Let's get married in hell

Yang udah baca Hanma pov udh tau kan note nya apa aja, masih sama kok. Like before, prepare the tissue if you need it.(๑・ω-)~♥”


Ini adalah pesan dari Tetta Kisaki, Shuji Kisaki sebelum aku ke neraka nantinya menikah dengan suami ku

Pastinya orang yang akan membaca surat ini adalah dirimu, Hina.

Tidak, aku tidak akan bersikukuh untuk membuat mu cinta padaku, aku sudah mengetahui perasaan ku yang sebenarnya sekarang.

Kau boleh menyimpan surat ini, memberikannya pada penyidik, membakarnya, atau apapun. Namun jangan beritau Hanma tentang surat ini. Biar aku yang menceritakannya di neraka nanti, jika kami bertemu.

Alasan kenapa ku berikan surat ini padamu adalah karena hanya kau satu-satunya orang yang tau tentang penyakit Hanma. Dan aku ingin mengakui kesalahan ku, bercerita tentang pikiran ku. Namun satu-satunya orang yang mengakui adanya diri ku hanyalah kau dan Hanma. Aku minta maaf karena malah membuat mu semakin terbebani.


Akan ku mulai cerita ini dari saat kami berada di Italia, karena dari negeri itu lah semuanya bermula.

Di pertemuan para petinggi mafia, aku berdiri di hadapan para tetua-tetua yang berpengaruh di dunia mafia. Mulai ku keluarkan berbagai macam jenis manipulasi untuk memengaruhi mereka. Tujuan ku adalah menguasai dunia bawah mafia Italia.

Untuk Hina.

Ya, nama wanita yang ku inginkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Masih ku ingat sifat lembutnya, rambut jingga pucatnya, dan senyum manisnya yang selalu menyapa ku saat kami kecil dulu.

Lagi-lagi aku memikirkannya. Tenangkan diri mu Kisaki, bertahan lah sedikit lagi dan kita akan membawa kebahagiaan pada Hina.

“Hanma, kau menemukan informasi lain tentang Hina sekarang?”

Hanya Shuji Hanma sumber informasi ku tentang Tachibana Hinata sekarang, jelas karena ia adalah salah satu bidak ku. Padahal ia tau dirinya dimanfaakan, namun ia tetap mengikuti ku selama bertahun-tahun. Bodohnya.

Ia membacakan segala informasi yang ia dapatkan tentang Tachibana Hinata. Dan aku mendengarkan dengan seksama. Sano Emma. Ia menarik perhatian ku, sepertinya ia harus ku bereskan sesampainya di Jepang nanti.

“Harta ku sudah cukup, seluruh persiapan ku sudah siap. Aku akan melamarnya tahun depan”

Setelah mendengar itu ia terbatuk dan menyembunyikan tangannya. Tumben.

“Baiklah, jika itu rencana mu” “Namun jangan lupa bayaran untuk ku”

“Apa?” tumben sekali ia minta bayaran.

“Tunjukan lagi kepada ku bagaimana serunya menjalani hidup ala Tetta Kisaki” ucapnya dengan senyum mengembang di wajahnya.

Aku tertawa kecil mendengar permintaannya “Tentu saja, sobat” “Aku akan berbincang dengan para tetua, kau amati pergerakan orang yang sekiranya dapat menghambat” kemudian aku menjauhinya, melakukan pekerjaan awal ku.

Sembari memanipulasi para tetua dan orang-orang yang berpengaruh di dunia permafiaan Italia, aku menghitung mundur waktu meledaknya bom yang ada di bangunan ini.

Masih ada waktu yang tersisa, aku melihat ke arah makanan yang tersaji, namun tak ada yang menarik minat ku. Malah membuat ku mual.

Akhirnya aku pergi ke sisi lain dari ruangan itu, menghindari ledakan yang akan datang dan kembali menghitung waktu yang tersisa.

Ketika sebagian dari gedung ini meledak, para tamu dan tetua mulai menyelamatkan diri dan melindungi diri dari serangan geng amatir yang sudah ku pengaruhi. Aku ikut membaur di antara kerumunan mereka dan Hanma menarik tangan ku, menuntun kami ke jalur pelarian yang sudah kami rencanakan.

Setelah agak jauh dan aman, aku menekan tombol untuk meledakan bom kedua. Kenapa? Agar tak banyak tamu yang selamat dan sedikit saksi mata, juga karena ada beberapa musuh ku di sana.

Kemudian kami kembali ke mansion salah seorang mafia yang di bunuh oleh Hanma, dan dengan kecerdasan ku, aku mengambl seluruh hak harta miliknya.

