Blue & Grey
tw // intense sadness(?), hopeless (?)
Satu daksa dengan sejuta indahnya itu sedang duduk sendiri. Menengadah memandang rembulan malam itu. Mata memandang lurus, terlihat sesekali berkedip.
Senyum, tidak sedikit pun terukir di wajahnya. Karena malam itu, Ia kembali di datangi takutnya. Hatinya berat.
Dalam hening malam, kepalanya mengeluarkan satu suara. Berusaha mengajaknya berbicara.
“Kau baik?” itu suara di kepalanya.
”.....”
Ah, Ia masih ingin menikmati momennya. Enggan menjawab.
“Kau tau? Selama aku hadir. Kaulah yang terhebat! Jiwa dan raga yang menjadi daksamu adalah titipan paling baik dari Tuhan untuk namamu!
Tapi, kalau aku sampaikan meski seribu kali saat ini. Hatimu engga menyetujui, kan? Lisanmu enggan mengiyakan, kan?
Aaahh, Bulan, ya?
Kamu ingat? Kalau objek indah yang kamu pandangi sedari tadi, juga sama denganmu. Berwarna abu.
Warna lain yang hadir padanya adalah pantulan. Hasil keihklasan hatinya, akan membiarkan segala yang ada di sekitarnya, menitipkan pengaruh padanya.
Jika dia egois, bisa saja Ia tidak terlihat seindah itu. Ah! ada jua kemungkinan, Ia tidak terlihat sama sekali.
Kamu, mengingat itu, 'kan?”
Masih hening. Tidak menjawab. Hanya perlahan rasa pegal pada lehernya, menurunkan egonya. Mulai menunduk. Melihat pantulannya pada permukaan air yang membasahi seluruh telapak kakinya.
“Kamu lihat apa yang kulihat, tidak?”
“Apa?” akhirnya! Ia bersedia menjawab!
“Ada satu ragam rasa yang jelas berpendar di sana. Ia, abu. Seolah menegaskan, hati pemiliknya sedang rapuh, terkikis sepi dan dipeluk sendu.
Dalam diamnya sedari tadi, Ia berbisik berulang kali pada hening malam.
Bisakah aku meminta, saat esok pagi menyapa, hati berat ini sedikit kehilangan bebannya? Agaknya, cukup dengan sedikit ringan dari sebelumnya. Juga bisakah, datangkan pagi berwarna? Abu sudah cukup lama hadir menjadi pemberi warna. Rasanya, jeritan frustasi pada semesta di malam hari, sebelum mengalah pada kantuk; tidak berpengaruh. Tolong, jiwa ini lelah. Jadi, bisakah?
Aku ikut sakit. Begitu lelahnya Ia.”
“Lalu?”
“Setelah semua itu kamu bisikkan. Apa hatimu membaik?”
“Menurutmu, bagaimana aku pagi tadi? Dan akan seperti apa aku esok pagi?”
“Dari jawabanmu, jelas. Kamu jengkel sekali. Maaf, ya? Maksudku bukan begitu. Aduh! Aku tidak begitu mahir menghibur lewat untaian kata. Karena itu, apakah satu buah peluk cukup untuk pelikmu?”
“Tidak. Butuh yang lebih mahal dari sekedar peluk. Tapi semurah berputus asa.”
“Memang ada?”
“Apa yang semesta tidak punya?”
“Kamu, pintar sekali menjawab. Berkilah. Tapi, ya gitu. Hati berat akan selalu menemukan celah untuk membenarkan rasanya. Lantas, apa hadirku benar tidak ada gunanya? Setidaknya untukmu yang malam ini rapuh?”
“Seharusnya. Tapi tadi, seperti katamu. Hati berat ini akan selalu mencari pembenaran atas rasanya. Padahal, kamu juga tahu fakta itu, 'kan?”
“Sangat tahu. Melekat seerat daging pada otot kerangka tegar mu. Pun, seolah menjadi bagian pada lisanmu. Berulang kali dan pasti terucap di setiap harimu. Akan begitu besar rasa takutmu. Bahwa Ia; hati berat itu mungkin saja, ──tanpa sengaja menyakiti hati baik lainnya. ──menjadi sebab satu senyum yang sepantasnya hadir, berakhir urung. ──pun perenggut nyawa yang masih butuh dan pantas berjuang, menjemput hari esoknya.
Benar, kan?”
“Ya. Lainnya, kamu juga tahu?”
“Tahu. Selalu tahu.”
“Aku─”
“Tidak apa. Tidak ada hal yang sangat mendesak yang harus kamu selesaikan dekat-dekat ini. Ada kalanya, biarkan sang waktu bekerja. Mengambil alih segala kuasa. Agar raga, bisa mengerti. Inilah saat Ia mengalah. Mengatakan pada hati berat. Hari ini, aku beri kamu makan dan kesempatan. Ambil. Lakukan. Dapatkan semua yang bisa memuaskan.
Sekalipun itu, satu tangis yang enggan berhenti. Meski suhu tubuh mulai menghangat.
Sekalipun itu, satu kata menyerah yang enggan untuk di hindari. Di biarkan terucap.
Sekalipun itu, satu jiwa yang terlihat buruk. Seolah tidak percaya, bagaimana semesta bekerja atas ceritanya. Karna dasarnya, setiap manusia egois. Ingin jadi dan dapat segala maunya.
