Querencia

Seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di mata kirinya menikmati cahaya rembulan yang turun menyinari malam itu, diperhatikannya bintang-bintang yang sangat terlihat jelas. Tidak, ini bukan di kota. Ia sekarang berada di puncak gunung.

Dinikmati kesunyian dan angin malam yang menerpa rambut cerahnya. Ia hanya mengenakan celana panjang dan kaos putih tipis, tidak kah ia takut sakit? Tidak.

“Mau apa kamu di belakangku terus?” ucap si pirang membalikan tubuh bertatap-tatapan dengan lelaki bersurai putih di belakangnya. “Aku muak mengabaikanmu. Apa yang kau mau?”

“Umm ... hanya mengikuti?” jawab si surai putih gugup.

“5 bulan. Jika kamu arwah penasaran, pilihlah orang lain selain diriku. Tak ada yang kamu dapat dari mengikutiku.”

Ia adalah seorang pemuda yang baru saja terkena musibah, kesulitan melilit hidupnya bagaikan hujan yang terus turun tak henti walau matahari bersinar cerah. Benar jika ia katakan 'tak ada yang kau dapat dari mengikutiku' memiliki sesuatu pun tidak. Hanya bergantung dari uang kematian orang tuanya dan pekerjaan paruh waktu yang ia kerjakan.

“Hey, aku belum mati.”

“Kalau begitu, kamu sama denganku?”

”... Bisa iya, bisa tidak.”

“Lalu kamu ini apa? Kamu selalu hadir bagaikan hantu yang menempel padaku, tapi kamu bilang kamu belum mati dan juga tidak out-of-body experience sepertiku. Lalu kamu apa? Malaikat?”

“Aku akan merasa tersanjung jika kamu menganggapku begitu, namun sayangnya aku bukan malaikat.”

“Jin? Siluman?” tebaknya

“Hey, siluman tak setampan diriku. Dan wujud mereka aneh, aku manusia.”

“Kamu terlihat seperti siluman kakek-kakek bagiku.”

“Bagian mana dari diriku yang tampan ini terlihat seperti kakek-kakek!?” ucapnya tak terima.

“Rambutmu.”

“Hey! ini namanya model, Seishu.”

“Wah, curang sekali. Kamu bisa tahu namaku, tapi aku tak tahu namamu. Ah, aku lupa penjaga tak memiliki nama.”

“Aku bukan penjagamu.”

“Lalu siapa kamu?”

“Hajime Kokonoi.”

Seishu tak terlalu terkejut, namun ia masih memikirkan sebenarnya laki-laki di depannya ini apa.

Semenjak kecelakaan yang menimpa keluarga nya beberapa bulan yang lalu Seishu dapat melakukan out-of-body experience mungkin dampak dari kecelakaan. Jiwanya sering terpisah dari raga, terutama ketika tertidur.

Tak hanya itu, ia juga dapat merasakan kehadiran makhluk menyeramkan di sekitarnya, bahkan ia dapat melihat mereka jika energi mereka terlalu besar. Itulah alasan kenapa ia tahu Koko mengikutinya.

Dan tentu selama out-of-body experience ia perlu menjaga sikap agar tak di tempeli oleh hantu lain. Sekarang ia cukup terbiasa mengendalikannya, bahkan sudah bisa berpergian seperti ini. Tak lupa kebiasaan barunya saat tidur, menggunakan jam, agar saat jiwanya keluar dari raganya nanti ia masih dapat melihat arloji untuk kembali ke tubuhnya.

“Inupi, kurasa ada baiknya kamu kembali sekarang.”

“Inupi?”

“Panggilan dariku untukmu. Kamu tak suka?”

“Terserahlah, selama kamu tak mengacaukan hariku, itu tak masalah.”

Seishu memejamkan kelopak mata, dan kembali ke kamarnya menatap raga tanpa jiwa yang tertidur pulas.

“Sekarang jam 2 pagi. Lebih baik kamu masuk dan tidur, aku takut kamu akan kelelahan jika langsung kembali ke tubuhmu dan beraktivitas.”

“Aku ada kelas jam 8.”

“Kita sudah saling mengenal, namun aku bisa membangunkanmu.”

Tak begitu percaya sebenarnya, namun Seishu memilih untuk mengikuti saran Koko.

Benar saja, ia dibangunkan dengan cipratan air di wajahnya. Mata Seishu mengerut merasa terganggu dengan cipratan air yang membasahi wajahnya.

Akhirnya ia bangun dengan langkah gontai menuju kamar mandi dan menggosok gigi.

“Kemana perginya semangat hidupmu?”

“Dari awal aku memang tak bersemangat untuk hidup, Koko.”

“Ayolah, masih punya raga saja kamu sudah harus bersyukur.”

“Tapi lebih menyenangkan tanpa raga.”

Kokonoi terdiam, ia menunduk mengalihkan perhatiannya dari Seishu yang sedang menyantap sarapan.

“Mungkin awalnya itu akan menyenangkan. Namun ketika kamu menyadari mereka punya apa yang dulu kamu miliki, itu akan membuatmu iri. Ditambah jika kau memiliki raga namun kamu tak dapat masuk ke ragamu.”

“Maksudnya?”

“Coma.” “Ketika tubuhmu tak sadar, jiwamu bisa keluar kemana-mana namun kau tidak bisa masuk ke ragamu.”

“Itukah dirimu?”

Koko mengangkat kepalanya menatap Seishu dengan senyuman pilu. Entah sejak kapan air di mata Seishu mulai berkumpul hingga kelebihan muatan dan jatuh mengalir perlahan bak air sungai di dataran tinggi yang mengalir turun dengan tenang.

“Hei, mengapa kamu menangis? Seharusnya aku yang menangis karena aku yang mengalaminya.”

“Ko, kamu tahu di mana rumah sakit tempat kau dirawat?” tanya Seishu dengan suara senetral mungkin.

“Di rumah sakit yang sama dengan kakakmu.”

“Kau bertemu aku di sana?”

“Iya, lalu aku mengikutimu karena kau terlihat bereaksi saat aku mencoba berinteraksi denganmu,” bohongnya.

Setelah Seishu menyelesaikan sarapannya dan ibu jari Koko menyeka air mata Seishu. Senyumnya menenangkan Seishu dan sentuhan di pipi Seishu sangat lembut, jika saja ia dapat memegang raga lelaki ini mungkin akan terasa hangat dibandingkan dingin.


Selepas kuliah, Seishu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah sakit tempat kakaknya, Inui Akane dirawat.

“Mengapa kakak tidak istirahat?”

“Nanti, aku sedang menunggu Yuzuha.”

“Maaf aku menjadi adik yang tak berguna,” ucapnya menunduk dengan air mata yang mulai berkumpul di matanya. “Aku tak bisa menolong ayah dan ibu, kehidupan kita melarat, bahkan sekarang kita malah bergantung pada kak Yuzuha.”

“Kurasa hanya aku yang bergantung pada Yuzuha, lagipula tak apa, toh kami akan menikah,” senyumnya berusaha menenangkan Seishu. “Bukan salahmu, Sei. Aku baik-baik saja dan berhasil hidup, malah kamu terluka.”

“Kubilang berapa kali, ini hanya luka kecil.”

“Tetap saja kau terluka, dan terima kasih telah menyelamatkanku.”

