dengan luka bakar di sisi kepala kirinya. Akane segera mematikan telepon. Kondisinya yang sudah membaik membuatnya bisa berdiri dan berjalan menyambut sang adik sembari membawa tiang infus.

Akane bisa menyadari perubahan Seishu, dari cara berpakaiannya yang terlalu tertutup, bentuk tubuhnya yang kurang berisi, bahkan wajahnya terlihat lelah serta tatapan kosong dan senyumnya selalu palsu.

“Sei, sudah selesai kuliah? Mau jalan-jalan di taman bawah?”

Seishu mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia menuntun kakaknya menuju taman yang terletak di lantai dasar rumah sakit.

Terhitung sudah satu bulan kepergian Koko. Dan selama itu pula Seishu semakin berubah, baik dari segi penampilan atau pun kepribadian. Penampilannya semakin tertutup, sedangkan kepribadiannya semakin palsu.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik, kuliah juga lancar, pekerjaanku agak bertambah namun, aku mendapat gaji ekstra”

“Kamu tidak mau cari pacar?”

“Aku tidak tertarik” tolaknya halus dengan senyuman palsu.

“Ada yang kau tunggukah?”

“Ada, tapi tidak mungkin kudapatkan”

“Oh, bertepuk sebelah tangan?”

“Sebelah alam”

“Heh?”

“Sudahlah. Bagaimana dengan kakak dan Yuzuha?”

“Baik-baik saja. Setelah keluar dari sini mungkin aku akan tinggal dengannya”

“Kapan kakak akan keluar?”

“Sekitar minggu depan, mungkin. Aku tinggal di rumah dulu sebentar tidak masalah, 'kan?”

“Iya.”


Seishu merutuki keputusannya menjawab 'Iya' dan sekarang ia harus menjaga tingkah laku, agar sang kakak tak mencurigai tindakan yang selama ini ia lakukan.

Tangan Seishu tak lagi dapat memainkan piano seperti dulu, pergelangannya terasa kaku karena luka-luka yang mengering di sana. Sakit, namun Seishu memaksa.

“Dek, mau makan apa nanti malam?”

“Apa saja, asal enak.”

Bohong jika Akane tak menyadari apapun. Ia sudah mengetahuinya sejak pertama kali bertemu Seishu setelah 'kematian' Koko. Namun, mengajak Seishu bicara bukanlah pilihan yang tepat. Ia tahu ia tidak dekat dengan adiknya, pasti ia akan langsung menjauhi Akane dan akan tercipta ketidaknyamanan di antara mereka. Akane hanya bisa berharap dua minggu cepat berlalu sambil menyingkirkan benda yang dapat digunakan Seishu untuk melukai dirinya, serta ia sering mengajak Seishu berinteraksi untuk mengalihkan dari pikiran yang buruk itu.

Menahan untuk tidak menyakiti dirinya sendiri selama dua minggu sangatlah sulit bagi Seishu. Pikirannya terus bersuara memerintah untuk mati. Berat, dan lelah. Ia tak bisa menahan. Namun, kehadiran Akane selalu menghentikan kebiasaan buruk Seishu karena ia selalu tiba-tiba muncul ketika suara itu berulah atau ketika ia hampir melukai dirinya lagi. Ia muak dengan seluruh suara di kepalanya.

“Kamu masih ingat jalan ke arah rumah lamaku, bukan?” “Baiklah, aku tutup, ya.”

Seishu mendengar Akane berbicara dengan seseorang di teleponnya, dan ia menduga itu adalah Yuzuha yang akan berkencan dengan kakaknya.

“Mau nge-date?”

“Hehe ... tahu aja. Aku pulang agak larut, kunci saja pintunya, ya,”

Ucapnya seraya melangkah keluar dari rumah ketika Yuzuha sudah membunyikan klakson mobil tanda ia berada di depan sana. Akane melambaikan tangan ke arah Seishu sebelum mobil Yuzuha melaju meninggalkan kediaman Seishu.

Begitu pintu ditutup itulah saat-saat pikiran Seishu semakin menggila. Seluruh tekanan yang selama ini ia tahan seketika pecah. Tidak, ia tak mengacak-acak seluruh rumah namun, untuk mengurangi suara di kepalanya, ia masuk ke kamar mandi dan memukul cermin di sana hingga hancur berkeping-keping.

“Diam, itu bukan salahku.”

'Itu salah mu, mereka mati karena salahmu.'

“Dimana letak salahku?” suara Seishu terdengar tenang namun, mencekam ketika ia bertanya pada dirinya sendiri di depan pantulan cermin yang hancur.

Suara di dalam kepalanya terdiam. Seishu menghela napas lega dan merebahkan diri ke atas kasur, mengabaikan serpihan kaca yang masih menancap di sekitar tangannya membuka kembali luka di pergelangan tangan.

Seishu sebenarnya tak ingin melukai dirinya, apa lagi sampai terlalu jauh karena ia tahu ia seharusnya tak hidup seperti ini. Namun, setiap kata itu terus menerus berputar di kepalanya dan tak ada yang dapat menariknya dari lubang hitam tak berujung. Pada siapa ia bisa bergantung? Akane? Pada akhirnya ia tak punya siapa-siapa. Dan seluruh pandangannya memburam sebelum akhirnya menghitam.


“Seishu! Kau gila! Bangun!”

Pemandangan pertama yang dilihat Seishu adalah wajah Koko yang khawatir berada di sampingnya dan beberapa orang berpakaian putih berlarian di lorong terang berwarna senada.

“Ko? Aku pasti sudah mati. Baguslah, aku merindukanmu.”

Koko meraih tangan Seishu yang penuh luka dan serpihan kaca kemudian menciumnya, “Aku di sini, Sei. Maaf meninggalkanmu.”

Kesadaran Seishu kembali menghilang dan Koko selalu menyesali keputusan yang ia pilih. Keputusan untuk menghilang sementara dari dunia seolah Hajime Kokonoi benar-benar sudah mati.

Koko tak bisa lagi menemani Seishu masuk ke ruang operasi, jadi ia menunggu dengan gelisah terduduk di atas kursi ruang tunggu berusaha terlihat tenang sampai Akane dan Yuzuha datang.

'Ayo, Sei. aku tahu kamu kuat. Maaf menambah satu luka lagi untukmu'

“Koko! Seishu bagaimana?”

“Kehilangan banyak darah, aku menemukannya terbaring pucat di atas kasur bersimbah darah dan kaca tertancap di tangannya”

“Salahku. Ini salahku tak bisa menjaganya.”

“Ini salah kita berdua. Aku membuat keputusan yang salah.”

Kedua insan itu derduduk penuh rasa khawatir di depan ruang operasi, rasa bersalah terus menyelimuti mereka. Yuzuha berusaha menenangkan Akane yang masih tertekan, dan Koko hanya dapat terduduk lemas.

“Semua orang pernah membuat keputusan yang salah bahkan berdampak pada orang lain. Menyesalnya kalian sekarang tak akan merubah apapun. Sekarang lebih baik memikirkan bagaimana cara menebus kesalahan kalian,” Yuzuha mencoba menyadarkan pikiran Koko dan Akane dari dasar pikiran tergelap mereka.

“Aku akan meninggalkan Seishu.”

“Itu egois,” jawab Yuzuha, “lebih baik kau menjelaskannya dan minta maaf kepadanya.”

“Dia akan membunuhku.”

“Lebih baik dari pada ia membunuh dirinya sendiri,” Yuzuha berdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Dan Akane, walau ia dingin kepadamu, ia tetap membutuhkanmu. Jangan menyerah membuatnya nyaman dan membuka hati.”

Setelah beberapa lama, dokter yang menangani Seishu keluar dari ruang operasi membawa kabar baik. Akane segera mengikuti dokter itu ke ruangannya untuk pembahasan lebih lanjut, sedangkan Koko terdiam bersyukur dan masih merasa bersalah.

“Yuzuha, bukan? Terima kasih. Namun, aku butuh waktu sendiri untuk beberapa saat. Aku tidak akan lari, aku hanya masih merasa bersalah.”


Bius Seishu mulai memudar, kesadarannya kembali perlahan dan ia langsung menengok ke samping dan menganggkat tangannya sedikit.

“Ahh ... aku masih hidup. Kukira bisa bertemu dengan Koko lagi. Ternyata ilusi. Maaf Koko, kau menghawatirkanku, ya?”

“Ada baiknya kamu lebih cepat pulih, Sei. Makanan rumah sakit tak enak.”

“Kak Akane?”

“Hai. Kamu berhasil bertemu dengan Koko, ya?”

“Heh? Kakak kenal denganya?”

“Akan ku ceritakan jika kamu pulih.”

“Kau bohong.”

Kemudian Akane mengambil ponselnya dan langsung menelepon Koko kemudian menghidupkan mode speaker membuat Seishu terkejut mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.

“Koko?” “Dia sudah sadar?” “Sudah.” “Sei baik-baik saja kan? Apa dia butuh apa-apa? Aku bisa membelikannya, nanti kutitipkan ke Yuzuha.”

Seishu menggeleng cepat sebagai jawaban.

“Dia tak butuh apa-apa. Jika sudah siap kabari, ya. Akan kukabari juga jika ia sudah lebih baik.” “Ya, kabari jika butuh apa-apa.”

Setelah itu Akane segera menutup teleponnya.

“Sei, aku minta maaf selama ini menyembunyikan hal ini dan menjadi kakak yang buruk untukmu malah sampai membuatmu terluka dan terancam seperti ini.”

Terdengar isakan kecil dari Seishu yang menutupi wajah dengan tangannya, membiarkan bulir-bulir air mata menetes ke atas selimutnya.

“Aku senang dia baik-baik saja. Aku senang seluruh suara dalam kepalaku itu tidak benar. Aku senang masih bisa bertemu dengannya lagi.”

“Cepatlah pulih dan aku akan memberitahumu semuanya.”

“Mengapa tidak sekarang? Kakak tidak kasihan pada adikmu yang sudah tersakiti ini?” perasaan bersalah kembali menyelimuti Akane, “tidak, kak. Maaf aku hanya bercanda. Aku memaafkanmu. Aku tak ingin dipukul kak Yuzuha”

Saat itu lah Seishu kembali menemukan titik terang pada hidupnya, dan Akane juga menceritakan semuanya. Bagaikan lentera pertama yang menerangi langit malam.


Terhitung satu minggu ia berada di rumah sakit dan sekarang ia sudah lebih baik. Masih tak diperbolehkan pulang. Namun, ia sering menyelinap keluar tengah malam ke tepi sungai di dekat rumah sakit.

Apalagi seperti sekarang, akan ada festival lentera malam ini. Walau sudah memohon pada kakaknya, ia masih tak diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.

Bukan seorang Inui Seishu jikalau ia tidak melanggar larangan. Buktinya, ia sekarang malah menyelinap keluar dari rumah sakit sembari membawa kantungf infus menuju sungai yang biasa ia datangi. Cahaya dari rumah sakit memang terang, namun daerah sekitarnya sekarang sedang gulap gulita bersiap menyalakan lentera ketika malam sudah benar-benar menyelimuti kota itu.

Sembari menunggu Seishu memperhatikan bintang di angkasa yang sangat terlihat karena minimnya cahaya di sana. Ia melirik arlojinya memastikan pukul berapa tepatnya lentera itu akan dilepaskan.

“Loh, ada anak kucing nyasar.”

Seishu langsung menoleh ke sumber suara itu was-was, takutnya itu adalah salah satu penjaga rumah sakit yang mengikuti.

“Waspada sekali, memangnya ada apa, Pi?”

Koko muncul dari kegelapan pepohonan membawa dua lentera menyala di tangannya. Dan saat itu pertama kali Seishu benar-benar melihat cahaya hidupnya lagi dengan jelas.

“Maaf, baru muncul sekarang.” namun ia malah menjulurkan lidahnya.

Seishu langsung berlari menarik kerah baju Koko dan mengadu jidat miliknya dengan jidat Koko, membuat Koko meringis kesakitan.

“Pi, 'kan, baru ketemu, masa diriku langsung diserang?”

“Salahmu meninggalkan aku tanpa kabar.”

“Sayang, kalo aku bilang pasti kamu jadi incaran ayahku, bagaimana?”

“Tidak perlu memanggilku sayang, jikalau kamu takut aku menjadi incaran ayahmu. Kenapa kamu baru muncul sekarang?”

“Sudahku bunuh. Apakah kamu tidak ingin memberikanku pelukan? Jika kau lupa, kita sudah jadian”

“Kapan?”

“Begitu perjanjiannya, kalau kita bertemu itu artinya kita jadian”

“Oh, ingat juga otakmu”

“Sudahlah sini peluk aku, peluk atau ambil satu lenteranya.”

“Tangan ku megang infus.”

“Ya, sudah kita terbangkan saja sekarang. Lihat yang lain juga sudah menyalakan lentera mereka,” ucap Koko sembari menunjuk cahaya temaram dari balik pohon-pohon di seberang.

Seishu mengambil satu lentera di tangan Koko dan melepaskannya bersamaan dengan Koko. Lentera mereka bersinar di kegelapan langit malam, memimpin lentera lain terlepas mengikuti lentera mereka naik ke atas menuju bulan.

Tak butuh waktu lama ribuan lentera memenuhi langit dan menerangi malam. Kedua insan menatap pemandangan di atas mereka dengan senyuman.

“Maaf, Pi.”

“Yang penting kamu kembali, Ko.”

“Tapi ...”

Kata-katanya terhalang oleh Seishu yang menarik kerah bajunya, membawa bibir mereka bersatu sebentar.

“Kamu berisik.”

Tubuh Seishu tiba-tiba terangkat membuatnya terkejut namun tak bisa banyak bergerak karena infusnya.

“Pasien harusnya tidak boleh jalan-jalan,” kata Koko sembari berjalan menggendong Seishu kembali ke rumah sakit.

“Ih, Ko, turunin. Bagaimana jika perawat melihat kita?”

“Salahmu sendiri selalu melarikan diri setiap malam. Biarkan mereka tau jika ada pasien mereka yang tertangkap melarikan diri.”

“Gila.”

“Tapi kamu suka.”

Akane dan Yuzuha sedikit panik karena tak menemukan Seishu di kamarnya, namun begitu mengecek ke taman belakang, mereka menemukan Koko sedang berjalan berdampingan dengan Seishu. Tentu saja itu karena Seishu yang mengamuk untuk minta diturunkan.

“Oh, kalian udah bertemu.”

“I'm worried for nothing,” ucap Akane kecewa.

“Sudah sana kalian pacaran saja. Biar aku yang jaga Seishu,” usir Koko secara halus.

“Mencurigakan.”

“Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadap adikmu, kak.”

“Sudah Akane, mari kita pergi.” namun, sebelum pergi Akane mengarahkan kedua jarinya ke arah mata Koko bermaksud mengancam.

Setelah Akane dan Yuzuha pergi, barulah Koko dan Seishu lebih leluasa dan bercerita banyak hal.

setelahnya Seishu dirawat oleh Koko. Hitung-hitung sebagai bentuk pertanggung jawaban. Tapi sebenarnya itu hanyalah alasan agar mereka bisa menghabiskan waktu berduaan. Bahkan hingga Seishu pulang ke rumah pun Koko masih memakai alasan yang sama untuk menjaga Seishu dan tinggal bersamanya.

Tentu saja Akane agak waspada dengan Koko. Namun, melihat adiknya yang berhasil menemukan kebahagiaan dan tempat ternyaman ia berusaha menepis pikiran itu jauh-jauh.

Inilah pilihan mereka, inilah hal yang membuat mereka bahagia. Hal yang sudah mereka cari sejak lama akhirnya ditemukan dalam diri masing-masing membawa kebahagiaan bagi mereka bersama sebagai bentuk pencapaian dari masa lalu yang mengerikan.


End.

Mikey mengeluarkan ponselnya, memberi kabar kepada orang yang mengundangnya ke pesta tersebut.

“I'm here” “I'm pretty sure you know my name now” “Sir Draken” Mikey membalas pesan dari Draken sambil berjalan tanpa melihat apa yang ada di depannya. “Watch your step cutie”

Mikey melepaskan pandangannya dari ponselnya dan berhenti di tempat ketika ia hampir menabrak seorang pelayan yang sedang membawa beberapa gelas wine.

“Now come here, Manjiro” “Where?” “You know where exactly i am”

Mikey mengedarkan pandangannya sambil berjalan pelan. Namun matanya tertuju kepada seorang laki-laki di ujung ruangan yang tampak menjadi sorotan banyak orang di sana, ia di kelilingi oleh pria dan wanita bertubuh indah, ia sendiri menggunakan kemeja putih dengan rompi dan celana berwarna hitam menunjukkan bentuk tubuhnya yang atletis, dan jangan lupakan tato naga di kepalanya dan rambut hitamnya yang terkepang.

Dapat Mikey rasakan bahwa orang itu lah Draken, ia juga terus menatap lurus ke arah Mikey. Draken memberi isyarat dengan tangannya agar orang-orang di sekitarnya pergi, namun matanya tetap menatap ke arah Mikey.

