frombinarcia

Pertemuan Perdana

Siang itu di tengah hiruk piruknya suasana kampus yang panas dan ramai, Binar menunggu kekasihnya yang sedang mengambil kendaraan.

Waktu makan siang Binar pada hari itu terbilang cukup lama karena kelasnya di mulai lagi pada pukul 15.00, yang berarti masih ada tiga jam untuk Binar bisa bersantai.

Sembari menunggu, Binar membuka aplikasi twitter di ponselnya, memainkan lihai jarinya pada timeline yang dia buka demi membuang bosannya. Tak sengaja jarinya berpindah menekan direct message, membuat matanya berfokus pada pesan teratas yang adalah chat-nya bersama Garfaldo—kakak tingkatnya.

Entah kebetulan atau tidak, Binar melihat bahu lebar sesosok pria yang mendahuluinya. Kaos abu-abu, gaya rambut yang ia kenal sehabis mencari tahu tentang sosok ini, membuat Binar buru-buru mengejarnya.

Menimang-nimang untuk menyapanya atau tidak karena mereka tidak terlalu dekat, apalagi pesannya tiga hari lalu hanya di baca, yang jujur saja Binar merasa malu untuk menjadi bubble chat terakhir.

Namun Binar bodoh, terlalu nekat, ia menepuk bahu orang itu sebelum orang itu sempat membuka pintu kedai kopi di depannya.

“Kak Garfa ya?” tanya Binar sambil memberi senyum manisnya. Garfaldo—sosok yang Binar ikuti sejak tadi, ikut membalas senyumnya walau tidak selebar dan sehangat milik Binar.

“Iya, kenapa Binar?”

Binar meringis, kenapa di tanya balik sih?

“Oh engga Kak, cuma mau mastiin gak salah orang aja, sekalian mau minta maaf untuk dm terakhir yang kurang sopan.”

Garfaldo menatap Binar bingung, alisnya bertaut, “dm yang mana ya?”

“Yang terakhir Kak, yang kakak bilang gausah panggil pake embel-embel ‘kak’.” Garfaldo mengangguk ingat, “letak kurang sopannya dimana Binar?” tanya Garfaldo lagi, dia kurang mengerti.

“Gue bales dm lo ‘gila’, trus cuma lo read makanya gue takut banget kalau itu menyinggung lo Kak.” lagi-lagi Garfaldo mengangguk.

“Tapi di dm gua, lo gak bilang apa-apa.”

Binar melongo, tidak mengerti apa yang terjadi. Jarinya kembali mencari sesuatu di ponselnya, lalu menunjukannya pada Garfaldo setelah berhasil menemukan yang ia cari.

“Brengsek, kerjaannya Bang John pasti.” umpat Garfaldo berbisik tetapi masih bisa di dengar Binar.

“Sorry ya Nar, itu kerjaan abang sepupu gua. Soalnya di tempat gua yang terakhir gak bales dm itu lo, jadi gua kira chat gua cuma di read aja.” jelas Garfaldo membuat Binar tersenyum tidak enak.

“Gapapa Kak, santai aja.” Garfaldo mengangguk membalas senyum Binar.

“Binar!”

Pas sekali, baru sejenak keduanya berdiri canggung, nama Binar sudah di panggil dari ujung sana oleh kekasihnya.

“Gue duluan ya Kak.” pamit Binar.

“Hati-hati di jalan Binar.” balas Garfaldo setelah Binar izin untuk pamit terlebih dahulu.

Dan Binar-pun pergi menghampiri seseorang yang tengah menunggunya. Garfaldo hanya diam memperhatikan Binar yang sudah menaiki motor itu, matanya reflek memutar saat tangan Binar melingkar di pinggang pengendara motor tersebut.

“Udah punya pacar ternyata.” monolog Garfaldo pada dirinya sendiri sebelum akhirnya ia memasuki kedai kopi dan berusaha tidak memperdulikan kejadian yang baru saja terjadi.

Jemputan

Binar buru-buru keluar dari kamarnya setelah mendapat pesan dari Garfaldo kalau dia sudah sampai. Tangannya meraih kedua sepatunya di rak lalu memakainya.

