I ; The One You Love

A fanfiction written by Filonna.

*All characters belong to their creator.

_____________________

Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana kami—aku beserta kedua putera kembarku menghabiskan waktu bersama didalam ruangan musik. Usia mereka kini sudah menginjak lima belas tahun, artinya aku tidak lagi berpenampilan segar layaknya dulu. Apakah hal tersebut mengganggu? Sama sekali tidak. Ayah mereka masih memujiku sama seperti saat kita pertama kali bertemu.

“Papa, apa kali ini kau akan membiarkan aku membuka rak lemari yang terkunci?” Victor menarik – narik lengan baju kemejaku seraya tersenyum lebar mrngharapkan sebuah persetujuan.

Aku kemudian melirik Vincent, anak itu ternyata sedang bersiul pura – pura tidak mendengar rayuan saudaranya. Melihat kedua puteraku yang tumbuh semakin besar, keinginanku untuk membebaskan mereka terasa kian memberat. Semua ini perlahan membuatku melemah. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan mengangguk pelan.

“Apakah itu artinya iya?” Vincent bersorak menepuk pundak Victor.

Aku tahu kalau mereka merencanakan ini dari awal. Aku kemudian mengangguk lagi, “iya, boleh. Jangan dirusak ya, itu milik seseorang gang berharga.”

Victor tersenyum, “papa harus ikut melihat kami kalau begitu, ya kan Vincent?”

“Iya iya!”

Melihat mereka senang seperti ini saja rasanya tugasku menjadi orang tua sudah dijalankan dengan benar. Aku tidak ingin mempertimbangkan keputusan egoisku, mungkin memang begini rasanya menjadi orang tua. Jangankan aku, suamiku yang terkenal memiliki wajah tegas saja kalah jika sudah dihadapkan dengan kedua buah hatinya.

Ah, mengenai ruangan musik, sebenarnya tempat yang sedang kami datangi sekarang dahulunya adalah sebuah kamar. Ukurannya cukup luas untuk diganti keruangan musik dan muat berbagai jenis dengan beragam ukuran. Cat berwarna putih di dingding sudah berubah menguning, motif ukiran kayu berwarna hitam pun sudah berubah karena debu.

Bukan aku tidak ingin merawatnya. Hanya saja begitu aku masuk kedalam kamar, atmosfer berubah dengan cepat seolah berusaha menarikku kembali kemasa lampau.

Masa dimana seorang anak dari kepala pelayan sekaligus pemimpin keamaan atau lebih akrab dengan sapaan teman, meninggalkanku disini.

Hampir setengah usiaku saat ini dihabiskan bersamanya. Kami melalui berbagai macam hal entah itu omelan ibunya, omelan ayahku, atau bahkan omelan dari guru semasa kecil. Aku adalah anak nakal, tapi dia selalu muncul sebagai target atas semua kesalahanku.

Dan kehilangan sosok sahabat seperti itu terasa seperti derita bagimu.

Tebakan kalian juga mungkin saja benar, rak lemari yang kuncinya kujadikan liontin ini berisikan barang peninggalan milik sahabatku.

Hatiku masih terlalu rapuh untuk membuka kenangan lama bersamanya, namun juga terlalu alot untuk kembali merasakan nostalgia yang sama.

“Papa, kuncinya.” Vincent menyodorkan tangannya menungguku untuk melepaskan kalung ini.

Aku tersadar bahwa kami baru saja tiba diruangan musik, mataku bergerak beberapa kali memperhatikan lingkungan sekitar.

Ah.. Perasaan ini lagi.

“Papa.”

“Maaf, papa melamun lagi.” Jelasku kepada mereka.

Kakiku perlahan melangkah ke arah rak lemari tanpa memperhatikan alat musik lainnya. Tanganku meraih gagang pintu bersamaan dengan kunci yang sudah kusiapkan.

Aku menghela nafas pelan. Suara kayu jati berdecit membuat kami bertiga meringis pilu. Aku bisa merasakan bahwa Vincent dan Victor tengah tertawa dibelakangku. Dasar.

Setelah pintu terbuka, aku bisa melihat pakaian milik sahabatku. Mereka dilipat rapi dengan balutan debu. Di papan bawahmya aku bisa melihat aksesoris seperti bros berbatu kristal ruby, sepatu, alat tulis—dia sangat suka menulis, ataupun sarung tangan putih.

Di bagian paling bawah dan besar, aku bisa melihat satu box tanpa kunci berisikan barang pribadi sahabatku. Aku tidak pernah menyentuh bagian itu karena dulunya ia tidak suka jika aku mengusik barang privasi miliknya.

Aku tersenyum miring, menarik sebuah kursi untuk menyimak kedua puteraku. Benar saja, mereka langsung berantusias melihat – lihat barang miliknya seperti harta karun. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menyimak dan menunggu suamiku atau ayah mereka pulang dari pekerjaannya.

“Woah.. Ini terlihat sangat mewah! Aku suka ini, papa!” Victor mengambil sebuah bros dengan kristal ruby ditengahnya. Anak itu berjinjit seraya bercermin memandangi dirinya sendiri.

