Menyelamatkan

Jika ada kesalahan dalam dunia ini, maka itu pasti adalah kesalaahan otak manusia yang tidak dapat bekerja dengan cerdas walau dengan kekuatan yang dapat menjatuhkan dewa manapun di langit.

Kesalahan akan nalar mereka membuat orang lain terjerumus ke dalam kegelapan tanpa batas. Dan korban kesalahan tersebut adalah anak kecil yang merelakan dirinya sendiri demi keamanan dan kebahagiaan orang lain.

Di dunia penuh dengan kekuatan di luar nalar ini ke egoisan selalu bertebaran di udara. Egois akan kekuatan, egois akan kekuasaan, egois akan harta. Dan itu lah yang menyebabkan saudara kembar ini terpisah.

Ein dan Ena namanya.


Lima belas tahun yang lalu.

“Kak, Ein!” Seorang gadis kecil bertubuh biru dan rambut panjang berlari ke arah seorang lelaki yang juga memiliki warna tubuh sama dengannya namun lebih muda-Ein, namanya.

“Ada apa, Ena?” Laki-laki kecil itu membalikkan tubuhnya membelakangi hamparan padang rumput yang luas sejauh mata memandang.

“Ada, ada seorang wanita berpakaian dan pernak-pernik serba putih di depan pintu rumah. Papa dan mama menyuruhku untuk memberitahu 'mu.”

Sore itu matahari tidak memunculkan semburat jingga-nya, melainkan gumpalan abu-abu dengan kilat kuning yang terlihat jelas di antara awan-awan itu, seolah ingin semua makhluk di bawahnya tau bahwa ia datang, suara guntur saling besahut-sahutan satu-sama-lain.

Mendengar berita yang disampaikan adiknya, Ein langsung berjalan cepat kembali ke rumah mereka. Dalam jarak 5 meter pun terasa aura membunuh yang sangat hebat. Ia mengenali sebagian aura itu, sebagian dari orangtua mereka, namun ia tidak tau siapa pemilik yang satunya. Ia duga itu adalah wanita-serba-putih yang dikatakan oleh adkinya-Ena.

Ena masuk lebih dahulu ke dalam rumah mereka, sedangkan Ein memeriksa luar rumah jika saja ada tanda-tanda bala bantuan dari pihak musuh atau alat berbahaya yang sengaja diletakkan di luar rumah. Namun fokusnya buyar begitu mendengar suara teriakan amarah anak laki-laki yang sudah pasti adalah adiknya yang lepas kendali. Ia berlari ke dalam rumah besarnya, berantakan, seluruh isi rumahnya pecah-belah. Ia berusaha menemukan sang adik, berusaha mengikuti suara jeritan yang bersahut-sahutan satu-sama-lain.

Ena dengan wjah bagian kanannya yang berwarna putih dengan mata kuning menatap nyalang terhadap setiap hal yang masuk ke jarak pandangnya. Tubuhnya berwarna hitam-putih, sebagian wajahnya yang lain berwarna hitam. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ena menggila.

Ein menemukan Ena, namun ia terlambat. Tak sempat ia menutupi segala kekacauan yang terjadi, kerumunan manusia sudah menerobos masuk dan berasumsi macam-macam yang jelas di luar nalar.

Tubuh orangtua mereka terbujur kaku di lantai bersimbah darah, seorang wanita serba-putih juga terluka cukup paran, Ein yakin itu karena Ena. Wanita itu berkata, “GADIS KECIL INI SUDAH GILA! SELAMATKAN AKU! IA SUDAH MEMBUNUH KEDUA ORANGTUANYA, AKU TAKUT MENJADI YANG SELANJUTNYA!” Ia menyerukan sebuah kebohongan yang langsung dipercayai oleh orang-orang. Sungguh di luar nalar orang waras.

“Ti ... Tidak. Ia yang membunuh papa dan mama.” Wajah kanan Ena menghitam dan wajah kirinya memutih, mata birunya menyorotkan ketakutan yang teramat mendalam, tubuhnya bergetar hebat.

Ein tidak bisa mengambil resiko. Ia harus mengamankan adiknya serta dirinya. “Ena, aku tidak percaya. Mengapa kau lakukan ini!? Kau sudah gila!”