Rumahnya hari itu kosong, orang tua maupun adiknya sama-sama sedang di luar, hanya ada dia dan ART-nya. Tanpa perlu pamit, Binar membuka pintu dan kembali menutupnya, barulah ia menghampiri Garfaldo yang tengah duduk di motornya dengan helm yang masih ia pakai.

“Kak.” tegur Binar sopan, lantas Garfaldo menoleh pada Binar yang sudah ada di dekatnya.

“Nih.” langsung saja Garfaldo menyodorkan helm yang sudah ia siapkan untuk Binar dan Binar langsung menerimanya.

“Lo cuma nganterin gue atau ikut turun Kak?” tanya Binar sembari memakai helm yang tadi Garfaldo beri, yang di tanya melirik sebentar sebelum menjawab.

“Ikut turun.”

Binar mengangguk, “emangnya lo mau ngapain disana Kak?”

“Makan es krim, apalagi?” Binar meringis, pertanyaan cukup bodoh juga sampai jawaban yang di beri Garfaldo terdengar dingin.

“Sama gue atau pisah meja?” kali ini pertanyaannya ia dasari karena ingin tahu apakah ia hanya sendiri atau harus berdua dengan Garfaldo, mengingat harus ada persiapan untuk mengobrol dengan lelaki di depannya itu.

“Sama lo lah, kan jalannya juga bareng ini.”

Garfaldo menghela nafasnya setelah menjawab pertanyaan terakhir Binar, namun sebelum mengajak Binar untuk segera jalan, ia melontarkan pertanyaan balik, “lo gak nyaman jalan bareng gue?”

“E-eh nyaman aja, cuma nanya doang kok Kak, gak bermaksud apa-apa. Siapa tau pas disana lo maunya beda meja sama gue.” Binar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Garfaldo, rasanya menjadi tidak enak karena dia seolah-olah menolak untuk satu meja dengan Garfaldo.

“Yaudah naik.” ujar Garfaldo tanpa memperdulikan lagi obrolan tadi.

Binar duduk di atas jok kosong yang ada di belakang Garfaldo, menaruh tasnya di tengah-tengah mereka berdua, membuat batasan.

“Kalau mau pegangan, peluk aja.”

Tanpa memperdulikan saran Garfaldo, Binar memegang pegangan belakang joknya sebagai penahannya, tidak berani dan mencoba melupakan ucapan terakhir Garfaldo yang cukup membuatnya merasa malu.

Lalu motor Garfaldo meninggalkan kediaman Binar.

Es Krim dan Curhatan

Binar menyuapkan sesendok es krim coklatnya ke dalam mulut, di depannya sudah ada Garfaldo dengan es krim coklatnya—sedang mengamati Binar yang sibuk makan.

“Mau cerita apa Kak?” tanya Binar masih mengunyah es krimnya, Garfaldo menghela nafasnya sambil mengalihkan pandangannya.

“Galau.” jawaban Garfaldo membuat Binar reflek tersedak.

Buru-buru Garfaldo mengambil sebotol air mineral di dekatnya dan langsung membukakan tutupnya untuk Binar, lalu ia menyerahkan botol itu ke Binar. Tangannya tanpa sadar mengelus punggung Binar yang masih berdeham mencoba mengurangi rasa sakit setelah tersedak tadi.

Barulah Binar minum, setelah dikiranya sudah tidak apa-apa, Binar bernafas lega. Matanya memperhatikan tangan Garfaldo yang masih berada di punggungnya, mau tak mau Garfaldo menurunkan tangannya dan kembali duduk.

“Galau kenapa Kak? Sorry ya kalau gak sopan malah keselek pas lo bilang galau.” Garfaldo terkekeh sebentar sebelum menjawab pertanyaan Binar.

“Mantan gue baru aja balik dari luar kota, masih sering komunikasi sih, cuma ya gue udah ada gebetan baru.”

“Oalah, trus gimana?” tanya Binar lagi, Garfaldo mengedikkan bahunya, “gatau deh Nar, pengen balikan tapi gue maunya move on, tapi gue sendiri masih sayang banget ke dia.”