Seorang wanita dengan rambut bronze tergerai masuk ke ruangan itu dan wajahnya tampak tegas, Shiba Yuzuha, tunangan Akane. Ia menghampiri Akane dan mencium keningnya, di saat itu ia bersyukur ia masih dapat melihat tunangannya.

“Sei pulang kuliah cepat?”

“Iya, tadi dosennya ada yang tidak hadir.”

“Mau minum kopi?”

“Tidak perlu, kak. Aku ingin menjenguk temanku yang juga sedang sakit di sini, titip kak Akane ya.”

“Serahkan dia padaku, kamu tak perlu khawatir.”

“Terima kasih banyak kak.”

Sedari tadi Koko hanya diam memperhatikan interaksi mereka bertiga. Ketika Seishu keluar, barulah ia mulai bertanya,

“Menjenguk teman?”

Seishu berjalan ke meja resepsionis dan bertanya pada perawat yang berjaga disana, “Maaf, pasien bernama Hajime Kokonoi ada di kamar berapa?” mendengar pertanyaan Seishu, Koko cukup terkejut.

“Inupi, untuk apa bertanya seperti itu? Kamu tak perlu menjengukku,” Seishu mengabaikan pertanyaan Koko.

“Ruang vip, lantai lima, kamar nomor tiga.”

“Terima kasih.”

Ia langsung menuju ke kamar Koko mengabaikan Koko yang berusaha berbicara dengannya.

Ditemukannya kamar Koko, kamar itu tampak sepi seolah tak ada yang hidup di sana, bahkan tak ada bodyguard berjaga seperti di kamar lainnya.

Ia membuka pintu kamar Koko perlahan, dan mendapati sesosok tubuh tanpa jiwa yang terbaring dengan infus dan EKG-elektrokardiogram-menempel di dadanya, menampilkan denyut jantung yang beraturan.

“Koko, tak ada yang menjagamu?”

“Apa yang kamu harapkan dari anak gagal?”

Seishu duduk di pinggir kasur tempat raga Koko terbaring tak sadar. Disentuhnya bagian sisi kiri kepala Koko yang memiliki potongan rambut sangat pendek.

“Kenapa model rambutmu seperti ini?”

“Aku sempat menyelamatkan seseorang sebelum coma, ini adalah akibat dari menyelamatkan orang itu.”

“Apakah orang itu tau kamu menyelamatkannya?”

“Tidak, aku juga tidak akan memberitahunya karena aku tak ingin membebani dia.”

“Warna rambutmu ...”

“Putih?”

“Alami.”

“Pertanyaan atau pernyataan?”

“Pernyataan.”

“Salah, aku mewarnai rambut.”

“Tapi seharusnya warna rambutmu sudah pudar berganti dengan warna rambut aslimu.”

“Aku cat rambut di salon yang mahal.”

“Kamu stres.”

Koko terdiam menatap Seishu yang mengelus rambutnya yang sedang tertidur lelap.

“Sejak kapan?”

“Entahlah, mungkin cukup lama”.

“Pasti kamu tahu banyak hal tentangku. Mengapa kali ini kamu tidak menceritakan tentang dirimu sendiri?”

“Kenapa kamu ingin tahu?”

“Ini idak adil. Kamu tahu segala hal tentang ku, namun aku tidak tau apa-apa tentangmu. Lagipula bukannya kamu yang bilang, 'kau cantik, Seishu. Apa aku bisa mendapatkanmu saat bangun nanti?'

“Kamu tidak tidur!?” Seishu hanya tertawa kecil sebagai jawaban. “Ugh, aku tidak nyaman bercerita sekarang. Boleh nyicil gak?”

“Memangnya aku pedagang yang bisa kau tawar?”

“Nupii, aku belum siap,” Koko merengek mengalihkan pandangannya.

Seishu mengelus rambut arwah Koko dan tersenyum lembut. “Kutunggu bila kau siap.”


Tidak bercerita banyak, pukul tujuh malam Seishu melangkah keluar dari rumah sakit bersama dengan jiwa Koko yang mengikutinya.

Menapakkan kaki di jalan sepi itu, Seishu menikmati malam melewati genangan air selepas hujan dengan sinar rembulan dan lampu-lampu taman di sekitarnya. Angin dingin berhembus menerpa rambutnya, baju yang ia kenakan cukup tebal walau sebenarnya masih kurang untuk melindunginya dari serangan dingin, namun dapat ia tahan.

Seorang anak kecil menunduk di pinggir jalan, hati Seishu tersentuh melihatny. “Hey kamu tak apa?” tanya Seishu seraya menepuk kecil pundak anak tersebut. Namun ketika anak itu hendak membalikan tubuhnya menatap Seishu, Koko langsung menarik Seishu ke dalam pelukannya bertujuan agar Seishu tak dapat melihat anak kecil bertampang rusak itu.

“Sei, kamu lelah?”

Si surai pirang hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Kamu kenapa? Biasanya kamu dapat membedakan mereka.”

Seishu mundur beberapa langkah dari pelukan Koko, “Teringat masa lalu.”

Seishu kembali berjalan, kepalanya tertunduk mengingat masa lalunya ketika ia masih kecil dan tertinggal seperti hantu anak kecil tadi. Air mata kembali berkumpul di bola matanya, angin malam menerpa wajahnya memaksa air mata itu turun jatuh ke tanah.

Pundak Seishu bergetar menunjukan dirinya menangis tanpa suara. Koko dapat mengetahui bahwa hal ini berkaitan dengan masa lalunya, ingin ia raih pundak bergetar itu, medekapnya dalam pelukan, menenangkan si pirang, namun tampaknya lebih baik memberi ia waktu sendiri saja.

Jujur, hati Koko ter-iris, ia tak tau entah apa yang alami Seishu semasa kecilnya, tapi siapapun itu yang membuat malaikat hatinya menitikan air mata, jelas tak bisa ia maafkan.

Akhirnya mereka sampai di tujuan, rumah Seishu. Toh ia tinggal sendiri, kehadiran Koko cukup mengusir sepinya. Tak ada yang mengganggu? Tidak sering, namun Seishu juga sudah tak peduli. Bagi Seishu tak ada yang lebih menakutkan dari keadaanya saat ini.

Setelah membersihkan dirinya, Seishu langsung tidur menghilangkan penat yang menumpuk di hari itu. Koko memantau, berusaha mencegah sang malaikat hatinya astral projection lagi. Ia tak ingin kesayangannya kelelahan, jadi ia mengelus rambut Seishu berusaha memberinya kenyamanan dan menggenggam salah satu tangan Seishu seolah mengatakan, 'Tenang, aku ada di sini.'


Entah apa yang dipikirkan Koko setelah itu. Yang jelas saat Seishu terbangun, ia tak mendapati Koko di mana-mana, tapi ada secarik kertas bertuliskan bahwa Koko pergi sementara namun tak akan kembali dalam waktu dekat.

Lega walau kesepian melandanya, ia bersandar di dinding terdekat dan merosotkan tubuhnya perlahan duduk di lantai. Tak bisa di pungkiri bahwa ia juga khawatir.

Rasanya rumah saat ini bukanlah rumah. Memang belum lama ia berinteraksi dengan Koko, namun selama ini Koko diam-diam memberinya kenyamanan saat di rumah. Bukan kenyaman yang dapat diberi keluarga atau pun teman, kenyamanan yang Koko berikan jauh di atas itu semua.