Mikey berjalan ke arah Draken sambil menatapnya, ia juga mengambil segelas champagne yang di bawa oleh pelayan.

Mikey duduk langsung duduk di pangkuan Draken dan menatapnya, sebelah tangannya mengalung ke leher Draken dan sebelahnya lagi memegang champagne yang ia ambil tadi.

“So, mister Ryuguji Ken?” Mikey sebenarnya sudah meminta kakaknya-Izana-untuk mencari tau tentang Draken sebelumnya begitu mengetahui namanya dari orang suruhan Draken dan meminta mengirimkan file dokumennya ke ponsel Mikey.

“People call me Draken” ia melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Mikey.

“Then i'll call you Kenchin”

“I'd love to hear you moaning my name like that” bisiknya

“Sebelum itu aku ingin membicarakan masalah bayaran”

“Berapa yang kau mau?”

“If you can fulfill my lust, you don't have to pay anything”

“What are you? A bitch?”

“Just for my master” Mikey semakin menekan bokongnya ke kejantanan Draken, dapat ia rasakan betapa besar ukuran penis pria di bawahnya ini.

Mereka mulai mengeluarkan sentuhan menggoda satu sama lain, mencoba menguji seberapa kuat mereka menahan nafsu. Beberapa tamu menatap mereka cemburu, namun ada juga yang menatap mereka seolah itu adalah pertunjukan yang menarik.

“Permisi tuan pemilik pesta” goda seorang pria dengan rambut berwarna ungu dan hitam pendek tersisir rapih.

Mikey melihat empat sosok orang yang sangat familiar dengannya, sang Haitani bersaudara, Ran dan Rindou, beserta pasangan mereka-sahabat Mikey-Hanemiya Kazutora dan Sanzu Haruchiyo.

“Jiro, kamu main sama teman mu dulu ya” Draken memberi ciuman di bibir Mikey dan sedikit permainan lidah.

“Yes, sir” Mikey bangkit dari pangkuan Draken dan berjalan bersama kedua sahabatnya menjauh, meninggalkan mereka bertiga berbincang tentang masalah mereka sendiri.

“Key? Lu gak bilang?”

“Ih mana gua tau” Mikey meminum champagnenya. “Lu juga gak bilang kalo ada temen nya Ran yang modelan kek gini”

“Gua mau ngasih tau pas di pestanya. Tapi ternyata dia udah deketin lu duluan” “Jadi? New master?”

“Belom tau” Mikey menghabiskan minumannya dalam satu tegakan. “I'll sleep with him tonight” “Dan ini emang perasaan gua doang atau memang banyak mantan dom gue di sini?”

“Emang banyak”

“Gue ramal kalo lu gak ada di deket Draken mereka bakal mulai ngedeketin lu lagi”

For fuck sake, no. Gua udah muak sama mereka”

“Mulutnya masih gak bisa di jaga ya, cantik” seorang laki-laki muncul di belakang Mikey berusaha memeluk pinggangnya.

Namun sebuah tangan berhasil menarik Mikey ke pelukannya, dan ini lah pertama kali Mikey dapat melihat seberapa tinggi tubuh Draken sebenarnya.

“Aku kira kita punya rencana, Jiro. Bisa-bisanya kamu telat”

“Kenchin, maaf. Aku baru mau ke kamar tadi, tapi di tahan sama dia” Mikey bergelayut manja di lengan Draken dan berjalan pergi bersamanya. “Mantan mu?”

“Mantan tuan”

“Jadi sekarang kamu lagi gak ada yang punya?” Draken menuntun Mikey menjauh dari pesta.

“That's why i ask you to fulfill my lust” Draken dapat merasakan betapa kecil tubuh pria yang sedang bergelayut manja di lengannya ini.

“How about i'll be your master?” Draken membuka kunci salah satu ruangan.

“We'll see about that”

Mikey mendorong Draken masuk dan menarik dasinya agar memudahkannya untuk menciumnya dengan dalam. Pintu tertutup dan Mikey menguncinya dari dalam.

Draken mengangkat tubuh Mikey membuat tinggi mereka sejajar tanpa melepaskan pautan bibir mereka, sedangkan Mikey mengalungkan tangannya di leher Draken memperdalam ciuman mereka.

Draken duduk di pinggir kasur dengan Mikey di pangkuannya yang masih memegang wajahnya untuk memperdalam ciuman mereka. Mikey yang masih terbuai oleh permainan lidah Draken tak menyadari bahwa lelaki itu sudah mengambil tali dan mengikat kedua tangannya ke belakang.

“Ku kira kau seharusnya tidak menikmati hukuman ini” Draken melepaskan ciuman mereka dan menatap wajah Mikey yang memerah dengan bibirnya yang terlihat bengkak dan lidah menjulur ke luar.

“Why stop~? I'm enjoying it~” rengek Mikey dan baru ia sadari bahwa tangannya sudah terikat ke belakang.

“You dare speak to your master like that?”

Draken memukul bokong Mikey dengan keras, menyebabkan sang empunya tubuh hampir berteriak karena kaget dan rasa denyutan di bokongnya. Dapat ia rasakan tangan besar seorang Ryuguji Ken yang masih meremas bokongnya dengan kuat dan menahan punggungnya agar tidak terjatuh.

“Aku rasa celana ini menghalangi tubuhmu. Bagaimana jika kau melepaskannya?”

“Lepaskan saja sendiri-akhh!” Draken kembali memukul bokong Mikey begitu mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Dimana tata krama mu, Sano Manjiro”

“I'm... I'm sorry, master. Please help this slut of yours taking off his pants”

Draken menyeringai puas, membuka penghalang kaki jenjangnya dan penghalang bagian private sang submissive

Draken kembali memukul bokong Mikey.

“Lay here”

Draken menepuk pahanya meminta Mikey untuk tengkurap di atas sana.

*“You just need to count until ten and i'll give you a reward. Don't make any sounds”

“If i dont?”

“Then you'll got a punishment”

Draken mulai memukul pantat Mikey kemudian mengusapnya dengan tangan besarnya, Mikey meremas seprai kasur di bawahnya untuk menahan suaranya

“One”

Slaps!

“Two”

Slaps!

“Three”

Draken meremas pantat Mikey perlahan, menimbulkan gelinjang kenikmatan bagi sang empunya. Ingin ia ekspresikan namun jika ia membuat suara lain selain menghitung, ia akan di beri hukuman. Bukannya ia tak mau, namun ini adalah pertama kali mereka melakukan hal ini. Mikey tidak ingin bersikap berlebihan.

Mikey mulai terbiasa dengan remasan tangan Draken pada bongkahannya di bawah sana, remasan seprainya mulai mengendur. Namun Draken kembali memukulnya tiba-tiba dan kali ini lebih keras.

“Four!” ia kaget dengan perubahan sikap Draken yang tiba-tiba dan kembali meremas seprai di bawahnya berusaha menahan suaranya yang hendak keluar lebih.

Slaps!

“Five”

Slaps!

“Six”

Saat pukulan yang ketujuh, Mikey tidak langsung menghitung. Ia meremas seprai di bawahnya dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan suaranya yang hendak keluar akibat kenikmatan yang ia terima.

“Seven”

“You still can take it?”

Mikey hanya mengangguk masih meremas seprai dan menggigit bibir menahan rasa menyengat di pantatnya yang mulai memerah penuh bekas jiplakan tangan dari sang dominan.

Slaps!

“Eight”

Slaps!

“Nine!”

Setelah hitungan ke sembilan Draken tiba-tiba berhenti. Mikey melirik ke belakang untuk melihat apa kah ia melakukan kesalahan?

“You really hard down there didn't you?”

Draken memasukkan satu jarinya kedalam lubang Mikey.

“Let's check how wet you are”

Mikey hampir bersuara namun ia berhasil menarik sebuah bantal dan menggigitnya.

“You're much obedient than i thought, Manjiro”

Sembari memainkan jarinya di bawah sana, jari dari tangan yang satunya mengikuti garis lekuk punggung Mikey, menciptakan sensasi geli dan gatal di bagian punggungnya.

Mikey menaikkan pantatnya sedikit ketika Draken berhasil menemukan titik nikmatnya. Ia menambahkan satu jari lagi dam mulai menghujami titik itu dengan permainan jarinya, sesekali di renggangkannya lubang Mikey agar ia siap untuk di masukki nantinya

Mikey berusaha mati-matian untuk menahan orgasme-nya. Dan ketika ia sudah tidak kuat ia mencengkram lengan Draken dengan tangan yang agak gemetar dan bantar masih digigitnya untuk menahan suaranya.

“You wanna cum?”

Di jawab dengan anggukkan oleh Mikey.

Namun yang Draken lakukan adalah mengeluarkan kedua jarinya dan meremas perlahan pantat Mikey.

“Go ahead, you've got my permission”

Pukulan terakhir yang ia daratkan ke pantat Mikey cukup keras, bersamaan dengan Mikey yang mencapai orgasme-nya.

“Tenth~!”

Nafas Mikey memburu, tubuhnya lemas karena kenikmatan yang baru saja ia rasakan.

“Kau bisa mengikuti perintahku dengan baik rupanya” ia melepaskan ikatan tangan Mikey.

“Kau menggerakkan jarimu terlalu intens” Mikey membaringkan kepalanya di atas bantal yang ia gigit tadi. “I think you should be my dom”

“No honey, i'm not getting permission from what I want. I make them beg for me”

Dengan sedikit tenaga tersisa Mikey turun dari kasur, berlutut di lantai menghadap ke arah Draken yang masih duduk di pinggir kasur dengan tatapan memohon dan kedua tangannya di tempatkan di kedua sisi paha Draken.

“Please be my master~” “I wanna taste your dick inside my body and swallow your cum inside my throat” Mikey mencium sebuah tonjolan di balik celana Draken yang terasa mengeras.

“We'll discuss the contract in the morning” “Now how about you take a look at the dick that you want”

Mikey menurunkan resleting celana Draken dengan giginya dan penisnya yang sudah menegang memantul ke arah wajahnya.

“Can i suck it first?”

“Make it wet”

Mikey membuka mulutnya lebar-lebar berusaha menyesuaikan lebar mulutnya dengan diameter penis Draken.

Di emutnya ujung kepala penis tersebut dan dimainkan lidahnya di sekitar saluran ejakulasi miliknya, mengeluarkan pre-cum yang menyapa lidahnya.

Setelah Mikey selesai puas memainkan lidahnya, ia langsung memasukkan penis Draken lebih jauh lagi ke dalam mulutnya masuk ke tenggorokkanya hingga bibirnya menyentuh pangakal dari penis Draken.

Geraman pelan lolos dari mulut Draken, ia mencengkram rambut Mikey.

Mikey kembali memainkan lidahnya dan menggerakkan kepalanya semakin cepat. Namun Draken menarik kepala Mikey menghentikan pergerakannya.

“You've done well. Now, time for your reward”

Draken menggendong tubuh Mikey dan membaringkannya di atas tempat tidur. Ia mengambil sebuah ankle spreader bar(kalo penasaran gambarnya kek gmn cek di gugel) dan memasangkannya di kedua kaki Mikey membuat lubangnya semakin terekspos karena ia tak bisa menutup kedua kakinya.

Draken mendorong tongkat itu ke atas kepala Mikey, membuat kakinya ikut tertarik dan semakin mengekspos lubang Mikey.

“Never felt this before?”

“All of my previous master never use this kind of thing before”

Draken shoving his dick inside Mikey hole. He got suprised by the size of his new master dick inside him. He start to grab the bed sheet and curving his back.

“Come on, you haven't swallow it all”

“Master~ Do it at once, please~”

Draken let out his smirk at him, and insert the rest of his dick all at once. Mikey thightning his grip at the bed sheet.

“I've fingered you tho, but you still tight as fuck”

“Don't you see how small is my body and how big is your dick?”

“So you can't take it?”

“Fuck me like crazy, master~” said Mikey while sticking out his tongue.

As Mikey asked, Draken really fuck him like crazy. He hit Mikey gspot over and over making him felt like crazy. Mikey starts to shaking his hips asking for more.

Any condom? No. They're doing it raw and they like it.

If Mikey can, he really wants to wrap his leg around Draken hips, but this bar get in the way.

So Mikey wrap his hand around Draken neck and pull him closer to suck his nipple while their fucking.

Draken starts to suck and bite Mikey nipple. Mikey let his moan ranging inside those room while he hug and grab Draken hair.

Not just sucking his tits, Draken also left so many kiss mark at Mikey body. No, not red. It's purple.

“How about i came inside you?”

“Heunghh~ Do it, master~” “I wanna feel your cum filling my stomach~”

“How about together?”

“Huh? Eekk! Master, if you do that” Mikey really surprise when he felt his dick get played by his master.

All of his pleasant part get played at the same time. At this rate Mikey think he will get crazy because of the pleasure his master gave him.

Draken movement is getting fast, telling that he will came inside Mikey hole soon. And Mikey? He's getting more insane. And when Draken came inside him, he make an ahegao face, his body starts to tremble, his gaze getting blury, all he can hear is just his reall loud moan and his master growling, his mind now full of pleasure that his new master gave to him.

Draken membuka pengunci di kedua kaki Mikey dan melempar tongkat itu sembarang arah.

“Lelah?”

“Ya” “Kenapa...kau lakukan itu?”

“Yang mana?”

“Menghujam titik nikmat ku, memainkan penis dan puting ku bersamaan”

“Enak kan?”

“Rasanya ingin gila” “Kau bisa berjalan? Ayo mandi”

“Tunggu, ku bersihkan dulu sebentar”

Mikey mendorong Draken untuk duduk.

“Master, can i?”

“Drink all of it”

Mikey menundukkan kepalanya dan dalam satu gerakan ia menelan seluruh penis Draken hingga dasarnya, tak lupa memainkan testisnya.

Di putarnya lidahnya di ujung kepala penis Draken dan menusuk salurannya dengan lidahnya.

Fuck, Manjiro, kau sangat berpengalaman akan hal ini ya”

Mikey menguatkan hisapannya dan mempercepat gerakan kepalanya mengejar pelepasan Draken. Di telannya seluruh sperma Draken dan di julurkan lidahnya, menunjukkan bahwa ia menelan seluruh sperma tuannya, Draken meludah di mulut Mikey yang jelas di telan oleh sang submissive.

“What an obedient slut”

Mikey mengeluarkan ponselnya, memberi kabar kepada orang yang mengundangnya ke pesta tersebut.

“I'm here” “I'm pretty sure you know my name now” “Sir Draken” Mikey membalas pesan dari Draken sambil berjalan tanpa melihat apa yang ada di depannya. “Watch your step cutie”

Mikey melepaskan pandangannya dari ponselnya dan berhenti di tempat ketika ia hampir menabrak seorang pelayan yang sedang membawa beberapa gelas wine.

“Now come here, Manjiro” “Where?” “You know where exactly i am”

Mikey mengedarkan pandangannya sambil berjalan pelan. Namun matanya tertuju kepada seorang laki-laki di ujung ruangan yang tampak menjadi sorotan banyak orang di sana, ia di kelilingi oleh pria dan wanita bertubuh indah, ia sendiri menggunakan kemeja putih dengan rompi dan celana berwarna hitam menunjukkan bentuk tubuhnya yang atletis, dan jangan lupakan tato naga di kepalanya dan rambut hitamnya yang terkepang.

Dapat Mikey rasakan bahwa orang itu lah Draken, ia juga terus menatap lurus ke arah Mikey. Draken memberi isyarat dengan tangannya agar orang-orang di sekitarnya pergi, namun matanya tetap menatap ke arah Mikey.

Mikey berjalan ke arah Draken sambil menatapnya, ia juga mengambil segelas champagne yang di bawa oleh pelayan.

Mikey duduk langsung duduk di pangkuan Draken dan menatapnya, sebelah tangannya mengalung ke leher Draken dan sebelahnya lagi memegang champagne yang ia ambil tadi.

“So, mister Ryuguji Ken?” Mikey sebenarnya sudah meminta kakaknya-Izana-untuk mencari tau tentang Draken sebelumnya begitu mengetahui namanya dari orang suruhan Draken dan meminta mengirimkan file dokumennya ke ponsel Mikey.

“People call me Draken” ia melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Mikey.

“Then i'll call you Kenchin”

“I'd love to hear you moaning my name like that” bisiknya

“Sebelum itu aku ingin membicarakan masalah bayaran”

“Berapa yang kau mau?”

“If you can fulfill my lust, you don't have to pay anything”

“What are you? A bitch?”

“Just for my master” Mikey semakin menekan bokongnya ke kejantanan Draken, dapat ia rasakan betapa besar ukuran penis pria di bawahnya ini.

Mereka mulai mengeluarkan sentuhan menggoda satu sama lain, mencoba menguji seberapa kuat mereka menahan nafsu. Beberapa tamu menatap mereka cemburu, namun ada juga yang menatap mereka seolah itu adalah pertunjukan yang menarik.

“Permisi tuan pemilik pesta” goda seorang pria dengan rambut berwarna ungu dan hitam pendek tersisir rapih.