“Mandi lah Hanma” “Hari ini berjalan lancar sesuai perkiraan. Kita tinggal menggiring para tua bangka itu untuk masuk perangkap dan dunia bawah Italia akan menjadi milik ku”

“Kau juga bersihkan diri mu, kemudian ke ruang makan. Aku yakin kau tidak puas dengan hidangan di pesta tadi, selain wine yang mereka sediakan”

Ia sangat hafal tentang diri ku rupanya.

Ia menyuruh pelayan untuk menyiapkan hidangan makan malam, walau sebenarnya sudah sangat terlambat.

“Kau benar” ucap ku sembari melepas jas abu-abu bergaris milik ku dan naik menuju kamar ku.

Benar-benar, Hanma. Bisa-bisanya ia mengetahui segalanya tentang diri ku lebih dari diri ku sendiri. Aku ingin tau apa ia benar-benar mengaggap ku sebagai teman atau lebih, atau jangan-jangan ia hanya menempel pada ku karena aku masih dapat memberikan ke bahagiaan yang ia cari, memanfaatkan ku.

Aku mulai melepas pakaian ku dan masuk ke kamar mandi, mulai membersihkan diri ku.

Namun jika ia memang benar hanya memanfaatkan ku, bukan kah itu menyedihkan? Kenapa dada ku terasa nyeri? Aku kan juga memanfaatkannya, wajar saja jika ia memanfaatkan ku juga.

Ku selesaikan acara membersihkan tubuhku dengan cepat. Ku kenakan bathrobe panjang berwarna biru tua dan turun ke ruang makan langsung memulai makan ku tanpa menunggu Hanma.

Di sela kegiatan makan ku yang tenang, dapat ku dengar Hanma yang turun dan diam di tempatnya sejenak. Kenapa ia diam saja? Duduk lah bodoh, kau juga yang memesan makan malam tadi.

“Apa kau akan terus berdiri seperti itu?” tanya ku mencoba membuyarkan lamunannya tanpa meliriknya.

“Biasa, pikiran ku mulai menggila” ia duduk di kursinya.

Ia mulai memakan hidangan yang ada di atas meja itu. Aku mencuri pandang sedikit dan memergokinya yang juga diam-diam memperhatikan ku, sebuah ide jahi terbesit di kepala ku berniat untuk bercanda dengannya.

“Apa? Kau ingin menyentuh ku?” ku angkat sebelah alis ku mencoba menggodanya.

“Tak sudi bahkan ku menyentuh kulit mu” balasnya menyeringai menggoda.

Aku tau itu hanya candaan, tapi aku kesal. Padahal aku yang memulai.

Ku keluarkan tawa kecil dan kembali melanjutkan makanan ku. Namun ia terlihat memikirkan sesuatu. Tangannya bergerak menyuap makanan ke mulutnya, namun lewat matanya dapat ku lihat ia seperti sedang memikirkan hal lain.

“Dude, stop whatever you thinking, let's grab some Devil Springs. You look so stressful”

“Hate to agree with you” “But, you sure you can take it?” ia meremehkan ku?

“Maybe just a one shot” ya aku bukannya tidak kuat atau apa, namun satu gelas sloki dari alkohol 80% tersebut saja sudah bisa di bilang berani, apa lagi jika setelah itu kau masih sadar.

“Alright i'll go get'em”

Saat ia bangkit dari kursinya, aku masih melanjutkan makan ku sedikit lagi. Baru lah setelah itu aku bangkit dan mengambil dua buah gelas sloki membawanya ke rooftop mansion tersebut, tempat kami biasanya meminum alkohol.

Sesampainya ia di rooftop ku sambut ia dengan senyuman lembut. Ia membalas senyum ku dan berjalan mendekat menuangkan Devil Spring yang ia bawa ke kedua gelas sloki di tangan ku. Aku memberikan satu gelas kepadanya dan kami mengadukan kedua gelas tersebut mengeluarkan dentingan kecil kemudian menyesap sedikit dari Vodka tersebut.

Kepala ku sakit. Namun aku masih bisa mempertahankan kesadaran ku. Hanma bersandar di balkon dan menyalakan rokoknya.

“Kau tau Hanma? Kau bisa menceritakan apa yang mengganggu mu”

“Itu tak bisa diceritakan begitu saja Kisaki. Walau Vodka mempengaruhi ku” dihembuskannya asap rokok itu dari mulutnya. Pandangannya terlihat serius.

“Sepertinya dalam sekali, hingga-hingga tubuhmu dalam kondisi tak sadar pun masih bisa menutupnya rapat-rapat” aku tak ingin masalah mu mengganggu rencana ku.

“Memang, tapi tenang saja ini tidak ada kaitannya dengan rencana mu. Jadi kau tidak perlu khawatir” ia mengatakannya seolah ia dapat membaca pikiran ku.

Untuk beberapa waktu kami menikmati suasana sunyi di antara kami, terlarut dalam pikiran masing-masing. Ia menatap langit sambil menghisap kembali puntung rokoknya, entah apa yang di pikirkannya saat itu, namun terlihat seperti pikiran yang berat.