Sepulang dari kuliah, ia kembali ke rumah sakit mampir sejenak menemui raga Koko, berharap jiwa Koko berada di sana. Namun tetap nihil, ruangan itu malah terasa makin sepi dan menyeramkan tanpa jiwa Koko disisinya.

Pikiran Seishu mulai berkecamuk. Jika jiwanya tak ada di sini, di mana ia sekarang? Apa hal buruk terjadi? Raganya terlihat baik-baik saja. Namun apa itu dapat menjamin jiwanya baik-baik saja?

Seishu menggenggam tangan Koko, berharap itu dapat membuatnya bangun dari ketidaksadaran dan menarik jiwanya untuk kembali menyatu dengan raga. Namun jelas itu hanya usaha yang sia-sia.

Segala pikiran mulai memenuhi kepalanya. Di satu sisi ia sangat mengkhawatirkan Koko, namun ia juga berusaha mengenyahkan pikiran karena itu hanya membebani hidupnya. Hidup sendiri saja sudah susah, sekarang malah memikirkan orang lain. Namun otaknya tak dapat bekerja sama dengan hatinya. Mau semenentang apapun otaknya terhadap kekhawatiran kepada Koko, hatinya tetap khawatir, malah semakin besar rasa khawatirnya ketika ia ditentang.

Akhirnya ia pulang ketika malam semakin larut. Selama berjalan ia terlihat mengingat kembali masa lalunya, dari mulai ketika ia kecil, hingga sebesar sekarang menjalani hidup yang sulit. Ia tersenyum remeh pada bulan seolah mengejek takdir yang ia terima. Atau mungkin memang itu arti dari senyumannya.

Masuk ke dalam rumah tanpa menghidupkan lampu adalah kebiasaan Seishu dari dulu, gelap dan tenang itu lebih membuatnya nyaman. Namun kali ini ia menyalakan lampu dapur yang cukup memberi cahaya ke beberpa bagian rumah. Termasuk tempat dimana piano peninggalan ibunya berada.

Ya, entah kenapa benda terkutuk bagi Seishu itu bisa selamat. Dulu semasa ia kecil, mendiang ibunya sering memaksanya untuk berlatih piano. Tentu saja dengan segala pakasaan dan pukulan diterimanya. Dan bahkan hingga detik terakhirnya, tak pernah ia mendapatkan penghargaan barang ataupun senyum dari ibunya.

Lalu mengapa ia tak menjual piano tersebut? Mungkin bernilai tinggi, tapi bagi Seishu benda ini cukup berhasil menyalurkan emosinya. Tidak, ia tidak berniat menekuninya, ia hanya memainkan piano tersebut dengan sesuka hati.

Sebelum membersihkan diri, Seishu duduk di depan piano tersebut dan menyentuh setiap jengkal tutsnya. Memainkan Perlude in C Sharp Minor karangan Rachmaninoff. Lantunan nada indah menggema di ruangan itu dengan wajah Seishu yang terlihat datar. Ia masih memikirkan berbagai alasan dan kemungkinan di mana Koko berada.

“Tak mau kah kamu kembali untuk menjelaskan segalanya sebentar, Ko.”

Merasa sudah lelah, ia menghentikan permainannya dan melempar diri ke atas kasur berharap jiwanya dapat keluar lagi agar ia dapat mencari Koko lebih leluasa.

Sia-sia, hal itu tak terkabul. Disaat ia sangat menginginkannya, hal itu tak terjadi. Dan sekarang ia terbaring menatap langit-langit kamarnya berusaha untuk tidur.

“Sialan, sekarang rasanya aku seperti kehilangan rumah.”


Setelah malam itu keseharian Seishu kembali monoton. Bangun pagi, kuliah, bekerja, menjenguk kakaknya dan kali ini ia juga menjenguk Koko walau sebentar masih berharap jiwanya kembali muncul di sana.

Terhitung hanya 4 hari lamanya ia berpisah dengan Koko, dan 4 hari itu pula kondisi rumah Seishu makin suram. Karena selama ini, walau dulu Koko sempat tak menunjukkan keberadaanya, ia tetap merawat Seishu seperti menempelkan sticky note mengingatkan Seishu akan jadwalnya sehari-hari. Kadang Koko juga suka jahil menghidupkan keran kamar mandi bermaksud mengingatkan Seishu membersih kan dirinya, atau membuka pintu kulkas untuk mengingatkan Seishu makan malam.

Kali ini, di sini lagi ia duduk di depan piano seperti 4 hari yang lalu. Kali ini ia memainkan When the love falls-Yiruma. Netra Seishu menatap sendu ke arah jemarinya yang bermain di atas tuts hitam dan putih benda tersebut.

Orang itu, jiwa itu, menghadirkan perasaan yang seharusnya sudah ia buang jauh-jauh semenjak tragedi kebakaran, atau mungkin lebih lama lagi. Ya, Koko berhasil mengembalikan perasaan dalam diri Seishu. Sekarang, kemana perginya sosok Koko? Apakah selama ini ia hanya bermain-main?

Pikiran Seishu semakin tenggelam seiring nada yang ia lantunkan, pikirannya berkecamuk memikirkan hal yang tidak penting, mulai dari teori-teori aneh dalam hidupnya sampai mempertanyakan keberadaan koko. Ia tahu ini akan menuju semakin dalam dan semakin berbahaya. Namun siapa peduli? Kakak-nya berada di rumah sakit, kedua orang tuanya tak ada yang peduli dan syukurlah sudah meninggal, Koko entah ada di mana.

Sebuah kertas kecil jatuh dari atas mendarat perlahan di atas tuts piano membuat permainannya tehenti.

Lihat ke belakang.

Dengan tergesa-gesa Seishu membalikkan tubuhnya, mendapati Koko senyuman Koko yang sudah lama hilang. Rasa geram dan bahagia bercampur aduk saat itu juga.

“Hai,” ucapnya dengan senyum ramah mungkin sengaja membuat Seishu jengkel.

Seishu bangkit dari duduknya dan melakukan hal yang sedari tadi sudah ia tahan, akhirnya ia memukul kepala Koko, “emang dasar sengaja banget ya.”

“Aduh, aduh. Kok kepalaku dipukul sih, cantik.”

“Jaga mulutmu.”

“Hehe ... Kenapa marah? Tidak mau memberiku pelukan? Memangnya kamu tidak merindukan aku?”

“Gak.”

Seishu kembali duduk di depan pianonya dan melantunkan nada asal namun tetap menghasilkan suara yang indah mengabaikan Koko yang berusaha mencuri perhatiannya, dengan cara mengganggu permainan Seishu.

Dari mulai mencolek pipinya, menekan tuts piano membuat suara yang menjengkelkan, hingga kali ini ia memeluk Seishu dari belakang dan meletakkan dagunya di atas kepala Seishu.

“Apa yang kamu inginkan?”

“Lirik aku, Seishu. Aku sudah kembali tapi kamu tidak memberiku perhatian.”

“Siapa yang menyuruhmu pergi tanpa kabar?” Koko tak menjawab, namun ia tetap diam dalam posisinya. “Jelaskan, 4 hari ini kamu kemana?”

“Khawatir, ya.”

“Iya.” Seishu mendongak menatap Koko.

“Baru pertama kali ada yang khawatir padaku seperti ini.”

Seishu menambahkan, “Dan baru pertama kali aku khawatir pada seseorang seperti ini.”

