🧸

Blue & Grey

tw // intense sadness(?), hopeless (?)


Satu daksa dengan sejuta indahnya itu sedang duduk sendiri. Menengadah memandang rembulan malam itu. Mata memandang lurus, terlihat sesekali berkedip.

Senyum, tidak sedikit pun terukir di wajahnya. Karena malam itu, Ia kembali di datangi takutnya. Hatinya berat.

Dalam hening malam, kepalanya mengeluarkan satu suara. Berusaha mengajaknya berbicara.

“Kau baik?” itu suara di kepalanya.

”.....”

Ah, Ia masih ingin menikmati momennya. Enggan menjawab.

“Kau tau? Selama aku hadir. Kaulah yang terhebat! Jiwa dan raga yang menjadi daksamu adalah titipan paling baik dari Tuhan untuk namamu!

Tapi, kalau aku sampaikan meski seribu kali saat ini. Hatimu engga menyetujui, kan? Lisanmu enggan mengiyakan, kan?

Aaahh, Bulan, ya?

Kamu ingat? Kalau objek indah yang kamu pandangi sedari tadi, juga sama denganmu. Berwarna abu.

Warna lain yang hadir padanya adalah pantulan. Hasil keihklasan hatinya, akan membiarkan segala yang ada di sekitarnya, menitipkan pengaruh padanya.

Jika dia egois, bisa saja Ia tidak terlihat seindah itu. Ah! ada jua kemungkinan, Ia tidak terlihat sama sekali.

Kamu, mengingat itu, 'kan?”

Masih hening. Tidak menjawab. Hanya perlahan rasa pegal pada lehernya, menurunkan egonya. Mulai menunduk. Melihat pantulannya pada permukaan air yang membasahi seluruh telapak kakinya.

“Kamu lihat apa yang kulihat, tidak?”

“Apa?” akhirnya! Ia bersedia menjawab!

“Ada satu ragam rasa yang jelas berpendar di sana. Ia, abu. Seolah menegaskan, hati pemiliknya sedang rapuh, terkikis sepi dan dipeluk sendu.

Dalam diamnya sedari tadi, Ia berbisik berulang kali pada hening malam.

Bisakah aku meminta, saat esok pagi menyapa, hati berat ini sedikit kehilangan bebannya? Agaknya, cukup dengan sedikit ringan dari sebelumnya. Juga bisakah, datangkan pagi berwarna? Abu sudah cukup lama hadir menjadi pemberi warna. Rasanya, jeritan frustasi pada semesta di malam hari, sebelum mengalah pada kantuk; tidak berpengaruh. Tolong, jiwa ini lelah. Jadi, bisakah?

Aku ikut sakit. Begitu lelahnya Ia.”

“Lalu?”

“Setelah semua itu kamu bisikkan. Apa hatimu membaik?”

“Menurutmu, bagaimana aku pagi tadi? Dan akan seperti apa aku esok pagi?”

“Dari jawabanmu, jelas. Kamu jengkel sekali. Maaf, ya? Maksudku bukan begitu. Aduh! Aku tidak begitu mahir menghibur lewat untaian kata. Karena itu, apakah satu buah peluk cukup untuk pelikmu?”

“Tidak. Butuh yang lebih mahal dari sekedar peluk. Tapi semurah berputus asa.”

“Memang ada?”

“Apa yang semesta tidak punya?”

“Kamu, pintar sekali menjawab. Berkilah. Tapi, ya gitu. Hati berat akan selalu menemukan celah untuk membenarkan rasanya. Lantas, apa hadirku benar tidak ada gunanya? Setidaknya untukmu yang malam ini rapuh?”

“Seharusnya. Tapi tadi, seperti katamu. Hati berat ini akan selalu mencari pembenaran atas rasanya. Padahal, kamu juga tahu fakta itu, 'kan?”