Sedangkan aku, terlarut dalam pikiran ku tentang rencana ku kedepannya. Namun tiba-tiba saja aku berpikir, Hanma bisa saja membunuh ku, mengambil segala kekuasaan dan harta ku, kenapa tak ia lakukan? Kenapa ia malah mengikuti ku, bersedia menjadi pion ku.

“Hanma...kenapa kau bertahan sejauh ini?”

“Ku bilang kan, kau menunjukkan keseruan dari kehidupan”

Tidak Hanma, aku hanya merusak kehidupan. “Lalu jika aku menikah nanti, kita pasti akan berpisah. Dan aku mungkin akan keluar dari dunia kejahatan”

“Ku rasa saat itu aku akan menjadi gelandangan, anjing yang kehilangan tuannya” mengapa dada ku terasa nyeri mendengar perkataannya? Sejujurnya tak bisa ku bayangkan hidupku tanpa Hanma di sisi ku.

Aku tertawa”Bekerja lah untuk ku jika kau tidak punya tujuan”

Aku ingin kau tetap berada di samping ku. Kita sudah seperti saudara yang selalu bersama, tak terpisahkan

Ia nyalakan lagi sepuntung rokok “Dalam mimpi mu”

Ntah apa itu yang sejujurnya ia ingin katakan, namun ku harap tidak. Selain sebagai pion, aku tetap menganggapnya sebagai teman. Kenapa? Aku pun tak tau. Harusnya aku bisa saja memilih Izana yang ada di sisi ku saat ini, namun entah kenapa yang ku ingin kan hanyalah dirinya, laki-laki yang tergila-gila akan diri ku karena aku berhasil menunjukkan keseruan dari kehidupan.

Malam itu kami habiskan dengan bercerita mengenang masa lalu. Tidak, sejujurnya kami lebih banyak membahas tentang Hina di bandingkan masa lalu. Hanma sendiri tak terlihat tertarik membahasnya, namun ia tetap menanggapi ku dengan baik walau kesadaran kami sama-sama sulit di atur.

Hal terakhir yang ku ingat malam itu adalah diri ku yang menegak seluruh Vodka dalam gelas sloki ku. Setelah itu yang kurasakan adalah bokong ku yang mendarat ke sesuatu yang empuk, kemudian seluruh pandangan ku menjadi gelap. Aku hangover.


Pukul 8 pagi aku terbangun. Sinar matahari menusuk mata ku, namun tampaknya orang di sebelahku tak tampak terganggu sedikitpun.

Tunggu.

Di sebelahku?

Hanma!?

Apa yang terjadi saat aku mabuk kemarin!? Aku masih menggunakan bathrobeku walau agak terbuka sedikit. Dan apa-apaan posisi tidur ini!? Kenapa aku malah memeluk Hanma!?

Gila, ini gila. Aku harus segera bangun dan mengingat hal apa yang ku lakukan semalam.

Aku mencoba melepas pelukan Hanma tanpa mengganggu tidur pulasnya yang seperti anak ayam itu. Berhasil, walau agak sulit.

Ku benarkan bathrobeku dan turun ke bawah memulai sarapan pagi. Tak ada rasa sakit atau hal aneh apapun. Itu berarti kami hanya tidur.

Entah kenapa aku lega namun juga kecewa.

Aku berusaha mengingat kejadian malam itu.

Ahh...

Salahku karena menggenggam tangannya dan memintanya menemani ku karena kita teman.

Biar lah, toh tidak terjadi apa-apa. Malah menyenangkan?

Setelah selesai sarapan pagi, ku siapkan diri ku untuk memulai rencana ku lagi.

Masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuh ku sendiri di bawah aliran air shower menikmati air dingin yang mengalir di tubuhku. Ku bawa tubuhku menuju walk in closet yang ada di kamarku dan memilih outfit yang akan ku kenakan hari ini.

Hanma?

Masih di kamar ku, tertidur memeluk guling yang mungkin ia kira itu aku. Karena pengaruh alkohol itu ia tidur lebih pulas dari biasanya, dan mungkin juga ia kelelahan kemarin. Menerobos lautan manusia sambil memastikan keselamatanku jelas bukan hal yang mudah.

Saat aku hendak berangat, Hanma bangun dengan keadaan setengah bingung, mungkin. Ku rasa ia bingung karena aku terlihat santai saja, namun ada yang aneh dari perubahan raut wajahnya. Seperti kecewa.

Namun ku abaikan hal itu dan berangkat mengerjakan rencana ku seperti biasa.


Aku berdiri di hadapan gedung yang menjulang tinggi ini. Ku langkahkan kaki ku masuk ke gedung itu dengan percaya diri menuju lantai teratas, tempat pimpinan dari perusahaan itu berada.