“Ya kenapa gak balikan aja coba? Dari pada sama orang baru tapi lo-nya sendiri masih sayang sama mantan Kak.” saran Binar, tetapi Garfaldo menggeleng.

“Gak mau lagi, gak bisa juga, ngulang yang sama aja kalau gitu mah.” Binar lantas menggeleng mendengar apa yang Garfaldo bilang, “ya gak juga, toh lo ngulang biar apa yang salah sebelumnya bisa jadi pelajaran buat perbaikan di hubungan lo berduanya.”

“Gatau deh Nar, galau.”

Binar menghela nafasnya, menahan emosinya, mulai terlihat menyebalkan ya orang di depannya ini.

“Yaudah makan Kak es krimnya biar gak galau lagi.” Garfaldo mengangguk dan mulai menyendokkan es krimnya.

“Makasih ya Binar.”

“Sama-sama Kak.”

Keduanya terdiam sambil fokus menghabiskan es krim mereka masing-masing, Garfaldo berdeham sebentar sebelum mengeluarkan sesuatu yang ingin ia bilang.

“Jangan panggil gue pake embel-embel ‘Kak’ lagi ya.” ujarnya menyuruh Binar untuk berhenti memanggilnya dengan ‘kak’.

“Kenapa?” tanya Binar sedikit tidak enak, “lo kan udah jadi teman curhat gue, ya mau gamau lepas deh embel-embel ‘kak’-nya biar lebih enak ke depannya untuk gue atau lo buat cerita.” Binar mengangguk nurut.

“Abis ini gue anter balik lagi ya?”

Binar mengangguk lagi, “makasih Garfa.”

Senyum Garfaldo merekah sesaat Binar memanggilnya dengan namanya.

Alasan dari Kutipan Galau Binar

“Fa, gue balik duluan ya.” ujar Binar gelisah setelah di chat oleh Mahen.

Garfaldo memperhatikan Binar yang tampak takut, “lo kenapa?” Binar menggeleng sambil memberi senyum terpaksanya kala Garfaldo menanyakan kondisinya.

“Gue balik ya.” pamit Binar, buru-buru dia memasukan barangnya ke dalam tote bag-nya lalu meninggalkan Garfaldo.

Mata Garfaldo memperhatikan Binar yang pergi dan menghampiri meja yang tidak terlalu jauh dari tempatnya. Ia beranjak, pergi ke salah satu stand makanan yang dekat dengan meja yang Binar hampiri.

“Mahen, aku ada kelas lagi jam 2 nanti, aku pulang sama kamu ya?” tanya Binar kepada lelaki yang bernama Mahen, kekasihnya. Garfaldo mencoba mempekakan indra pendengerannya agar bisa menguping pembicaraan dua sepasang kekasih itu.

“Gabisa, mau nganter Jova. Balik sendiri aja sih, jangan ribet.” ketus Mahen menjawab permintaan Binar, gadis itu seperti menahan kesal dan tangisnya mendengar respon Mahen.

“Jova mulu Hen? Aku pacarmu loh, anter sebentar aja. Lagian kamu yang minta aku pulang, harusnya kamu mau anterin aku.” Mahen berdecak, berdiri dari duduknya.

“Lo kan banyak cowo, minta sama cowo-cowo yang lain atau gak naik gojek kan bisa. Gausah manja, gue disini lagi sibuk, toh Jova sahabat gue wajar gue lebih prioritasin dia.” setelah mengucapkan itu, Mahen pergi membawa tasnya, meninggalkan Binar yang hampir saja menjatuhkan air matanya.

Garfaldo langsung menghampiri Binar, mendengar percakapan Mahen dan Binar barusan, ia jadi mengetahui alasan mengapa Binar sering memposting kutipan-kutipan galau.

“Ayo pulang sama gue Nar, nanti gue traktir es krim yang banyak, mau?” Binar mendongak kala Garfaldo sudah berdiri di depannya, menawarkan permintaan yang cukup membuat Binar sedikit malu.