“Sangat tahu. Melekat seerat daging pada otot kerangka tegar mu. Pun, seolah menjadi bagian pada lisanmu. Berulang kali dan pasti terucap di setiap harimu. Akan begitu besar rasa takutmu. Bahwa Ia; hati berat itu mungkin saja, ──tanpa sengaja menyakiti hati baik lainnya. ──menjadi sebab satu senyum yang sepantasnya hadir, berakhir urung. ──pun perenggut nyawa yang masih butuh dan pantas berjuang, menjemput hari esoknya.

Benar, kan?”

“Ya. Lainnya, kamu juga tahu?”

“Tahu. Selalu tahu.”

“Aku─”

“Tidak apa. Tidak ada hal yang sangat mendesak yang harus kamu selesaikan dekat-dekat ini. Ada kalanya, biarkan sang waktu bekerja. Mengambil alih segala kuasa. Agar raga, bisa mengerti. Inilah saat Ia mengalah. Mengatakan pada hati berat. Hari ini, aku beri kamu makan dan kesempatan. Ambil. Lakukan. Dapatkan semua yang bisa memuaskan.

Sekalipun itu, satu tangis yang enggan berhenti. Meski suhu tubuh mulai menghangat.

Sekalipun itu, satu kata menyerah yang enggan untuk di hindari. Di biarkan terucap.

Sekalipun itu, satu jiwa yang terlihat buruk. Seolah tidak percaya, bagaimana semesta bekerja atas ceritanya. Karna dasarnya, setiap manusia egois. Ingin jadi dan dapat segala maunya.

Sekalipun itu, tidak ada lagi arti jua makna pada kata tidak apa untuk tidak baik-baik saja. Karena faktanya, tidak baik-baik saja; itu apa-apa.

Dan sekalipun-sekalipun lainnya yang tidak akan ada habisnya.

Jadi, malam ini mengalahlah. Hentikan sebentar segala juang. Biarkan Ia membesar, melahap habis hati baik. Merubah satu raga, satu rasa.

Karena aku percaya, kamu jauh lebih kuat darinya. Entah tidak sadar atau sesederhana lupa. Kamu ini, terlalu berfokus pada bagaimana agar Ia hilang, tidak kembali.

Padahal, dulu bukan Ia tidak ada. Tapi, kamu yang kuat. Kamu berkuasa. Hingga Ia redam tidak naik ke permukaan. Mungkin, kali ini, tabungan bekal juga pembelajaran hidup yang kamu punya, tidak lagi cukup untuk melawannya.

Kamu butuh bekal dan pembelajaran yang lebih lagi.

Bukankah untuk paham seberapa kuat kamu menahan sakit adalah dengan membiarkan sakit itu menerkam habis mampumu? Hingga perlahan, kamu paham, di sanalah ambang batas yang kamu punya.

Tolong, mengalah ya? Kamu sudah terlalu keras, terlalu egois memaksa. Kamu, masih perlu takutmu untuk kembali berani.

Tolong...”

Kaki yang terendam tadi bergerak. Suara riak air, memecah hening. Menjadi satu suara yang dianggap teman hadirnya. Kepala ia tundukkan pada lipatan lututnya. Memeluk erat dirinya. Sendiri.

Lalu, perlahan. Pundak mulai bergetar.

Ahh, syukurlah. Ia memilih mengalah.

Malam itu, setelah banyak malam yang Ia habiskan dengan segala upaya untuk memenangkan hati berat. Ia akhirnya memilih kalah; mengalah. Membiarkan rasa takut menjadi pengisi raga. Memberi makan pada yang tidak baik, juga tanda bahwa Ia ingin menyerah.

Dalam hatinya, satu kata diucapkan berulang...

“Maaf...”

Getaran pada pundak mulai tidak beraturan. Seirama napas yang memberat. Sejalan air mata yang terus turun. Sebagai wakil dari lisan. Menyuarakan, “Aku lelah. Aku takut.”

Butuh banyak waktu yang Ia habiskan untuk sampai pada keputusan itu. Maka, malam ini, biarkan Ia habis oleh segala kalah dan lelah. Biarkan, Ia menjadi lemah.

“Terima kasih.” suara itu muncul setelah hening yang cukup lama.