Mikey melihat empat sosok orang yang sangat familiar dengannya, sang Haitani bersaudara, Ran dan Rindou, beserta pasangan mereka-sahabat Mikey-Hanemiya Kazutora dan Sanzu Haruchiyo.

“Jiro, kamu main sama teman mu dulu ya” Draken memberi ciuman di bibir Mikey dan sedikit permainan lidah.

“Yes, sir” Mikey bangkit dari pangkuan Draken dan berjalan bersama kedua sahabatnya menjauh, meninggalkan mereka bertiga berbincang tentang masalah mereka sendiri.

“Key? Lu gak bilang?”

“Ih mana gua tau” Mikey meminum champagnenya. “Lu juga gak bilang kalo ada temen nya Ran yang modelan kek gini”

“Gua mau ngasih tau pas di pestanya. Tapi ternyata dia udah deketin lu duluan” “Jadi? New master?”

“Belom tau” Mikey menghabiskan minumannya dalam satu tegakan. “I'll sleep with him tonight” “Dan ini emang perasaan gua doang atau memang banyak mantan dom gue di sini?”

“Emang banyak”

“Gue ramal kalo lu gak ada di deket Draken mereka bakal mulai ngedeketin lu lagi”

For fuck sake, no. Gua udah muak sama mereka”

“Mulutnya masih gak bisa di jaga ya, cantik” seorang laki-laki muncul di belakang Mikey berusaha memeluk pinggangnya.

Namun sebuah tangan berhasil menarik Mikey ke pelukannya, dan ini lah pertama kali Mikey dapat melihat seberapa tinggi tubuh Draken sebenarnya.

“Aku kira kita punya rencana, Jiro. Bisa-bisanya kamu telat”

“Kenchin, maaf. Aku baru mau ke kamar tadi, tapi di tahan sama dia” Mikey bergelayut manja di lengan Draken dan berjalan pergi bersamanya. “Mantan mu?”

“Mantan tuan”

“Jadi sekarang kamu lagi gak ada yang punya?” Draken menuntun Mikey menjauh dari pesta.

“That's why i ask you to fulfill my lust” Draken dapat merasakan betapa kecil tubuh pria yang sedang bergelayut manja di lengannya ini.

“How about i'll be your master?” Draken membuka kunci salah satu ruangan.

“We'll see about that”

Mikey mendorong Draken masuk dan menarik dasinya agar memudahkannya untuk menciumnya dengan dalam. Pintu tertutup dan Mikey menguncinya dari dalam.

Draken mengangkat tubuh Mikey membuat tinggi mereka sejajar tanpa melepaskan pautan bibir mereka, sedangkan Mikey mengalungkan tangannya di leher Draken memperdalam ciuman mereka.

Draken duduk di pinggir kasur dengan Mikey di pangkuannya yang masih memegang wajahnya untuk memperdalam ciuman mereka. Mikey yang masih terbuai oleh permainan lidah Draken tak menyadari bahwa lelaki itu sudah mengambil tali dan mengikat kedua tangannya ke belakang.

“Ku kira kau seharusnya tidak menikmati hukuman ini” Draken melepaskan ciuman mereka dan menatap wajah Mikey yang memerah dengan bibirnya yang terlihat bengkak dan lidah menjulur ke luar.

“Why stop~? I'm enjoying it~” rengek Mikey dan baru ia sadari bahwa tangannya sudah terikat ke belakang.

“You dare speak to your master like that?”

Draken memukul bokong Mikey dengan keras, menyebabkan sang empunya tubuh hampir berteriak karena kaget dan rasa denyutan di bokongnya. Dapat ia rasakan tangan besar seorang Ryuguji Ken yang masih meremas bokongnya dengan kuat dan menahan punggungnya agar tidak terjatuh.

“Aku rasa celana ini menghalangi tubuhmu. Bagaimana jika kau melepaskannya?”

“Lepaskan saja sendiri-akhh!” Draken kembali memukul bokong Mikey begitu mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Dimana tata krama mu, Sano Manjiro”

“I'm... I'm sorry, master. Please help this slut of yours taking off his pants”

Draken menyeringai puas, membuka penghalang kaki jenjangnya dan penghalang bagian private sang submissive

Draken kembali memukul bokong Mikey.

“Lay here”

Draken menepuk pahanya meminta Mikey untuk tengkurap di atas sana.

*“You just need to count until ten and i'll give you a reward. Don't make any sounds”

“If i dont?”

“Then you'll got a punishment”

Draken mulai memukul pantat Mikey kemudian mengusapnya dengan tangan besarnya, Mikey meremas seprai kasur di bawahnya untuk menahan suaranya

“One”

Slaps!

“Two”

Slaps!

“Three”

Draken meremas pantat Mikey perlahan, menimbulkan gelinjang kenikmatan bagi sang empunya. Ingin ia ekspresikan namun jika ia membuat suara lain selain menghitung, ia akan di beri hukuman. Bukannya ia tak mau, namun ini adalah pertama kali mereka melakukan hal ini. Mikey tidak ingin bersikap berlebihan.

Mikey mulai terbiasa dengan remasan tangan Draken pada bongkahannya di bawah sana, remasan seprainya mulai mengendur. Namun Draken kembali memukulnya tiba-tiba dan kali ini lebih keras.

“Four!” ia kaget dengan perubahan sikap Draken yang tiba-tiba dan kembali meremas seprai di bawahnya berusaha menahan suaranya yang hendak keluar lebih.

Slaps!

“Five”

Slaps!

“Six”

Saat pukulan yang ketujuh, Mikey tidak langsung menghitung. Ia meremas seprai di bawahnya dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan suaranya yang hendak keluar akibat kenikmatan yang ia terima.

“Seven”

“You still can take it?”

Mikey hanya mengangguk masih meremas seprai dan menggigit bibir menahan rasa menyengat di pantatnya yang mulai memerah penuh bekas jiplakan tangan dari sang dominan.

Slaps!

“Eight”

Slaps!

“Nine!”

Setelah hitungan ke sembilan Draken tiba-tiba berhenti. Mikey melirik ke belakang untuk melihat apa kah ia melakukan kesalahan?

“You really hard down there didn't you?”

Draken memasukkan satu jarinya kedalam lubang Mikey.

“Let's we check are you wet inside here?”

Mikey hampir bersuara namun ia berhasil menarik sebuah bantal dan menggigitnya.

“You're much obedient than i thought, Manjiro”

Sembari memainkan jarinya di bawah sana, jari dari tangan yang satunya mengikuti garis lekuk punggung Mikey, menciptakan sensasi geli dan gatal di bagian punggungnya.

Mikey menaikkan pantatnya sedikit ketika Draken berhasil menemukan titik nikmatnya. Ia menambahkan satu jari lagi dam mulai menghujami titik itu dengan permainan jarinya, sesekali di renggangkannya lubang Mikey agar ia siap untuk di masukki nantinya

Mikey berusaha mati-matian untuk menahan orgasme-nya. Dan ketika ia sudah tidak kuat ia mencengkram lengan Draken dengan tangan yang agak gemetar dan bantar masih digigitnya untuk menahan suaranya.

“You wanna cum?”

Di jawab dengan anggukkan oleh Mikey.

Namun yang Draken lakukan adalah mengeluarkan kedua jarinya dan meremas perlahan pantat Mikey.

“Go ahead, you've got my permission”

Pukulan terakhir yang ia daratkan ke pantat Mikey cukup keras, bersamaan dengan Mikey yang mencapai orgasme-nya.

“Tenth~!”

Nafas Mikey memburu, tubuhnya lemas karena kenikmatan yang baru saja ia rasakan.

“Kau bisa mengikuti perintahku dengan baik rupanya” ia melepaskan ikatan tangan Mikey.

“Kau menggerakkan jarimu terlalu intens” Mikey membaringkan kepalanya di atas bantal yang ia gigit tadi. “I think you should be my dom”

“No honey, i'm not getting permission from what I want. I make them beg for me”

Dengan sedikit tenaga tersisa Mikey turun dari kasur, berlutut di lantai menghadap ke arah Draken yang masih duduk di pinggir kasur dengan tatapan memohon dan kedua tangannya di tempatkan di kedua sisi paha Draken.

“Please be my master~” “I wanna taste your dick inside my body and swallow your cum inside my throat” Mikey mencium sebuah tonjolan di balik celana Draken yang terasa mengeras.

“We'll discuss the contract in the morning” “Now how about you take a look at the dick that you want”

Mikey menurunkan resleting celana Draken dengan giginya dan penisnya yang sudah menegang memantul ke arah wajahnya.

“Can i suck it first?”

“Make it wet”

Mikey membuka mulutnya lebar-lebar berusaha menyesuaikan lebar mulutnya dengan diameter penis Draken.

Di emutnya ujung kepala penis tersebut dan dimainkan lidahnya di sekitar saluran ejakulasi miliknya, mengeluarkan pre-cum yang menyapa lidahnya.

Setelah Mikey selesai puas memainkan lidahnya, ia langsung memasukkan penis Draken lebih jauh lagi ke dalam mulutnya masuk ke tenggorokkanya hingga bibirnya menyentuh pangakal dari penis Draken.

Geraman pelan lolos dari mulut Draken, ia mencengkram rambut Mikey.

Mikey kembali memainkan lidahnya dan menggerakkan kepalanya semakin cepat. Namun Draken menarik kepala Mikey menghentikan pergerakannya.

“You've done well. Now, time for your reward”

Draken menggendong tubuh Mikey dan membaringkannya di atas tempat tidur. Ia mengambil sebuah ankle spreader bar(kalo penasaran gambarnya kek gmn cek di gugel) dan memasangkannya di kedua kaki Mikey membuat lubangnya semakin terekspos karena ia tak bisa menutup kedua kakinya.

Draken mendorong tongkat itu ke atas kepala Mikey, membuat kakinya ikut tertarik dan semakin mengekspos lubang Mikey.

“Never felt this before?”

“All of my previous master never use this kind of thing before”

Draken shoving his dick inside Mikey hole. He got suprised by the size of his new master dick inside him. He start to grab the bed sheet and curving his back.

“Come on, you haven't swallow it all”

“Master~ Do it at once, please~”

Draken let out his smirk at him, and insert the rest of his dick all at once. Mikey thightning his grip at the bed sheet.

“I've fingered you tho, but you still tight as fuck”

“Don't you see how small is my body and how big is your dick?”

“So you can't take it?”

“Fuck me like crazy, master~” said Mikey while sticking out his tongue.

As Mikey asked, Draken really fuck him like crazy. He hit Mikey gspot over and over making him felt like crazy. Mikey starts to shaking his hips asking for more.

Any condom? No. They're doing it raw and they like it.

If Mikey can, he really wants to wrap his leg around Draken hips, but this bar get in the way.

So Mikey wrap his hand around Draken neck and pull him closer to suck his nipple while their fucking.

Draken starts to suck and bite Mikey nipple. Mikey let his moan ranging inside those room while he hug and grab Draken hair.

Not just sucking his tits, Draken also left so many kiss mark at Mikey body. No, not red. It's purple.

“How about i came inside you?”

“Heunghh~ Do it, master~” “I wanna feel your cum filling my stomach~”

“How about together?”

“Huh? Eekk! Master, if you do that” Mikey really surprise when he felt his dick get played by his master.

All of his pleasant part get played at the same time. At this rate Mikey think he will get crazy because of the pleasure his master gave him.

Draken movement is getting fast, telling that he will came inside Mikey hole soon. And Mikey? He's getting more insane. And when Draken came inside him, he make an ahegao face, his body starts to tremble, his gaze getting blury, all he can hear is just his reall loud moan and his master growling, his mind now full of pleasure that his new master gave to him.

Draken membuka pengunci di kedua kaki Mikey dan melempar tongkat itu sembarang arah.

“Lelah?”

“Ya” “Kenapa...kau lakukan itu?”

“Yang mana?”

“Menghujam titik nikmat ku, memainkan penis dan puting ku bersamaan”

“Enak kan?”

“Rasanya ingin gila” “Kau bisa berjalan? Ayo mandi”

“Tunggu, ku bersihkan dulu sebentar”

Mikey mendorong Draken untuk duduk.

“Master, can i?”

“Drink all of it”

Mikey menundukkan kepalanya dan dalam satu gerakan ia menelan seluruh penis Draken hingga dasarnya, tak lupa memainkan testisnya.

Di putarnya lidahnya di ujung kepala penis Draken dan menusuk salurannya dengan lidahnya.

Fuck, Manjiro, kau sangat berpengalaman akan hal ini ya”

Mikey menguatkan hisapannya dan mempercepat gerakan kepalanya mengejar pelepasan Draken. Di telannya seluruh sperma Draken dan di julurkan lidahnya, menunjukkan bahwa ia menelan seluruh sperma tuannya, Draken meludah di mulut Mikey yang jelas di telan oleh sang submissive.

“What an obedient slut”

Mikey mengeluarkan ponselnya, memberi kabar kepada orang yang mengundangnya ke pesta tersebut.

“I'm here” “I'm pretty sure you know my name now” “Sir Draken” Mikey membalas pesan dari Draken sambil berjalan tanpa melihat apa yang ada di depannya. “Watch your step cutie”

Mikey melepaskan pandangannya dari ponselnya dan berhenti di tempat ketika ia hampir menabrak seorang pelayan yang sedang membawa beberapa gelas wine.

“Now come here, Manjiro” “Where?” “You know where exactly i am”

Mikey mengedarkan pandangannya sambil berjalan pelan. Namun matanya tertuju kepada seorang laki-laki di ujung ruangan yang tampak menjadi sorotan banyak orang di sana, ia di kelilingi oleh pria dan wanita bertubuh indah, ia sendiri menggunakan kemeja putih dengan rompi dan celana berwarna hitam menunjukkan bentuk tubuhnya yang atletis, dan jangan lupakan tato naga di kepalanya dan rambut hitamnya yang terkepang.

Dapat Mikey rasakan bahwa orang itu lah Draken, ia juga terus menatap lurus ke arah Mikey. Draken memberi isyarat dengan tangannya agar orang-orang di sekitarnya pergi, namun matanya tetap menatap ke arah Mikey.

Mikey berjalan ke arah Draken sambil menatapnya, ia juga mengambil segelas champagne yang di bawa oleh pelayan.

Mikey duduk langsung duduk di pangkuan Draken dan menatapnya, sebelah tangannya mengalung ke leher Draken dan sebelahnya lagi memegang champagne yang ia ambil tadi.

“So, mister Ryuguji Ken?” Mikey sebenarnya sudah meminta kakaknya-Izana-untuk mencari tau tentang Draken sebelumnya begitu mengetahui namanya dari orang suruhan Draken dan meminta mengirimkan file dokumennya ke ponsel Mikey.

“People call me Draken” ia melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Mikey.

“Then i'll call you Kenchin”

“I'd love to hear you moaning my name like that” bisiknya

“Sebelum itu aku ingin membicarakan masalah bayaran”

“Berapa yang kau mau?”

“If you can fulfill my lust, you don't have to pay anything”

“What are you? A bitch?”

“Just for my master” Mikey semakin menekan bokongnya ke kejantanan Draken, dapat ia rasakan betapa besar ukuran penis pria di bawahnya ini.

Mereka mulai mengeluarkan sentuhan menggoda satu sama lain, mencoba menguji seberapa kuat mereka menahan nafsu. Beberapa tamu menatap mereka cemburu, namun ada juga yang menatap mereka seolah itu adalah pertunjukan yang menarik.

“Permisi tuan pemilik pesta” goda seorang pria dengan rambut berwarna ungu dan hitam pendek tersisir rapih.

Mikey melihat empat sosok orang yang sangat familiar dengannya, sang Haitani bersaudara, Ran dan Rindou, beserta pasangan mereka-sahabat Mikey-Hanemiya Kazutora dan Sanzu Haruchiyo.

“Jiro, kamu main sama teman mu dulu ya” Draken memberi ciuman di bibir Mikey dan sedikit permainan lidah.

“Yes, sir” Mikey bangkit dari pangkuan Draken dan berjalan bersama kedua sahabatnya menjauh, meninggalkan mereka bertiga berbincang tentang masalah mereka sendiri.

“Key? Lu gak bilang?”

“Ih mana gua tau” Mikey meminum champagnenya. “Lu juga gak bilang kalo ada temen nya Ran yang modelan kek gini”

“Gua mau ngasih tau pas di pestanya. Tapi ternyata dia udah deketin lu duluan” “Jadi? New master?”

“Belom tau” Mikey menghabiskan minumannya dalam satu tegakan. “I'll sleep with him tonight” “Dan ini emang perasaan gua doang atau memang banyak mantan dom gue di sini?”

“Emang banyak”

“Gue ramal kalo lu gak ada di deket Draken mereka bakal mulai ngedeketin lu lagi”

For fuck sake, no. Gua udah muak sama mereka”

“Mulutnya masih gak bisa di jaga ya, cantik” seorang laki-laki muncul di belakang Mikey berusaha memeluk pinggangnya.