Koko menghela napas tak sanggup menghindar lagi dari segala perkataan Seishu. Ia berdiri di samping piano Seishu membuatnya bisa bertatapan dengan lebih leluasa.

“Aku pergi menemui rekanku untuk membantunya sedikit menyelesaikan pekerjaan kami. Aku ingin segera lepas dari genggaman ayahku, jadi walaupun sedang sakit begini aku ingin mengurus semua urusanku agar ketika bangun nanti aku terbebas dan bersamamu,” ucapnya sedikit menggoda Seishu.

“Tapi caranya bagaimana? Apa rekanmu bisa melihatmu?”

“Tidak. Aku pakai cara yang sama denganmu, aku memberinya petunjuk dengan menulis di selembar kertas,” ucapnya terhenti kemudian ia lanjutkan, “Sudah malam, gak mau tidur?”

“Tidak mau” Seishu berjalan ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Koko ikut naik ke atas kasur dan duduk memperhatikan Seishu. Mengingat permintaan Seishu, akhirnya ia berani menceritakan sedikit tentang dirinya. Seishu mendengarkan dengan baik namun, ia hanya tak bisa diam dalam satu posisi, jadi ia sering bergerak tak jelas, atau bahkan memainkan suatu benda sembari mendengarkan cerita Koko. Dan itu membuat sang pembicara jengkel, merasa tak didengarkan.

Seishu sengaja membuka jendelanya, membiarkan angin malam masuk dan cahaya rembulan menyinari kamarnya. Ia memperhatikan Koko yang bercerita dengan tenang, surai putihnya yang tersapu oleh angin dengan wajah yang diterpa sinar rembulan menunjukkan keindahan. Akhirnya, di malam itu Seishu mendapatkan perasaannya kembali.

“Pi, kalau aku berhasil kembali ke tubuhku ... kamu mau bersama ku?”

“Dalam artian apa itu?”

Umm ... confession?

“Oke, aku mau,” tanpa pikir panjang Seishu langsung memberikan jawabannya.

“Hah? I mean we'll be a couple if i wake up.

Yea, i know, and i said yes.

I ... i thought you hate me.

Your just anoying, it doesn't mean i hate you.

Koko tersenyum sendiri entah apa yang ia pikirkan, dan itu membuat Seishu bergidik ngeri sekaligus merasa lucu akan tingkah laku Koko. “hehe ... aku tidak jomblo lagi,” ucapnya kecil.

“Kalau jiwa dan ragamu masih terpisah itu artinya kamu masih disebut jomblo. Maka dari itu cepat kembali ke ragamu, agar kita bisa bersama,” ucap Seishu sebelum ia menarik selimutnya bersiap untuk tidur.

Sedangkan Koko salah tingkah mendapat pengakuan dari Seishu, membutanya banyak berulah hingga memaksa Seishu untuk memukul kepalanya lagi untuk membuat Koko diam agar Seishu bisa tidur dengan tenang.

“Sei ... Kamu udah tidur?”

Yang dipanggil tak memberikan sahutan membuat Koko yakin bahwa ia sudah tertidur.

“Aku akan ceritakan semuai. Aku benar-benar ingin bangun kali ini. Mulai dari mana, ya? Mungkin dari awal. Ya, awal aku bertemu denganmu. Bukan 5 bulan yang lalu, tapi dari 3 tahun yang lalu, aku teman kuliah Akane. Saat itu, aku mampir ke rumah Akane untuk mengantarnya pulang, di sana lah pertama kali aku bertemu denganmu, anak suram tanpa semangat hidup. Kulihat dirimu dan Akane bagaikan matahari dan bulan. Semenjak saat itu aku sangat tertarik padamu.

Aku terus mencari alasan untuk datang ke rumahmu hanya untuk memperhatikan dirimu. Kamu pasti tidak sadar karena kamu memang tak peduli dengan sekitarmu. Tapi aku peduli. Di saat kebakaran itu ... aku yang menyelamatkanmu, tepatnya saat itu aku baru saja mengantar Akane dan berpapasan denganmu.

Dan ketika rumahmu terbakar, kau langsung berlari ke dalam. Aku tak mengerti mengapa kau membahayakan nyawamu demi kakak mu yang selalu dipuji, dipuja, dan dibanding-bandingkan denganmu, bahkan kau juga berusaha menyelamatkan orang tuamu yang selalu menyiksamu setiap waktu.

Aku melihatmu berhasil membawa keluar Akane, tapi ketika melihatmu kembali masuk, aku langsung mengejarmu. Saat itu aku tak bisa menyamai langkahmu. Tetapi kamu tiba-tiba terdiam di tempat terkejut dengan pemandangan yang kamu dapati, jasad orang tua mu yang tewas mengenaskan. Hingga tak sadar ada kayu berselimut api yang terjatuh di atasmu. Saat itu aku benar-benar berharap bisa berlari lebih cepat. Aku memelukmu, tapi kayu itu berhasil mengenai kepalaku dan mata kirimu. Maaf aku tak bisa melindungimu sepenuhnya, namun aku bersyukur kau terluka tak terlalu parah.

Kemudian aku membawamu keluar, menutupi hidungmu dengan bajuku agar asap tak masuk ke paru-parumu. Namun, aku terkena imbasnya. Seharusnya aku tak coma selama itu.Tapi ketika aku melihatmu dan Akane ada di rumah sakit yang sama denganku. Aku memutuskan untuk mengikutimu. Persetan dengan keadaanku, kebahagiaanmu lebih penting dari pada diriku. Karena aku tau, jika aku kembali ke tubuhku saat itu, aku tak akan memiliki kesempatan lagi untuk bertemu denganmu.

Dan tadi kamu menyatakan hal itu ... itu membuatku ingin bangun, namun kamu tahu kan tidur 5 bulan pasti banyak yang berubah. Jadi, jika aku 'menghilang' nanti, itu berarti hanya ada dua kemungkinan. Mati atau aku berhasil kembali ke tubuhku.”


Pagi, itu Seishu terbangun, kembali dengan kesehariannya dengan Koko. Ia lebih baik sekarang, hidupnya lebih berwarna.

Namun, kuliah dserta pekerjaan membuatnya semakin sibuk, bahkan kadang ia tak sadar bahwa Koko sedang menghilang. 'biarlah, pasti ia mengurus pekerjaannya lagi' begitu pikirnya.

Tak bisa di pungkiri jika ia juga merasa khawatir. Namun, memangnya apa yang bisa ia lakukan? Dia sedang terkekang oleh kesibukan di kampus dan di tempat kerjanya.

Hey, cantik. Istirahat dulu

Seishu mengambil secarik kertas itu dan membacanya sedikit tersenyum.

“Gitu dong senyumnya dipamerin, 'kan, dunia jadi lebih indah,” kata Koko muncul di samping Seishu dengan senyum menjengkelkannya.

Tak bisa Seishu pungkiri hatinya berdegup kencang dan terasa hangat. Rasa lelahnya tergantikan oleh rasa bahagia.

“Tumben kakek-kakek gak lama perginya.”

“Heh!Siapa yang kamu panggil kakek-kakek?”

“Ups, tersinggung, ya. Maaf kakek Hajime,” ledek Seishu dengan sengaja, kemudian ia tertawa kecil.

“Awas, nantiku ubah juga namamu jadi Hajime. Hajime Seishu.”

“Maka dari itu bangunlah terlebih dahulu.”