Ena kaget mendengar itu, air matanya jatuh seiring para masa mengikatnya dan membawanya ke rumah sakit jiwa terdekat. Sedamgkan polisi dan pahlawan datang untuk mengurus mayat dan perempuan-serba-putih yang terluka itu. Sedangkan Ein harus ditahan di penjara karena dianggap menjadi salah satu pemicu yang menimbulkan kegilaan adiknya.

“Aku akan menyelamatkanmu, adikku. Kumohon, bertahanlah,” kata-kata itu adalah kata-kata terakhir dari Ein kepada Ena sebelum mereka terpisahkan.

Itu lah kisah perpisahan dari si kembar kecil berusia lima tahun yang terpaksa menjalani kerasnya hidup karena kebodohan manusia di sekitarnya.


Lima belas tahun kemudian.

“Dokter Ein, anda akan ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa Sabrodu. Selamat atas pekerjaan anda, akhirnya anda mendapatkan pekerjaan yang anda impikan,” ucap seorang laki-laki sembari memberikan sebuah kertas kontrak kerja.

“Terima kasih.” Suara wanita keluar dari mulut Ein, senyumnya manis.

Ein jauh berbeda dari yang sebelumnya. Tubuh kirinya berwarna biru dengan rambut pendek dan suara selayaknya laki-laki, sisi kanannya berwarna hijau dengan rambut panjang dan suara selayaknya perempuan, membedakan sisi antisosial dan sisi ramah dalam tubuhnya. Ia sekarang bekerja sebagai dokter psikolog dan ia selalu memakai sisi perempuannya setiap hari, membuat orang mengira ia benar-benar perempuan.

“Tetapi Dokter Ein, jika diizinkan bertanya, mengapa anda sangat ingin bekerja di rumah sakit jiwa? bukan 'kah di sana terdapat banyak monster dengan gangguan mental yang mengerikan?”

Mendengar pertanyaan itu ia hanya tersenyum. “Tentu saja tidak, mereka hanya perlu mendapatkan perhatian yang tepat. Pada dasarnya mungkin ini rasa kasihan yang bertumbuh.” “Tidak, aku ingin menyelamatkan adikku dan membalaskan dendamku pada si jalang putih, selebihnya aku tidak perduli.”


Empat belas tahun lalu, penjara Ein.

“Hei, bocah. Kenapa kau di penjara?” Tanya seorang anak laki-laki yang membawa sebuah buku di tangannya.

“Pergi. Bukan urusanmu.”

“Kakak yang menyerahkan adiknya ke kegelapan, sepertinya cocok menjadi inspirasi seniku. Pasti harganya tinggi.”

DUM!

Dentuman yang sangat keras membuat semua orang kaget dan mencari sumber suara, tanpa mereka sadari bahwa sumber suara itu berasal dari sel Ein. Seluruh tubuh Ein berubah warna, Sisi kirinya berwarna hitam dan sisi kanannya berwarna putih dengan mata hijau menatap penuh kebencian pada anak laki-laki di hadapannya. Suaranya berubah menjadi anak perempuan yang manis namun tetap mencekam.

“Wow, kekuatan yang sangat kuat, Nona Ein.”

“Cukup, Paint-rem. Tinggalkan ia sendiri.” Seorang gadis kecil dengan rambut putih dan sedikit warna merah muda muncul dengan santai dari balik lorong. “Jangan membuat masalah jika tidak ingin dikurung lagi di sini.”

“Baik, baik, calon pemegang MDR~,” ucapnya sebelum pergi dari penjara itu.

“Hahh. Ein. Bisa tenang?” Ia bertanya dengan lembut, mendekat ke arah sel Ein.

Tubuh Ein mulai kembali normal. Namun kali ini ia menggunakan sisi birunya, membuatnya waspada tingkat tinggi bercampur dengan ketakutan yang meluap-luap.

MDR duduk di depan sel milik Ein dan memberikan tangannya ke dalam. “Kemari lah,” pintanya dengan senyuman manis yang tak kunjung hilang.

Ein maju perlahan namun pasti. Dengan ragu ia mengambil tangan MDR dan duduk di depannya. Perasaan tenang menjalar ke seluruh tubuhnya, perasaan yang membuatnya aman dan tenang, perasaan yang sudah lama hilang.

“Jika kau tenang seperti ini, kau bisa cepat keluar dari penjara dan menyelamatkan adikmu.”