Namun sebuah tangan berhasil menarik Mikey ke pelukannya, dan ini lah pertama kali Mikey dapat melihat seberapa tinggi tubuh Draken sebenarnya.

“Aku kira kita punya rencana, Jiro. Bisa-bisanya kamu telat”

“Kenchin, maaf. Aku baru mau ke kamar tadi, tapi di tahan sama dia” Mikey bergelayut manja di lengan Draken dan berjalan pergi bersamanya. “Mantan mu?”

“Mantan tuan”

“Jadi sekarang kamu lagi gak ada yang punya?” Draken menuntun Mikey menjauh dari pesta.

“That's why i ask you to fulfill my lust” Draken dapat merasakan betapa kecil tubuh pria yang sedang bergelayut manja di lengannya ini.

“How about i'll be your master?” Draken membuka kunci salah satu ruangan.

“We'll see about that”

Mikey mendorong Draken masuk dan menarik dasinya agar memudahkannya untuk menciumnya dengan dalam. Pintu tertutup dan Mikey menguncinya dari dalam.

Draken mengangkat tubuh Mikey membuat tinggi mereka sejajar tanpa melepaskan pautan bibir mereka, sedangkan Mikey mengalungkan tangannya di leher Draken memperdalam ciuman mereka.

Draken duduk di pinggir kasur dengan Mikey di pangkuannya yang masih memegang wajahnya untuk memperdalam ciuman mereka. Mikey yang masih terbuai oleh permainan lidah Draken tak menyadari bahwa lelaki itu sudah mengambil tali dan mengikat kedua tangannya ke belakang.

“Ku kira kau seharusnya tidak menikmati hukuman ini” Draken melepaskan ciuman mereka dan menatap wajah Mikey yang memerah dengan bibirnya yang terlihat bengkak dan lidah menjulur ke luar.

“Why stop~? I'm enjoying it~” rengek Mikey dan baru ia sadari bahwa tangannya sudah terikat ke belakang.

“You dare speak to your master like that?”

Draken memukul bokong Mikey dengan keras, menyebabkan sang empunya tubuh hampir berteriak karena kaget dan rasa denyutan di bokongnya. Dapat ia rasakan tangan besar seorang Ryuguji Ken yang masih meremas bokongnya dengan kuat dan menahan punggungnya agar tidak terjatuh.

“Aku rasa celana ini menghalangi tubuhmu. Bagaimana jika kau melepaskannya?”

“Lepaskan saja sendiri-akhh!” Draken kembali memukul bokong Mikey begitu mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Dimana tata krama mu, Sano Manjiro”

“I'm... I'm sorry, master. Please help this slut of yours taking off his pants”

Draken menyeringai puas, membuka penghalang kaki jenjangnya dan penghalang bagian private sang submissive

Draken kembali memukul bokong Mikey.

“Lay here”

Draken menepuk pahanya meminta Mikey untuk tengkurap di atas sana.

*“You just need to count until ten and i'll give you a reward. Don't make any sounds”

“If i dont?”

“Then you'll got a punishment”

Draken mulai memukul pantat Mikey kemudian mengusapnya dengan tangan besarnya, Mikey meremas seprai kasur di bawahnya untuk menahan suaranya

“One”

Slaps!

“Two”

Slaps!

“Three”

Draken meremas pantat Mikey perlahan, menimbulkan gelinjang kenikmatan bagi sang empunya. Ingin ia ekspresikan namun jika ia membuat suara lain selain menghitung, ia akan di beri hukuman. Bukannya ia tak mau, namun ini adalah pertama kali mereka melakukan hal ini. Mikey tidak ingin bersikap berlebihan.

Mikey mulai terbiasa dengan remasan tangan Draken pada bongkahannya di bawah sana, remasan seprainya mulai mengendur. Namun Draken kembali memukulnya tiba-tiba dan kali ini lebih keras.

“Four!” ia kaget dengan perubahan sikap Draken yang tiba-tiba dan kembali meremas seprai di bawahnya berusaha menahan suaranya yang hendak keluar lebih.

Slaps!

“Five”

Slaps!

“Six”

Saat pukulan yang ketujuh, Mikey tidak langsung menghitung. Ia meremas seprai di bawahnya dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan suaranya yang hendak keluar akibat kenikmatan yang ia terima.

“Seven”

“You still can take it?”

Mikey hanya mengangguk masih meremas seprai dan menggigit bibir menahan rasa menyengat di pantatnya yang mulai memerah penuh bekas jiplakan tangan dari sang dominan.

Slaps!

“Eight”

Slaps!

“Nine!”

Setelah hitungan ke sembilan Draken tiba-tiba berhenti. Mikey melirik ke belakang untuk melihat apa kah ia melakukan kesalahan?

“You really hard down there didn't you?”

Draken memasukkan satu jarinya kedalam lubang Mikey.

“Let's we check are you wet inside here?”

Mikey hampir bersuara namun ia berhasil menarik sebuah bantal dan menggigitnya.

“You're much obedient than i thought, Manjiro”

Sembari memainkan jarinya di bawah sana, jari dari tangan yang satunya mengikuti garis lekuk punggung Mikey, menciptakan sensasi geli dan gatal di bagian punggungnya.

Mikey menaikkan pantatnya sedikit ketika Draken berhasil menemukan titik nikmatnya. Ia menambahkan satu jari lagi dam mulai menghujami titik itu dengan permainan jarinya, sesekali di renggangkannya lubang Mikey agar ia siap untuk di masukki nantinya

Mikey berusaha mati-matian untuk menahan orgasme-nya. Dan ketika ia sudah tidak kuat ia mencengkram lengan Draken dengan tangan yang agak gemetar dan bantar masih digigitnya untuk menahan suaranya.

“You wanna cum?”

Di jawab dengan anggukkan oleh Mikey.

Namun yang Draken lakukan adalah mengeluarkan kedua jarinya dan meremas perlahan pantat Mikey.

“Go ahead, you've got my permission”

Pukulan terakhir yang ia daratkan ke pantat Mikey cukup keras, bersamaan dengan Mikey yang mencapai orgasme-nya.

“Tenth~!”

Nafas Mikey memburu, tubuhnya lemas karena kenikmatan yang baru saja ia rasakan.

“Kau bisa mengikuti perintahku dengan baik rupanya” ia melepaskan ikatan tangan Mikey.

“Kau menggerakkan jarimu terlalu intens” Mikey membaringkan kepalanya di atas bantal yang ia gigit tadi. “I think you should be my dom”

“No honey, i'm not getting permission from what I want. I make them beg for me”

Dengan sedikit tenaga tersisa Mikey turun dari kasur, berlutut di lantai menghadap ke arah Draken yang masih duduk di pinggir kasur dengan tatapan memohon dan kedua tangannya di tempatkan di kedua sisi paha Draken.

“Please be my master~” “I wanna taste your dick inside my body and swallow your cum inside my throat” Mikey mencium sebuah tonjolan di balik celana Draken yang terasa mengeras.

“We'll discuss the contract in the morning” “Now how about you take a look at the dick that you want”

Mikey menurunkan resleting celana Draken dengan giginya dan penisnya yang sudah menegang memantul ke arah wajahnya.

“Can i suck it first?”

“Make it wet”

Mikey membuka mulutnya lebar-lebar berusaha menyesuaikan lebar mulutnya dengan diameter penis Draken.

Di emutnya ujung kepala penis tersebut dan dimainkan lidahnya di sekitar saluran ejakulasi miliknya, mengeluarkan pre-cum yang menyapa lidahnya.

Setelah Mikey selesai puas memainkan lidahnya, ia langsung memasukkan penis Draken lebih jauh lagi ke dalam mulutnya masuk ke tenggorokkanya hingga bibirnya menyentuh pangakal dari penis Draken.

Geraman pelan lolos dari mulut Draken, ia mencengkram rambut Mikey.

Mikey kembali memainkan lidahnya dan menggerakkan kepalanya semakin cepat. Namun Draken menarik kepala Mikey menghentikan pergerakannya.

“You've done well. Now, time for your reward”

Draken menggendong tubuh Mikey dan membaringkannya di atas tempat tidur. Ia mengambil sebuah ankle spreader bar(kalo penasaran gambarnya kek gmn cek di gugel) dan memasangkannya di kedua kaki Mikey membuat lubangnya semakin terekspos karena ia tak bisa menutup kedua kakinya.

Draken mendorong tongkat itu ke atas kepala Mikey, membuat kakinya ikut tertarik dan semakin mengekspos lubang Mikey.

“Never felt this before?”

“All of my previous master never use this kind of thing before”

Draken shoving his dick inside Mikey hole. He got suprised by the size of his new master dick inside him. He start to grab the bed sheet and curving his back.

“Come on, you haven't swallow it all”

“Master~ Do it at once, please~”

Draken let out his smirk at him, and insert the rest of his dick all at once. Mikey thightning his grip at the bed sheet.

“I've fingered you tho, but you still tight as fuck”

“Don't you see how small is my body and how big is your dick?”

“So you can't take it?”

“Fuck me like crazy, master~” said Mikey while sticking out his tongue.

As Mikey asked, Draken really fuck him like crazy. He hit Mikey gspot over and over making him felt like crazy. Mikey starts to shaking his hips asking for more.

Any condom? No. They're doing it raw and they like it.

If Mikey can, he really wants to wrap his leg around Draken hips, but this bar get in the way.

So Mikey wrap his hand around Draken neck and pull him closer to suck his nipple while their fucking.

Draken starts to suck and bite Mikey nipple. Mikey let his moan ranging inside those room while he hug and grab Draken hair.

Not just sucking his tits, Draken also left so many kiss mark at Mikey body. No, not red. It's purple.

“How about i came inside you?”

“Heunghh~ Do it, master~” “I wanna feel your cum filling my stomach~”

“How about together?”

“Huh? Eekk! Master, if you do that” Mikey really surprise when he felt his dick get played by his master.

All of his pleasant part get played at the same time. At this rate Mikey think he will get crazy because of the pleasure his master gave him.

Draken movement is getting fast, telling that he will came inside Mikey hole soon. And Mikey? He's getting more insane. And when Draken came inside him, he make an ahegao face, his body starts to tremble, his gaze getting blury, all he can hear is just his reall loud moan and his master growling, his mind now full of pleasure that his new master gave to him.

Draken membuka pengunci di kedua kaki Mikey dan melempar tongkat itu sembarang arah.

“Lelah?”

“Ya” “Kenapa...kau lakukan itu?”

“Yang mana?”

“Menghujam titik nikmat ku, memainkan penis dan puting ku bersamaan”

“Enak kan?”

“Rasanya ingin gila” “Kau bisa berjalan? Ayo mandi”

“Tunggu, ku bersihkan dulu sebentar”

Mikey mendorong Draken untuk duduk.

“Master, can i?”

“Drink all of it”

Mikey menundukkan kepalanya dan dalam satu gerakan ia menelan seluruh penis Draken hingga dasarnya, tak lupa memainkan testisnya.

Di putarnya lidahnya di ujung kepala penis Draken dan menusuk salurannya dengan lidahnya.

Fuck, Manjiro, kau sangat berpengalaman akan hal ini ya”

Mikey menguatkan hisapannya dan mempercepat gerakan kepalanya mengejar pelepasan Draken. Di telannya seluruh sperma Draken dan di julurkan lidahnya, menunjukkan bahwa ia menelan seluruh sperma tuannya, Draken meludah di mulut Mikey yang jelas di telan oleh sang submissive.

“What an obedient slut”

Yang udah baca Hanma pov udh tau kan note nya apa aja, masih sama kok. Like before, prepare the tissue if you need it.(๑・ω-)~♥”


Ini adalah pesan dari Tetta Kisaki, Shuji Kisaki sebelum aku ke neraka nantinya menikah dengan suami ku

Pastinya orang yang akan membaca surat ini adalah dirimu, Hina.

Tidak, aku tidak akan bersikukuh untuk membuat mu cinta padaku, aku sudah mengetahui perasaan ku yang sebenarnya sekarang.

Kau boleh menyimpan surat ini, memberikannya pada penyidik, membakarnya, atau apapun. Namun jangan beritau Hanma tentang surat ini. Biar aku yang menceritakannya di neraka nanti, jika kami bertemu.

Alasan kenapa ku berikan surat ini padamu adalah karena hanya kau satu-satunya orang yang tau tentang penyakit Hanma. Dan aku ingin mengakui kesalahan ku, bercerita tentang pikiran ku. Namun satu-satunya orang yang mengakui adanya diri ku hanyalah kau dan Hanma. Aku minta maaf karena malah membuat mu semakin terbebani.


Akan ku mulai cerita ini dari saat kami berada di Italia, karena dari negeri itu lah semuanya bermula.

Di pertemuan para petinggi mafia, aku berdiri di hadapan para tetua-tetua yang berpengaruh di dunia mafia. Mulai ku keluarkan berbagai macam jenis manipulasi untuk memengaruhi mereka. Tujuan ku adalah menguasai dunia bawah mafia Italia.

Untuk Hina.

Ya, nama wanita yang ku inginkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Masih ku ingat sifat lembutnya, rambut jingga pucatnya, dan senyum manisnya yang selalu menyapa ku saat kami kecil dulu.

Lagi-lagi aku memikirkannya. Tenangkan diri mu Kisaki, bertahan lah sedikit lagi dan kita akan membawa kebahagiaan pada Hina.

“Hanma, kau menemukan informasi lain tentang Hina sekarang?”

Hanya Shuji Hanma sumber informasi ku tentang Tachibana Hinata sekarang, jelas karena ia adalah salah satu bidak ku. Padahal ia tau dirinya dimanfaakan, namun ia tetap mengikuti ku selama bertahun-tahun. Bodohnya.

Ia membacakan segala informasi yang ia dapatkan tentang Tachibana Hinata. Dan aku mendengarkan dengan seksama. Sano Emma. Ia menarik perhatian ku, sepertinya ia harus ku bereskan sesampainya di Jepang nanti.

“Harta ku sudah cukup, seluruh persiapan ku sudah siap. Aku akan melamarnya tahun depan”

Setelah mendengar itu ia terbatuk dan menyembunyikan tangannya. Tumben.

“Baiklah, jika itu rencana mu” “Namun jangan lupa bayaran untuk ku”

“Apa?” tumben sekali ia minta bayaran.

“Tunjukan lagi kepada ku bagaimana serunya menjalani hidup ala Tetta Kisaki” ucapnya dengan senyum mengembang di wajahnya.

Aku tertawa kecil mendengar permintaannya “Tentu saja, sobat” “Aku akan berbincang dengan para tetua, kau amati pergerakan orang yang sekiranya dapat menghambat” kemudian aku menjauhinya, melakukan pekerjaan awal ku.

Sembari memanipulasi para tetua dan orang-orang yang berpengaruh di dunia permafiaan Italia, aku menghitung mundur waktu meledaknya bom yang ada di bangunan ini.

Masih ada waktu yang tersisa, aku melihat ke arah makanan yang tersaji, namun tak ada yang menarik minat ku. Malah membuat ku mual.

Akhirnya aku pergi ke sisi lain dari ruangan itu, menghindari ledakan yang akan datang dan kembali menghitung waktu yang tersisa.

Ketika sebagian dari gedung ini meledak, para tamu dan tetua mulai menyelamatkan diri dan melindungi diri dari serangan geng amatir yang sudah ku pengaruhi. Aku ikut membaur di antara kerumunan mereka dan Hanma menarik tangan ku, menuntun kami ke jalur pelarian yang sudah kami rencanakan.

Setelah agak jauh dan aman, aku menekan tombol untuk meledakan bom kedua. Kenapa? Agar tak banyak tamu yang selamat dan sedikit saksi mata, juga karena ada beberapa musuh ku di sana.

Kemudian kami kembali ke mansion salah seorang mafia yang di bunuh oleh Hanma, dan dengan kecerdasan ku, aku mengambl seluruh hak harta miliknya.

“Mandi lah Hanma” “Hari ini berjalan lancar sesuai perkiraan. Kita tinggal menggiring para tua bangka itu untuk masuk perangkap dan dunia bawah Italia akan menjadi milik ku”

“Kau juga bersihkan diri mu, kemudian ke ruang makan. Aku yakin kau tidak puas dengan hidangan di pesta tadi, selain wine yang mereka sediakan”

Ia sangat hafal tentang diri ku rupanya.

Ia menyuruh pelayan untuk menyiapkan hidangan makan malam, walau sebenarnya sudah sangat terlambat.

“Kau benar” ucap ku sembari melepas jas abu-abu bergaris milik ku dan naik menuju kamar ku.

Benar-benar, Hanma. Bisa-bisanya ia mengetahui segalanya tentang diri ku lebih dari diri ku sendiri. Aku ingin tau apa ia benar-benar mengaggap ku sebagai teman atau lebih, atau jangan-jangan ia hanya menempel pada ku karena aku masih dapat memberikan ke bahagiaan yang ia cari, memanfaatkan ku.

Aku mulai melepas pakaian ku dan masuk ke kamar mandi, mulai membersihkan diri ku.