Sekalipun itu, tidak ada lagi arti jua makna pada kata tidak apa untuk tidak baik-baik saja. Karena faktanya, tidak baik-baik saja; itu apa-apa.
Dan sekalipun-sekalipun lainnya yang tidak akan ada habisnya.
Jadi, malam ini mengalahlah. Hentikan sebentar segala juang. Biarkan Ia membesar, melahap habis hati baik. Merubah satu raga, satu rasa.
Karena aku percaya, kamu jauh lebih kuat darinya. Entah tidak sadar atau sesederhana lupa. Kamu ini, terlalu berfokus pada bagaimana agar Ia hilang, tidak kembali.
Padahal, dulu bukan Ia tidak ada. Tapi, kamu yang kuat. Kamu berkuasa. Hingga Ia redam tidak naik ke permukaan. Mungkin, kali ini, tabungan bekal juga pembelajaran hidup yang kamu punya, tidak lagi cukup untuk melawannya.
Kamu butuh bekal dan pembelajaran yang lebih lagi.
Bukankah untuk paham seberapa kuat kamu menahan sakit adalah dengan membiarkan sakit itu menerkam habis mampumu? Hingga perlahan, kamu paham, di sanalah ambang batas yang kamu punya.
Tolong, mengalah ya? Kamu sudah terlalu keras, terlalu egois memaksa. Kamu, masih perlu takutmu untuk kembali berani.
Tolong...”
Kaki yang terendam tadi bergerak. Suara riak air, memecah hening. Menjadi satu suara yang dianggap teman hadirnya. Kepala ia tundukkan pada lipatan lututnya. Memeluk erat dirinya. Sendiri.
Lalu, perlahan. Pundak mulai bergetar.
Ahh, syukurlah. Ia memilih mengalah.
Malam itu, setelah banyak malam yang Ia habiskan dengan segala upaya untuk memenangkan hati berat. Ia akhirnya memilih kalah; mengalah. Membiarkan rasa takut menjadi pengisi raga. Memberi makan pada yang tidak baik, juga tanda bahwa Ia ingin menyerah.
Dalam hatinya, satu kata diucapkan berulang...
“Maaf...”
Getaran pada pundak mulai tidak beraturan. Seirama napas yang memberat. Sejalan air mata yang terus turun. Sebagai wakil dari lisan. Menyuarakan, “Aku lelah. Aku takut.”
Butuh banyak waktu yang Ia habiskan untuk sampai pada keputusan itu. Maka, malam ini, biarkan Ia habis oleh segala kalah dan lelah. Biarkan, Ia menjadi lemah.
“Terima kasih.” suara itu muncul setelah hening yang cukup lama.
Malam kian larut. Angin yang berhembus, bukan lagi teman. Ia ancaman. Tapi, satu daksa ini masih betah dengan tangisnya. Yang kini, tanpa air mata. Bukankah ini lebih menyakitkan?
“Setelah ini, maukah kamu beristirahat panjang? Sebelum kembali memulai berjuang?”
“Entah. Rasanya belum lega. Masih ada sisa.”
“Sisa itu, biarkan Ia di sana. Ia, punya baik atas hadirnya. Ia, akan menjaga mu dari kawanannya yang lainnya. Kamu, percaya 'kan?”
“Aku punya pilihan lain memangnya?”
“Hehe. Tentu tidak. Pun, kalau tadi kamu menolak, aku akan kembali menjabarkan 1001 alasan untukmu menerima.
Sudah hampir pagi, omong-omong. Tidakkah kamu ingin memejamkan mata? Untuk memberi kejutan pada jiwa dan istirahat pada raga?”
“Haruskah?”
“Mm-mmm. Ya ya ya?”
Tidak berbohong. Ia lelah sebenarnya. Lelah yang sebenarnya lelah. Maka, dengan perlahan Ia beranjak. Berjalan dengan langkah yang amat pelan, seakan sebetulnya Ia enggan meninggalkan.
Hingga tiba pada tujuan, Ia berbaring. Melihat langit-langit kamar, Ia kembali takut. Karena seperti sebelumnya, Ia menggantungkan asa yang (akan) selalu sama.
“Tidur. Menggantungkan asa tinggi-tinggi memang baik. Tapi jika terlalu tinggi, tidak tahu diri dan menyiksa diri sendiri namanya.”
Ia melantukan satu doa pengantar tidur seperti seharusnya. Menutup mata. Berusaha menenangkan pikiran. Meringankan hati. Ia berusaha.
Syukurnya, lelah mengambil alih. Hitungan detik, Ia terlelap. Semoga, esok pagi menjadi hari yang lebih baik untuk hatinya. Semoga.
Si abu itu, Ia tidak pernah tahu, jika setiap asa yang Ia gantungkan tercapai. Terkabul adanya.
Pagi berwarna yang selalu Ia pinta, selalu tersedia, selalu ada. Menyapa. Menyambutnya dengan cinta.
Tapi tadi, hati berat itu menutup segala baiknya. Melenyapkan senyumnya.
Bahkan, Ia tidak sadar, suara yang berbicara dengannya sedari tadi adalah si warna biru yang Ia pinta; tangis yang Ia tunda.