Seishu masuk ke kamarnya untuk beristirahat melepas penat seperti saran Koko. Ia berbaring di atas kasur dan Koko juga seperti biasa duduk di sampingnya.

“Ko, aku mau cerita.”

“Cerita apa?”

“Masa laluku. Kamu belum tahu semuanya, 'kan?”

“Boleh, aku penasaran. Nantiku ceritain juga masa laluku.”

“Aku lupa tepatnya mulai kapan, tapi yang ku ingat dari kecil aku memang terus dibandingkan dengan Akane. Mereka lebih menyukai anak perempuan daripada laki-laki, mereka berharap aku juga perempuan. Itu juga alasan kenapa aku memakai high heels aku bisa bermain piano. Semua itu ku lakukan demi membahagiakan mereka, berharap mereka dapat melihatku sebagai anak mereka walau sekali saja.

Untungnya Akane tidak seperti mereka. Walaupun ia baik padaku, semua perhatian tetap tertuju padanya. Aku tak pernah dipandang, selalu dibandingkan. Karena itu pula aku tak punya teman. Kamu orang pertama yang benar-benar ada disisiku dan memihakku”

“Kau tidak cemburu pada Akane?”

“Bohong jika aku bilang, aku tidak cemburu padanya. Bohong jika aku tak ingin dia mati. Namun, saat kebakaran itu aku harus menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia keluargaku, tapi aku tak ingin dihujani dengan kebencian dari orang di sekitarku karena malaikat mereka mati. Lagipula dia juga baik padaku, anggap saja balasanku karena ia menjadi satu-satunya orang yang memperlakukan ku sebagai manusia pada saat itu,” jelasnya Seishu kemudian ia melanjutkan, “Sekarang giliranmu”

“Mirip sepertimu, mungkin. Aku hidup dengan ayah ku dan beberapa anak haramnya, lebih tepatnya calon kandidat penerus perusahaan. Aku dipaksa untuk bisa semua hal, harus menjadi manusia sempurna di mata mereka. Itu membuat ku tertekan, tak ada kesenangan, seluruhnya tentang kesempurnaan, tidak boleh gagal. Aku ingin keluar dari lingkaran setan ini, jadi aku bergabung dengan 'Bonten' salah satu organisasi yang dibuat oleh temanku. Saat sadar nanti aku ingin lepas dari genggaman ayahku. Dan mengapa ku katakan aku adalah anak gagal, karena aku tidak bisa sesempurna saudara tiri ku. Lebih tepatnya aku sengaja agar aku bisa bebas dari ayahku.”

“Kemana ibumu?”

Senyumnya lembut namun sendu, matanya menatap ke arah lain dengan penuh penyesalan, “ia mati di depan mata ku, dibunuh oleh ayahku. Aku melihatnya sembunyi-sembunyi karena penasaran. Sebelum ia membunuh ibuku, ia mengatakan sesuatu-


Flashback

“Jika ia tak bersusah sekarang, ia tak akan menjadi apa-apa di masa depan! Caramu mendidik terlalu memanjakannya!”

“Dia masih anak-anak! Dia anak kita! Cukup, kita bercerai dan Koko akan ikut dengan ku!”

DOR!

Flashback end


Satu tembakan tepat di kepala ibuku. Aku bersembunyi di balik tembok dan menatap jasadnya jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari kepalanya. Jika aku cukup bodoh saat itu, aku akan berlari ke jasad ibuku, namun aku menahan diri karena aku berpikir ibuku pasti ingin aku bahagia, jika aku mati saat itu ia tidak akan bahagia sama sekali. Dan di sini lah aku sekarang memperjuangkan kebahagiaanku.”

“Konyol, takdir mempertemukan dua orang dengan masa lalu menyedihkan untuk mengobati satu sama lain.”

“Memangnya kamu bisa membahagiakanku?”

“Entahlah, kamu yang memilihku.”

“Hehe ... Nupii”

“Apa?”

“Tak apa, hanya ingin memanggilmu saja,” katanya sembari menjulurkan lidah.

“Kalauku tarik lidahmu tercabut atau tidak, Ko?”

“Jangan gitu dong, ganteng. Udah bobo sini. Besok kuliah pagi, 'kan?” Terlalu malas untuk berdebat lebih jauh dengan Koko lebih jauh, Seishu berbaring di sampingnya dan tertidur dengan Koko yang mengelus rambut pirang Seishu, menenangkan dirinya memberikan kenyamanan bagi Seishu.

“Tunggu, ya. Sei.”

Setelah memastikan Seishu tertidur ia menaikan selimut menutupi seluruh tubuh Seishu kemudian turun dari kasur.

Ia menuju dapur tempat biasanya Seishu menyimpan sticky notes dan menuliskan beberapa kalimat sebagai tanda ia siap kembali ke tubuhnya.

Sei, aku pamit mau pulang ke tubuhku, ya. Ingat janji kita. Datang ke taman yang biasanya kita lewati sekitar jam delapan malam hingga jam setengah sepuluh. Kalau aku tidak datang, pulang aja, biar besok aku yang datang menemmu


Sekarang di sinilah Koko, di depan rumah sakit tempat ia dan Akane dirawat. Ia memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Namun sebelum menuju ke kamarnya, ia mengunjungi Akane yang tengah menatap pemandangan langit malam.

“Akane ... kamu lebih baik, 'kan, sekarang? Aku menjaga adikmu, memberinya kebahagian yang seharusnya ia dapatkan. Kebahagiaan yang tak dapat kau berikan. Aku akan kembali ke tubuhku sekarang. Aku ingin menjaganya lebih dekat lagi. Bahagialah Akane, adikmu aman bersamaku. Namun sementara aku titipkan ia padamu, aku ingin terbebas dari lingkaran setan ini. Aku tak ingin Seishu ikut terseret ke dalam masalahku.”

Akane menanggapinya, “Aku akan menjaganya sampai kamu kembali, Ko. Kamu tak perlu menegaskan hal itu, aku sudah tahu bahwa aku adalah kakak yang buruk. Aku merasa akan ada masalah besar di antara kalian. Namun, aku akan berusaha menjaga Seishu dengan baik. Maka selesaikan rencanamu segera dan kembalilah kepada Seishu, saat itu akan kuberikan ia sepenuhnya padamu.” mata Akane terlihat berkaca-kaca memikirkan betapa tak bergunanya ia sebagai kakak selama ini.

Koko meninggalkan ruangan Akane dan menuju ke ruangan di mana tubuhnya terbaring tenang dan segala macam kabel menempel pada dirinya. Ia menarik napas, menenangkan diri, kemudian dengan tenang ia masuk perlahan ke tubuhnya, setelah itu semuanya hitam. Ia berhasil masuk kembali ke dalam tubuhnya dan sedang berusaha meraih kesadaran.


“Ko?”

Seishu berjalan keluar dari kamarnya mencari keberadaan Koko. Awalnya ia mengira Koko pergi mengerjakan sesuatu lagi. Namun, ia menemukan sticky notes yang ditinggalkan oleh Koko.

Perasaan senang dan khawatir kembali bercampur dalam benak Seishu. Namun, ia berusaha beraktivitas seperti biasa sembari menunggu datangnya malam.

Seishu tak seharusnya berharap.

Karena sekarang, pukul sebelas malam ia berdiri di taman sendirian tanpa ada tanda-tanda kehadiran atau kemunculan Koko di mana-mana. Bahkan, pagi hari Seishu tak juga mendapati sosok Koko.