“Mau.” jawab Binar sembari menganggukan kepalanya canggung, Garfaldo mengusap pucuk kepala Binar.

“Ayo.”

Binar pun mengekori Garfaldo yang mengajaknya untuk meninggalkan kampus.

Peluk untuk Binar

Suasana sepi terasa sangat di ruang tamu kediaman Binar, Garfaldo hanya mengamati Binar yang duduk menghadap jendela luar rumahnya, tidak tahu sedang memperhatikan apa.

Ragu-ragu ia duduk di dekat Binar.

“Nangis aja kalau mau.” ujarnya kepada gadis yang tengah murung itu. Binar menggeleng, “mau nangisin apa emangnya?”

“Yang di tweet.” jawab Garfaldo. Binar menghela nafasnya sebentar sebelum merespon Garfaldo.

“Udah biasa, jadi gak perlu ada yang di tangisin lagi.” suaranya terdengar parau, bisa Garfaldo lihat mata gadis itu yang sembab dan memerah karena sehabis menangis, namun Binar mencoba tersenyum menutupi fakta bahwa dirinya menangis tadi sebelum Garfaldo datang.

Ia mendekati Binar, mendudukan dirinya di sebelah gadis itu, “mau minjem sesuatu gak?” tawar Garfaldo pada Binar.

Binar mengernyit bingung, “minjem apa?” tanya Binar atas sesuatu yang di tawarkan Garfaldo pada dirinya.

“Peluk.” jawab Garfaldo pelan, Binar mengerjapkan matanya beberapa kali, ia tidak salah dengarkan?

Binar tidak menjawab tawaran Garfaldo yang membuat laki-laki itu langsung membawa Binar ke dalam peluknya, “lama,” Binar tidak membalas pelukan Garfaldo, ia hanya terdiam kala Garfaldo mengusap pelan punggungnya.

“Kata mamah kalau ada cewe lagi sedih banget, langsung di peluk aja, jadi maaf kalau misalnya gak nunggu jawaban lo dulu, tapi gue tau lo pasti butuh di peluk.” Garfaldo meneruskan ucapannya.

Diam, Binar masih membeku. Hanya saja ia benar-benar merasa hangat, jauh lebih membaik setelah di peluk oleh Garfaldo.

“Makasih lagi.” bisik Binar, matanya menahan tangis. Tangan Garfaldo naik beralih mengusap belakang kepalanya, “lo boleh baik, lo boleh sabar, tapi inget ya Nar kalau lo harus sayang sama diri sendiri juga.”

Setelah mengucapkan itu Garfaldo merenggangkan pelukannya, melepaskannya dan membiarkan mereka kembali pada posisi semula.

Garfaldo memberi senyumnya, lalu menyelipkan anak rambut Binar di belakang telinganya, “mau es krim?” Binar menggeleng sambil terkekeh, “gamau, nanti batuk kalau banyak makan es krim.”

“Pecel lele, gimana?” lantas Binar mengangguk, “boleh, lagi laper nih. Tapi abis itu beli es dugan ya Fa?” Garfaldo memberi kedua jempol tangannya, menyetujui permintaan Binar.

Kemudian keduanya pergi, melupakan tentang pelukan tidak sengaja tadi, namun Binar merasa ada yang tidak beres, ia seperti tidak rela kala Garfaldo melepaskan pelukannya pada Binar tadi.

Keributan

“Binar.” panggil Mahen dengan suaranya yang dingin, terlihat laki-laki itu sedang menahan amarahnya. Garfaldo belum juga pulang, ia masih mengamati dari luar pagar saat Binar dan kekasihnya yang tampak mulai memasuki pergulatan.

“Apa? Mau ribut? Gue cape, besok aja.” ketus Binar merespon Mahen. Tangan Mahen meraih lengan Binar, mencengkramnya cukup kuat sehingga membawa badan Binar mengikuti pergerakannya.

Mahen membuat Binar duduk di kursi sampingnya, “lepas Hen.” pinta Binar menahan ringisannya, ia tidak mau Garfaldo mendengarnya.