Ein membuka matanya terkejut. “Kau tahu?”

“Tentu saja. Keluarga kalian adalah salah satu klan yang cukup kuat dan ternama. Kematian kedua orangtua-mu dan berita gilanya adikmu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, lewat artikel ke artikel. Yah, sekarang mungkin sudah terkubur sehingga tidak banyak lagi orang yang tau. Tetapi menurutku berita itu penuh omong kosong. Isinya hanya penuh dengan spekulasi dan opini sebagai bahan bakar agar permasalahan ini tidak pernah redup.”

”... Kau cukup banyak bicara ya.”

MDR tertawa kecil. “Dan kau ternyata adlaah pendengar yang baik, Tuan Ein.”

“Siapa namamu?”

“MDR. Semua orang memanggilku itu.”

“Aneh. Medry.”

“Medry? Nama siapa itu?”

“Namamu, dariku untukmu.”

“Kenapa begitu?”

“Menyebut MDR rasanya terlalu sulit dan kaku.”

“Kalau begitu namamu Eina.”

“Namaku Ein.”

“Sulit memanggil dirimu dalam versi perempuan. Aku tidak bisa membedakan panggilan untuk kalian.”

“Hah, baiklah. Hanya di antara kita saja.”

“Aku janji.”

Senyum yang tak pernah padam dari bibir Medry selalu mempesona bagi Ein, seolah hangatnya sinar matahari menembus ke sel miliknya yang terletak di bawah tanah dengan dinding batu yang tebal dan sangat rapat.

Sejak hari itu tiada hari tanpa Medry berkunjung ke selnya. Dan setiap Medry datang Ein akan menyambutnya, Ein yang takut terhadap orang lain hanya bisa mentoleransi dua orang dalam hidupnya; adiknya dan Medry.

Sebagai senjata militer, tentu saja Medry tidak selalu manis dan hangat seperti matahari yang menenangkan. Terkadang ia akan menjadi matahari yang membakar dan menyiksa, dan Ein tau itu. Namun setiap orang pasti memiliki sisi yang tertutup dan Ein memaklumkan hal itu.

Detik berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, musim-musim berlalu, hingga awal tahun kembali menyapa, tak terhitung berapa lama mereka bersama, sang tahanan dan sang penjaga yang saling melengkapi, membutuhkan, membahagiakan. Masa tahanan Ein semakin berkurang seiring bertambahnya umur. Telah genap usianya sepuluh tahun, saatnya ia keluar dari penjara.

Saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada gadis kecil nan manis-nya.


Empat belas tahun kemudian.

Rencana Ein yang i rancang sejak kecil semasa di sel berjalan dengan baik. Ia akan menjadi dokter psikologis dan membantu adiknya keluar dari rumah sakit jiwa itu.

Harapannya hanyalah satu; semoga adiknya baik-baik saja.

“Eina~” Ia kenal suara ini.

Dengan senyum manis Ein menyambutnya. “Apa tugasmu sudah selesai, Medry?” Ein membuka tangannya bersiap menerima pelukan hangat Medry.

“Ahh~ Aku sangat lelah, Eina. Aku sangat merindukanmu~” Medry memeluk Ein dengan erat, tentu saja ia sudah terbiasa dengan hal ini. “Apa Ein mau keluar? Aku juga merindukanmu, Ein. Keluarlah~”

Dapat Medry rasakan pelukan Ein melonggar, ia melirik ke samping untuk memastikan apakah benar Ein sudah muncul.

Tatapan, reaksi, dan perubahan sikap yang drastis membuat Medry yakin bahwa Ein-nya telah muncul. “Aku merindukanmu, Ein.”

Senyuman penuh ketenangan terukir di bibir Ein. “Aku tak pernah melupakanmu satu detik pun.”

“Wah, wah. Kata-katamu semakin manis saja ya, apa kau mencoba membuat ku tersipu sekarang?” Goda Medry.

Warna merah menghiasi wajah Ein seperti tomat. “Ahh, eum. Yang lebih penting, apa kau sudah mendapat informasi tentang wanita-itu?”

“Sudah, ini berkasnya.” Medry meletakkan sebuah berkas di meja Ein dan duduk di sofa yang tersedia.

“Aku cek, ya~”

“Apa rencanamu selanjutnya, Eina?”

