write.as

Kafe Bintang. Wendy yang baru saja tiba di kafe bintang segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Tak berselang lama, matanya menangkap sosok istrinya sedang duduk berhadapan dengan seorang pria botak. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang serius. Wendy tidak ingin mengganggu mereka sehingga dia pun memesan segelas jus pare (rekomendasi Winter) dan duduk di meja di belakang mereka. Punggung Irene membelakangi Wendy sehingga istrinya tidak tahu jika dia ada di sana. Sembari menyeruput jusnya, dia menatap punggung Irene dan mendengarkan pembicaraan mereka. ... ... "Prospeknya bagus Mbak Irene. Saya yakin bos saya akan tertarik untuk berinvestasi di restoran Senja," ucap si pria botak sembari tersenyum semringah. Irene tersenyum simpul. "Saya tunggu kabar baiknya, Pak Anton." "Ah jangan panggil 'pak' dong, kesannya asing. Kita kan sudah beberapa kali bertemu, panggil Mas Anton saja." Wendy hampir tersedak jusnya. Bukan hanya karena rasa jus ini pahit luar biasa (Winter syalan!), tapi juga karena ucapan pria botak itu membuat dirinya kaget. "Maaf Pak Anton, saya terbiasa memanggil rekan bisnis saya dengan sebutan pak," balas Irene yang senyumnya kini sedikit mengendur. Dia sering bertemu calon rekan bisnis seperti Pak Anton ini dan dia biasanya tidak akan segan untuk menolak bekerja sama dengan mereka. "Haha begitu ya?" Seloroh Anton sembari tertawa. "Yah, terserah mbak Irene mau panggil apa, tapi nanti malam kita dinner ya?" Wendy menaikkan alisnya sembari mengaduk-aduk jus di hadapannya. Sudut bibirnya berkedut ingin berkomentar tetapi dia menahan dirinya. Sementara itu, Irene yang mulai merasa kesal berusaha memikirkan cara untuk menolak pria ini. 'Kalau bukan karena nama besar Grup Elang, ogah banget meeting sama si botak ga tahu diri ini,' keluh Irene dalam hati. "Maaf Pak, saya tidak bisa pulang malam, ada baby di rumah." "Loh, mbak Irene sudah menikah?" tanya Anton terkejut. 'Ga liat ada cincin emas di jari manis? Buta kah?' batin Irene yang sejujurnya ingin mengumpat tapi dia menahan dirinya dan menghela napas panjang. 'Sabar Ren, sabar.' "Sudah, Pak. Anak saya dua." "Wah, saya kira belum loh. Habisnya awet muda, cantik, seperti umur 20-an." Irene hanya tersenyum, tidak menanggapi pria itu. "Saya juga sudah menikah, Mbak. No children haha." 'Ga nanya,' batin Irene lagi. Sementara itu, Wendy memutar bola matanya, 'Sudah nikah tapi masih ganjen??' "Mbak Irene mau daftar gym ya? Tadi saya lihat Mbak memegang brosur gym. Saya member Imperial Gym, mau saya bantu daftar? Special price kalau daftar lewat saya." 'Dih ogah, mending coret Imperial gym dari list!' Irene menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Oh, istri saya yang mau daftar gym, bukan saya." Di sisi lain, Wendy tersenyum kecil. Dia tahu bahwa Irene sedang mencari-cari alasan. Sebenarnya Irene memang ingin mulai nge-gym lagi. "Wah, Mbak Irene perhatian ya sama istrinya? Pasti istrinya senang punya partner seperti mbak, sudah cantik, perhatian, rajin merawat badan lagi." "Haha." Irene tertawa garing dan merasa semakin tidak nyaman. "Maaf Pak, saya harus kembali ke restoran sekarang." Dia memutuskan untuk batal bekerja sama dengan Grup Elang. Irene mengambil tasnya dan segera bangkit dari kursi. "Loh Mbak, kok buru-buru?" Anton juga bangkit dan memegang pergelangan tangan Irene. "Maaf Pak, saya ada keperluan di restoran," ucap Irene sembari berusaha menarik pergelangan tangannya. "Oh? Ya sudah kita lanjutkan obrolan kita di sana, yuk? Mbak tadi kesini naik taksi kan? Saya antar sekalian meninjau restoran." Kekesalan Irene memuncak. Pria ini tidak mengerti juga setelah ditolak berkali-kali. "Maaf ya, Pak, tapi saya-" "Ren." Wendy kini sudah berdiri di samping dan melepaskan genggaman pria itu dari pergelangan tangan Irene. "Wendy??" Irene tampak kaget, tidak menyangka akan bertemu istrinya di kafe ini. "Kenalan Mbak Irene?" tanya Anton sembari mengamati Wendy dari ujung kepala hingga kaki. Pria itu takjub karena wanita yang baru datang ini tidak kalah cantik dari Irene. "Istrinya," jawab Wendy singkat sambil menatap pria itu dengan tajam. "Oh haha, istrinya toh. Perkenalkan saya Anton, manajer investasi dari Grup Elang." Wendy tidak menyambut uluran tangan pria itu, sebaliknya dia berkata dengan dingin, "Istri saya tidak akan bekerja sama dengan Grup Elang. Sampaikan kepada bos Anda." Anton membelalakkan matanya. Bosnya memang tertarik untuk bekerja sama dengan restoran Senja. Salah