Tak peduli dengan piyama yang masih ia kenakan, Seishu berlari secepat yang ia bisa menuju rumah sakit tempat Koko dan kakaknya dirawat. Menerobos masuk ke kamar rawat Koko yang sunyi dan bersih tak ada seorang pun di sana.

Ia membalikkan tubuhnya melangkah ke meja resepsionis, mencoba bertanya di mana pasien bernama Hajime Kokonoi berada. Namun jawaban yang ia dapatkan ialah,

“Apa anda tidak mendapat kabar dari pihak keluarganya? Pasien tersebut sudah meninggal kemarin malam sekitar pukul delapan dan seharusnya sekarang sedang dikremasi oleh pihak keluarga.”

“Terima kasih.”

Dengan langkah gontai Seishu berjalan keluar dari rumah sakit, mengabaikan panggilan dari suara tegas Yuzuha, tatapan Akane dari balik kaca bening ruang rawatnya pun tak disadarinya.

Rasanya seluruh dunia hancur dan runtuh. Ia kehilangan alasan untuk hidup lagi, ia kehilangan kebahagiaannya lagi, ia kehilangan rumahnya ... lagi.

Kemana ia akan pulang sekarang? Ia bahkan tak tahu kemana langkahnya membawa. Namun, ia melihat seorang kakek yang tengah tersenyum sembari berjalan di taman.

“Enaknya kamu bisa menikmati hari dengan senyum di bibirmu. Aku mana mungkin akan mengalaminya, anak pembawa sial sepertiku seharusnya jalan menunduk dan mati,” gumam Seishu.

Kakek yang ia perhatikan tadi mengalami kejang-kejang, diduga serangan jantung. Bukan hal itu yang membuat Seishu gemetar ketakutan, tapi ia melihat jiwa kakek itu keluar dari tubuhnya melayang semakin tinggi dan jauh. Membuat kaki Seishu lemas terjatuh ke tanah. Ternyata jiwa bisa keluar juga saat tubuh dalam kondisi bangun, dan itu membuatnya semakin takut serta waspada.

Seishu harus menolong kakek tersebut, namun ia tak sanggup. Seluruh tubuhnya kaku tiba-tiba teringat tubuh hangus orang tuanya, teringat Koko yang sekarang mungkin sudah menjadi abu, teringat bahwa ia hanya manusia kecil yang sudah tak punya apa-apa lagi. Seketika Seishu membuang seluruh pikiran buruknya dan dengan sekuat tenaga ia mencoba menolong kakek itu dibantu oleh orang lain. Ia tak tau ternyata perasaannya benar-benar sudah hidup kembali.

Berhasil.

Namun, ia tetap tak merasakan kelegaan apapun di dadanya. Hanya senyum palsu yang ditampilkan. Padahal pikiran Seishu masih melayang tentang kematian orang yang paling berharga untuk dirinya.

Yang lebih menyeramkan bagi Seishu adalah setelah kejadian itu ia terus teringat akan jasad orang tuanya yang terbakar hangus. Menyebabkan Seishu memukul kepalanya sendiri berharap ia dapat melupakan hal itu. Namun, nihil.

Setelah hari melelahkan penuh kepalsuan itu, Seishu membuka topeng wajahnya, menunjukkan raut wajah yang sebenarnya. Tapi sepertinya takdir ingin membantingnya sekali lagi. Ia kembali keluar dari tubuhnya setelah beberapa hari ini ia bisa tidur dengan tenang.

Lagi-lagi tempat pertama yang ia tuju adalah puncak gunung tempat ia pertama kali berinteraksi dengan Koko. Seketika air matanya tumpah setelah ditahan seharian ini. Melelahkan.

“Janji apa? Kamu meningalkanku, Koko. Aku hanya berharap, berharap jika suatu saat kita terlahir kembali. Aku ingin kita bahagia, bersama kembali menepati janji.”

Matahari mulai menampakan sedikit sinarnya. Membuat jiwa Seishu terpaksa pulang ke raganya dengan pikirannya tak henti bersahut-sahutan.

'Salahmu. Pembawa sial. Lihat siapa lagi yang mati karena berada di dekatmu. Kamu ingat seberapa hancurnya jasad ayah dan ibumu? itu karena kamu.'

Seishu menatap tubuhnya yang tertidur tenang dan mengambil pisau dari dapur, kemudian menghunuskan pisau itu ke arah jantung, tapi ia berhenti tepat di atas piyama yang menutupinya, lalu melemparkan pisau tersebut secara asal ke sudut ruangan.

“Mana mungkin aku bisa melakukannya.”

Seishu memaksa masuk ke tubuhnya, dengan pikiran yang tidak tenang terus menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan yang terjadi. Sekarang ia panik karena jiwanya tak dapat masuk kembali ke raganya.

“APA LAGI!? KAMU INGIN MEMBUNUHKU JUGA!? SILAHKAN! AKU MUAK! HANCURKAN SAJA SEGALANYA! AKU TAK PUNYA APA-APA!”

Tiba-tiba pandangannya menghitam dan ia berhasil masuk lagi ke tubuhnya. Diangkatnya lengan kirinya dan diperhatikan dengan serius, berharap ia benar-benar berhasil mati.

Seishu menyibak selimutnya dan mengambil pisau yang tergeletak di pojok ruangan selepas ia lempar tadi, membawa pisau itu ke daerah dapur dan berhenti di depan tembok, tembok di mana kedua orang tuanya hangus terbakar, kemudian ia menyayat kulit pergelangan tangannya mengeluarkan cairan merah amis yang menetes ke lantai.

“Ini yang ingin kalian lihat dari anak kalian?”

Ia beranjak mencuci pisaunya, tak menghiraukan darah yang terus menetes dari lengannya.

Perih.

Berdarah.

Sakit.

Namun, itu tak sebanding dengan seluruh keadaanya saat ini.


“Berhasil?”

“Terima kasih, Akane. Aku minta maaf.”

“Cepatlah kembali.”

”... tiga minggu?”

“Cukup.”

Pintu kamar rawat terbuka menampilkan sesosok pemuda berambut pirang dengan luka bakar di sisi kepala kirinya. Akane segera mematikan telepon. Kondisinya yang sudah membaik membuatnya bisa berdiri dan berjalan menyambut sang adik sembari membawa tiang infus.

Akane bisa menyadari perubahan Seishu, dari cara berpakaiannya yang terlalu tertutup, bentuk tubuhnya yang kurang berisi, bahkan wajahnya terlihat lelah serta tatapan kosong dan senyumnya selalu palsu.

“Sei, sudah selesai kuliah? Mau jalan-jalan di taman bawah?”

Seishu mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia menuntun kakaknya menuju taman yang terletak di lantai dasar rumah sakit.

Terhitung sudah satu bulan kepergian Koko. Dan selama itu pula Seishu semakin berubah, baik dari segi penampilan atau pun kepribadian. Penampilannya semakin tertutup, sedangkan kepribadiannya semakin palsu.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik, kuliah juga lancar, pekerjaanku agak bertambah namun, aku mendapat gaji ekstra”

“Kamu tidak mau cari pacar?”

“Aku tidak tertarik” tolaknya halus dengan senyuman palsu.

“Ada yang kau tunggukah?”

“Ada, tapi tidak mungkin kudapatkan”

“Oh, bertepuk sebelah tangan?”