Malam kian larut. Angin yang berhembus, bukan lagi teman. Ia ancaman. Tapi, satu daksa ini masih betah dengan tangisnya. Yang kini, tanpa air mata. Bukankah ini lebih menyakitkan?

“Setelah ini, maukah kamu beristirahat panjang? Sebelum kembali memulai berjuang?”

“Entah. Rasanya belum lega. Masih ada sisa.”

“Sisa itu, biarkan Ia di sana. Ia, punya baik atas hadirnya. Ia, akan menjaga mu dari kawanannya yang lainnya. Kamu, percaya 'kan?”

“Aku punya pilihan lain memangnya?”

“Hehe. Tentu tidak. Pun, kalau tadi kamu menolak, aku akan kembali menjabarkan 1001 alasan untukmu menerima.

Sudah hampir pagi, omong-omong. Tidakkah kamu ingin memejamkan mata? Untuk memberi kejutan pada jiwa dan istirahat pada raga?”

“Haruskah?”

“Mm-mmm. Ya ya ya?”

Tidak berbohong. Ia lelah sebenarnya. Lelah yang sebenarnya lelah. Maka, dengan perlahan Ia beranjak. Berjalan dengan langkah yang amat pelan, seakan sebetulnya Ia enggan meninggalkan.

Hingga tiba pada tujuan, Ia berbaring. Melihat langit-langit kamar, Ia kembali takut. Karena seperti sebelumnya, Ia menggantungkan asa yang (akan) selalu sama.

“Tidur. Menggantungkan asa tinggi-tinggi memang baik. Tapi jika terlalu tinggi, tidak tahu diri dan menyiksa diri sendiri namanya.”

Ia melantukan satu doa pengantar tidur seperti seharusnya. Menutup mata. Berusaha menenangkan pikiran. Meringankan hati. Ia berusaha.

Syukurnya, lelah mengambil alih. Hitungan detik, Ia terlelap. Semoga, esok pagi menjadi hari yang lebih baik untuk hatinya. Semoga.


Si abu itu, Ia tidak pernah tahu, jika setiap asa yang Ia gantungkan tercapai. Terkabul adanya.

Pagi berwarna yang selalu Ia pinta, selalu tersedia, selalu ada. Menyapa. Menyambutnya dengan cinta.

Tapi tadi, hati berat itu menutup segala baiknya. Melenyapkan senyumnya.

Bahkan, Ia tidak sadar, suara yang berbicara dengannya sedari tadi adalah si warna biru yang Ia pinta; tangis yang Ia tunda.

Senandika

Hening malam yang memeluk lelapmu tadi, sudahkah Ia bisikkan rinduku?


Rindu.

“Saya rindu.”

Kalimat itu hanya berakhir Ia sampaikan pada dinding kamarnya.

사랑

𝐉𝐨𝐡𝐧𝐚𝐭𝐚𝐧 pernah bilang, kalau status hanya kata. Tidak lebih. Tapi 𝐓𝐲𝐚𝐠𝐚 urung percaya.


Sanctuary

𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 tawarkan kebebasan pada 𝐇𝐚𝐞𝐜𝐡𝐚𝐧;pemeluk kesengsaraan.


tw // harshword , despair , bit nsfw(?)


“HHHHHHHAAAAAHHHHHHH”

Punggung itu luruh;membungkuk. Seolah jagat benar bertumpu di sana. Beban hidup nyata terasa. Daksa rapuh itu lelah. Letih. Jengah. Hidup berkedok permainan masih saja bergulir. Terus enggan menunjukkan akhir atau kenaikan level. Sedang nyawa, kian menua seiring pergantian angka.

“Baji-”

Bahkan, untuk menghina pun, lisan muak. Tidak lagi memberi puas pada raga. Harsa pada asa. Hingga, satu suara yang paling tidak diharap hadirnya, menyapa.

Panggilan masuk dari Jaemin...

Tentu. Panggilan itu ditolak. Siapa Jaemin? Apa kuasa yang dia punya untuk hadir membantu? Tidak ada. Jaemin cuma satu manusia lainnya.

“Tolong pulang. Ayah lo kecarian, Chan.” “Chan...”

Abai.