“Tuan Tetta Kisaki, Tuan sudah di tunggu di dalam” ucap sopan seorang wanita yang berada di depan ruangan pimpinan itu.

Aku masuk ke ruangan besar itu dan pintu di belakang ku tertutup, mengurungku di ruangan itu berssama dengan laki-laki ini.

“Ku kira kau akan membawa anjing penjaga mu bersama mu”

Jangan sebut Hanma seperti itu, brengsek! “Tidak, aku tidak membutuhkannya saat ini”

“Jadi kesepakatan apa yang akan kau buat dengan ku?”

Senyumku mengembang membuat perubahan rencana dan mulai memanipulasinya dengan kata-kata yang keluar dari mulut ku.

Selesai rencana ku saat itu, niatnya akan langsung ku ledakan gedung ini beserta dengan kepala pimpinan itu. Namun saat aku duduk menunggu waktu, Hanma menelepon ku.

“Hey” “Perché?”-kenapa?” “Mi annoio”-aku bosan” sebuah perubahan rencana terlintas di otak ku. “Adesso vieni a prendermi”-Jemput aku sekarang- “On my way, sir”

Ya, aku sempat ke Rooftop gedung ini. Dan ya, aku sudah mengotak-atik kamera pengawas kemudian memasang bom di atap gedung ini. Terdengar simple? Memang. Jika kau sudah memanipulasi pihak atasan, yang di bawahnya bukanlah masalah. Dan bukan rencana ku untuk meledakannya sekarang.

Namun melihat Hanma sekarang berbicara dengan resepsionis wanita itu membuat ku kesal. Ku panggil namanya, dan ia mengucapkan terima kasih kepada resepsionis wanita itu.

Apa yang membuatku marah? Jelas sekali kau bisa lihat wajah si wanita yang berusaha menggoda Hanma itu! Tapi jelas Hanma tidak akan menyadarinya, di cukup buta soal hal seperti ini.

“Bagaimana diskusi tadi?” tanya Hanma sembari mengendarai Lycan Hypersport miliknya.

“Lancar seperti biasa”

Duar!

Terdengar suara ledakan dari gedung yang kami datangi tadi.

“Lalu kenapa kau ledakan?”

“Resepsionis wanita itu menjijikan”

“Apa ini? Kau cemburu?”

Matamu! “Tidak. Hanya saja aku tidak menyukainya”

Ia hanya tertawa.

Selanjutnya? Kami makan siang di suatu restoran mahal. Kembali bercerita, tidak, maksudku Hanma yang bercerita tentang banyak hal. Aku hanya menyimak sepeti seorang kakak yang mendengarkan adiknya bersemangat ketika bercerita.


Ketika rencana ku sudah hampir sempurna, aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam mansion bersama Hanma. Lebih banyak melakukan kegiatan rumah selama 1 bulan lebih.

Kegiatan apa? Ya kadang kami bermain bilyard, bowling, golf, dan beberapa hal lainnya. Namun ada satu hal absurd yang ku lakukan bersama Hanma. Bersih-bersih mansion. Jangan tanya, itu permintaan Hanma. Awalnya juga ku tolak, namun ia keluarkan seribu satu jurus meluluhkan hati seorang Kisaki, akhirnya aku menyerah dan mengikuti kemauannya.

“Ngapain sih Han kita bersihin mansion begini?”

“Gabut”

“Gabut mu absurd

“Tapi seru kan?”

“Matamu seru! Kamu kira cicak lompat ke muka ku itu seru!?”

“Ekspresi panik mu lucu” ia tertawa lepas.

Entah kapan terakhir kali aku memikirkan Hina. Sepertinya aku sudah terlalu fokus pada kondisi ku yang sekarang.

Kami duduk di ruang tamu menonton berita di televisi dengan camilan masing-masing di tangan.

“Hey menurutmu dia akan mati?”

“Jelas sekali, ia tidak pandai menyembunyikan aksinya”

“Menurutku ia akan menyuap pemeritah”

“Taruhan?”

“Harta ku harta mu juga, sama aja boong”

“Ya udah jangan taruhan uang”

“Taruhan apa?”

“Jadi babu satu hari”

“Ya elah babu doang”

“Pake maid outfit yang ada rok nya itu loh”

“Deal”

Sialnya, aku kalah.


Rencana terakhir ku terlaksana, pemenggalan para tetua-tentu saja Hanma yang memenggal-. Namun satu hal yang menghalangi ku keluar, sisa orang yang sekarat. Mereka berusaha menahan ku di ruangan penuh granat itu. Mencoba membawa ku mati bersama mereka dan tetua mereka.

Ku harap Hanma tidak datang, jangan sampai ia terluka. Namun aku tidak mau mati.