Namun jika ia memang benar hanya memanfaatkan ku, bukan kah itu menyedihkan? Kenapa dada ku terasa nyeri? Aku kan juga memanfaatkannya, wajar saja jika ia memanfaatkan ku juga.

Ku selesaikan acara membersihkan tubuhku dengan cepat. Ku kenakan bathrobe panjang berwarna biru tua dan turun ke ruang makan langsung memulai makan ku tanpa menunggu Hanma.

Di sela kegiatan makan ku yang tenang, dapat ku dengar Hanma yang turun dan diam di tempatnya sejenak. Kenapa ia diam saja? Duduk lah bodoh, kau juga yang memesan makan malam tadi.

“Apa kau akan terus berdiri seperti itu?” tanya ku mencoba membuyarkan lamunannya tanpa meliriknya.

“Biasa, pikiran ku mulai menggila” ia duduk di kursinya.

Ia mulai memakan hidangan yang ada di atas meja itu. Aku mencuri pandang sedikit dan memergokinya yang juga diam-diam memperhatikan ku, sebuah ide jahi terbesit di kepala ku berniat untuk bercanda dengannya.

“Apa? Kau ingin menyentuh ku?” ku angkat sebelah alis ku mencoba menggodanya.

“Tak sudi bahkan ku menyentuh kulit mu” balasnya menyeringai menggoda.

Aku tau itu hanya candaan, tapi aku kesal. Padahal aku yang memulai.

Ku keluarkan tawa kecil dan kembali melanjutkan makanan ku. Namun ia terlihat memikirkan sesuatu. Tangannya bergerak menyuap makanan ke mulutnya, namun lewat matanya dapat ku lihat ia seperti sedang memikirkan hal lain.

“Dude, stop whatever you thinking, let's grab some Devil Springs. You look so stressful”

“Hate to agree with you” “But, you sure you can take it?” ia meremehkan ku?

“Maybe just a one shot” ya aku bukannya tidak kuat atau apa, namun satu gelas sloki dari alkohol 80% tersebut saja sudah bisa di bilang berani, apa lagi jika setelah itu kau masih sadar.

“Alright i'll go get'em”

Saat ia bangkit dari kursinya, aku masih melanjutkan makan ku sedikit lagi. Baru lah setelah itu aku bangkit dan mengambil dua buah gelas sloki membawanya ke rooftop mansion tersebut, tempat kami biasanya meminum alkohol.

Sesampainya ia di rooftop ku sambut ia dengan senyuman lembut. Ia membalas senyum ku dan berjalan mendekat menuangkan Devil Spring yang ia bawa ke kedua gelas sloki di tangan ku. Aku memberikan satu gelas kepadanya dan kami mengadukan kedua gelas tersebut mengeluarkan dentingan kecil kemudian menyesap sedikit dari Vodka tersebut.

Kepala ku sakit. Namun aku masih bisa mempertahankan kesadaran ku. Hanma bersandar di balkon dan menyalakan rokoknya.

“Kau tau Hanma? Kau bisa menceritakan apa yang mengganggu mu”

“Itu tak bisa diceritakan begitu saja Kisaki. Walau Vodka mempengaruhi ku” dihembuskannya asap rokok itu dari mulutnya. Pandangannya terlihat serius.

“Sepertinya dalam sekali, hingga-hingga tubuhmu dalam kondisi tak sadar pun masih bisa menutupnya rapat-rapat” aku tak ingin masalah mu mengganggu rencana ku.

“Memang, tapi tenang saja ini tidak ada kaitannya dengan rencana mu. Jadi kau tidak perlu khawatir” ia mengatakannya seolah ia dapat membaca pikiran ku.

Untuk beberapa waktu kami menikmati suasana sunyi di antara kami, terlarut dalam pikiran masing-masing. Ia menatap langit sambil menghisap kembali puntung rokoknya, entah apa yang di pikirkannya saat itu, namun terlihat seperti pikiran yang berat.

Sedangkan aku, terlarut dalam pikiran ku tentang rencana ku kedepannya. Namun tiba-tiba saja aku berpikir, Hanma bisa saja membunuh ku, mengambil segala kekuasaan dan harta ku, kenapa tak ia lakukan? Kenapa ia malah mengikuti ku, bersedia menjadi pion ku.

“Hanma...kenapa kau bertahan sejauh ini?”

“Ku bilang kan, kau menunjukkan keseruan dari kehidupan”

Tidak Hanma, aku hanya merusak kehidupan. “Lalu jika aku menikah nanti, kita pasti akan berpisah. Dan aku mungkin akan keluar dari dunia kejahatan”

“Ku rasa saat itu aku akan menjadi gelandangan, anjing yang kehilangan tuannya” mengapa dada ku terasa nyeri mendengar perkataannya? Sejujurnya tak bisa ku bayangkan hidupku tanpa Hanma di sisi ku.

Aku tertawa”Bekerja lah untuk ku jika kau tidak punya tujuan”

Aku ingin kau tetap berada di samping ku. Kita sudah seperti saudara yang selalu bersama, tak terpisahkan

Ia nyalakan lagi sepuntung rokok “Dalam mimpi mu”

Ntah apa itu yang sejujurnya ia ingin katakan, namun ku harap tidak. Selain sebagai pion, aku tetap menganggapnya sebagai teman. Kenapa? Aku pun tak tau. Harusnya aku bisa saja memilih Izana yang ada di sisi ku saat ini, namun entah kenapa yang ku ingin kan hanyalah dirinya, laki-laki yang tergila-gila akan diri ku karena aku berhasil menunjukkan keseruan dari kehidupan.

Malam itu kami habiskan dengan bercerita mengenang masa lalu. Tidak, sejujurnya kami lebih banyak membahas tentang Hina di bandingkan masa lalu. Hanma sendiri tak terlihat tertarik membahasnya, namun ia tetap menanggapi ku dengan baik walau kesadaran kami sama-sama sulit di atur.

Hal terakhir yang ku ingat malam itu adalah diri ku yang menegak seluruh Vodka dalam gelas sloki ku. Setelah itu yang kurasakan adalah bokong ku yang mendarat ke sesuatu yang empuk, kemudian seluruh pandangan ku menjadi gelap. Aku hangover.


Pukul 8 pagi aku terbangun. Sinar matahari menusuk mata ku, namun tampaknya orang di sebelahku tak tampak terganggu sedikitpun.

Tunggu.

Di sebelahku?

Hanma!?

Apa yang terjadi saat aku mabuk kemarin!? Aku masih menggunakan bathrobeku walau agak terbuka sedikit. Dan apa-apaan posisi tidur ini!? Kenapa aku malah memeluk Hanma!?

Gila, ini gila. Aku harus segera bangun dan mengingat hal apa yang ku lakukan semalam.

Aku mencoba melepas pelukan Hanma tanpa mengganggu tidur pulasnya yang seperti anak ayam itu. Berhasil, walau agak sulit.

Ku benarkan bathrobeku dan turun ke bawah memulai sarapan pagi. Tak ada rasa sakit atau hal aneh apapun. Itu berarti kami hanya tidur.

Entah kenapa aku lega namun juga kecewa.

Aku berusaha mengingat kejadian malam itu.

Ahh...

Salahku karena menggenggam tangannya dan memintanya menemani ku karena kita teman.

Biar lah, toh tidak terjadi apa-apa. Malah menyenangkan?

Setelah selesai sarapan pagi, ku siapkan diri ku untuk memulai rencana ku lagi.

Masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuh ku sendiri di bawah aliran air shower menikmati air dingin yang mengalir di tubuhku. Ku bawa tubuhku menuju walk in closet yang ada di kamarku dan memilih outfit yang akan ku kenakan hari ini.

Hanma?

Masih di kamar ku, tertidur memeluk guling yang mungkin ia kira itu aku. Karena pengaruh alkohol itu ia tidur lebih pulas dari biasanya, dan mungkin juga ia kelelahan kemarin. Menerobos lautan manusia sambil memastikan keselamatanku jelas bukan hal yang mudah.

Saat aku hendak berangat, Hanma bangun dengan keadaan setengah bingung, mungkin. Ku rasa ia bingung karena aku terlihat santai saja, namun ada yang aneh dari perubahan raut wajahnya. Seperti kecewa.

Namun ku abaikan hal itu dan berangkat mengerjakan rencana ku seperti biasa.


Aku berdiri di hadapan gedung yang menjulang tinggi ini. Ku langkahkan kaki ku masuk ke gedung itu dengan percaya diri menuju lantai teratas, tempat pimpinan dari perusahaan itu berada.

“Tuan Tetta Kisaki, Tuan sudah di tunggu di dalam” ucap sopan seorang wanita yang berada di depan ruangan pimpinan itu.

Aku masuk ke ruangan besar itu dan pintu di belakang ku tertutup, mengurungku di ruangan itu berssama dengan laki-laki ini.

“Ku kira kau akan membawa anjing penjaga mu bersama mu”

Jangan sebut Hanma seperti itu, brengsek! “Tidak, aku tidak membutuhkannya saat ini”

“Jadi kesepakatan apa yang akan kau buat dengan ku?”

Senyumku mengembang membuat perubahan rencana dan mulai memanipulasinya dengan kata-kata yang keluar dari mulut ku.

Selesai rencana ku saat itu, niatnya akan langsung ku ledakan gedung ini beserta dengan kepala pimpinan itu. Namun saat aku duduk menunggu waktu, Hanma menelepon ku.

“Hey” “Perché?”-kenapa?” “Mi annoio”-aku bosan” sebuah perubahan rencana terlintas di otak ku. “Adesso vieni a prendermi”-Jemput aku sekarang- “On my way, sir”

Ya, aku sempat ke Rooftop gedung ini. Dan ya, aku sudah mengotak-atik kamera pengawas kemudian memasang bom di atap gedung ini. Terdengar simple? Memang. Jika kau sudah memanipulasi pihak atasan, yang di bawahnya bukanlah masalah. Dan bukan rencana ku untuk meledakannya sekarang.

Namun melihat Hanma sekarang berbicara dengan resepsionis wanita itu membuat ku kesal. Ku panggil namanya, dan ia mengucapkan terima kasih kepada resepsionis wanita itu.

Apa yang membuatku marah? Jelas sekali kau bisa lihat wajah si wanita yang berusaha menggoda Hanma itu! Tapi jelas Hanma tidak akan menyadarinya, di cukup buta soal hal seperti ini.

“Bagaimana diskusi tadi?” tanya Hanma sembari mengendarai Lycan Hypersport miliknya.

“Lancar seperti biasa”

Duar!

Terdengar suara ledakan dari gedung yang kami datangi tadi.

“Lalu kenapa kau ledakan?”

“Resepsionis wanita itu menjijikan”

“Apa ini? Kau cemburu?”

Matamu! “Tidak. Hanya saja aku tidak menyukainya”

Ia hanya tertawa.

Selanjutnya? Kami makan siang di suatu restoran mahal. Kembali bercerita, tidak, maksudku Hanma yang bercerita tentang banyak hal. Aku hanya menyimak sepeti seorang kakak yang mendengarkan adiknya bersemangat ketika bercerita.


Ketika rencana ku sudah hampir sempurna, aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam mansion bersama Hanma. Lebih banyak melakukan kegiatan rumah selama 1 bulan lebih.

Kegiatan apa? Ya kadang kami bermain bilyard, bowling, golf, dan beberapa hal lainnya. Namun ada satu hal absurd yang ku lakukan bersama Hanma. Bersih-bersih mansion. Jangan tanya, itu permintaan Hanma. Awalnya juga ku tolak, namun ia keluarkan seribu satu jurus meluluhkan hati seorang Kisaki, akhirnya aku menyerah dan mengikuti kemauannya.

“Ngapain sih Han kita bersihin mansion begini?”

“Gabut”

“Gabut mu absurd

“Tapi seru kan?”

“Matamu seru! Kamu kira cicak lompat ke muka ku itu seru!?”

“Ekspresi panik mu lucu” ia tertawa lepas.

Entah kapan terakhir kali aku memikirkan Hina. Sepertinya aku sudah terlalu fokus pada kondisi ku yang sekarang.

Kami duduk di ruang tamu menonton berita di televisi dengan camilan masing-masing di tangan.

“Hey menurutmu dia akan mati?”

“Jelas sekali, ia tidak pandai menyembunyikan aksinya”

“Menurutku ia akan menyuap pemeritah”

“Taruhan?”

“Harta ku harta mu juga, sama aja boong”

“Ya udah jangan taruhan uang”

“Taruhan apa?”

“Jadi babu satu hari”

“Ya elah babu doang”

“Pake maid outfit yang ada rok nya itu loh”

“Deal”

Sialnya, aku kalah.


Rencana terakhir ku terlaksana, pemenggalan para tetua-tentu saja Hanma yang memenggal-. Namun satu hal yang menghalangi ku keluar, sisa orang yang sekarat. Mereka berusaha menahan ku di ruangan penuh granat itu. Mencoba membawa ku mati bersama mereka dan tetua mereka.

Ku harap Hanma tidak datang, jangan sampai ia terluka. Namun aku tidak mau mati.

Tak ku duga, beberapa detik sebelum ruangan penuh granat tersebut meledak, Hanma menerjang masuk ke dalam ruangan itu mencoba menarik ku keluar. Telat sedetik saja Hanma yang akan menggantikan posisi ku mati saat itu. Untungnya ia berhasil menyelamatkan diri juga dari sana, walau sedikit luka kecil.

Setelah itu kami kembali ke Jepang. Ku harap kami masih bisa sebahagia ini, namun sekarang aku harus fokus terhadap Hina.

Tak bisa ku tahan rasa semangat ku untuk melamar Hina nantinya. Aku yakin Hanma menyadarinya.

Kami menetap di kediaman keluarga Hanma. Kenapa? Karena aku sudah sangat terbiasa di sana, tempat ternyaman di Jepang menurut ku. Seperti rumah bagi ku.

Setelah makan malam aku menuju paviliun ku, menyiapkan berbagai hal yang sekiranya akan ku perlukan. Tak banyak sebenarnya, jadi aku menuju ke kamar Hanma mencoba mencari kegiatan bersamanya.

Namun ku lihat ia berjalan keluar seperti terburu-buru. Aku mengikutinya, awalnya ingin ku panggil, namun ketika melihat ia mulai memukuli berandalan-berandalan di gang sempit aku memutuskan untuk mengamatinya. Kelopak bunga? Lagi-lagi aku hampir menghampirinya ketika ia berteriak.

“APA BAGUSNYA JALANG ITU, KISAKI!? DIA TAK LEBIH BAIK DARI DIRI KU!”

Ingin ku keluar dari persembunyian ku dan ku pukul wajahnya ketika ia mengatai Hina jalang. Dia lebih baik dari diri mu.

“DIA TIDAK AKAN MENGIKUTIMU MASUK KE LUBANG BUAYA!”

Mataku membelalak. Seketika aku ragu dengan semua pilihan ku ini.

“Namun aku yang menerjang ruang penuh granat meledak demi menyelamatkan mu! Hiks, kenapa aku tak ikut meledak saja hari itu” ia terduduk menyandarkan punggungnya pada tembok dan mengusap air matanya seiring ia terbatuk dan kembali mengeluarkan kelopak bunga.

Kenapa, Hanma? Penyakit apa itu? Kenapa membuat ku ragu? Apa semua pilihan ku ini salah?

Ketika Hanma berjalan pulang, aku pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi pada dokter tentang penyakit itu.


Saat aku pulang, Hanma sedang tertidur. Dan aku menyuntikan sebuah obat untuk membuatnya tidak sadar selama beberapa hari.

Awalnya aku ingin langsung bertindak memanggil dokter untuk mengoperasinya, walau aku sudah tau efek sampingnya. Namun ku lakukan ini demi kebaikan mu, Hanma. Demi kebaikan aku dan Hina juga.

Namun tak ku lakukan selama tiga hari itu. Kenyatannya aku hnya duduk di samping Hanma menangisi segala keputusan ku. Bingung memilih antara teman ku atau gadis yang ku cintai.

Lagi pula kenapa harus aku Hanma? Kenapa aku di antara semua manusia yang ada di dunia ini.

Di hari ke tiga aku tidak menyuntikkan obat lagi, dan akhirnya ia bangun. Aku mengawasinya diam-diam berjalan gontai menuju ruang makan dan memakan segalanya yang ada di meja makan seperti orang kesetanan.

Ia memuntahkan semuanya bersamaan dengan beberapa kelopak bunga dan ia pukul dadanya.

Ingin ku kesana, memeluknya meminta maaf tak bisa membalas perasaanya. Namun aku terlalu takut.

Aku agak lega ketika ia akhirnya cukup tenag untuk makan perlahan.


Ke esokannya kami bertemu saat sarapan, aku berusaha memasang wajah se netral mungkin dan ber akting seolah aku tidak tau apa-apa.

“Kemana saja diri mu tiga hari ini?”

“Hm? Ada kok di kamar”

Jujur ya. “Paviliun mu terkunci, ku ketuk tak ada jawaban” “Pergi kemana kamu tiga hari?”

“Hehe, marathon anime” ucapnya dengan cengiran cerianya.