“Sebelah alam”

“Heh?”

“Sudahlah. Bagaimana dengan kakak dan Yuzuha?”

“Baik-baik saja. Setelah keluar dari sini mungkin aku akan tinggal dengannya”

“Kapan kakak akan keluar?”

“Sekitar minggu depan, mungkin. Aku tinggal di rumah dulu sebentar tidak masalah, 'kan?”

“Iya.”


Seishu merutuki keputusannya menjawab 'Iya' dan sekarang ia harus menjaga tingkah laku, agar sang kakak tak mencurigai tindakan yang selama ini ia lakukan.

Tangan Seishu tak lagi dapat memainkan piano seperti dulu, pergelangannya terasa kaku karena luka-luka yang mengering di sana. Sakit, namun Seishu memaksa.

“Dek, mau makan apa nanti malam?”

“Apa saja, asal enak.”

Bohong jika Akane tak menyadari apapun. Ia sudah mengetahuinya sejak pertama kali bertemu Seishu setelah 'kematian' Koko. Namun, mengajak Seishu bicara bukanlah pilihan yang tepat. Ia tahu ia tidak dekat dengan adiknya, pasti ia akan langsung menjauhi Akane dan akan tercipta ketidaknyamanan di antara mereka. Akane hanya bisa berharap dua minggu cepat berlalu sambil menyingkirkan benda yang dapat digunakan Seishu untuk melukai dirinya, serta ia sering mengajak Seishu berinteraksi untuk mengalihkan dari pikiran yang buruk itu.

Menahan untuk tidak menyakiti dirinya sendiri selama dua minggu sangatlah sulit bagi Seishu. Pikirannya terus bersuara memerintah untuk mati. Berat, dan lelah. Ia tak bisa menahan. Namun, kehadiran Akane selalu menghentikan kebiasaan buruk Seishu karena ia selalu tiba-tiba muncul ketika suara itu berulah atau ketika ia hampir melukai dirinya lagi. Ia muak dengan seluruh suara di kepalanya.

“Kamu masih ingat jalan ke arah rumah lamaku, bukan?” “Baiklah, aku tutup, ya.”

Seishu mendengar Akane berbicara dengan seseorang di teleponnya, dan ia menduga itu adalah Yuzuha yang akan berkencan dengan kakaknya.

“Mau nge-date?”

“Hehe ... tahu aja. Aku pulang agak larut, kunci saja pintunya, ya,”

Ucapnya seraya melangkah keluar dari rumah ketika Yuzuha sudah membunyikan klakson mobil tanda ia berada di depan sana. Akane melambaikan tangan ke arah Seishu sebelum mobil Yuzuha melaju meninggalkan kediaman Seishu.

Begitu pintu ditutup itulah saat-saat pikiran Seishu semakin menggila. Seluruh tekanan yang selama ini ia tahan seketika pecah. Tidak, ia tak mengacak-acak seluruh rumah namun, untuk mengurangi suara di kepalanya, ia masuk ke kamar mandi dan memukul cermin di sana hingga hancur berkeping-keping.

“Diam, itu bukan salahku.”

'Itu salah mu, mereka mati karena salahmu.'

“Dimana letak salahku?” suara Seishu terdengar tenang namun, mencekam ketika ia bertanya pada dirinya sendiri di depan pantulan cermin yang hancur.

Suara di dalam kepalanya terdiam. Seishu menghela napas lega dan merebahkan diri ke atas kasur, mengabaikan serpihan kaca yang masih menancap di sekitar tangannya membuka kembali luka di pergelangan tangan.

Seishu sebenarnya tak ingin melukai dirinya, apa lagi sampai terlalu jauh karena ia tahu ia seharusnya tak hidup seperti ini. Namun, setiap kata itu terus menerus berputar di kepalanya dan tak ada yang dapat menariknya dari lubang hitam tak berujung. Pada siapa ia bisa bergantung? Akane? Pada akhirnya ia tak punya siapa-siapa. Dan seluruh pandangannya memburam sebelum akhirnya menghitam.


“Seishu! Kau gila! Bangun!”

Pemandangan pertama yang dilihat Seishu adalah wajah Koko yang khawatir berada di sampingnya dan beberapa orang berpakaian putih berlarian di lorong terang berwarna senada.

“Ko? Aku pasti sudah mati. Baguslah, aku merindukanmu.”

Koko meraih tangan Seishu yang penuh luka dan serpihan kaca kemudian menciumnya, “Aku di sini, Sei. Maaf meninggalkanmu.”

Kesadaran Seishu kembali menghilang dan Koko selalu menyesali keputusan yang ia pilih. Keputusan untuk menghilang sementara dari dunia seolah Hajime Kokonoi benar-benar sudah mati.

Koko tak bisa lagi menemani Seishu masuk ke ruang operasi, jadi ia menunggu dengan gelisah terduduk di atas kursi ruang tunggu berusaha terlihat tenang sampai Akane dan Yuzuha datang.

'Ayo, Sei. aku tahu kamu kuat. Maaf menambah satu luka lagi untukmu'

“Koko! Seishu bagaimana?”

“Kehilangan banyak darah, aku menemukannya terbaring pucat di atas kasur bersimbah darah dan kaca tertancap di tangannya”

“Salahku. Ini salahku tak bisa menjaganya.”

“Ini salah kita berdua. Aku membuat keputusan yang salah.”

Kedua insan itu derduduk penuh rasa khawatir di depan ruang operasi, rasa bersalah terus menyelimuti mereka. Yuzuha berusaha menenangkan Akane yang masih tertekan, dan Koko hanya dapat terduduk lemas.

“Semua orang pernah membuat keputusan yang salah bahkan berdampak pada orang lain. Menyesalnya kalian sekarang tak akan merubah apapun. Sekarang lebih baik memikirkan bagaimana cara menebus kesalahan kalian,” Yuzuha mencoba menyadarkan pikiran Koko dan Akane dari dasar pikiran tergelap mereka.

“Aku akan meninggalkan Seishu.”

“Itu egois,” jawab Yuzuha, “lebih baik kau menjelaskannya dan minta maaf kepadanya.”

“Dia akan membunuhku.”

“Lebih baik dari pada ia membunuh dirinya sendiri,” Yuzuha berdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Dan Akane, walau ia dingin kepadamu, ia tetap membutuhkanmu. Jangan menyerah membuatnya nyaman dan membuka hati.”

Setelah beberapa lama, dokter yang menangani Seishu keluar dari ruang operasi membawa kabar baik. Akane segera mengikuti dokter itu ke ruangannya untuk pembahasan lebih lanjut, sedangkan Koko terdiam bersyukur dan masih merasa bersalah.

“Yuzuha, bukan? Terima kasih. Namun, aku butuh waktu sendiri untuk beberapa saat. Aku tidak akan lari, aku hanya masih merasa bersalah.”


Bius Seishu mulai memudar, kesadarannya kembali perlahan dan ia langsung menengok ke samping dan menganggkat tangannya sedikit.

“Ahh ... aku masih hidup. Kukira bisa bertemu dengan Koko lagi. Ternyata ilusi. Maaf Koko, kau menghawatirkanku, ya?”

“Ada baiknya kamu lebih cepat pulih, Sei. Makanan rumah sakit tak enak.”

“Kak Akane?”

“Hai. Kamu berhasil bertemu dengan Koko, ya?”

“Heh? Kakak kenal denganya?”