Tak ku duga, beberapa detik sebelum ruangan penuh granat tersebut meledak, Hanma menerjang masuk ke dalam ruangan itu mencoba menarik ku keluar. Telat sedetik saja Hanma yang akan menggantikan posisi ku mati saat itu. Untungnya ia berhasil menyelamatkan diri juga dari sana, walau sedikit luka kecil.

Setelah itu kami kembali ke Jepang. Ku harap kami masih bisa sebahagia ini, namun sekarang aku harus fokus terhadap Hina.

Tak bisa ku tahan rasa semangat ku untuk melamar Hina nantinya. Aku yakin Hanma menyadarinya.

Kami menetap di kediaman keluarga Hanma. Kenapa? Karena aku sudah sangat terbiasa di sana, tempat ternyaman di Jepang menurut ku. Seperti rumah bagi ku.

Setelah makan malam aku menuju paviliun ku, menyiapkan berbagai hal yang sekiranya akan ku perlukan. Tak banyak sebenarnya, jadi aku menuju ke kamar Hanma mencoba mencari kegiatan bersamanya.

Namun ku lihat ia berjalan keluar seperti terburu-buru. Aku mengikutinya, awalnya ingin ku panggil, namun ketika melihat ia mulai memukuli berandalan-berandalan di gang sempit aku memutuskan untuk mengamatinya. Kelopak bunga? Lagi-lagi aku hampir menghampirinya ketika ia berteriak.

“APA BAGUSNYA JALANG ITU, KISAKI!? DIA TAK LEBIH BAIK DARI DIRI KU!”

Ingin ku keluar dari persembunyian ku dan ku pukul wajahnya ketika ia mengatai Hina jalang. Dia lebih baik dari diri mu.

“DIA TIDAK AKAN MENGIKUTIMU MASUK KE LUBANG BUAYA!”

Mataku membelalak. Seketika aku ragu dengan semua pilihan ku ini.

“Namun aku yang menerjang ruang penuh granat meledak demi menyelamatkan mu! Hiks, kenapa aku tak ikut meledak saja hari itu” ia terduduk menyandarkan punggungnya pada tembok dan mengusap air matanya seiring ia terbatuk dan kembali mengeluarkan kelopak bunga.

Kenapa, Hanma? Penyakit apa itu? Kenapa membuat ku ragu? Apa semua pilihan ku ini salah?

Ketika Hanma berjalan pulang, aku pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi pada dokter tentang penyakit itu.


Saat aku pulang, Hanma sedang tertidur. Dan aku menyuntikan sebuah obat untuk membuatnya tidak sadar selama beberapa hari.

Awalnya aku ingin langsung bertindak memanggil dokter untuk mengoperasinya, walau aku sudah tau efek sampingnya. Namun ku lakukan ini demi kebaikan mu, Hanma. Demi kebaikan aku dan Hina juga.

Namun tak ku lakukan selama tiga hari itu. Kenyatannya aku hnya duduk di samping Hanma menangisi segala keputusan ku. Bingung memilih antara teman ku atau gadis yang ku cintai.

Lagi pula kenapa harus aku Hanma? Kenapa aku di antara semua manusia yang ada di dunia ini.

Di hari ke tiga aku tidak menyuntikkan obat lagi, dan akhirnya ia bangun. Aku mengawasinya diam-diam berjalan gontai menuju ruang makan dan memakan segalanya yang ada di meja makan seperti orang kesetanan.

Ia memuntahkan semuanya bersamaan dengan beberapa kelopak bunga dan ia pukul dadanya.

Ingin ku kesana, memeluknya meminta maaf tak bisa membalas perasaanya. Namun aku terlalu takut.

Aku agak lega ketika ia akhirnya cukup tenag untuk makan perlahan.


Ke esokannya kami bertemu saat sarapan, aku berusaha memasang wajah se netral mungkin dan ber akting seolah aku tidak tau apa-apa.

“Kemana saja diri mu tiga hari ini?”

“Hm? Ada kok di kamar”

Jujur ya. “Paviliun mu terkunci, ku ketuk tak ada jawaban” “Pergi kemana kamu tiga hari?”

“Hehe, marathon anime” ucapnya dengan cengiran cerianya.

Kau berbohong. “Hahh. Setidaknya jawab ketukan ku. Kalau begini rencana ku tak aan berjalan lancar dan kau tidak akan mendapat keseruan lagi dari ku” Apa yang ku katakan !?

“Ku kira kau ingin mengurus semuanya sendiri”

“Tidak lah” “Aku masih membutuh kan mu” Masih!? Astaga mulut ini!

Sepertinya aku sudah gila. Aku butuh pelampiasan, mungkin. Ahh aku ada ide. “Ikut aku besok”

“Ke?”

“Akan ku tunjukan sesuatu yang seru” sekaligus melepas stres ku.