Kau berbohong. “Hahh. Setidaknya jawab ketukan ku. Kalau begini rencana ku tak aan berjalan lancar dan kau tidak akan mendapat keseruan lagi dari ku” Apa yang ku katakan !?

“Ku kira kau ingin mengurus semuanya sendiri”

“Tidak lah” “Aku masih membutuh kan mu” Masih!? Astaga mulut ini!

Sepertinya aku sudah gila. Aku butuh pelampiasan, mungkin. Ahh aku ada ide. “Ikut aku besok”

“Ke?”

“Akan ku tunjukan sesuatu yang seru” sekaligus melepas stres ku.

“Hmm ok”

Kami makan dalam diam. Aku masih bimbang dengan pilihan ku ini. Jika aku benar-benar mencintai Hina, aku bisa lebih mudah menyingkirkan Hanma. Namun ada sebuah rasa yang menahan ku untuk tidak melakukannya.

Aku tak mau melukai perasaanya. Namun bagaimana dengan perjuangan ku terhadap Hina selama ini. Apa semuanya sia-sia?

Hanma kembali ke paviliunnya, berbaring di atas tumpukan kelopak bunga di lantainya. Aku tidak tau kenapa ia melakukan itu, namun dari gerak geriknya dapat ku lihat ia menahan sakit di dadanya dan nafasnya tersengal.


Malam kembali menyapa, aku masih berlomba dengan waktu untuk mengambil keputusan. Ku lihat ia kembali keluar malam ini. Melampiaskan emosi lagi? Sepertinya.

Benar. Sekarang ia tertawa miris pada orang-orang di bawah kakinya, dan mungkin pada dirinya sendiri.

“Tak bisa kah kau bahagia karena diri ku, hei kisaki”

Selama ini aku bahagia karena diri mu, Hanma. Namun siapa pemilik hati ini pun aku tidak tau. Aku tak ingin mengatakan aku mencintai mu dengan asal, itu tak akan menyembuhkan mu.

Setelah menghabisi semua lawannya, ia kembali terbatuk di sertai dengan darah. Di teguknya 5 butir obat secara langsung.

Sebegitu menyiksanya kah sakit itu Hanma?


Ke esokannya sesuai perkataan ku, ia mengantarku ke sebuah jalan. Ia tidak mengetahui tempat ini. Namun jelas ia mengenali dua wanita yang tengah berbincang di pinggir jalan ini.

Aku memintanya untuk melajukan motornya dengan cepat, ku angkat tongkat pemukul ku mengancang-ancang untuk memukul kepala si pirang.

Tepat sasaran.

Rasanya sedikit menyenangkan namun tidak melegakan. Dapat ku lihat Hina yang terjatuh lemas, kenapa? ia hanya teman mu kan? Kau masih punya aku.

“Seperti bukan dirimu saja”

“Hm? Memangnya kenapa? Seru kan?”

“Iya, tapi aku tidak tau kau mau mengotori tangan mu sampai segitunya”

“Aku ingin mencoba bagaimana rasanya” ku tunjukan cengiran ku untuk menutupi perasaan kesal ku.

Kami kembali ke kediaman Hanma dan aku terus memasang senyum ku untuk menipunya.


Bulan Desember, salju telah turun. Namun keputusan ku masih tak ada yang berubah, aku masih terus bimbang berlomba dengan bunga di paru-paru Hanma. Beberapa minggu setelah kematian Emma aku terus memerintahkan Hanma untuk mengawasi Hina.

Tanggal 28 Desember malam, aku semakin gila memikirkan hal ini. Pengambilan keputusan ku sangat payah. Sudah lah, kembali ke rencana awal. Abaikan Hanma seperti biasa. Aku memaksa diri ku sendiri.

Tanggal 29 Desember, ku lamar Tachibana Hinata. Aku berlutut dengan satu kaki mengeluarkan kotak cincin dari saku ku, mengambil tangan Hina.

“Hina, menikahlah dengan ku. Sudah ku tunggu momen ini sejak kita pertama kali bertemu”

Namun ia menamparku. Wajah ku memerah karena tamparannya, namun ia malah menangis terduduk memegang dadanya di tanah .

Kelopak bunga keluar dari mulutnya.

Hah? Hina? Tak cukup Hanma, sekarang Hina juga.

Aku terdiam mencerna apa yang terjadi ketika ia berteriak pada ku.

“Jika kau benar-benar mencintai ku selama itu, KENAPA KAU TIDAK TERKENA PENYAKIT SIALAN INI!?”

Kau benar? Kenapa? Apa aku selama ini menipu diriku sendiri? Apa selama ini yang ku cintai adalah Hanma?

“Rasanya menyiksa tau. Kau membunuh orang yang ku cintai. SEKARANG AKU TERSIKSA AKAN PENYAKIT INI DAN TAK AKAN PERNAH SEMBUH KARENA AKU TAK TAU BAGAIMANA PERASAAN ORANG YANG KU CINTAI KARENA IA SUDAH MATI!”

Ku dengar suara terjatuh dari belakang ku. Ku lihat Hanma yang terjatuh di tanah dengan tangan penuh darah dan beberapa kelopak bunga di tangan dan bajunya.

“Kau...”

“Bukan kau saja yang merasakannya Hinata. Aku juga begitu. Namun sayangnya aku hanya dapat bergantung pada Kisaki”

Kau berbohong. Agar aku tak tau? Atau untuk menenangkan Hina?

“Kau seharusnya bilang dari awal, Hanma!” Tidak, bukan itu yang ingin ku katakan. Aku sudah tau, namun aku mengatakannya agar ia tidak semakin sakit hati mengetahui fakta bahwa aku yang masih bimbang memilih dirinya atau Hina. “Hinata, ku saran kan kau melakukan operasi sekarng” jika kau masih mau hidup, namun engan jalan yang menyakitkan. “Dan Hanma, kita ke rumah sakit sekarang”

Aku membopong tubuhnya dan membaringkannya di kursi belakang mobil ku. Sesampainya di rumah sakit Hanma langsung di masukkan ke kamar rawat inap dan aku mengurus segala hal yang di perlukan. Setelah selesai aku ke kamar rawat Hanma dan berbincang dengannya.

“Kau harusnya bilang bodoh”

“Ya mau gimana lagi, aku tak ingin kau merasa bersalah kepada ku karena mencintai resepsionis wanita di gedung yang kau ledakan karena kau tidak suka dengannya waktu kita di Itali”

Bohong. “Kalau begitu operasi saja bunga-bunga sialan itu” skakmat!

“Tidak! Aku tak akan kehilangan perasaan ku hanya demi bertahan hidup!”

“Lalu bagaimana!? Aku juga membutuh kan mu!” Tidak! Bukan itu maksud ku!

Aku terlalu bimbang dengan semua ini. Aku ingin mencintai Hanma, tapi aku tidak tau apa yang dapat membuktikan itu. Aku hanya dapat menganggapnya sahabat. Aku tak mengerti apa itu cinta. Seperti apa itu?

Hanma menyukai kerusuhan-kerusuhan yang ku buat kan? Aku tak ingin berjuang sendiri di dunia ini jika Hanma mati, kehilangan sahabat, tak punya orang tercinta itu menyedihkan.

Aku akan mati. Akan ku nyatakan perasaanku pada dirinya nanti. Jika ternyata perasaan ku ini benar cinta, pasti ia akan sembuh dan bebas dari belenggu bunga itu, ia masih bisa melanjutkan hidup tanpa ku. Namun jika ternyata perasaan ku ini hanya sebatas sahabat, maafkan aku Hanma, aku akan mati bersama dirimu.

“Jika kau bersikeras untuk tetap mati, baiklah. Tanggal 30 tengah malam datang lah ke lahan kosong di perbatasan Tokyo dan Yokohama. Akan ku beri kau hadiah terakhir dari ku di sana”

“Baiklah”


Aku berusaha mencari benda itu, walau harganya mahal sekali pun aku tidak peduli. Ku dapatkan benda itu dan ku pasang di tengah kota Yokohama. Dengan ini pasti aku akan masuk neraka.

Sampai sini suratku, Hinata. Sekarang aku berada di lahan kosong itu, mungkin sudah mati. Permintaan ku adalah: 1. Kubur Hanma di sampingku dengan cincinnya 2. Ganti nama ku menjadi Shuji Kisaki, dan sudah menikah dengan Hanma 3. Aku ingin di kubur bersama cincin ini Jika saja Hanma ingin hidup di dunia ini lebih lama lagi, dan bahkan jika ia menikah, aku tak maslah. Ini lah pilihan ku. Anggap lah ini hukuman ku, terpisah antara hidup dan mati dengan dirinya


Sekarang aku tinggal menunggunya di taman ini. Kira-kira Hina membacanya sekarang tidak ya? Maaf Hanma. Aku memutuskan untuk mati sepertinya. Toh kita bisa ketemu kan di akhirat nanti. Jika nanti aku tak selamat, tak sempat menyelamatkan diri, ku harap kau hidup dengan baik.

Ia datang dan terlihat agak bingung karena belum menemukan ku.

“Hanma”

“Jika kau di sini untuk membunuh ku, ku mohon jangan kotori tangan mu dengan darah ku. Aku tidak akan menyukainya” aku memasang kuda-kuda bersiap akan apapun yang akan terjadi.

“Apa-apaan sih” apa yang ada di pikiran mu itu Hanma, konyol sekali. “Kau tau Miniature Rose?”

“Jika maksudmu bom dengan daya ledak besar dan indah itu, ya aku tau”

“Aku memasangnya di puast Yokohama tadi pagi” Hanma terlihat kaget.

“Kau gila! Bagaimana jika polisi menangkap kita!?”

“Itu tidak akan terjadi” senyum ku. “Pengendalinya ada pada ku” “Terima lah hadiah terakhir ku untuk mu, Hanma” ia menekan tombol itu.

Bom akan meledak dalam waktu 1 menit

Aku mencium Hanma.

Ku harap ini lah namanya cinta yang sebenarnya. Ku harap aku sebenarnya mencintai Hanma.

Aku memperdalam ciuman kami. Ia terlihat kaget ketika aku bergulat lidah dengannya.

Bom tersebut sudah meledak, aku langsung memutus ciuman kami dan mendorong Hanma menjauh sekuat tenaga karena dapat ku rasakan racun yang mulai menyebar sudah masuk ke dalam tubuhku, aku terlambat.

Setidaknya ia berada di luar zona racun ini.

“AKU MENCINTAI MU, HANMA!” ia terlihat masih mencerna semuanya. “Aku baru sadar aku mencintaimu semenjak kejadian aku melamar Hinata. Ia menampar ku lagi dengan kata-katanya” “Dan ketika aku sadar kau mengidap penyakit yang sama dengan Hinata, aku baru sadar kau juga mencintai ku. Namun kau berbohong, karena kau takut kehilangan diri ku”

Dapat ku rasakan bahwa asap itu sudah berkumpul membentuk mawar di udara.

Ini lah saatnya

“Ini lah lamaran ku” “Menikah lah dengan ku, Hanma” “Tak perlu lagi sebatas pacar, kita sudah mengenal satu sama lain sangat lama”

Jujur saja aku sebenarnya agak gugup mengucapkan itu. Padahal saat melamar Hinata aku tidak gugup sama sekali.

Aku memasangkan cincin emas putih di jariku bertuliskan nama Hanma, dan ku lemparkan cincin emas putih bertuliskan nama ku ke arah Hanma.

“Dengan ledakan dan mawar asap ini sebagai bukti cinta ku dan bukti lamaran ku padamu” ia memasang cincin itu di jarinya. “Hanma, Your my love, my life, my beginning”

Ia berusaha mendekatiku. “Jangan mendekat!” “Jika kau mencintai ku, jangan mendekat barang satu langkah pun!” Aku minta maaf.

“Maka kemari lah diri mu!” Ia menangis.

Kumohon, sayang, jangan menangis. Kau membuat ku ingin memelukmu.

“Aku tidak bisa. Racun ini sudah masuk ke dalam tubuh ku” “Sedih rasanya harus berpisah saat aku baru menyadari perasaan ku. Mungkin ini lah hukuman dari Tuhan untuk ku” “Mulai sekarang aku akan mati dengan nama Shuji Kisaki”

“Kita belum menikah, bodoh! Kemari lah! Kita akan menikah di masa depan!”

Jangan membuatku berangan-angan akan hal itu. “We can't!” “I'll see you in hell someday” “And when we see each other, let's get married in hell” “Let's waltzing together on top our sin” “Ini lah hadiah ku untuk mu Hanma. Bernapaslah dengan bebas, hidup lah selama yang kau mau dengan membawa nama ku”

“Ini tak membuat ku bahagia, Kisaki!”

Aku tau, Hanma. Aku juga ingin bersama mu lebih lama lagi.

“Ketika kau mati nanti Shuji Kisaki akan menyambut mu sebagai mempelainya di neraka”

“I love you, Kisaki. So please let me hug you”

I want to hug you too, tapi bagi ku sekarang hidup mu jauh lebih penting Hanma. Biarkan ini menjadi pengorbanan pertama dan terakhir ku untuk mu. “Aku tak ingin kau ikut mati bersama ku sekarang Hanma. Kau berada di luar batas zona menyebar racun dari bom ini. Jadi jangan mendekat dan biarkan aku mengucapkan semua kalimat terakhir ku”

Ku tari nafas dalam-dalam, berusaha menahan sakitnya racun yang menyebar ini. “Aku ingin nama ku di ubah menjadi Shuji Kisaki. Dan aku ingin di kubur di samping mu nantinya. Bawa juga cincin itu ke liang kubur mu, supaya aku dapat mengenalimu di neraka nanti”

Jujur saja aku sendiri tak yakin kau akan masuk neraka. Kau berbuat dosa karena aku, kau tak sepenuhnya salah.

“Ketika aku masuk neraka nanti...hiks, siap kan pernikahan kita dengan baik”

“Tentu saja”

“Jangan lupakan perjanjian kita hari ini” “Walau seharusnya aku yang melamar mu”

“Maaf ya, aku mencuri kesempatan mu untuk melamar ku” waktu ku tak banyak Hanma, maaf.

“Tak apa, yang penting kita bisa bersama” senyum ku menenangkannya walau mata ku berkata yang sebaliknya.

“Ini sisa tenaga terakhir ku, Hanma” “Ku tegas kan sekali lagi” “Shuji Hanma, you are my life and death love” setelah itu aku tak dapat merasakan kaki ku dan ambruk ke tanah.

kesadaran ku masih ada namun suara ku tak dapat mengutarakan pikiran ku.

Ku tutup mataku, menikmati siksaan dari racun yang menyebar di tubuhku ini.

Setidaknya aku sempat mengutarakan perasaanku. Ini egois, tapi ku harap kau segera menemaniku di sini.

Until that day, i will prepare our wedding

Note!: -Characters death -Ini bxb/gay dan ada selipan gxg/lesbian nya sedikit. Jangan salah lapak! -Slight nsfw (?) (kiss scene) -Alcohol! -Suicidal thought -Killing -There`s some broken italian and english -Kalo ada typo mohon maaf -Angst, sickness -Hanahaki disease -All characters belong to Ken Wakui

Perlu bikin secreto gk sih? Coba nanti di bikinin.

Anyway, enjoy! Prepare the tissue if you need it(๑ơ ₃ ơ)♥


Ini cerita dari sisi seorang Shuji Hanma, sebelum aku mati dan menikah di neraka nanti

Ya, cerita ini ku tulis sebelum aku di hukum mati. Mungkin ini dapat menjadi bukti bagi para penyidik.

Tidak masalah, aku sudah kehilangan segalanya. Ungkapkan semua dosa-dosa ku-kami kepada dunia. Anggap lah itu sebagai bukti cinta ku kepada Tetta Kisaki, Shuji Kisaki.

Maka dari itu akan ku ceritakan dosa terakhir kami sebelum kami bersatu di neraka.


1 Tahun yang lalu

Di usia kami yang ke-25 kami sudah menjadi penjahat unggul, otak di balik kejahatan-kejahatan besar.

Ini menyenangkan.

Bersama Kisaki, ini menyenangkan. Ia membawa kebahagiaan dalam hidup ku. Perasaan yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Kenikmatan di balik jeritan kesakitan. Perasaan yang tak dapat diberikan oleh orang lain.

Entah sudah berapa kali aku berpikir seperti ini. Beruntungnya aku dapat bertemu Kisaki. Walaupun menurut orang lain itu merupakan sebuah kesialan bagi mereka.

Dan sekarang kami sedang berada di Italia, tempat banyak mafia berkumpul. Ku tau Kisaki akan menyiapkan kejutan lain yang tak akan membuat ku pernah bosan. Ia berdiri di depan ku dengan penuh aura keyakinan seorang pemimpin, mengeluarkan kata demi kata yang mempengaruhi para petinggi untuk mengikuti permainannya.

Aku? Aku hanya bertugas menjaganya. Bidak terakhirnya. Hanya seorang anjing yang menjaga pemiliknya, kebahagiaan miliknya.

“Hanma, kau menemukan informasi lain tentang Hina sekarang?”