Ditemani temaram, Ia teruskan langkah. Susuri sepi sudut kota. Berusaha mencari pembenaran atas frustasinya. Mencari dukungan untuk sengsaranya.

Iya, Haechan sengsara.

“Haechan itu Indah!”

“Haechan itu tidak pantas disandingkan puji, Ia itu PUJA. P-U-J-A.”

“Haechan itu arunika. Penting sekali presensinya.”

“Haechan itu chandra. Pematok segala janji, berpeluk nanti.”

“Haechan itu satu dari jutaan mimpi. Yang diamini triliunan hati.”

“Haechan itu terlalu murah, untuk hadir cuma-cuma di semesta.”

Haechan itu... Haechan itu, katanya?

“Apa ya, rasanya jadi Haechan?”

Apa rasanya jadi aku, tanyanya?

Berdasarkan apa, Ia punya asa untuk hidup seperti manusia lain? Atas akara apa, Ia bertanya rasa hidup milik orang lain? Coba jawab.

Apa yang daksaku punya, tapi tidak daksamu. Apa yang aku mampu coba, tapi tidak untukmu. Apa kesempurnaan yang ku perlihatkan, tapi menjadi kepastian cacatmu karenanya. APA?

Tidak pernah dengar? Semakin tinggi pohon, semakin bajingan anila menerpa.

Semua kata baik yang telinganya dengar di tiap hari adalah sumber sengsaranya. Bagaimana pendar penuh suka itu terarah untuknya. Bagaimana lisan enggan memutus puja, berlomba mahal-mahal kata. Rayu-rayu puja.

Sampai mereka lupa. Ah! atau enggan mengingat, bahwa mereka serupa. Sama. Tidak berbeda. Memang, jika candala sudah bersahabat. Benak siapa yang mau susah bekerja.

Larut dalam lamunan, membuat langkah itu tiba pada satu adimarga.

Eh?

Sebentar. Rasanya tadi, Ia memulai langkah pada jalan kecil.

Diam. Haechan pandangi sekitar. Merasakan ada yang janggal.

“Berbalik!” itu perintah otaknya. Tentu, dengan segera daksa lakukan.

Tapi sayang. Haechan sedang malang. Mara sudah bersorak.

Di belakangnya, satu daksa lain puas menyeringai. Tanpa perlu upaya, mangsa datang dengan sukarela. Perihal satu asa, urusan kedua. Yang utama adalah menahan mangsa.

“Kamu datang?”

Haechan memilih bisu. Enggan menjawab.

“Kenapa? Masih gak percaya?”

Haechan berbalik. Hatinya kepalang penasaran. Bagaimana rupa suara hati yang selalu ada bak pahlawan untuknya.

“Kaget ya? Saya ganteng? Hahahaha. Kamu sih! Terlalu keras kepala!”

“Jadi gini? Lumayan! Lo oke punya. Terus apa? Gue udah di sini.” Haechan menantang. Ingat? Ia pemeluk kesengsaraan.

“Terserah. Perjanjian. Kalau kamu setuju, saya kasih semua kebebasan yang kamu mau.” itu tantangan. Bukan penawaran.

“Setuju. Apapun syarat dan hal-hal bodoh yang lo minta, gue kasih. Gue pemilik semesta. Semua, gue punya.” bangganya.

“Oke. Kamu sudah setuju. Tidak bisa dibatalkan. Satu. Satu kali, satu janji, satu hari. Selesai.” Jaehyun bermain. Mengulur waktu.

“Iya, bawel. Apa?” Haechan jengah.

“Di sini. Kita melebur. Cumbana, disaksikan chandra.”

Haechan? Bungkam. Tapi tetap, Haechan bagi desahan.

Dengan anila yang berbisik menghina, keduanya satu. Berbagi pagut dan peluh.


Jaehyun tidak terlelap. Ia pandangi Haechan yang setia mendekapnya. Seringai memang urung lepas dari wajah. Karena daksa penuh puja ini, sudah lama menarik perhatiannya. Sudah lama menjadi incarannya.