“Hmh, entahlah,” jawabnya dengan senyuman yang tak dapat diartikan. “Yang jelas aku akan membebaskan Ena terlebih dahulu.”

“Kau tau, Eina? Terkadang aku lebih senang jika Ein yang mengambil alih.” Senyum mengejek terhias di wajah Medry.

“Dan membuat rencana ini semakin parah? Tidak.”

“Huh, kalian ini satu tubuh tetapi selalu saja bertengkar.” “Jadi kapan kita mulai? Paint-rem sudah dalam perjalanan.”

“Tiga bulan dari sekarang.”

“Oke. Kalau begitu aku akan mengurus beberapa pekerjaan, jika kau tidak keberatan untuk ku tinggal.”

“Aku bukan anak kecil.”

“Bukan kau yang ku maksud, Eina. Ein?”

”... Aku ... Baik-baik saja.”

“Meragukan, tapi baiklah.”


Goresan garis menghiasi kertas yang bertumpuk menyatu di atas tangan seorang laki-laki. Wajah tenangnya memancarkan kehangatan bagi makhluk di sekitarnya.

“Kau yang di sana, apa yang kau lakukan?” Suara laki-laki menyapa indra si pelukis.

“Sedikit menggambar,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas dan pensil di tangannya.

“Boleh ku lihat?” Ia mendekatkan tubuhnya pada pelukis itu. “Wah, indah sekali. Namun yang ini lebih indah.”

“Yang mana?” Si pelukis menoleh ke arah orang itu dan mereka saling bertatapan. Matanya membelalak sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya.

“AH! YA AMPUN, AKU MINTA MAAF, MAAFKAN AKU. A-aku pasti membuatmu ti-tidak nyaman. AKU MOHON MAAF!” Suara wanita itu berasal dari tubuh yang sama dengan orang tadi, membuat si pelukis sedikit terkejut namun tidak heran.

“Ah, eum ... Tidak apa-apa. Terima kasih.” “Ngomong-ngomong aku Paint-rem. Siapa namamu?”

“E ... Ena,” jawabnya malu-malu.

“Kalau yang tadi?”

“Di-dia tidak punya nama.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan En?” Ena hanya mengangguk sebagai jawaban. “Baiklah. Ena, apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku mencari ketenangan.”

“Apa tidak terlalu sepi? Kenapa tidak bersama temanmu saja?”

“Tidak. Aku tidak punya teman. Tidak ada yang mau menemaniku.”

Paint-rem terdiam sejenak sebelum menoleh ke arah Ena dan menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu aku akan menemanimu selama yang kau mau.”

Wajahnya memerah dan suaranya bergetar, pandangannya teralihkan untuk menghindari tatapan penuh makna dari Paint-rem untuknya yang sangat tidak baik untuk kesehatan jantung.

“Hahahahahahaha, wajah dan tingkahmu sangat lucu saat kau malu seperti itu.” Ena kesal dan membuang wajahnya. “Hah, jangan marah begitu, aku hanya menggodamu sedikit. Anggap saja sebagai balasan atas godaanmu tadi.” Paint-rem menekan-nekan pipi Ena perlahan sebagai bentuk candaan agar Ena tidak marah lagi padanya.

“Jangan menggangguku!” Ena menepis tangan Paint-rem.

Karena pasrah, akhirnya Paint-rem memilih untuk bangkit dari tempat ia duduk dan berpamitan dengan Ena untuk pergi dari taman rumah sakit jiwa itu. Perasaan bersalah melintas dalam hati Ena, apakah ia baru saja menyakiti perasaan orang yang baru saja ia temui? Mengingat kemungkinan bahwa mereka pasti tidak akan bisa bertemu lagi semakin membuatnya merasa bersalah. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan, rasa khawatir dan gengsinya lebih besar, mengalahkan perasaan bersalahnya. Akhirnya ia hanya dapat menatap sendu ke arah punggung laki-laki berambut putih dengan warna merah dan hijau di sebagian rambutnya sebelah kanan.

“Maaf,” gumamnya putus asa.


“Sudah bertemu dengannya?” Suara seorang wanita menyambut kedatangan Paint-rem di gerbang keluar.

Paint-rem hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Bagaimana?”

“Hmph, tidak jauh berbeda denganmu. Tapi ia cukup menarik.”