“Hmm ok”

Kami makan dalam diam. Aku masih bimbang dengan pilihan ku ini. Jika aku benar-benar mencintai Hina, aku bisa lebih mudah menyingkirkan Hanma. Namun ada sebuah rasa yang menahan ku untuk tidak melakukannya.

Aku tak mau melukai perasaanya. Namun bagaimana dengan perjuangan ku terhadap Hina selama ini. Apa semuanya sia-sia?

Hanma kembali ke paviliunnya, berbaring di atas tumpukan kelopak bunga di lantainya. Aku tidak tau kenapa ia melakukan itu, namun dari gerak geriknya dapat ku lihat ia menahan sakit di dadanya dan nafasnya tersengal.


Malam kembali menyapa, aku masih berlomba dengan waktu untuk mengambil keputusan. Ku lihat ia kembali keluar malam ini. Melampiaskan emosi lagi? Sepertinya.

Benar. Sekarang ia tertawa miris pada orang-orang di bawah kakinya, dan mungkin pada dirinya sendiri.

“Tak bisa kah kau bahagia karena diri ku, hei kisaki”

Selama ini aku bahagia karena diri mu, Hanma. Namun siapa pemilik hati ini pun aku tidak tau. Aku tak ingin mengatakan aku mencintai mu dengan asal, itu tak akan menyembuhkan mu.

Setelah menghabisi semua lawannya, ia kembali terbatuk di sertai dengan darah. Di teguknya 5 butir obat secara langsung.

Sebegitu menyiksanya kah sakit itu Hanma?


Ke esokannya sesuai perkataan ku, ia mengantarku ke sebuah jalan. Ia tidak mengetahui tempat ini. Namun jelas ia mengenali dua wanita yang tengah berbincang di pinggir jalan ini.

Aku memintanya untuk melajukan motornya dengan cepat, ku angkat tongkat pemukul ku mengancang-ancang untuk memukul kepala si pirang.

Tepat sasaran.

Rasanya sedikit menyenangkan namun tidak melegakan. Dapat ku lihat Hina yang terjatuh lemas, kenapa? ia hanya teman mu kan? Kau masih punya aku.

“Seperti bukan dirimu saja”

“Hm? Memangnya kenapa? Seru kan?”

“Iya, tapi aku tidak tau kau mau mengotori tangan mu sampai segitunya”

“Aku ingin mencoba bagaimana rasanya” ku tunjukan cengiran ku untuk menutupi perasaan kesal ku.

Kami kembali ke kediaman Hanma dan aku terus memasang senyum ku untuk menipunya.


Bulan Desember, salju telah turun. Namun keputusan ku masih tak ada yang berubah, aku masih terus bimbang berlomba dengan bunga di paru-paru Hanma. Beberapa minggu setelah kematian Emma aku terus memerintahkan Hanma untuk mengawasi Hina.

Tanggal 28 Desember malam, aku semakin gila memikirkan hal ini. Pengambilan keputusan ku sangat payah. Sudah lah, kembali ke rencana awal. Abaikan Hanma seperti biasa. Aku memaksa diri ku sendiri.

Tanggal 29 Desember, ku lamar Tachibana Hinata. Aku berlutut dengan satu kaki mengeluarkan kotak cincin dari saku ku, mengambil tangan Hina.

“Hina, menikahlah dengan ku. Sudah ku tunggu momen ini sejak kita pertama kali bertemu”

Namun ia menamparku. Wajah ku memerah karena tamparannya, namun ia malah menangis terduduk memegang dadanya di tanah .

Kelopak bunga keluar dari mulutnya.

Hah? Hina? Tak cukup Hanma, sekarang Hina juga.

Aku terdiam mencerna apa yang terjadi ketika ia berteriak pada ku.

“Jika kau benar-benar mencintai ku selama itu, KENAPA KAU TIDAK TERKENA PENYAKIT SIALAN INI!?”

Kau benar? Kenapa? Apa aku selama ini menipu diriku sendiri? Apa selama ini yang ku cintai adalah Hanma?

“Rasanya menyiksa tau. Kau membunuh orang yang ku cintai. SEKARANG AKU TERSIKSA AKAN PENYAKIT INI DAN TAK AKAN PERNAH SEMBUH KARENA AKU TAK TAU BAGAIMANA PERASAAN ORANG YANG KU CINTAI KARENA IA SUDAH MATI!”

Ku dengar suara terjatuh dari belakang ku. Ku lihat Hanma yang terjatuh di tanah dengan tangan penuh darah dan beberapa kelopak bunga di tangan dan bajunya.

“Kau...”

“Bukan kau saja yang merasakannya Hinata. Aku juga begitu. Namun sayangnya aku hanya dapat bergantung pada Kisaki”

Kau berbohong. Agar aku tak tau? Atau untuk menenangkan Hina?