“Lo diem makanya disini, nurut. Gue pacar lo, jangan coba-coba buat ngelawan.” tekan Mahen pada Binar yang membuatnya mengangguk terpaksa.

“Mau apa? Lo mau apa?” tanya Binar pelan, Mahen melepas cengkramannya pada Binar, “jauhin Garfa, jangan kegatelan, kalau lo gitu lagi, sekalian aja jual diri ke anak-anak di kampus.”

Binar menatap Mahen dengan matanya yang menahan tangis, “gue serendah apasih Hen di mata lo? Gue gak pernah bilang lo gatel atau sampe nyuruh lo buat nyewa psk karena lo deket sama banyak cewe, lo kenapa sih Hen? Kenapa jahat banget sama gue?” suara Binar terdengar lebih besar dan bergetar saat bertanya hal itu pada Mahen.

“Karena lo murahan Binar, lo mau jalan sama banyak cowo sampe malem. Jujur aja deh, lo abis di pake kan sama Garfa?”

Tanpa pikir panjang Garfaldo turun dari motornya lalu menghampiri Mahen, satu pukulan keras pun melayang pada pipi Mahen yang membuat tubuhnya terjatuh.

“Lo mikir gak sama yang lo omongin? Lo mikir gak kalo itu nyakitin Binar? Sumpah, cewe sebaik Binar gak cocok jadi pacar lo bego, jadi lo nyadar diri sekarang, masih banyak cowo lain yang lebih baik buat sama Binar ketimbang sampah kayak lo.” bentak Garfaldo emosi, tangannya berada di kerah baju Mahen, namun Mahen tidak menunjukkan tanda-tanda ia jera.

Binar hanya menutup mulutnya menggunakan tangan ketika menyaksikan aksi baku hantam di depannya itu.

“Salah satu contoh cowo lain yang lebih baik buat Binar itu lo, gitu?” tanya Mahen dengan senyum miringnya, rasa Garfaldo untuk ingin melenyapkan orang di bawahnya ini semakin besar.

“Iya, jelas. Gue jauh lebih bisa ngehargain dia ketimbang lo yang gatau apa-apa tentang ngehargain orang lain.” Mahen mendorong Garfaldo dari atasnya, ia berdiri sambil merapihkan bajunya.

“Kalau lo mau ambil silahkan ambil aja, tapi gue gak bakal ngelepas dia dengan mudah, jadi inget baik-baik Fa, lo gak bakalan dapetin Binar.” ujar Mahen meremehkan, setelah itu ia pergi dari kediaman Binar, meninggalkan Binar dan Garfaldo yang sama-sama masih terdiam.

“Makasih Fa, gue masuk dulu ya.” pamit Binar masih dengan keadaan yang kaget. Garfaldo mencoba mencegah Binar untuk masuk terlebih dahulu namun gadis itu sudah buru-buru mengunci pintu rumahnya.

Wajar.

Binar mengetahui jika Garfaldo menyukainya setelah menyimpulkan percakapan antara dua laki-laki itu tadi, jadi wajar baginya untuk kaget dan langsung cepat-cepat menghindari Garfaldo.

“Anjing Mahen.” umpat Garfaldo.

Kebohongan Mahen

“Ada yang mau lo jujurin gak?” tanya Binar sesaatnya sampai di kantin fakultas, Mahen mendongak—menatap bingung Binar yang berdiri di hadapannya.

“Apa Nar?”

Binar mengambil ponselnya, membuka galerinya lalu menunjukkannya di depan wajah Mahen.

“Jelasin.” suara Binar terdengar tegas dan menusuk, membuat Mahen beranjak dari duduknya dan panik sambil menggenggam kedua tangan Binar.

“Itu gak sengaja Nar, serius. Aku sama Jova gak ada apa-apa.” Binar menepis tangan Mahen yang tengah menggenggam tangannya, “mau bohong trus? Kak Aline udah jelasin semuanya, bahkan tadi dia ajak Kak Ruby sama Kak Fanya buat jadi saksi sama apa aja yang udah lo lakuin Hen.”