“Jangan sampai ketertarikanmu itu menghalangi rencanaku.”

“Tidak akan,” ucapnya sebelum meninggalkan Ein yang masih menatap bangunan rumah sakit di hadapannya.

Ingatan di mana ia menyangkal adiknya sendiri selalu terputar di benaknya, terkadng menjadi mimpi buruknya. Dan sekarang tinggal menghitung jam ia akan bertemu dengan adiknya, ia membyangkan reaksinya setelah terpisah selama lima belas tahun. Apa Ena akan membencinya? Apa semua akan berjalan lancar? Jika tidak, ia tidak tahu harus apa lagi jika usahanya selama ini ternyata sia-sia. Pikiran buruk selalu memenuhi benaknya kapanpun ia memikirkan soal Ena.

Langit menggelap, matahari pun sudah lelah menunjukkan sinarnya dan bulan bersemangat memamerkan keindahannya di antara bintang-bintang. Manusia berlalu lalang di bahu jalan, “Jangan menggangguku!” Ena menepis tangan Paint-rem.

Karena pasrah, akhirnya Paint-rem memilih untuk bangkit dari tempat ia duduk dan berpamitan dengan Ena untuk pergi dari taman rumah sakit jiwa itu. Perasaan bersalah melintas dalam hati Ena, apakah ia baru saja menyakiti perasaan orang yang baru saja ia temui? Mengingat kemungkinan bahwa mereka pasti tidak akan bisa bertemu lagi semakin membuatnya merasa bersalah. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan, rasa khawatir dan gengsinya lebih besar, mengalahkan perasaan bersalahnya. Akhirnya ia hanya dapat menatap sendu ke arah punggung laki-laki berambut putih dengan warna merah dan hijau di sebagian rambutnya sebelah kanan.

“Maaf,” gumamnya putus asa.


“Sudah bertemu dengannya?” Suara seorang wanita menyambut kedatangan Paint-rem di gerbang keluar.

Paint-rem hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Bagaimana?”

“Hmph, tidak jauh berbeda denganmu. Tapi ia cukup menarik.”

“Jangan sampai ketertarikanmu itu menghalangi rencanaku.”

“Tidak akan,” ucapnya sebelum meninggalkan Ein yang masih menatap bangunan rumah sakit di hadapannya.

Ingatan di mana ia menyangkal adiknya sendiri selalu terputar di benaknya, terkadng menjadi mimpi buruknya. Dan sekarang tinggal menghitung jam ia akan bertemu dengan adiknya, ia membyangkan reaksinya setelah terpisah selama lima belas tahun. Apa Ena akan membencinya? Apa semua akan berjalan lancar? Jika tidak, ia tidak tahu harus apa lagi jika usahanya selama ini ternyata sia-sia. Pikiran buruk selalu memenuhi benaknya kapanpun ia memikirkan soal Ena.

Langit menggelap, matahari pun sudah lelah menunjukkan sinarnya dan bulan bersemangat memamerkan keindahannya di antara bintang-bintang. Manusia berlalu lalang di bahu jalan, namun tidak dengan seorang perempuan yang tampak berdiri derdiam diri di tengah jalan.

“Target dalam jangkauan,” gumam perempuan itu.

Ein tersenyum, tak disangka ia kedatangan tamu yang tadinya ingin ia undang, namun ternyata tamunya tidak sabar untuk bertemu dengannya hingga ia berinisiatif untuk datang sendiri. Jadi Ein duduk di sofa ruang tamu seolah menunggu tamunya datang dengan sendirinya dari pintu depan rumahnya.

“Aku harap ia sopan.” Ein menyesap tehnya.

Tak lama, seorang wanita mengetuk pintu dan masuk ke dalam rumahnya sembari mengucapkan salam. Ein mempersilahkannya untuk duduk dan menuangkan teh baginya.

“Tak ku sangka engkau akan datang sendiri tanpa ku minta, Nona Plegy.”

“Aku hanya ingin memastikan secara langsung apakah kabar yang disampaikan oleh burung itu benar.”

“Kabar apakah yang dibawa oleh burung itu?”

“Kabar bahwa seorang humanoid-bertubuh-dwiwarna mencari orang yang memiliki tujuan untuk melenyapkan kaumnya dengan bayaran yang sangat mahal.”