“Kau seharusnya bilang dari awal, Hanma!” Tidak, bukan itu yang ingin ku katakan. Aku sudah tau, namun aku mengatakannya agar ia tidak semakin sakit hati mengetahui fakta bahwa aku yang masih bimbang memilih dirinya atau Hina. “Hinata, ku saran kan kau melakukan operasi sekarng” jika kau masih mau hidup, namun engan jalan yang menyakitkan. “Dan Hanma, kita ke rumah sakit sekarang”

Aku membopong tubuhnya dan membaringkannya di kursi belakang mobil ku. Sesampainya di rumah sakit Hanma langsung di masukkan ke kamar rawat inap dan aku mengurus segala hal yang di perlukan. Setelah selesai aku ke kamar rawat Hanma dan berbincang dengannya.

“Kau harusnya bilang bodoh”

“Ya mau gimana lagi, aku tak ingin kau merasa bersalah kepada ku karena mencintai resepsionis wanita di gedung yang kau ledakan karena kau tidak suka dengannya waktu kita di Itali”

Bohong. “Kalau begitu operasi saja bunga-bunga sialan itu” skakmat!

“Tidak! Aku tak akan kehilangan perasaan ku hanya demi bertahan hidup!”

“Lalu bagaimana!? Aku juga membutuh kan mu!” Tidak! Bukan itu maksud ku!

Aku terlalu bimbang dengan semua ini. Aku ingin mencintai Hanma, tapi aku tidak tau apa yang dapat membuktikan itu. Aku hanya dapat menganggapnya sahabat. Aku tak mengerti apa itu cinta. Seperti apa itu?

Hanma menyukai kerusuhan-kerusuhan yang ku buat kan? Aku tak ingin berjuang sendiri di dunia ini jika Hanma mati, kehilangan sahabat, tak punya orang tercinta itu menyedihkan.

Aku akan mati. Akan ku nyatakan perasaanku pada dirinya nanti. Jika ternyata perasaan ku ini benar cinta, pasti ia akan sembuh dan bebas dari belenggu bunga itu, ia masih bisa melanjutkan hidup tanpa ku. Namun jika ternyata perasaan ku ini hanya sebatas sahabat, maafkan aku Hanma, aku akan mati bersama dirimu.

“Jika kau bersikeras untuk tetap mati, baiklah. Tanggal 30 tengah malam datang lah ke lahan kosong di perbatasan Tokyo dan Yokohama. Akan ku beri kau hadiah terakhir dari ku di sana”

“Baiklah”


Aku berusaha mencari benda itu, walau harganya mahal sekali pun aku tidak peduli. Ku dapatkan benda itu dan ku pasang di tengah kota Yokohama. Dengan ini pasti aku akan masuk neraka.

Sampai sini suratku, Hinata. Sekarang aku berada di lahan kosong itu, mungkin sudah mati. Permintaan ku adalah: 1. Kubur Hanma di sampingku dengan cincinnya 2. Ganti nama ku menjadi Shuji Kisaki, dan sudah menikah dengan Hanma 3. Aku ingin di kubur bersama cincin ini Jika saja Hanma ingin hidup di dunia ini lebih lama lagi, dan bahkan jika ia menikah, aku tak maslah. Ini lah pilihan ku. Anggap lah ini hukuman ku, terpisah antara hidup dan mati dengan dirinya


Sekarang aku tinggal menunggunya di taman ini. Kira-kira Hina membacanya sekarang tidak ya? Maaf Hanma. Aku memutuskan untuk mati sepertinya. Toh kita bisa ketemu kan di akhirat nanti. Jika nanti aku tak selamat, tak sempat menyelamatkan diri, ku harap kau hidup dengan baik.

Ia datang dan terlihat agak bingung karena belum menemukan ku.

“Hanma”

“Jika kau di sini untuk membunuh ku, ku mohon jangan kotori tangan mu dengan darah ku. Aku tidak akan menyukainya” aku memasang kuda-kuda bersiap akan apapun yang akan terjadi.

“Apa-apaan sih” apa yang ada di pikiran mu itu Hanma, konyol sekali. “Kau tau Miniature Rose?”

“Jika maksudmu bom dengan daya ledak besar dan indah itu, ya aku tau”

“Aku memasangnya di puast Yokohama tadi pagi” Hanma terlihat kaget.

“Kau gila! Bagaimana jika polisi menangkap kita!?”

“Itu tidak akan terjadi” senyum ku. “Pengendalinya ada pada ku” “Terima lah hadiah terakhir ku untuk mu, Hanma” ia menekan tombol itu.

Bom akan meledak dalam waktu 1 menit

Aku mencium Hanma.

Ku harap ini lah namanya cinta yang sebenarnya. Ku harap aku sebenarnya mencintai Hanma.

Aku memperdalam ciuman kami. Ia terlihat kaget ketika aku bergulat lidah dengannya.