Beruang manis berkulit madu itu, terlalu puas memeluk puja. Menikmati cinta. Sampai lupa, semua itu hanya harsa yang semu. Tidak kekal. Tidak juga mahal. Karena di balik puja, tersimpan harga. Bayaran asa yang harus dipenuhi.

Haechan selama ini, memeluk sengsara. Mencintai derita.

Celah itulah yang membangunkan sisi belis Jaehyun. Ia tahu, Ia punya segala bebas yang Haechan mau. Punya bahagia yang Haechan suka. Meski Jaehyun, miskin puja.

Lalu, dengan satu upaya, Ia berhasil masuk, menjadi suara hati bak pahlawan untuk Haechan.

Menjadi pengirim pesan anonim di hari Haechan. Setiap hari. Hingga percaya berhasil Ia genggam. Jaehyun menang.

Hari ini, malam ini, pada awal februari, Haechan berhasil masuk dalam dunianya. Detik satu tadi terjadi, detik itu juga, presensi Haechan dihapus bumi.

Sesuai janji, bebas, kini milik Haechan. Dengan sengsara, sebagai bayaran...


(*In case ada yang kurang paham ceritanya, maaf ya? Ini kinda fantasy(?) atau boleh tanya, ya!)

Sanctuary ; selesai


Tabungan diksi kita di cerita ini!

  • Kedok : Topeng
  • Arunika : Matahari
  • Chandra : Rembulan
  • Akara : Bayangan
  • Anila : Angin
  • Candala : rendah, merasa rendah diri
  • Adimarga : Jalan raya yang lebar biasanya dengan pohon di kiri-kanannya.
  • Mara : Bencana, bahaya
  • Cumbana : Bercinta
  • Belis : Iblis

Redamancy

𝐌𝐚𝐫𝐤 sampaikan rasa dalam kata. Tapi sayang, 𝐇𝐚𝐞𝐜𝐡𝐚𝐧; pria pemuja rayuan nada.


Mark berhasil rampungkan satu lagi bukunya. “Kanigara Milik Saya”, Ia beri judul. Dari prakata hingga ucapan terima kasih, Ia isi penuh dengan segala rasa, yang Ia titip lewat frasa sederhana. Tidak banyak halaman, Ia tulis singkat semua rasa cinta;tersirat.

Mark yakini, bukunya kali ini akan berhasil menyejukkan hangatnya cinta Haechan. Bak baskara yang bekerja setia pada bumi, Haechannya pun Ia maknakan serupa. Serupa arunika yang di puja segala daksa. Pemulai hari yang selalu disambut cinta.

Puas memandangi hasil akhir bukunya, Mark lantas bergegas menemui sang cinta. Memangkas jarak dalam pelukan langkah ringan. Sesekali, Mark hias dengan gumaman sajak cinta.

[Ah, sebelumnya kuberitahu, Mark bukan seorang penulis besar. Semua hasil jarinya yang berbicara, Ia simpan untuknya sendiri. Dinikmati pun dicaci maki sendiri. Ia ini tunakata, sebut saja begitu. Tapi jua, Ia kelewat gemar bermain kata.]

Mark hampir tiba. Cukup satu panggilan bergema darinya, untuk meminta sang kanigara miliknya keluar;membantunya memangkas jarak. Namun urung. Mark lebih suka sang intuisi yang bekerja untuknya.

Benar saja. Belum tandas si jarak, sang kanigara lebih dulu tiba. Menghapiri dengan wajah jenaka, dihias netra penuh pendar harsa.

“Kakaaak!” suara familiar itu kembali menyapa gendang telinga;Mark suka. Selalu suka. Berniat membalas sapa, seandainya daksa indah ini tidak mendekapnya erat. Hangat. Dalam benaknya, O2 di sekitar berwarna merah muda. Berhiaskan asmara. Bahagia.

“Mau peluk sampai kapan?” Mark tidak tahan. Ingin segera memandang ursa minor kesayangannya.

“Sebentar lagi. Dua minggu, kakak izin mau fokus berperang kata. Aku gak ganggu. Jadi rindu.” jawabnya dengan suara yang tersirat nestapa. Mana Mark tega.