“Ya, itu benar. Kabar itu ku sebarkan di dunia bawah. Jadi, informasi apa yang kau punya dan apa yang bisa membuatku percaya padamu?”

“Apa kau lupa, Ein Joel G? Kau memfitnah adikmu sendiri, kau juga tidak berpartisipasi dalam menyelamatkan orangtuamu. Pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri tentang apa kegunaanmu dalam dunia ini?” “Aku? Aku memang hina, maka pekerjaanku pun hina. Saat itu aku diperintahkan untuk membunuh kalian ber-empat, namun adikmu sungguh kuat dan menyulitkanku sehingga aku tidak dapat menyentuh kalian berdua. Sangat disayangkan bayaranku harus terpotong lima puluh persen.”

Ein berusaha menahan emosinya, menjaga ekspresinya agar tetap terlihat tertarik dan ceria. “Jadi, siapa orang yang memerintahkanmu itu?”

“Aku tidak tau apa kau familiar dengannya dan aku sendiri sudah lama tak berhubungan dengannya jadi informasiku pasti tidak akan terlalu membantu.”

“Apa aku memintamu berbicara soal hal itu? sebut saja namanya.”

“Sebelumnya, aku ingin jaminan.”

“Jaminan atas apa?”

“Jaminan atas nyawaku. Walau aku yang membunuh orangtua kalian, namun aku melakukan itu atas perintah. Jadi jika kau ingin mengetahui siapa dalangnya, kau harus menjamin keselamatanku karena musuhku bukan hanya kalian.”

“Apa uang tidak cukup?”

“Aku punya banyak uang.”

“Baik, aku jamin nyawamu seumur hidupku.”

“Namanya ialah, Janes Timyline.”

“Familiar.”

“Salah satu pemilik agensi tentara bayaran, pemilik tempat jual-beli budak internasional sekaligus orang yang cukup berpengaruh bagi negara.”

“Aku akan mengirim orang malam ini.”

“Ku kira kau akan pergi ke perusahaan bodyguard atau semacamnya.”

“Aku juga punya prajuritku sendiri. Kau terlalu meremehkanku, Plegy.”

“Benarkah? Kalau begitu aku pamit undur diri karena ada pesta yang harus ku hadiri.” Plegy berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar.

“Plegy, jangan meledak.” Ein tersenyum sebelum menutup pintu rumahnya.


Berita pagi itu mengatakan terjadi ledakan di sebuah gedung yang menelan cukup banyak korban jiwa karena pesta besar sedang diadakan di sana. Ein hanya menyesap kopinya santai mendengar berita itu, ia seperti sedang menikmati sarapan pagi sebelum memulai hari pertama di rumah sakit jiwa.

Setelah pengenalan lingkungan, Ein bertemu dengan para penghuni rumah sakit itu dan membaca berkas tentang mereka satu-per-satu. Ia juga mendapat kabar dari Medry bahwa Janes Timyline ternyata juga masuk ke rumah sakit jiwa yang sama dengan adiknya, tempat ia bekerja sekarang. Alasan yang tertera di berkas miliknya adalah; maniak pembunuh, penyiksaan, dan penggunaan kekuatan berlebihan. Namun Ein tau bahwa semua itu adalah alasan agar pemerintah dapat menjatuhkannya, kenyataannya ia tidak segila yang tertulis di berkas diagnosis miliknya.

“Baiklah, mari kita mulai hari ini dengan menyapa yang paling berharga terlebih dahulu.”

Paint-rem sebagai asisten Ein mengikutinya dari belakang menelusuri bangsal-per-bangsal. Memperhatikan kegiatan para orang yang berada di sini dan menyelesakan masalah antar pasien yang mulai menodongkan kekuatan mereka satu sama lain. Untunglah material bangunan rumah sakit jiwa ini cukup tahan kekuatan dahsyat, sehingga tidak mudah roboh ketika para pasien lepas kendali.

Ein masuk ke kamar yang bertuliskan nama adiknya-Ena Joel G. Bisa ia lihat kamar bernuansa putih itu cukup rapih dan seorang yang cukup mirip dengannya duduk di atas tempat tidur di samping jendela, ia melihat ke luar seperti raja yang melihat rakyatnya makmur dari atas singgasana.

“Ena.” Suara perempuan yang tidak familiar namun dapat di tebak oleh Ena.