Bom tersebut sudah meledak, aku langsung memutus ciuman kami dan mendorong Hanma menjauh sekuat tenaga karena dapat ku rasakan racun yang mulai menyebar sudah masuk ke dalam tubuhku, aku terlambat.

Setidaknya ia berada di luar zona racun ini.

“AKU MENCINTAI MU, HANMA!” ia terlihat masih mencerna semuanya. “Aku baru sadar aku mencintaimu semenjak kejadian aku melamar Hinata. Ia menampar ku lagi dengan kata-katanya” “Dan ketika aku sadar kau mengidap penyakit yang sama dengan Hinata, aku baru sadar kau juga mencintai ku. Namun kau berbohong, karena kau takut kehilangan diri ku”

Dapat ku rasakan bahwa asap itu sudah berkumpul membentuk mawar di udara.

Ini lah saatnya

“Ini lah lamaran ku” “Menikah lah dengan ku, Hanma” “Tak perlu lagi sebatas pacar, kita sudah mengenal satu sama lain sangat lama”

Jujur saja aku sebenarnya agak gugup mengucapkan itu. Padahal saat melamar Hinata aku tidak gugup sama sekali.

Aku memasangkan cincin emas putih di jariku bertuliskan nama Hanma, dan ku lemparkan cincin emas putih bertuliskan nama ku ke arah Hanma.

“Dengan ledakan dan mawar asap ini sebagai bukti cinta ku dan bukti lamaran ku padamu” ia memasang cincin itu di jarinya. “Hanma, Your my love, my life, my beginning”

Ia berusaha mendekatiku. “Jangan mendekat!” “Jika kau mencintai ku, jangan mendekat barang satu langkah pun!” Aku minta maaf.

“Maka kemari lah diri mu!” Ia menangis.

Kumohon, sayang, jangan menangis. Kau membuat ku ingin memelukmu.

“Aku tidak bisa. Racun ini sudah masuk ke dalam tubuh ku” “Sedih rasanya harus berpisah saat aku baru menyadari perasaan ku. Mungkin ini lah hukuman dari Tuhan untuk ku” “Mulai sekarang aku akan mati dengan nama Shuji Kisaki”

“Kita belum menikah, bodoh! Kemari lah! Kita akan menikah di masa depan!”

Jangan membuatku berangan-angan akan hal itu. “We can't!” “I'll see you in hell someday” “And when we see each other, let's get married in hell” “Let's waltzing together on top our sin” “Ini lah hadiah ku untuk mu Hanma. Bernapaslah dengan bebas, hidup lah selama yang kau mau dengan membawa nama ku”

“Ini tak membuat ku bahagia, Kisaki!”

Aku tau, Hanma. Aku juga ingin bersama mu lebih lama lagi.

“Ketika kau mati nanti Shuji Kisaki akan menyambut mu sebagai mempelainya di neraka”

“I love you, Kisaki. So please let me hug you”

I want to hug you too, tapi bagi ku sekarang hidup mu jauh lebih penting Hanma. Biarkan ini menjadi pengorbanan pertama dan terakhir ku untuk mu. “Aku tak ingin kau ikut mati bersama ku sekarang Hanma. Kau berada di luar batas zona menyebar racun dari bom ini. Jadi jangan mendekat dan biarkan aku mengucapkan semua kalimat terakhir ku”

Ku tari nafas dalam-dalam, berusaha menahan sakitnya racun yang menyebar ini. “Aku ingin nama ku di ubah menjadi Shuji Kisaki. Dan aku ingin di kubur di samping mu nantinya. Bawa juga cincin itu ke liang kubur mu, supaya aku dapat mengenalimu di neraka nanti”

Jujur saja aku sendiri tak yakin kau akan masuk neraka. Kau berbuat dosa karena aku, kau tak sepenuhnya salah.

“Ketika aku masuk neraka nanti...hiks, siap kan pernikahan kita dengan baik”

“Tentu saja”

“Jangan lupakan perjanjian kita hari ini” “Walau seharusnya aku yang melamar mu”

“Maaf ya, aku mencuri kesempatan mu untuk melamar ku” waktu ku tak banyak Hanma, maaf.

“Tak apa, yang penting kita bisa bersama” senyum ku menenangkannya walau mata ku berkata yang sebaliknya.

“Ini sisa tenaga terakhir ku, Hanma” “Ku tegas kan sekali lagi” “Shuji Hanma, you are my life and death love” setelah itu aku tak dapat merasakan kaki ku dan ambruk ke tanah.

kesadaran ku masih ada namun suara ku tak dapat mengutarakan pikiran ku.

Ku tutup mataku, menikmati siksaan dari racun yang menyebar di tubuhku ini.

Setidaknya aku sempat mengutarakan perasaanku. Ini egois, tapi ku harap kau segera menemaniku di sini.

Until that day, i will prepare our wedding