“Iya, papa juga merasa itu cocok untukmu.”

“Papa, aku keren tidak memakai sarung tangan ini?” Seolah tidak mau kalah, Vincent kini berpose selayaknya pria dengan etiket.

Melihat wajah bahagia mereka saja cukup untuk menjadi alasan mengapa aku tersenyum hari ini.

“Vincent juga terlihat hebat, seperti pria gagah.”

“Kau dengar itu Victor?”

“Aku juga tampan!”

“Hei, sudah. Kalian akan merusak barangnya jika bertengkar.”

Vincent dan Victor melirikku dengan senyum polos diwajah mereka. Pertengkaran berhentu begitu saja, aku terkadang bingung apa yang membuat mereka begitu menurut padaku. Yah, daripada menunjukkan kebingungan, akan jauh lebih baik jika aku bersyukur.

Aku kemudian bersandar seraya memejamkan mataku perlahan. Jadwal hari ini tidak terlalu padat tapi perasaan lelah serta kantuk senang memberi serangan dadakan. Aku ingin mereka cepat bosan dengan barang – barang milik sahabatku. Vincent dan Victor bisa dibilang sebagai anak disiplin serta teratur hanya saja aku tidak berani menjamin jika mereka tiba – tiba mengacau. Mau bagaimanapun juga, darahku mengalir pada tubuh mereka.

“Noife Dantalion and me, Ash Demitrius.”

Mataku membulat dengan sempurna mendengar kalimat barusan.

Rasa kantuk serta lelahku hilang begitu nama lengkap Ash dibaca dengan jelas oleh Victor. Dengan cepat aku bergerak menggapai buku tua berjilid kulit kecokelatan lalu memegang nama kami yang tertulis melalui tinta emas.

Kalimat yang dibaca oleh Vincent benar adanya. Tulisan ini tampak tidak begitu asing sehingga aku bisa menyimpulkan kalau Ash, sahabatku, menulis nama kami dengan tangannya sendiri.

“Pa—”

“Ssshh..” Vincent menutup mulut Victor seolah menghentikannya untuk bertanya kepadaku, “kita coba yang lain saja.”

Setelahnya aku tidak mendengar percakapan lagi. Matakupun masih fokus pada buku ini, sejak kapan Ash menyimpannya? Mengapa buku ini tidak pernah diketahui olehku, sahabatnya?

Ash, bahkan disaat seperti inipun egomu masih tetap berlaku, ya.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku berusaha memperkuat diriku untuk membuka buku ini. Jantungku mulai berdegup lebih kencang dari biasanya. Aku takut jika catatan ini berisi tentang keluhan Ash selama ia mengenalku sehingga memilih untuk menyembunyikana.

'Ibu membelikanku buku mahal. katanya aku bisa menulis apa saja disini tanpa diketahui orang lain. Aku akan menulis semua rahasiaku.'

Membaca tulisan bergerigi serta tidak rapi milik Ash membuat perutku terasa sakit ingin menertawakannya. Aku tidak mengira kalau pria itu ternyata memang benar – benar suka menulis.

Setelah tulisan pertama tadi, aku tidak melihat goresan lain di beberapa lembaran berikutnya sampai pada bagian tengah buku.

'Aku belum memiliki rahasia.'

Sial, apa maksudnya ini?

Melihat dari tulisan Ash yang sudah mulak rapi, aku bisa menebak bahwa usia Ash saat itu adalah lima belas tahun.

Hal itu berarti sepuluh tahun sebelum kematian Ash.

Aku membuka lembaran baru dengan tulisan yang sudah semakin rapi, digores oleh tinta berwarna hitam dengan pena berbulu angsa.

'Akhir – akhir ini aku membaca novel tentang cinta. Katanya manusia diciptakan berpasangan. karena aku sudah bersama dengan Noife dari kami kecil, mungkin kami juga akan menjadi pasangan yang sempurna.'

Deg.

Aku cukup tertohok dengan kalimat simpel yang ditulis oleh Ash. Perasaan aneh mulai berkecamuk didalam diriku entah berusaha menyuarakan apa.

Aku membuka lembaran berikutnya.

'Awalnya kupikir perasaan seperti ini adalah hal yang normal. Ternyata tidak, hatiku berdegup kencang ketika melihat Noife tersenyum secara khusus kepadaku. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya atau menjauhkan Noife dari pikiranku.'

Deg.

Hentakan pada jantungku terasa semakin berat. Hatiku masih terlalu sulit untuk menerima fakta ini. Selama dua puluh lima tahun lamanya, Ash menyembunyikan perasaan seperti itu?

Mataku perlahan berair meskipun aku sudah berusaha mati – matian menolaknha.

Getaran pada tanganku tidak dapat membuatku berhenti, aku memaksakan diri untuk membuka lembaran lain.

'Usiaku sudah tujuh belas tahun, aku pikir Noife akan melupakannya. Malam itu ia datang dan mengejutkanku, alhasil aku memeluknya karena refleks. Tahun ini akan menjadi tahun terbaikku. Perasaan milikku sudah bermetamorfosis menjadi kupu – kupu, terlalu berat jika harus berhenti. Aku akan berusaha berada disisinya selama mungkin sampai kami berdampingan dengan pesta yang sama, yaitu pernikahan.'