“Maaf, ya? Kalau gitu silahkan peluk, sampai limit penyangga menyapa.” Mark berusaha bergurau. Tidak lucu, tapi yang penting sudah usaha.

“Itu? Dan kuning?”

“Kenapa kuningnya? Judulnya.” sedikit merengut.

“Hehe, bercanda. Wah, bagus. Seperti biasa, kakak memang jagonya.” respon template itu lagi. Mark harapkan lebih kali ini.

“Baca dulu. Singkat kok. Harusnya, kamu enggak akan bosan bacanya.”

Lalu, keduanya bergerak menuju satu sudut teras rumah. Mark perhatikan lamat wajah fokus Haechan dari samping. Titik yang terhubung garis semu itu menjadi fokus utama. Tidak bosan Mark puji tersirat puja. Belum lagi, kanvas kulit madu makin memperindah segalanya. Netranya benar di manja. Hingga, satu hal menggelitik benaknya. Jiwa pujangganya datang.

Merogoh saku, meraih ponsel, jari Mark mulai sibuk mengetik. Untaian frasa tentang cinta kembali lahir. Akan Mark tabung frasa-frasa itu. Disampaikan saat dibutuhkan nanti.

Waktu terus bergulir, hingga lembayung senja menjadi orang ketiga. Mark menolehkan kembali netranya pada Haechan. Sedikit larut dalam kegiatan sederhananya tadi, Mark lupa akan tujuan kedatangannya.

Ya, memang apa yang bisa Mark harapkan dari Haechan? Sang pemuja rayuan nada.

“Chan. Kalau mau tidur, masuk ke dalam. Jangan di sini.” asa kalimatnya memang membangunkan, tapi upaya kebalikan. Kepala disandarkan pada bahu, dengan setengah beban daksa dilimpahkan pada dada. Senja sudah kembali ke peraduan, nabastala mulai berhias bintang namun Haechan, masih setia terlelap. Bisikan sajak cinta belum juga terputus. Seakan selama Haechan masih dalam jarak pandang, tersapu lima indra, kata-kata itu akan lahir dengan mudahnya.

Hingga suara berat memecah hening.

“Masuk, Mark. Angin malam bukan teman.”

Lalu Mark coba bangunkan sekali lagi. Syukurnya berhasil. Haechan bangun. Memang sudah hafal, Haechan segera berdiri dan berjalan lebih dulu memasuki rumah.

Saat Mark akan ikut melangkah, Haechan berbalik bersuara, “Kak. Terlepas aku bukan penikmat rasa dalam kata, tapi tetap. Semua kata yang tersapu netra, aku coba rasa. Selalu, rasa itu sampai dengan penuh. Rasa cinta. Terima kasih, ya!” lalu, satu kecup, mampir pada pipi kiri menjadi penutup. Bersama dengan jantung yang ribut berdegup. Kini, Mark semakin yakin. Untuk selalu sampaikan rasa dalam kata. Meski Haechan, pemuja rayuan nada. Toh, dasarnya, rayuan nada juga satu upaya sampaikan rasa lewat kata..


Redamancy ; selesai.


Tabungan Diksi kita di cerita ini!

  • Kanigara : Bunga Matahari
  • Baskara : Matahari
  • Arunika : Cahaya matahari di pagi hari
  • Daksa : badan, tubuh
  • intuisi : bisikan hati, gerak hati
  • jenaka : kocak, lucu
  • harsa : kebahagiaan
  • nestapa : sedih
  • asmara : cinta
  • ursa minor : rasi bintang – beruang kecil
  • nabastala : langit

Frasa Ugahari yang dituliskan daksa biasa y

Kalut

Wira manis itu kalut. Kepalanya ribut. Tangan hangat favoritnya; 𝐉𝐞𝐧𝐨 enggan bertaut.


Mendung.
Jelas, malam tidak bersahabat. Dan wira manis; Jaemin, masih bertahan. Ya, dia yang sedang tunduk pada asmaraloka, mana ingat akan logika.