“Akan ku ceritakan jika kamu pulih.”

“Kau bohong.”

Kemudian Akane mengambil ponselnya dan langsung menelepon Koko kemudian menghidupkan mode speaker membuat Seishu terkejut mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.

“Koko?” “Dia sudah sadar?” “Sudah.” “Sei baik-baik saja kan? Apa dia butuh apa-apa? Aku bisa membelikannya, nanti kutitipkan ke Yuzuha.”

Seishu menggeleng cepat sebagai jawaban.

“Dia tak butuh apa-apa. Jika sudah siap kabari, ya. Akan kukabari juga jika ia sudah lebih baik.” “Ya, kabari jika butuh apa-apa.”

Setelah itu Akane segera menutup teleponnya.

“Sei, aku minta maaf selama ini menyembunyikan hal ini dan menjadi kakak yang buruk untukmu malah sampai membuatmu terluka dan terancam seperti ini.”

Terdengar isakan kecil dari Seishu yang menutupi wajah dengan tangannya, membiarkan bulir-bulir air mata menetes ke atas selimutnya.

“Aku senang dia baik-baik saja. Aku senang seluruh suara dalam kepalaku itu tidak benar. Aku senang masih bisa bertemu dengannya lagi.”

“Cepatlah pulih dan aku akan memberitahumu semuanya.”

“Mengapa tidak sekarang? Kakak tidak kasihan pada adikmu yang sudah tersakiti ini?” perasaan bersalah kembali menyelimuti Akane, “tidak, kak. Maaf aku hanya bercanda. Aku memaafkanmu. Aku tak ingin dipukul kak Yuzuha”

Saat itu lah Seishu kembali menemukan titik terang pada hidupnya, dan Akane juga menceritakan semuanya. Bagaikan lentera pertama yang menerangi langit malam.


Terhitung satu minggu ia berada di rumah sakit dan sekarang ia sudah lebih baik. Masih tak diperbolehkan pulang. Namun, ia sering menyelinap keluar tengah malam ke tepi sungai di dekat rumah sakit.

Apalagi seperti sekarang, akan ada festival lentera malam ini. Walau sudah memohon pada kakaknya, ia masih tak diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.

Bukan seorang Inui Seishu jikalau ia tidak melanggar larangan. Buktinya, ia sekarang malah menyelinap keluar dari rumah sakit sembari membawa kantungf infus menuju sungai yang biasa ia datangi. Cahaya dari rumah sakit memang terang, namun daerah sekitarnya sekarang sedang gulap gulita bersiap menyalakan lentera ketika malam sudah benar-benar menyelimuti kota itu.

Sembari menunggu Seishu memperhatikan bintang di angkasa yang sangat terlihat karena minimnya cahaya di sana. Ia melirik arlojinya memastikan pukul berapa tepatnya lentera itu akan dilepaskan.

“Loh, ada anak kucing nyasar.”

Seishu langsung menoleh ke sumber suara itu was-was, takutnya itu adalah salah satu penjaga rumah sakit yang mengikuti.

“Waspada sekali, memangnya ada apa, Pi?”

Koko muncul dari kegelapan pepohonan membawa dua lentera menyala di tangannya. Dan saat itu pertama kali Seishu benar-benar melihat cahaya hidupnya lagi dengan jelas.

“Maaf, baru muncul sekarang.” namun ia malah menjulurkan lidahnya.

Seishu langsung berlari menarik kerah baju Koko dan mengadu jidat miliknya dengan jidat Koko, membuat Koko meringis kesakitan.

“Pi, 'kan, baru ketemu, masa diriku langsung diserang?”

“Salahmu meninggalkan aku tanpa kabar.”

“Sayang, kalo aku bilang pasti kamu jadi incaran ayahku, bagaimana?”

“Tidak perlu memanggilku sayang, jikalau kamu takut aku menjadi incaran ayahmu. Kenapa kamu baru muncul sekarang?”

“Sudahku bunuh. Apakah kamu tidak ingin memberikanku pelukan? Jika kau lupa, kita sudah jadian”

“Kapan?”

“Begitu perjanjiannya, kalau kita bertemu itu artinya kita jadian”

“Oh, ingat juga otakmu”

“Sudahlah sini peluk aku, peluk atau ambil satu lenteranya.”

“Tangan ku megang infus.”

“Ya, sudah kita terbangkan saja sekarang. Lihat yang lain juga sudah menyalakan lentera mereka,” ucap Koko sembari menunjuk cahaya temaram dari balik pohon-pohon di seberang.

Seishu mengambil satu lentera di tangan Koko dan melepaskannya bersamaan dengan Koko. Lentera mereka bersinar di kegelapan langit malam, memimpin lentera lain terlepas mengikuti lentera mereka naik ke atas menuju bulan.

Tak butuh waktu lama ribuan lentera memenuhi langit dan menerangi malam. Kedua insan menatap pemandangan di atas mereka dengan senyuman.

“Maaf, Pi.”

“Yang penting kamu kembali, Ko.”

“Tapi ...”

Kata-katanya terhalang oleh Seishu yang menarik kerah bajunya, membawa bibir mereka bersatu sebentar.

“Kamu berisik.”

Tubuh Seishu tiba-tiba terangkat membuatnya terkejut namun tak bisa banyak bergerak karena infusnya.

“Pasien harusnya tidak boleh jalan-jalan,” kata Koko sembari berjalan menggendong Seishu kembali ke rumah sakit.

“Ih, Ko, turunin. Bagaimana jika perawat melihat kita?”

“Salahmu sendiri selalu melarikan diri setiap malam. Biarkan mereka tau jika ada pasien mereka yang tertangkap melarikan diri.”

“Gila.”

“Tapi kamu suka.”

Akane dan Yuzuha sedikit panik karena tak menemukan Seishu di kamarnya, namun begitu mengecek ke taman belakang, mereka menemukan Koko sedang berjalan berdampingan dengan Seishu. Tentu saja itu karena Seishu yang mengamuk untuk minta diturunkan.

“Oh, kalian udah bertemu.”

“I'm worried for nothing,” ucap Akane kecewa.

“Sudah sana kalian pacaran saja. Biar aku yang jaga Seishu,” usir Koko secara halus.

“Mencurigakan.”

“Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadap adikmu, kak.”

“Sudah Akane, mari kita pergi.” namun, sebelum pergi Akane mengarahkan kedua jarinya ke arah mata Koko bermaksud mengancam.

Setelah Akane dan Yuzuha pergi, barulah Koko dan Seishu lebih leluasa dan bercerita banyak hal.

setelahnya Seishu dirawat oleh Koko. Hitung-hitung sebagai bentuk pertanggung jawaban. Tapi sebenarnya itu hanyalah alasan agar mereka bisa menghabiskan waktu berduaan. Bahkan hingga Seishu pulang ke rumah pun Koko masih memakai alasan yang sama untuk menjaga Seishu dan tinggal bersamanya.

Tentu saja Akane agak waspada dengan Koko. Namun, melihat adiknya yang berhasil menemukan kebahagiaan dan tempat ternyaman ia berusaha menepis pikiran itu jauh-jauh.

Inilah pilihan mereka, inilah hal yang membuat mereka bahagia. Hal yang sudah mereka cari sejak lama akhirnya ditemukan dalam diri masing-masing membawa kebahagiaan bagi mereka bersama sebagai bentuk pencapaian dari masa lalu yang mengerikan.


End.