satu restoran yang sedang naik daun di ibu kota. Jika proses kerja sama ini tidak goal, dia akan mendapat masalah dari bosnya. "Maaf, sepertinya ada kesalahpahaman. Tadi saya dan Mbak Irene sudah sepakat-" "Bu Irene atau Nyonya Son," balas Wendy dingin. "Belum ada penandatanganan MOU kerja sama kan? Kerja sama ini belum sah." Wendy melanjutkan, "Sebaiknya Anda jaga sikap. Saya tadi dengar Anda coba menggoda istri saya. Saya tidak akan segan-segan melapor ke bos Anda tentang perilaku yang tidak menyenangkan." Wendy lalu melingkarkan tangannya di pinggang Irene. "Yuk, Sayang." Irene mengerjapkan matanya. Wendy jarangggggggg sekali memanggil dia dengan sebutan 'sayang' sehingga seketika itu juga mata Irene berbinar dan dia tersenyum bahagia, melupakan si pria botak yang tampak kaget. "Menggoda?! Anda tidak bisa menuduh saya seperti itu! Saya bisa menuntut Anda atas pencemaran nama baik!" Wendy mencibir, "Baik, saya tunggu di pengadilan. Kirim surat tuntutannya ke Grup Son, ditujukan kepada Wendy Son, CEO." Tanpa berbasa-basi lagi, Wendy mengajak istrinya pergi. Di sisi lain, pria botak itu terdiam. Market value dari Grup Son setara dengan Grup Elang. Sebagai manajer investasi, Anton tahu benar tentang hal itu. Dia yang hanya seorang manajer tidak akan bisa menang melawan seorang CEO. Terduduk lesu, Anton hanya bisa mengutuk dirinya. Dia tidak bisa membayangkan betapa murka bosnya nanti. ** Apartemen keluarga Son. 17.00 WIB Winter berdiri di balik pintu untuk menyambut kedatangan kakaknya sembari menggendong Jiwoo. Saat melihat pintu dibuka, dengan nada bercanda, dia berseru, "Selamat datang! Selamat berbelanja di-" Wendy menaikkan alisnya dan memberi kunci mobilnya kepada Winter. "Kamu pergi ke taman, ajak Jihan minum boba." Wendy lalu mencubit pipi Jiwoo, "Asi Jiwoo jangan lupa dibawa." "Hah?" Winter memandang wajah serius kakaknya lalu wajah kakak iparnya yang tampak sedikit memerah, dia pun segera mengerti. "Siap Kak!" Winter mengambil tasnya, memasukkan 2 botol asi, dan menggandeng Jihan di tangan kirinya. "Mommy? Mama?" tanya Jihan dengan bingung sambil memeluk boneka bunny kesayangannya. "Jihan beli boba sama tante Winter dulu ya, Mommy sama Mama mau ngobrol," ucap Wendy dengan lembut. Mendengar kata boba, Jihan mengangguk dengan antusias. Gadis kecil itu dengan semangat menarik tangan Winter. "Bye Kakak! Aku balik 3 jam lagi hehe. Have fun!" Winter tersenyum penuh arti sebelum berjalan ke luar. ... ... Wendy berbalik dan menatap Irene. "Aku minta maaf, seharusnya aku nanya kamu dulu bukannya asal buang." Irene menggeleng sambil melepas high heelsnya. "Aku juga lebay. Aku yang lupa mindahin durian ke tupperware padahal aku tahu kamu ga tahan bau durian. Maaf ya." Wendy menghela napas lega. "Jadi, kita baikan?" Irene tersenyum simpul dan menarik tubuh Wendy, memeluknya dengan erat. "Iya baikan, aku kangen ngobrol sama kamu." "Sama, aku pun kangen sama masakan kamu." "Masakannya aja? Orangnya ngga?" Irene mendorong pundak pelan Wendy sambil tertawa renyah. Wendy merasa lega saat melihat istrinya kembali tertawa, bayangkan selama 4 hari dia harus bertahan melihat istrinya cemberut karena durian. "Ngga," gumam Wendy singkat sebelum mencium pipi Irene, "Ngga salah." Ketika Wendy memiringkan kepala dan hendak mencium bibirnya, Irene menahan bibir Wendy dengan jari telunjuknya. "Unblok akun aku & Winter," pinta Irene dengan serius. "Harus banget?" "Harus." "Okay." Wendy mengangguk dan mendekatkan wajahnya lagi, tapi telunjuk Irene masih menghalangi bibirnya. "Apa lagi?" "Yang kamu buang kemarin durian impor," ujar Irene dengan sedih. "Mahal." "Kamu kasih link-nya, aku yang order. Ada lagi?" tanya Wendy dengan tidak sabar. Irene tersenyum iseng dan Wendy menyipitkan matanya, dia menyadari kalau istrinya itu sengaja menunda-nunda. "Parfum dan BB cream aku habis. Boleh pakai punya kamu dulu?" Wendy menarik tangan Irene dari bibirnya dan berkata, "Boleh. Ada lagi?" Irene terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Good." Tanpa banyak bicara lagi, Wendy segera mencium bibir istrinya dengan lembut. Wendy jarang sekali berinisiatif mencium Irene (tanpa diawali dengan drama ngambek) sehingga Irene merasa sangat bahagia hari ini, bagai di langit ketujuh. Merasakan istrinya membalas ciumannya, Wendy pun tersenyum dan meremas pinggang Irene. "Weekend ini kita ke perfumery, ke mall, ke mana pun kamu mau," gumam Wendy pelan sembari menggigit bibir bawah Irene. "Tapi sore ini, waktumu untukku ..." **