Ya, ia kebahagiaan ku. Namun bukan orang yang mencintai ku.

“Ia hidup bersama dengan adiknya, pekerjaannya sebagai guru di salah satu taman kanak-kanak. Setelah putus dengan Takemichi saat SMA ia tak pernah memiliki kekasih atau teman yang sangat dekat dengannya. Namun baru-baru ini orang banyak yang melihatnya berteman dengan Sano Emma”

“Harta ku sudah cukup, seluruh persiapan ku sudah siap. Aku akan melamarnya tahun depan”

Aku terbatuk, karena kaget dan tenggorokan ku juga terasa tergelitik. Aku menutup mulutku dengan bagian dalam telapak tangan ku.

Kelopak bunga.

Aku menyembunyikan tangan ku.

“Baiklah, jika itu rencana mu” “Namun jangan lupakan bayaran untuk ku”

“Apa?”

“Tunjukan lagi kepada ku bagaimana serunya menjalani hidup ala Tetta Kisaki”

Ia tertawa kecil “Tentu saja, sobat”

Dadaku terasa nyeri. Nafasku tak lancar. Sial sekali diriku. Dari segala penyakit yang ada di dunia, kenapa harus penyakit ini?

Aku tidak mencintainya! Aku pun tau dari awal aku tak akan pernah mendapatkannya. Aku sudah membatasi diriku, namun kenapa perasaan ini tetap berhasil muncul.

“Aku akan berbincang dengan para tetua, kau amati pergerakan orang yang sekiranya dapat menghambat” ucapnya menatap ku kemudian pergi menjauh.

Aku membuang kelopak bunga tersebut sembarang dan bergerak menjauh.

Sekarang bagaimana mengatasi penyakit ini? Tidak, aku masih bertugas. Ku pikirkan itu nanti.

Sedikit lagi gedung ini akan meledak dan geng amatir yang di pengaruhi oleh Kisaki akan menyerbu. Aku harus bersiap melindunginya.

Ketika meledak sebagian gedung tersebut, para tamu berhamburan menyelamatkan dan melindungi diri masing-masing. Para tetua langsung lari melalui jalur rahasia yang hanya mereka ketahui. Aku langsung menuntun Kisaki mengikuti jalur pelarian kami.

Setelah kami aman, Kisaki menekan tombol untuk menfaktifkan bom lain yang ia pasang diam-diam dalam gedung. Kemudian kami kembali ke mansion kami yang kami dapatkan dari salah seorang mafia yang berhasil ku bunuh, dan dengan kecerdasan Kisaki, ia mengambil alih seluruh hartanya.

“Mandi lah Hanma” “Hari ini berjalan lancar sesuai perkiraan. Kita tinggal menggiring para tua bangka itu untuk masuk perangkap dan dunia bawah Italia akan menjadi milik ku”

“Kau juga bersihkan diri mu, kemudian ke ruang makan. Aku yakin kau tidak puas dengan hidangan di pesta tadi, selain wine yang mereka sediakan” aku menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan malam yang sebenarnya sudah sangat terlambat.

“Kau benar”

Ia berjalan ke ruangannya setelah melepadkan jas abu-abu bergaris miliknya. Aku menatap kepergiannya hingga tertutup pintu kamarnya. Baru lah aku masuk ke kamarku.

Kelopak bunga yang ku tahan sedari tadi baru lah ku keluarkan. Banyak sekali. Nyeri dan sesak ku pun semakin terasa kuat. Ku putuskan untuk membersihkan diri ku dan turun untuk makan.

Lagi-lagi ku pikirkan bagaimana nasibku nantinya di bawah aliran air shower ku tertunduk.

Aku menuju ruang makan dengan bathrobe abu panjang berbahan cotton. Namun ternyata ia sudah memulai makannya terlebih dahulu.

Bodohnya. Berharap apa diriku ini.

Rambut basahnya yang menawan, matanya yang memancarkan intimidasi, dan gerakannya yang tenang namun tegas. Indah bagi ku pemandangan di hadapan ku.

Sial, tak dapat ku sentuh.

“Apa kau akan terus berdiri seperti itu?”

Ia menyadari kehadiran ku di belakangnya, namun ia tidak berpaling dari makanannya. Sesak.

“Biasa, pikiran ku mulai menggila” aku duduk di kursi ku

“Apa? Kau ingin menyentuh ku?” ia mengangkat sebelah alis matanya menggoda bercanda.

Jika saja dapat ku jawab iya.

“Tak sudi bahkan ku menyentuh kulit mu” balas ku menyeringai menggoda.

Andai dapat ku pojokan dirinya, dan mengukung kedua tangannya membuatnya tak berkutik dalam kendali ku.

Ah iya, harusnya aku bisa melakukan itu karena fisik lemahnya, namun percuma itu tidak dapat menyembuhkan penyakit ku, bahkan kebahagiaan ku terancam sirna.

“Dude, stop whatever you thinking, let's grab some Devil Springs-merk Vodka dengan kadar alkohol 80%–. You look so stressful”

Kalo sambil ngerokok mungkin bisa matiin bunganya, rokok kan merusak paru-paru. Pikir ku bodoh.

“Hate to agree with you” “But, you sure you can take it?”

“Maybe just a one shot-satu gelas kecil yang biasanya untuk minum alkohol-”

“Alright i'll go get'em”

Aku melangkahkan kaki ku ke gudang penyimpan minuman di mansion itu. Sedangkan Kisaki pergi ke rooftop menunggu ku.

Ku ambil minuman berkadar alkohol tinggi tersebut, dan sejujurnya tangan ku gemetar. Bagaimana jika mulut ku tak terkontrol dan membocorkan satu rahasia yang ku simpan selama ini. Pastinya Kisaki akan membatasi dirinya dengan ku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin menghabiskan saat-saat terakhirku di sampingnya.

Sesampainya di rooftop yang ku lihat adalah Kisaki yang tersenyum kearah ku, memegang dua buah gelas sloki-gelas kecil yang biasanya digunakan untuk meminum alkohol-. Senyumnya terasa lembut, ah jika saja kami adalah pasangan pada saat itu aku pasti akan menghampirinya dan mencium bibirnya lembut.

Namun sayangnya itu hanya angan-angan ku saja. Aku berjalan mendekat juga membalas senyumnya dan menuangkan Devil Spring yang diinginkannya ke dua gelas sloki di tangannya.

Kami mengadukan gelas kami mengeluarkan suara dentingan kecil kemudian menyesapnya sedikit dari Vodka tersebut. Hanya sedikit sesapan dari Vodka itu sudah membuat ku merasa pusing. Ku nyalakan rokok ku dan bersandar di balkon, angin malam tak terasa dinginnya kala itu. Kepala kami sudah berputar hanya dengan sesesap Vodka tersebut.

“Kau tau Hanma? Kau bisa menceritakan apa yang menggangumu”

“Itu tak bisa diceritakan begitu saja Kisaki. Walau Vodka mempengaruhi ku” ucap ku sembari mengeluarkan asap rokok dari mulut ku.

“Sepertinya dalam sekali, hingga-hingga tubuhmu dalam kondisi tak sadar pun masih bisa menutupnya rapat-rapat”

“Memang, tapi tenang saja ini tidak ada kaitannya dengan rencana mu. Jadi kau tidak perlu khawatir”

“Hanma...kenapa kau bertahan sejauh ini?”

“Ku bilang kan, kau menunjukkan keseruan dari kehidupan”

“Lalu jika aku menikah nanti, kita pasti akan berpisah. Dan aku mungkin akan keluar dari dunia kejahatan”

“Ku rasa saat itu aku akan menjadi gelandangan, anjing yang kehilangan tuannya”

Ia tertawa “Bekerja lah untuk ku jika kau tidak punya tujuan” senyum mengembang di wajahnya.

Sial sekali diri ku ini.

Ku nyalakan lagi sepuntung rokok “Dalam mimpi mu”

Dan sisa malam itu kami pakai untuk bercerita mengenang masa lalu. Lebih tepatnya aku sedang sibuk memandangi dirinya, dan jangan lupakan kami masih meminum cairan alkohol itu walau sedikit demi sedikit.

Kisaki sudah hangover lebih dulu dibandingkan dengan diri ku yang masih setengah sadar. Ia duduk di sofa kemudian tertidur. Ku biarkan ia tertidur sebentar di sana, setelah rokok ku habis ku hampiri dirinya. Ku pastikan ia tertidur dan ku gendong layaknya seorang pengantin ke kamarnya.

Bathrobe mengekspos dada dan perut bagian tengah pemuda dalam gendongan ku. Aku menelan ludah ku berkali-kali berusaha menahan nafsu ku.

Ku baringkan tubuhnya di kasurnya dan hendak beranjak pergi karena aku sudah tak kuasa menahan kepala ku yang berputar. Namun tangannya menahan ku.

“Hanma temani aku, kau sahabat ku bukan?” ucapnya dalam tidurnya.

Aku duduk di sampingnya, tangannya masih menggenggam ku erat. Ku lepas kacamatanya dengan satu tangan ku dan menaruhnya di meja nakas. Ku sibak juga poninya menampilkan wajah manisnya yang tertidur tenang.

Namun bunga itu keluar lagi dari mulut ku, mengingat kan ku akan penyakit ku dan perasaan kami yang tak sama. Ku remas kelopak bunga dalam genggaman ku, membungkusnya dengan tisu dan melemparkannya ke tempat sampah.

Aku berbaring di samping Kisaki dan ikut tertidur dengan tangannya yang mansih menggenggam tangan ku. Biarlah ia melihatnya saat bangun, toh ia duluan yang menggenggam tangan ku dengan erat.


Di luar dugaan ku, ternyata saat ia terbangun tidak ada reaksi apapun. Dan kami beraktifitas seperti biasa. Ia selalu pergi sendiri dan aku menunggunya di rumah.

Aku tidak ikut dengannya? Tidak. Jika ia tidak membawa ku berarti ia hanya melakukan negosiasi sana-sini untuk menjalankan rencananya dan tidak beresiko melukai dirinya.

Kelopak bunga, lagi.

“Sial, aku merindukannya”

Aku mengambil handphone ku dan menelepon Kisaki.

“Hey” “Perché?”-kenapa?” *“Mi annoio”-aku bosan” “Adesso vieni a prendermi”-Jemput aku sekarang- “On my way, sir”

Aku segera mematikan telepon kami dan bergegas menuju ke mobil Lycan hypersport yang biasanya ku gunakan dan langsung menuju ke daerah yang sudah di kirimkan oleh Kisaki.


Aku turun dari mobilku dengan tatanan rambut menyamping dan kaca mata bertengger di batang hidung ku. Ku tenteng jas hitam ku, menampilkan diri ku dengan kemeja tiga kancing terbuka dan celana panjang hitam.

“C'è Ranallo-nama samaran Kisaki di Italia-per favore ?”-apakah Ranallo ada di sini?”

“Sì, è qui”-ya, dia ada di sini-

“Verga”-nama samaran ku di Italia-aku menengok kebelakang mendapati Kisaki yang berjalan kearah ku

“Grazie signore”-terima kasih nona-ucap ku kepada resepsionis wanita tersebut dan berjalan pergi bersama Kisaki.

“Bagaimana diskusi tadi?” tanya ku sembari menyupir.

“Lancar seperti biasa”

Duar!

Terdengar suara ledakan dari gedung yang mereka datangi tadi.

“Lalu kenapa kau ledakan?”

“Resepsionis wanita itu menjijikan”

“Apa ini? Kau cemburu?”

“Tidak. Hanya saja aku tidak menyukainya”

Tentu saja, bodoh lagi diri ku mengharap kan lebih. Ku ukir senyum ku perlahan sembari menatap jalan.


Semua persiapan sudah selesai menurut Kisaki, sekarang tinggal menunggu hasilnya. Selama 1 bulan lebih kami mengurung diri di mansion sambil mendengarkan saluran berita di televisi atau mendengar berita lewat radio yang kadang kami putar sembari bermain bilyard dan bertaruh apa lagi yang akan terjadi selanjutnya.

“Ku bilang kali ini gedung yang ada di tv itu akan meledak dalam 3 menit” ucapnya percaya diri sembari mengangkat gelas sloki berisi Chivas Regal Mizunara-Whiskey dengan kandungan alkohol 40%-miliknya.

“Wah dapat berita dari mana lagi kau?” ucapku sambil menyundul sebuah bola bilyard yang sudah ku perhatikan sedari tadi.

“Tentu saja para tua bangka itu”

“Sepertinya rencana ini berjalan lebih cepat dari yang kita perkirakan”

“Tak apa, dengan begitu aku bisa cepat pulang dan melamar Hina”

Apa hanya dia yang ada di pikiran mu? Tak terbesit kah diri ku di hati mu?

“Masih sangat gigih ya dalam mendapatkan hatinya”

Tidak, bunga-bunga ini kembali berulah. Nafasku sesak kembali. Namun ku usahakan untuk menjaga gerakan tubuh ku agar tetap normal supaya Kisaki tidak curiga. Ah, nyeri dada ini malah ikut kambuh memper buruk keadaan.

“Jelas, akan ku bawa dia berkeliling eropa nantinya”

Itulah impiannya bersama gadis bernama Tachibana Hinata yang ia harap kan bernama Tetta Hinata. Apa aku serius sudah tidak mendapatkan kesempatan lagi menduduki posisi khusus di hati mu?


Setelah rencana terakhir Kisaki, yaitu pemenggalan para tetua mafia-jelas aku yang memenggal mereka-berjalan, kami langsung pergi ke bandara untuk kembali ke Jepang.

Wajahnya berseri sepanjang perjalanan. Kebahagiannya akan rencananya begitu terpancar.

Kami menetap di kediaman keluarga ku yang cukup luas dan bernuansa tradisional. Ia sudah terbiasa berada di kediaman ku, setelah ia mengganti bajunya dan menyelesaikan makan malam ia langsung menurung diri di paviliunnya menyiapkan kembali rencananya.

Sedangkan aku, mengurung diri di paviliun ku menjerit tanpa suara karena siksaan taman bunga di paru-paru ku ini. Ingin ku bunuh diri ku sekarang. Tetapi aku teringat dirimu yang masih butuh penjagaan ku. Saat itu juga ku urungkan niat ku menancapkan pisau ke jantung ku.

Air mataku mengalir deras seiring sesak di dada ku bertambah. Ku sandarkan punggung ku di tembok dan mencengkram jantung ku tak kuasa menahan sakit dari perasaan ini. Kelopak bunga pun kembali keluar dari mulut ku saat aku terbatuk.

Ku putuskan untuk keluar dari kediaman Shuji dan mencari pelampiasan.

Ku pukul setiap berandalan yang ku temukan di gang-gang sempit. Ku lampiaskan seluruh kemarahan ku pada mereka. Namun tak kunjung ada kelegaan dalam hati ku. Malah kelopak bunga itu kembali keluar dari mulut ku.

Mau apa diri ku ini? Melampiaskan seluruh amarah ku pada orang yang bahkan tak tau masalah ku.

“APA BAGUSNYA JALANG ITU, KISAKI!? DIA TIDAK LEBIH BAIK DARI DIRI KU! DIA TIDAK AKAN MENGIKUTI MU MASUK KE LUBANG BUAYA! Namun aku yang menerjang ruang penuh granat meledak demi menyelamatkan mu! Hiks, kenapa tak ikut meledak saja diri ku hari itu” teriak ku di gang kecil nan sempit itu.

Lagi-lagi ku terduduk menyandarkan punggungku pada tembok dan mengusap air mata ku seiring ku terbatuk memuntahkan lagi kelopak-kelopak bunga berwarna cerah.

“Cih! Lemah sekali diri ku ini”

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju kembali ke kediaman ku.


Aku pingsan di dalam paviliun ku selama beberapa hari. Tak ada yang sadar, tak kepala pelayan, para pelayan, maupun Kisaki. Tentu saja. Ia semakin sibuk karena menyiapkan lamarannya, kenapa aku selalu berharap lebih? Sadar lah Shuji Hanma. Ia tak akan melihat mu, walau kau mati dengan bunga memenuhi mulut mu sekali pun, kau hanyalah teman di matanya.

Di hari ketiga aku terbangun dengan kondisi yang sangat lemah dan berjalan gontai menuju ruang makan. Tak ada lagi peduli ku jam berapa ini, yang penting adalah bertahan hidup sebentar lagi.

Aku makan apapun yang ada di meja makan itu, ku masukan semuanya ke mulut. Namun tak lama setelah ku telan malah ku muntah kan lagi bersamaan dengan sebuah bunga dan kelopak-kelopaknya yang berwarna-warni.

Apa ini bayaran atas dosa ku? Jika iya, maka apa bayaran atas dosa Kisaki? Harusnya ia lebih menderita dari pada aku.

Ku pukul dada ku beberapa kali berusaha menghilangkan sesak napas dan nyeri di dada ku. Namun ku makan lagi makanan ku agar ada tenaga ku melindungi dirinya lagi, kali ini lebih perlahan.


Ke esokannya aku bertemu dengan Kisaki saat sarapan. Wajahnya terlihat biasa saja, tak ada khawatir yang ia tunjukan pada diri ku.

