Kebohongan Mahen

“Ada yang mau lo jujurin gak?” tanya Binar sesaatnya sampai di kantin fakultas, Mahen mendongak—menatap bingung Binar yang berdiri di hadapannya.

“Apa Nar?”

Binar mengambil ponselnya, membuka galerinya lalu menunjukkannya di depan wajah Mahen.

“Jelasin.” suara Binar terdengar tegas dan menusuk, membuat Mahen beranjak dari duduknya dan panik sambil menggenggam kedua tangan Binar.

“Itu gak sengaja Nar, serius. Aku sama Jova gak ada apa-apa.” Binar menepis tangan Mahen yang tengah menggenggam tangannya, “mau bohong trus? Kak Aline udah jelasin semuanya, bahkan tadi dia ajak Kak Ruby sama Kak Fanya buat jadi saksi sama apa aja yang udah lo lakuin Hen.”

Bentakan Binar pada Mahen cukup menarik atensi orang-orang yang berada di kantin fakultas pada siang itu, membuat orang-orang mendekati mereka—membentuk lingkaran kerumunan yang mengamati sepasang kekasih itu bertengkar.

“Lo juga main belakang gue Nar, lo di pake sama Garfa tapi lo gamau ngaku kan, kita berdua sama aja.” tanpa basa-basi Binar langsung menampar wajah Mahen, “jaga mulut lo, gue bukan orang yang rendah yang mau di cium atau di sentuh cowo lain di saat gue sendiri punya pacar.”

Mahen mengusap bekas tamparan di wajahnya, “lagi pula, lo cium dia udah lebih dulu daripada gue kenal Garfa, jadi jangan banyak ngelak Mahen apalagi ngelampiasin kesalahan lo ke orang yang sama sekali gak salah.”

“Harusnya lo malu sama embel-embel ‘sahabat padahal fwb’, di depan kerjaan ngatain gue jual diri segala macem padahal yang kerjaan ciuman sana-sini ya lo.” lanjut Binar sambil menunjuk wajah Mahen dengan telunjuknya.

Andina yang baru datang langsung menarik Binar beberapa langkah mundur dari Mahen, “udah ya Hen, jangan pernah hubungin Binar lagi, sekarang lo bebas mau ciuman atau bahkan ngamar sama si Jova, jadi gak perlu lagi ngambingin temen gue buat jadi bahan salahan lo biar lo gak ketauan selingkuh.”

Beberapa anak-anak di kantin fakultas tampak kaget, namun sebagian tampak sudah mengetahui fakta bahwa Mahen memang selingkuh dari Binar.

“Nar, kesana sama Andina gih, biar gue yang urus.” ujar Garfaldo yang sudah berada di samping Binar, lelaki itu baru sampai disana setelah mendengar kabar bahwa terjadi drama besar antara Binar dan Mahen di kantin fakultas.

Binar hanya diam, untung saja Andina sudah menuntun gadis itu menjauh dari kerumunan tadi, duduk di kursi yang cukup jauh agar Binar tidak perlu mendengarnya lagi.

“Udah ya Nar, tenang. Ada gue, ada Kak Garfa juga yang bantuin lo disini.” Binar tidak merespon, bibirnya seperti terkunci. Ia masih mengamati kerumunan itu, melihat Garfaldo yang hampir menghajar Mahen tetapi sepertinya lelaki itu tahu tempat makanya ia terlihat menahan amarahnya.

Selang beberapa menit teman-teman Mahen datang dan langsung menariknya dari sana, tampak ada perwakilan dari temannya yang meminta maaf pada Garfaldo maupun orang-orang di kerumunan itu.

Ada pula yang menghampirinya dan meminta maaf atas apa yang di lakukan Mahen, namun Binar masih tidak bergeming membuat teman Mahen itu pamit pergi.

Garfaldo memperhatikan Binar, gadis itu tidak menangis tetapi terlihat jelas matanya yang sembab seperti semalaman ia sibuk menangis.

Tangan Garfaldo menyodorkan minuman dingin yang baru saja ia beli kepada Binar, “diminum dulu.” Binar menerimanya, ia tidak meminumnya, hanya ia genggam botol minuman itu.

Andina yang paham situasinya pun langsung pamit, “gue kelas ya Nar, hari ini lo titip absen aja ke gue, sekarang mending lo pulang sama Kak Garfa.”

“Kak, gue titip Binar ya.” Garfaldo langsung mengangguk kala Andina menitipkan Binar kepadanya. Sebelum pergi, Andina memeluk Binar sebentar, barulah ia meninggalkan kedua orang itu.

“Es dugan atau es krim?” tanya Garfaldo setelah hening di antara kedunya, “caramel macchiato.” jawab Binar asal, tidak memilih di antara kedua pilihan yang Garfaldo kasih.

Lelaki itu mengusap pucuk kepala Binar, amarahnya tadi seolah menghilang begitu saja saat melihat respon Binar yang menurutnya menggemaskan.

“Yuk, gue beliin.”