Dengan sapuan bayu yang melahirkan gigil dan bertemankan pikiran yang ribut, Ia sabar menanti. Jeno, pemegang kunci hati sudah berjanji. Malam ini, akan mereka lewati bersama. Bayar habis rindu yang ditabung dengan pelukan hangat yang siap di bagi.

Meski, Jaemin tahu. Ajakan Jeno malam ini, akan lahirkan potongan cerita yang tidak pernah Ia amini hadirnya. Tapi tadi, mana Jaemin peduli. Lantas Jaemin ayunkan kedua kaki, mulai bersenandung. Simfoni elegi. Bermaksud memecah hening, buyarkan kalut. Pun titipkan takut. Karena beribu andai yang sudah tersusun rapi, harus rela Ia hapus.

“Jaemin-ah.” Jenonya sudah tiba.

Setelahnya, dalam pelukan dingin malam dan berpayung mendung, keduanya berlomba perihal rindu. Rindu siapa yang paling berat. Angan bertemu siapa yang paling besar. Juga, adu rayu sarat puja. Setelah habis semua kata, mereka tutup dengan tawa.

Ah, jika arutala di balik awan bisa bersuara, mungkin bisikan lirih iri menjadi musik untuk keduanya. Tawa itu, mereka hias pendar dama pada netra. Sedang hati, riuh sampaikan jutaan nestapa.

“Jeno.”

“Ya?”

“Boleh batal aja, gak? Tujuan kita ketemu?”

“Maaf.”

“Yaaah. Ya udah deh. Tapi, bentar lagi, ya? Belum siap.”

“Iya, boleh.”

Hening.

Bukan hening yang nyaman untuk Jaemin. Karena faktanya, ada banyak topik di dalam kepala Jaemin. Ada banyak kata; rasa yang Jaemin harap bisa tersampaikan. Namun, Jaemin memilih bungkam. Karena Ia sadar, ke mana pertemuan ini akan berlabuh; ke mana semua rasa ini harus luruh. Pendar cinta yang Ia jaga, sudah harus siap dan rela Ia padamkan. Terlepas setelahnya, lara yang menjadi teman untuknya.

Sadar. Jaemin menjadi orang pertama yang hadirkan jarak. Merubah posisi duduk untuk lurus menghadap ke depan. Menghindari presensi Jeno tertangkap netra. Kali ini, Jaemin lebih rela indra dengar yang menabung memori. Menautkan kedua tangannya, Jaemin hela napas.

“Jen.” Ia akhiri hening.

“Udah?”

“Udah.”

“Gak mau lihat aku?”

“Hehe...”

“Ya udah. Jaemin, maaf. Rasanya melawan semesta demi cinta aja, aku enggan. Apalagi pemilik kunci kehidupan. Masih banyak agenda hidup yang lebih pantas kita perjuangkan, lebih dari sekedar perihal rasa. Percaya, baranya hanya di awal masa, makin habis hari kita bersama, semakin memudar Ia. Dan aku, Jeno, benar enggan untuk semua itu. Terlepas benar. Aku juga menyimpan rapi pendar yang serupa. Sama jatuhnya. Tapi maaf. Aku memilih menjadi pengecut dan mengalah pada rasa. Aku harap, kamu selalu bahagia.”

Dengan terucapnya kalimat itu, Jaemin sudah harus memadamkan pendarnya. Melupakan seribu andainya. Meluruhkan segala cintanya.

Jaemin, tidak perlu merelakan harinya habis akan berjuang tentang cinta sendirian. Karena perihal cinta, manis pahitnya harus jadi rasa dua pihak. Menjadi beban dua pundak. Jika jelas tidak berbalas, untuk apa Ia memaksa.

Sedari awal, harusnya Jaemin berlutut pada logika. Bahwa nyatanya, kisah cinta antar wira saja sudah sulit mencapai bahagia. Apalagi ini, wira dengan arah meminta yang berbeda. Pada siapa Jaemin menitip pinta?

Tapi sudah. Sesal tentu sudah jadi manis yang Jaemin telan. Jaemin ini, hanya satu dari banyak nama yang belum mendapat indah tentang cinta. Belum berjodoh dengan peluk merah muda jatuh hati. Berbagi kasih. Saling titipkan bahagia. Belum.