“Kemana saja diri mu tiga hari ini?”

“Hm? Ada kok di kamar”

“Paviliun mu terkunci, ku ketuk tak ada jawaban” “Pergi kemana kamu tiga hari?”

“Hehe, marathon anime” ucap ku dengan cengiran ceria ku yang biasa ku perlihatkan.

“Hahh. Setidaknya jawab ketukan ku. Kalau begini rencana ku tak akan berjalan lancar dan kau tidak akan mendapat keseruan lagi dari diri ku”

Ah lagi-lagi rencana brengsek ini. “Ku kira kau ingin mengurus semuanya sendiri”

“Tidak lah!” “Aku masih membutuhkan mu”

Aku merasa senang karena di butuhkan, namun kata masih itu mengurung kesenangan ku kembali.

“Ikut aku besok”

“Ke?”

“Akan ku tunjukan sesuatu yang seru”

“Hmm ok”

Aku tidak tau lagi rencana apa yang di pikirkan oleh psikopat kesayangan ku ini. Namun selama dia bahagia aku tak masalah, walau aku sendiri tersakiti. Ya, aku bodoh. Tapi kalau sudah di teror penyakit seperti ini bagai mana bisa ku menolak.

Sempat terpikir oleh ku untuk melakukan operasi pengangkatan bunga ini. Namun mendengar resikonya, kurasa lebih baik mati dari pada kehilangan perasaan ku, sepertinya itu lebih menyiksa. Kau bisa bayangkan hidup tanpa perasaan, itu seperti raga yang hidup tanpa jiwa. Aku tak mau itu terjadi. Mungkin Kisaki bisa terluka jika aku benar-benar seperti itu.

Sesudah sarapan aku kembali mengunci diri di paviliun ku. Batuk ku sudah semakin parah, nyeri dada ku juga semakin parah. Kamar ku sudah seperti taman bunga yang penuh dengan kelopak bunga. Malas ku bersihkan kelopak-kelopak itu. Berbaring di atasnya lebih menyenangkan.


Malam menyapa, aku keluar dari kediaman ku menuju tempat-tempat kecil dan memporak porandakannya. Kenapa? Meluapkan emosi ku lagi. Bisa gila diri ku jika seperti ini terus. Ah, iya. Sekalian saja gila toh aku akan mati sedikit lagi.

Aku tertawa miris pada orang-orang di depan ku, pada orang-orang di bawah kaki ku, dan pada diri ku.

Ku sisir rambut ku kebelakang “Tak bisa kah kau bahagia karena diri ku, hei Kisaki”

“Hajar dia!” ucap pemimpin gerombolan orang bertubuh kekar itu dan langsung di tumbangkan semuanya oleh ku.

“Ahh, sekarang sudah selesai. Kemana lagi ku luapkan emosi ini?”

Seketika nyeri dada ku kambuh lebih parah lagi, dan batuk kelopak bunga ku pun di sertai oleh darah. Ku teguk 5 butir paracetamol-pereda rasa nyeri, painkiller-sekaligus. Dan nyeri di dada ku berangsur mereda.


Ke esokannya adalah hari Kisaki mengajak ku pergi ke tempat yang tak ku ketahui.

Aku membonceng dia dengan motor ku dan entah kenapa ia membawa tongkat baseball. Kami berdua memakai helm dan berbelok di sebuah gang perumahan, melihat kedua wanita yang berbincang bersama di pinggir jalan dengan warna rambut jingga pucat dan pirang.

Kisaki menyuruh ku untuk mempercepat laju motor ku, ia mengancang-ancang pemukul baseball nya dan memukul wanita berambut pirang yang ku tau bernama Emma tersebut. Sedangkan si rambut jingga pucat adalah orang yang di harapkan Kisaki menjadi kekasihnya, Hinata.

Hinata terjatuh ke tanah karena shock, dan aku mempercepat laju motor ku untuk kabur bersama kisaki. Ya, perasaan senang yang t'lah lama hilang ini kembali muncul. Namun sirna dalam sekejap.

“Seperti bukan diri mu saja” ucap ku

“Hm? Memangnya kenapa? Seru kan?”

“Iya, tapi aku tidak tau kau mau mengotori tangan mu sampai segitunya”

“Aku ingin mencoba bagaimana rasanya” dapat ku lihat cengirannya dari spion motor ku.

Kami kembali ke kediaman ku dan ia terus tersenyum sepanjang hari.


Saat ini bulan Desember seingat ku. Salju jelas sudah turun. Namun itu tak pernah membekukan bunga dalam paru-paru ku yang terus tumbuh. Sudah beberapa minggu semenjak kematian Emma, dan ku pantau Hinata sesekali yang menangis di kamarnya. Padahal setau ku mereka hanya teman.

Tanggal 29 Desember sekarang, tahun baru sedikit lagi. Dan Kisaki semakin mengabaikan ku, penyakit ku semakin parah. Ia berencana melamar Hinata hari ini di taman dekat rumahnya. Aku ikut dengannya untuk mengantarnya.

Dapat ku lihat ia berlutut sengan satu kaki, dada dan paru-paru ku berulah lagi.

Ia mengeluarkan cincinnya, batuk darah dan kelopak bunga ku semakin menjadi.

Ia mengambil tangan Hinata, napas ku terengah-engah tak teratur.

Hinata menamparnya, pandangan ku kabur namun aku berusaha keluar dari mobil untuk melindungi Kisaki.

Dapat ku lihat wajah memerah Kisaki karena tamparan Hinata. Perempuan itu sekarang menangis terduduk di tanah memegang dadanya yang mungkin terasa nyeri.

Namun alangkah kagetnya diri ku ketika melihat ia juga mengeluarkan kelopak bunga dari mulutnya.

“Jika kau benar-benar mencintai ku selama itu, KENAPA KAU TIDAK TERKENA PENYAKIT SIALAN INI!?” Hinata berteriak ke arah Kisaki yang membelalakan matanya.

Tapi benar juga apa yang dikatakan Hinata. Kenapa ia tidak mengidap penyakit yang sama dengan kami jika ia benar-benar mencintai Hinata?

“Rasanya menyiksa tau. Kau membunuh orang yang ku cintai. SEKARANG AKU TERSIKSA AKAN PENYAKIT INI DAN AKU TAK AKAN PERNAH SEMBUH KARENA AKU TAK TAU BAGAIMANA PERASAAN ORANG YANG KU CINTAI KARENA IA SUDAH MATI!”

Aku tak dapat bertahan sesampainya di belakang Kisaki, tubuhku ambruk ke tanah. Hinata menatap ku, tangan ku yang penuh darah dan beberapa kelopak bunga menempel di tangan dan baju ku.

“Kau...” wanita di hadapan ku ini ikut shock begitu melihat separah apa kondisi ku.

“Bukan kau saja yang merasakannya Hinata. Aku juga begitu. Namun sayangnya aku hanya dapat bergantung pada Kisaki”

Bohong. Itu supaya Kisaki tidak curiga.

“Kau harusnya bilang dari awal, Hanma!” teriak Kisaki kepada ku, matanya penuh ke khawatiran.

Aku menyukainya, tatap lah aku lebih dalam lagi.

“Hinata, ku saran kan kau melakukan operasi sekarang” “Dan Hanma, kita ke rumah sakit sekarang” ia membopong tubuh ku.

JANGAN MEMBERI KU HARAPAN BODOH!

Aku hanya bisa terbaring di kursi penumpang dengan lemah karena sesak napas ku. Sesampainya di rumah sakit aku langsung masuk ke kamar rawat inap dan Kisaki pergi mengurus segala hal yang di butuhkan.

“Kau harusnya bilang bodoh”

“Ya mau gimana lagi, aku tak mau kau merasa bersalah kepada ku karena mencintai resepsionis wanita di gedung yang kau ledakan karena kau tidak suka dengannya waktu kita di Itali”

“Kalau begitu operasi saja bunga-bunga sialan itu”

KAU GILA! Mana biasa ku bunuh perasaan ku semudah itu.

“Tidak! Aku tak akan kehilangan perasaan ku hanya demi bertahan hidup!”

“Lalu bagimana!? Aku juga membutuh kan mu!”

KAU TIDAK! Kau hanya memanfaat kan ku!

“Jika kau bersikeras untuk tetap mati, baiklah. Tanggal 30 tengah malam datang lah ke lahan kosong di perbatasan Tokyo dan Yokohama. Akan ku beri kau hadiah terakhir dari ku di sana”

Apa lagi ini ya Tuhan. Jangan membuat ku semakin berat meninggalkan dirimu, Kisaki!

“Baiklah”


Dan semenjak hari itu ia tak pernah lama tiap kali menjenguk ku. Namun ia tetap datang setiap hari. Ku mohon diam lah di samping ku! Ajal sedang dalam perjalanan untuk menjemput ku, aku takut sendirian. Kumohon! Pegang lah tangan ku saat ia menjemput ku, Kisaki.

Hingga tengah malam tanggal 30 Desember, aku mencopot paksa selang infus ku dan menggunakan kemeja serta celana panjang yang ada di lemari ruang rawat ku dan diam-diam keluar meninggalkan rumah sakit dengan taksi menuju lahan kosong yang di maksud Kisaki dengan tergesa-gesa.

Di sini gelap, apa Kisaki ingin membunuh ku?

“Hanma” suara yang Familiar memanggilku.

“Jika kau di sini untuk membunuh ku, ku mohon jangan kotori tangan mu dengan darah ku. Aku tidak akan menyukainya” aku memasang kuda-kuda bersiap akan apapun yang akan terjadi.

“Apa-apaan sih” ia tertawa menunjukkan cengiran bahagianya.

Ada apa dengannya?

“Kau tau Miniature Rose?”

“Jika maksudmu bom dengan daya ledak besar dan indah itu, ya aku tau”

“Aku memasangnya di puast Yokohama tadi pagi” mendengar ucapannya mataku membelalak.

“Kau gila! Bagaimana jika polisi menangkap kita!?”

“Itu tidak akan terjadi” senyumannya masih sama. “Pengendalinya ada pada ku” “Terima lah hadiah terakhir ku untuk mu, Hanma” ia menekan tombol itu.

Bom akan meledak dalam waktu 1 menit

Itu adalah peringatan dari sistem untuk bom tersebut. Namun tidak ada yang mengingatkan ku tentang ini.

Kisaki mencium ku.

Dengan dalam.

Ia menahan kepala ku.

Bahkan bergulat lidah dengan ku.

Dan ketika bom itu meledak, ia melepaskan pautannya dengan bibir ku dan mendorong ku cukup jauh.

“AKU MENCINTAI MU, HANMA!” teriaknya

Sedangkan aku terdiam berusaha mencerna apa yang terjadi. Dan asap mulai membentuk mawar di udara.

“Aku baru sadar aku mencintaimu semenjak kejadian aku melamar Hinata. Ia menampar ku lagi dengan kata-katanya” “Dan ketika aku sadar kau mengidap penyakit yang sama dengan Hinata, aku baru sadar kau juga mencintai ku. Namun kau berbohong, karena kau takut kehilangan diri ku”

Ku lihat asap tersebut sudah membentuk bunga mawar.

“Ini lah lamaran ku” “Menikah lah dengan ku, Hanma” “Tak perlu lagi sebatas pacar, kita sudah mengenal satu sama lain sangat lama”

Ia tidak memasangkan cincin di jari ku. Namun ia melemparkan cincin emas putih kepada ku bertuliskan namanya di dalamnya. Itu cincin yang sama dengan yang ia kenakan dan dapat ku tebak bahwa nama ku juga terukir dalam cincinnya.

“Dengan ledakan dan mawar asap ini sebagai bukti cinta ku dan bukti lamaran ku padamu”

Aku memasangkan cincin itu pada jariku. Ingin ku bergerak dan mengeluarkan suara, namun tubuh ku masih tak mau bergerak.

“Hanma, Your my love, my life, my beginning”

Air mataku mengalir. Dapat ku rasakan bunga di paru-paru ku sirna. Hendak ku berlari memeluknya.

“Jangan mendekat!” “Jika kau mencintai ku, jangan mendekat barang satu langkah pun!”

“Maka kemari lah diri mu!”

“Aku tidak bisa. Racun ini sudah masuk ke dalam tubuh ku” “Sedih rasanya harus berpisah saat aku baru menyadari perasaan ku. Mungkin ini lah hukuman dari Tuhan untuk ku” “Mulai sekarang aku akan mati dengan nama Shuji Kisaki”

“Kita belum menikah, bodoh! Kemari lah! Kita akan menikah di masa depan!”

“We can't!” “I'll see you in hell someday” “And when we see each other, let's get married in hell” “Let's waltzing together on top our sin”

Tak bisa ku keluarkan suara ku kecuali isakan tangisan.

“Ini lah hadiah ku untuk mu Hanma. Bernapaslah dengan bebas, hidup lah selama yang kau mau dengan membawa nama ku”

“Ini tak membuat ku bahagia, Kisaki!” teriak ku namun tak dihiraukannya.

“Ketika kau mati nanti Shuji Kisaki akan menyambut mu sebagai mempelainya di neraka”

“I love you, Kisaki. So please let me hug you” isakan ku tak kunjung berhenti.

“Aku tak ingin kau ikut mati bersama ku sekarang Hanma. Kau berada di luar batas zona menyebar racun dari bom ini. Jadi jangan mendekat dan biarkan aku mengucapkan semua kalimat terakhir ku”

Kenapa kaki ini tak mau bergerak!? Ayo lah! Tuan mu, cinta mu, hidup mu dalam bahaya!

“Aku ingin nama ku di ubah menjadi Shuji Kisaki. Dan aku ingin di kubur di samping mu nantinya. Bawa juga cincin itu ke liang kubur mu, supaya aku dapat mengenalimu di neraka nanti”

“Ketika aku masuk neraka nanti...hiks, siap kan pernikahan kita dengan baik”

“Tentu saja”

“Jangan lupakan perjanjian kita hari ini” “Walau seharusnya aku yang melamar mu”

“Maaf ya, aku mencuri kesempatan mu untuk melamar ku”

“Tak apa, yang penting kita bisa bersama” senyum ku menenangkannya walau mata ku berkata yang sebaliknya.

“Ini sisa tenaga terakhir ku, Hanma” “Ku tegas kan sekali lagi” “Shuji Hanma, you are my life and death love” setelah itu tubuh Kisaki jatuh ke tanah.

Tersiksanya diri ku tak dapat memeluk jasad mu. Teriakan ku lepaskan ke udara seiring dengan asap berbentuk mawar yang sirna.

Hilangnya penyakit ini malah membawa sakit baru dalam hidup ku.

“Hiks...Kenapa kau tidak lari keluar zona racun itu” “Kenapa kau mati!?” “Kau pikir aku senang dapat bernafas bebas seperti ini tanpa diri mu di sisi ku!?” “Ini menyiksa!”

Hampir aku kelepasan akan menghampiri dan memeluk tubuhnya, namun Hinata menahan ku.

“Jangan mengacaukan permintaannya!” “Jika kau benar-benar ingin mati hidup lah barang 3 hari lagi untuk mengabulkan permintaannya!” “Aku yakin ia menyadari kesalahannya, maka dari itu ia memilih tersiksa, mati lebih dulu di banding diri mu”

Aku kembali berlutut lemas meremas tanah di bawahku. Kau tak akan mengerti, tak akan ada orang yang mengerti, bagaimana tersiksanya diri mu tak dapat memeluk jasad kekasih mu ketika ia meninggal. Dan hal lain yang membuat ku semakin sakit hati adalah ciuman tadi saat bom tersebut meledak, itu adalah ciuman pertama dan terakhir kami dalam kehidupan.

Tak dapat ku rasakan lagi dua bongkah bibir itu, tak dapat ku rengkuh lagi tubuh itu, hanya melihatnya dari kejauhan. Hancur rasanya hidup ku.


Begitu lah dosa terakhir ku, mencintai sesama laki-laki. Aku ingin tau apa para iblis di neraka akan kagum mendengar kisah kami, mungkin Kisaki menceritakannya sambil menunggu ku.

Setelah itu aku menyerahkan diri kepada polisi. Aku meminta untuk di hukum mati karena tak kuasa ku kehilangan dirinya, calon suamiku. Dan 3 buah permohonan terakhir.

  1. Aku dan Kisaki dikubur menggunakan cincin pertunangan kami
  2. Aku dikubur di sebelah Kisaki
  3. Ubah nama Tetta Kisaki menjadi Shuji Kisaki, dan tertulis di nisan. Dan status kami berdua adalah menikah, sepasang suami.

Aku tidak peduli bagaimana cara mereka mengabulkan permohonanku, apa lagi yang ke 3. Namun mereka berhasil mengabulkan seluruh permohonan ku.

Dan sekarang di sini lah aku, di hadapan tali gantung dimana kepala ku berada nantinya.

Aku memasukan kepala ku ke lengkungan tali itu dengan senyuman.

Hey Shuji Kisaki, my life and death love. I hope you've done preparing our wedding in hell


END♡