“Aku kira kau laki-laki.” Suara berat tak dikenal menyapa telinga Ein, namun ia tau siapa pemilik suara itu.

“Dan aku kira adikku akan bersuara lembut.” Ein duduk di atas kursi yang tersedia.

“Maaf menghancurkan ekspetasimu, kakak.” Ia tersenyum dan ikut duduk di depan Ein.

“Maaf terlambat.” Suara asli Ein keluar, membuat Ena juga ikut mengganti suarnya.

“Sangat terlambat. Lima belas tahun aku menunggu momen ini.”

“Dan lima belas tahun aku berusaha menahan diriku untuk tidak menyusup ke kamarmu dan membebaskanmu.”

“Bagaimana, kak, di luar?”

“Tentu saja, kacau. Bagaimana dengan bangunan putih ini?”

“Tidak buruk. Jadi, apa selanjutnya?”

Ein tersenyum kepana Ena dan mempersilahkan Paint-rem untuk masuk. Tahap akhir dari rencananya akan berjalan sekarang.

Cukup lama dari waktu mereka masuk hingga mereka keluar, kerinduan antara dua saudara yang terpisah tak dapat diakhiri semudah itu rupanya. Paint-rem sendiri bingung mengapa ia mau menjadi asisten Ein yang sebenarnya sama gilanya dengan Ena.

“Jadi ... Paint-rem, benar?”

“Iya. Rasanya aneh mendengarmu menyebut namaku seperti kita baru pertama bertemu.”

“Pfft, aku tak mengira kau adalah rekan kakak. Ekhm, Ena, maksudku.”

“Aku harap kau cepat terbiasa.”

“Ahh, rasanya sulit.” “Tetapi, Paint-rem. Aku benar-benar merasakan kelegaan dalam dadaku.”

“Kenapa?”

“Ingat pertama kali kita bertemu di danau? Aku sempat sedikit marah terhadapmu, aku minta maaf.”

“Memang apa salahmu?”

“Aku rasa kata-kataku dan tindakanku waktu itu menyakitimu tanpa ku sengaja.”

“Hahahahaha, tidak apa-apa. Aku hanya berpura-pura saat itu. Aku tau kita akan bertemu lagi, itu kenapa aku berani bercanda seperti itu.”

“Sejak saat itu, wajahmu terus berputar di kepalaku bersamaan dengan kesalahan yang ku perbuat saat itu.”

“Apa ini pernyataan cinta?”

“Terkadang percaya diri pun ada batasnya.”

“Jadi aku tertolak?”

“Kau bahkan tidak menyatakan perasaanmu.” Ena menatap Paint-rem dengan bingung.

“Baiklah, aku menyukaimu, maukah kau hidup bersamaku?”

“Aku tidak mengerti mengapa kakak memilihmu sebagai partner kerjanya. Bagaimana bisa orang yang baru bertemu dua kali bisa jatuh cinta satu sama lain?”

“Kalau begitu apa yang kau mau?”

“Untuk pertama, aku ingin balas dendam.”

“Setelah balas dendam itu apa kau mau bersamaku?”

“Santai saja. Kita masih punya waktu untuk saling mengenal.”


Tiga hari berlalu, Ena mulai terbiasa dalam perannya sebagai Ein. Sesuai rencana yang dijelaskan Ein ia menjaga Plegy dan bertingkah seperti yang di ajarkan Medry dan Paint-rem. Rencana ini berhasil berkat lapisan lukisan dari Paint-rem pada waktu mereka bertiga berkumpul. Walau sedikit mencurigakan, namun Ein dan Ena memang tidak menonjol dalam kehidupan mereka, itu menjadi keuntungan bagi mereka saat ini.

“Apa ada yang sadar bahwa kita bertukar tempat?”

“Tidak.” Ein menyesap tehnya seolah ia menikmati kehidupan di rumah sakit jiwa ini.

“Bagaimana dengan si Janes?”

“Sudah ku masukkan racun ke setiap makanan dan minumannya. Kematiannya tak akan lama.”

“Apakah keluarganya akan menjadi pengganggu?”

“Jika mengganggu aku akan memberskannya. Namun jika aku belum keluar saat itu, ku mohon wakilkan aku untuk memecahkan kepala keturunannya satu-per-satu.”