Aku tidak dapat membendung air mataku lagi. Tetes per tetes perlahan keluar seolah menggambarkan diriku yang kacau ini.

Aku merasakan sakit yang bahkan lebih perih disaat aku mengetahui Ash pergi. Sayatan beribu belati kini sedang mengoyak hati, merusak jiwaku yang sempat mati.

Ash..

'Aku ingin memiliki Noife. Aku ingin melihat senyumnya tanpa takut tertangkap basah. Aku ingin mengelus rambutnya yang halus. Aku ingin memegang telapak dan mencium punggung tangannya. Aku ingin memeluknya dari belakang atau sekedar menutup matanya menunggu ia memintaku duduk disampingnya. Perasaan ini tumbuh terlalu cepat, merambat terlalu banyak. Apakah akan ada hari dimana aku bisa memilikinya?'

Suara isakan perlahan terdengar walau aku sudah menggigit bibirku sekencang mungkin. Aku merasakan pilu yang teramat dalam dari Ash.

Ash, jika aku bisa memutar balikkan masa, mengendalikan ruang dimensi serta waktu, akankah kau kembali kepadaku?

'Aku diam – diam pergi ke dokter karena batuk yang kualami tidak juga reda. Sialnya aku menderita penyakit yang membuat usiaku menjadi lebih pendek. Apakah Noife baik – baik saja jika suatu hari aku tidak berada disampingnya? Mungkin aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuknya dari sekarang.

Oh, sial. Apakah aku juga harus mencarikan pria yang bisa mendampinginya?

Tuhan, beginikah caramu mengujiku?'

Aku sudah tidak peduli dengan suara tangisan ataupun mata merahku yang kian membengkak, luka dihatiki terasa semakin besar bersamaan dengan setiap lembaran barunya.

Ash..

Ash.

Ash!

Jika penyakit adalah cara tuhan mengujimu, apakah ketiadaanmu juga bagian dari ujianku?

Aku ini bodoh, tapi bagaimana bisa aku sebodoh itu sampai tidak menyadarimu?

Ash, untuk segala dosa dan perbuatanku, masihkah kau menginginkanku?

Aku hanya bisa berteriak dalam kepalaku, meneriakkan nama Ash yang mungkin tidak mendengarku.

'Percuma. Setelah perawatan rutin dan menipisnya sisa hidupku, aku tetap akan berakhir sama. Aku sempat bertengkar dengan ibu sampai akhirnya kami setuju bahwa aku tidak akan menjalani pengobatan apapun lagi. Iya, aku yang bodoh ini memilih untuk menghabiskan seluruh sisa hidupku dengan Noife.'

Penyesalan memang selalu datang disaat terakhir, ya. Aku yang sekarang hanya bisa memandangimu lewat foto tanpa warna, Ash. Tidakkah kau pikir kalau kau ini egois? Membiarkan cintamu yang sebegitu besarnya sendirian.

Ash, aku selalu membagi dukaku padamu. Lantas kenapa kau membiarkan dirimu menanggung semuanya sendiri?

Kenapa?

Aku sudah hampir mencapai akhir dari tulisanmu tapi aku masih ragu apakah kisah yang sempat kita rajut ini masih bersatu?

'Noife, aku yakin suatu hari kau akan membuka buku ku. Aku tidak begitu pandai menulis tentang perasaanku sendiri karena pekerjaanku hanyalah menulis karya ilmiah—yang tidak harus melibatkan perasaan. Noife, sudahkah kau bertemu dengannya? Berapa putera dan puteri yang kau miliki? Apa mereka seperti dirimu? Pertanyaanku tidak akan selesai dengan cepat tapi rasanya aku harus mengakhiri itu sesegera mungkin. Noife, jika aku bisa mendapatkanmu dikehidupan selanjutnya, tolong cintai aku kembali. Berjanjilah untuk bersama denganku, aku tidak keberatan dengan berbagai bentuk cinta. Noife Dantalion, biar ku ucapkan dengan benar perasaanku. Aku mencintaimu selama hidupku.'

Tubuhku terasa semakin lemah, kesadaranku juga tidak sama baiknya. Aku merasakan luka yang lebih pedih daripada kelahiran, yaitu peninggalan.

Aku ingin berteriak menyuarakan nama Ash, berlari mencari sosoknya lalu meminta maaf atas hal yang terjadi padanya.

Apa boleh buat, diriku yang lemah ini tidak bisa melakukan apa – apa selain menerima dan menerima semuanya.

Ash..

Jika saat itu kau mengatakannya dengan benar padaku, maka aku akan menghabiskan seluruh waktumu dengan cinta dariku.

Ash,

Aku mungkin terlalu lambat untuk menyadari perasaanmu, tapi jika aku memiliki satu saja kesempatan untuk membalasnya, maka akan kulakukan kapanpun itu.

Ash.

Ash.

Kau adalah sahabatku dan aku adalah cintamu.

Dikehidupan selanjutnya, mari kita habiskan waktu bersama dengan cinta.

THE END.

_____________________