Amini saja, asa Jeno tadi. Siapa tahu, begitu retakan dan patahan tersusun kembali, bahagia lain sudah menanti. Satu nama baru; rasa baru siap jadi pengganti.

“Jaemin?”

Haha, Jaemin lupa. Ia masih di sini. Bersama musabab patahnya.

“Jatuh cinta tidak sesederhana itu.” “Jatuh cinta tidak semudah itu.” “Jatuh cinta tidak seindah itu; jika jatuh seorang diri”. “Tapi, jatuh cinta tidak semurah itu untuk disalahkan.”

Nasihat Renjun kembali terdengar. Lebih dari biasanya, hangat rengkuh Renjun, telalu Jaemin rindukan; butuhkan detik ini.

“Sakit, Jen.”

“Sama, Jaem.”

“Tapi indah, ya? Alur cerita yang semesta kasih. Dari pertemuan sebagai teman mencapai mimpi yang sama. Berjuang dan jadi bahu untuk satu sama lainnya. Selalu ada. Jadi teman berbagi juga.”

“Terbiasa. Jadi yang paling mengerti juga.” terima kasih Jeno sudah melanjutkan.

“Maaf ya, sudah menaruh merah muda. Menitipkan hati.”

“Maaf juga karena gak nolak. Padahal tau, kalau aku gak akan berjuang untuk itu.”

Rintik hujan cemburu. Kini, dengan egonya Ia guyur dua hati yang penuh luka itu. Paksa kata berteduh menjadi penutup pertemuan.

“Jeno. Terima kasih. Untuk banyak cerita yang aku tulis dengan merah muda, biarkan jadi milikku, ya? Sisanya terserah akan seperti apa. Tapi semoganya, canggung dan sungkan bukan menjadi kita di esok hari! Arunika akan hadir sebagai tanda, bahwa kesempatan baru selalu ada. Anggap aja, hujan malam ini jadi pembasuh merah muda. Esok, kita bersua sebagai teman biasa. Boleh, ya?”

“Dengan senang hati. Titip maaf untuk segala patah dan retak, ya?”

“Hmm! Sudah dimaafkan. Kalau gitu, kita berpisah untuk kita?”

“Iya. Ketemu lagi besok, Jaemin Na.”

“Hm. Jeno Lee.”

Yang satunya lantas segera berlari menuju tujuan. Berteduh, menghindari basah.

Sedang satunya, diam menatap iba. Lantas menutup mata, dengan tangan tertangkup didepan dada, Ia panjatkan satu doa.

Tuhan. Engkau pemilik dan pengatur segala cerita. Jika di kehidupan ini, aku tidak bisa berujung kita dengannya. Bisakah di kehidupan lain, kami menjadi kita? Dengan segala rupa merah muda yang menemani upaya. Bahkan, aku rela terlahir sebagai perempuan, menjadi bayaran untuk hati manisnya yang patah. Dan untuk malam ini, tolong. Berikan satu hati tegar dan manis lain untuk menemaninya, menyusun kembali semua patahan.


Karena itulah, setelah kepastian bahwa patah, menjadi akhir merah muda jatuh hatinya. Jaemin habiskan malam ini dalam rengkuh hangat Renjun. Si pemilik hati tegar dengan manis lain. Titipan Jeno pada semesta untuk hati manis yang sudah Ia patahkan.


Kalut ; selesai.


Tabungan Diksi kita di cerita ini!

  • Asmaraloka : dunia cinta kasih.
  • Bayu : angin.
  • Simfoni : musik yang ditulis untuk orkes yang lengkap.
  • Elegi : sya'ir atau nyanyian yang mengandung ratapan.
  • Dama : cinta kasih
  • Arutala : rembulan

Rapuh

“Maaf, karena aku rapuh.” tulisnya, di balik setiap gambar indah, pada dindingnya.


Ah, mungilnya belum memakai alat bantu dengarnya. pantas Ia tidak mendengar setiap kata yang disampaikan.