Jaket

Zora menyembunyikan wajahnya setelah melihat seseorang yang ia kenal. Ia sangat amat hafal punggung lebar milik Sagara.

“Kenapa? Ko ngumpet gitu?” tanya Mba Dina menganggetkan

Zora tersentak, “Mba kirain siapa.”

“Oiya Zo itu meja di pojokan, kasih menunya gih.”

Zora melotot, tidak mau. Itu meja yang diduduki Saga.

“Mba aja deh.” elah Zora

“Mba ada kerjaan lain.”

Dengan berberat hati Zora melangkahkan kakinya yang tiba-tiba terasa berat sekali.

“Mau pesen apa mas.” ucap Zora ragu-ragu suaranya sengaja ia kecilkan agar Sagara tidak mengenalinya

Sagara mengabaikan Zora yang menunggunya, ia fokus memainkan game di ponselnya.

“Mau pesen apa Mas?” kali ini volumenya ia naikkan sedikit.

Sagara tersenyum sekilas, sorot matanya melihat kearah Zora.

“Ngapain ngumpet kayak tadi?” tanya Sagara santai.

Zora mengerutkan dahinya, bingung dari mana Sagara tahu.

“Malu.”

“Kenapa?”

“Ya malu aja.” jawab Zora melemah

“Kerjaan lo kan halal, kenapa harus malu?”

Zora tidak menjawab. Diam menundukkan kepalanya sedikit agar tidak melihat wajah Sagara sekarang.

“Latte.” ucap Sagara sehabis melihat daftar menu

“Oke tunggu sebentar ya.” belom sempat Zora berjalan menjauh. Saga sudah lebih dulu memegang tangan kanannya.

“Gue mau lo yang nganter kesini.” kata Sagara cepat

Zora memutar bola matanya malas, “Pembeli adalah raja.” lanjutnya.

“Iya tuan Sagara.” kata Zora dengan senyum paksa dibibirnya.

Sagara yang melihat pun tidak sadar ikut tersenyum. Setelah itu tidak ada yang terjadi antara mereka berdua. Zora kembali bekerja dan Sagara yang masih setia dengan ponsel ditangannya.


“Zo itu kok pelanggan di pojok nggak pulang-pulang ya?”

Zora menghentikan kegiatannya yang sedang mencuci tangan dan bersiap untuk pulang.

“Nggak mungkin Saga, bisa aja orang lain.” ucap Zora di dalam hati.

Dari tadi ia memang tidak memperhatikan sekitar. Ia sibuk mondar-mandir bekerja, karna kalo malam minggu cafe memang selalu ramai.

“Yang mana mba?”

“Gatau mba, ganteng pokoknya. Kulitnya putih banget. Terus badannya tinggi, dan oh punggungnya pelukable.” jelas Mba Dina panjang lebar.

Zora tertawa sebentar, “Punggung pelukable tuh gimana mba?”

“Ya nyaman dipeluk gitu.”

Ia menggelengkan kepalanya. Mendengar perkataan mba Dina barusan memang benar sih, punggung Sagara kayaknya nyaman deh di peluk.

“Loh? Kan belom tentu itu Sagara.” ucapnya dalam hati

“Mba yaudah ya aku duluan. Makin malem nanti.” pamit Zora

“Oh iya hati-hati ya Zo. Bilangin ke pelanggan yang itu ya, pake bahasa yang sopan tapi.”

Zora mengganggukkan kepalanya paham dan berjalan keluar dari dapur.

“Kok belom pulang?” Sagara yang tadinya sedang memainkan ponselnya pun kini beralih menatap Zora

“Yuk pulang.” ajak Sagara

“Ngapain?”

“Pulang bareng gue.”

“Gue di jemput gar.” jawab Zora sambil mengecek ponselnya yang dari tadi tidak ia sentuh.

Zora merucutkan bibirnya kesal membaca pesan dari abang sepupunya itu.

“Yaudah gue duluan ya.”

Zora berlari menyusul Sagara, “Gue ikut lo deh.”

“Tadi katanya di jemput.”

“Gatau tiba-tiba tuh orang lembur. Nyebelin banget emang, pake nyogok beliin martabak lagi. Dia kira gue seharga martabak keju alim.” ucap Zora dengan muka kesal.

“Hahaha yaudah masuk.” pinta Sagara sambil tertawa.

“Lo beneran ketawa ternyata.”

Zora memasangkan sabuk pengaman dibadannya. Sagara menoleh. “Ganteng nggak?”

“Hah?”

“Ketawa gue ganteng nggak?”

Zora ngebug lalu diam menatap kedepan, bingung menjawab apa. Kalo ia jawab ganteng nanti Sagara kepedean, kalo ia jawab jelek pembohongan publik namanya.

Sagara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah pembicaraan tadi mereka berdua jadi sama-sama diam.

Sagara yang fokus menyetir dan Zora yang asik dengan pikirannya.

“Dingin ya?” ucapan Sagara menyadarkan lamunannya.

Zora menggeleng.

“Lo capek?”

Ia menoleh. “Sedikit.”

“Tapi lo hebat.”

“Gar lo nggak lagi kesurupan kan?” muka Zora berubah menjadi takut karna perubahan Sagara yang tiba-tiba.

Sagara menepikan mobilnya di pinggir jalan. Kemudian mengambil jaket yang berada jok belakang.

Sagara memasangkan jaket miliknya. Mulai dari memasukkan tangan Zora kedalam jaket lalu tangan kirinya kemudian me-resleting jaket tersebut.

“Jangan nyerah ya..lo udah hebat ra.” kata Sagara sebelum akhirnya melajukan mobilnya lagi.

Zora diam tidak merespon apapun. Jantungnya berdetak lebih cepat, tangannya tiba-tiba saja berkeringat padahal tadi sangat dingin.

“Zora nggak boleh baper plis jangan.” ia terus meyakinkan hatinya bahwa perbuatan Sagara itu hal biasa.