write.as

Selesai makan malam. "Ren, tunggu!" Irene melengos dan berjalan cepat menaiki tangga menuju lantai 2. "Ren!" Pintu kamar hampir tertutup, tapi Wendt berhasil mengganjal pintu dengan kakinya. "Hey, aku mohon dengerin aku dulu." "..." "Aku tahu aku salah, aku ga akan membela diri," ucap Wendy sembari mendorong pintu dan menyelinap ke dalam kamar Irene. "Aku harus bagaimana supaya kamu maafin aku?" Sementara itu, Irene menyandarkan tubuhnya di sisi meja sembari menyilangkan tangannya, tak sedikit pun dia menoleh ke arah Wendy. Wendy pun melanjutkan, "Masa kita putus padahal baru ja-" "Aku ga minta putus!" Seru Irene dengan sengit dan air matanya tiba-tiba menetes lagi. "Hey, jangan nangis lagi dong," ucap Wendy dengan panik sambil berjalan mendekat untuk menyeka pipi Irene yang basah. "Kamu tuh punya 8 bulan untuk memberitahu aku, tapi kamu malah diam. Kamu tahu aku berusaha mati-matian deketin kamu, setidaknya bisa kan kamu hargai aku dengan memberitahu aku lebih awal?" "Kalau aku kasih tahu di awal apakah akan ada perbedaan?" Tanya Wendy. "Atau dengan kata lain kamu nyesel nerima aku? Setelah tahu aku akan pergi?" "Perasaan aku ke kamu ga sedangkal itu!" Irene menatap Wendy dengan tajam. "Ga akan ada perbedaan! Meskipun tahu di awal, aku bakal tetap ngejar kamu, tapi setidaknya aku bisa bikin lebih banyak momen sama kamu, atau bahkan ngajuin double degree juga, Wen! Aku mungkin bisa bareng kamu di Kanada!" Irene terisak pelan. "Kalau kamu peduli sama aku, setidaknya kamu bisa dong berpikir bagaimana rasanya di posisi aku? Kamu bakalan pergi 2 tahun, Wen. Bukan 2 minggu, bukan 2 bulan. Silakan bilang aku lebay, tapi aku sedih karena kamu dengan entengnya bilang mau pergi setelah nembak aku! Kamu buat aku melayang dan di saat yang sama kamu hempaskan aku ke bumi!" Wendy menundukkan kepalanya, merasa sangat bersalah. "Gimana caranya supaya kamu maafin aku? Perlu aku batalin double degreenya?" Irene tidak menjawab, dia terlalu lelah dan syok hari ini. "Ren?" "Kamu ..." Irene menekan telunjuknya ke pundak Wendy. "Kamu keterlaluan. Kamu yang memutuskan sendiri untuk pergi, tapi kenapa aku yang disuruh berpikir?" Dia lalu menambahkan dengan lirih, "Sebaiknya kamu keluar sekarang, sebelum aku maki-maki kamu, Wen." Namun, Wendy bergeming. Dia malah memeluk Irene. "Senin aku menghadap rektorat. Jangan nangis, aku ga suka ngelihat kamu sedih." "..." Bodoh, kamu yang bikin aku nangis! Seru Irene dalam hati. "Malam ini aku stay di kamar kamu, okay? Kita omongin semuanya, kamu mau maki-maki aku, silakan, aku dengerin." "..." "Maafin aku, Ren." Malam itu, Wendy tidur di samping Irene yang justru memunggunginya. Tidak sekalipun Irene membalikkan badan. Dia benar-benar marah. Di sisi lain, Wendy juga tidak bisa tidur. Dia merasa kecewa pada dirinya sendiri. ***