Bentakan Binar pada Mahen cukup menarik atensi orang-orang yang berada di kantin fakultas pada siang itu, membuat orang-orang mendekati mereka—membentuk lingkaran kerumunan yang mengamati sepasang kekasih itu bertengkar.

“Lo juga main belakang gue Nar, lo di pake sama Garfa tapi lo gamau ngaku kan, kita berdua sama aja.” tanpa basa-basi Binar langsung menampar wajah Mahen, “jaga mulut lo, gue bukan orang yang rendah yang mau di cium atau di sentuh cowo lain di saat gue sendiri punya pacar.”

Mahen mengusap bekas tamparan di wajahnya, “lagi pula, lo cium dia udah lebih dulu daripada gue kenal Garfa, jadi jangan banyak ngelak Mahen apalagi ngelampiasin kesalahan lo ke orang yang sama sekali gak salah.”

“Harusnya lo malu sama embel-embel ‘sahabat padahal fwb’, di depan kerjaan ngatain gue jual diri segala macem padahal yang kerjaan ciuman sana-sini ya lo.” lanjut Binar sambil menunjuk wajah Mahen dengan telunjuknya.

Andina yang baru datang langsung menarik Binar beberapa langkah mundur dari Mahen, “udah ya Hen, jangan pernah hubungin Binar lagi, sekarang lo bebas mau ciuman atau bahkan ngamar sama si Jova, jadi gak perlu lagi ngambingin temen gue buat jadi bahan salahan lo biar lo gak ketauan selingkuh.”

Beberapa anak-anak di kantin fakultas tampak kaget, namun sebagian tampak sudah mengetahui fakta bahwa Mahen memang selingkuh dari Binar.

“Nar, kesana sama Andina gih, biar gue yang urus.” ujar Garfaldo yang sudah berada di samping Binar, lelaki itu baru sampai disana setelah mendengar kabar bahwa terjadi drama besar antara Binar dan Mahen di kantin fakultas.

Binar hanya diam, untung saja Andina sudah menuntun gadis itu menjauh dari kerumunan tadi, duduk di kursi yang cukup jauh agar Binar tidak perlu mendengarnya lagi.

“Udah ya Nar, tenang. Ada gue, ada Kak Garfa juga yang bantuin lo disini.” Binar tidak merespon, bibirnya seperti terkunci. Ia masih mengamati kerumunan itu, melihat Garfaldo yang hampir menghajar Mahen tetapi sepertinya lelaki itu tahu tempat makanya ia terlihat menahan amarahnya.

Selang beberapa menit teman-teman Mahen datang dan langsung menariknya dari sana, tampak ada perwakilan dari temannya yang meminta maaf pada Garfaldo maupun orang-orang di kerumunan itu.

Ada pula yang menghampirinya dan meminta maaf atas apa yang di lakukan Mahen, namun Binar masih tidak bergeming membuat teman Mahen itu pamit pergi.

Garfaldo memperhatikan Binar, gadis itu tidak menangis tetapi terlihat jelas matanya yang sembab seperti semalaman ia sibuk menangis.

Tangan Garfaldo menyodorkan minuman dingin yang baru saja ia beli kepada Binar, “diminum dulu.” Binar menerimanya, ia tidak meminumnya, hanya ia genggam botol minuman itu.

Andina yang paham situasinya pun langsung pamit, “gue kelas ya Nar, hari ini lo titip absen aja ke gue, sekarang mending lo pulang sama Kak Garfa.”

“Kak, gue titip Binar ya.” Garfaldo langsung mengangguk kala Andina menitipkan Binar kepadanya. Sebelum pergi, Andina memeluk Binar sebentar, barulah ia meninggalkan kedua orang itu.

“Es dugan atau es krim?” tanya Garfaldo setelah hening di antara kedunya, “caramel macchiato.” jawab Binar asal, tidak memilih di antara kedua pilihan yang Garfaldo kasih.

Lelaki itu mengusap pucuk kepala Binar, amarahnya tadi seolah menghilang begitu saja saat melihat respon Binar yang menurutnya menggemaskan.

“Yuk, gue beliin.”