Curiosity Killed The Cat (Aruna)

Aruna & Dirga

Nggak tahu kenapa, mood gue hari ini berantakan banget. Aslinya, gue memang pendiam dan ngomong seperlunya aja. Tapi, hari ini beda dari biasanya, gue benar-benar belum ngomong sepatah kata pun dari pagi—kecuali untuk menjawab telepon dari customer—dan di luar itu, gue memilih bungkam. Bahkan sewaktu teman-teman satu kubikel gue ngomongin gosip terbaru soal divisi sebelah, gue nggak tertarik sedikit pun untuk menanggapi.

Padahal, kalau dalam kondisi normal, sudah pasti gue nggak bakal mau ketinggalan soal itu.

“Aruna, diem aja lo. Lagi sakit gigi, ya?”

“Sakit gigi apa sakit hati, nih, Run?”

Gue cuma mengulas senyum tipis buat menanggapi gelak tawa tiga orang lainnya yang berada di kubikel empat meja yang kami tempati ini.

Tangan gue merogoh ke dalam tas selempang yang gue gantung di sandaran kursi, mencari-cari di mana earphone yang gue yakini sudah dimasukkan ke dalam sana sebelum berangkat kerja tadi pagi. Setelah ketemu, nggak pakai lama, gue langsung menyumpal telinga kiri gue dan menyetel lagu.

Ah, sialan.

Mendengarkan lagu sambil bekerja ternyata nggak berhasil mengembalikan mood gue, yang ada suasana hati gue malah semakin nggak karuan. Mungkin gara-gara playlist gue yang isinya lagu patah hati semua kali, ya?

Ah, nggak juga deh. Bukan playlist-nya yang salah, tapi memang gue sendiri aja yang cari gara-gara. Semua kekacauan ini berawal dari kebodohan yang gue lakukan tadi pagi, atas dasar rasa ingin tahu yang berlebihan. Bisa-bisanya gue ngebuka akun Instagram mantan pacar gue cuma buat nyari tahu dia bakal update apa di hari ulang tahunnya. Iya, hari ini adalah hari ulang tahun Dirga—alias mantan pacar gue—yang mutusin hubungan kami berdua dua tahun lalu.

Sumpah, gue sendiri pun nggak percaya sama hal bodoh yang gue lakukan tadi. Kalau aja kewarasan gue jauh lebih tinggi dibanding rasa penasaran gue, sudah pasti gue nggak akan berakhir kayak gini. Untung aja gue masih bisa nahan diri buat nggak ngucapin selamat ulang tahun ke cowok itu.

Kata orang, tahapan tertinggi dari move on salah satunya adalah berhenti ngepoin mantan dengan kehidupan barunya. Kalau gitu, berarti maksudnya gue belum move on, dong?

Nggak gitu, lah! Gue sudah berhasil move on sejak lama, and I am beyond happy for living my best life now. Seenggaknya, hal itu lah yang selalu gue yakini selama satu setengah tahun ini.

Tapi kalau lo memang benar-benar bahagia, kenapa setiap kali ngelihat Dirga, selalu ada rasa campur aduk yang bahkan lo sendiri nggak bisa jelasin, Run?

Kenapa?

Kenapa, ya?

Lagi-lagi gue termenung, karena sampai sekarang gue nggak bisa menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang terus muncul di dalam kepala gue setiap kali habis nyari tahu soal kabar terbarunya Dirga.

Kalau sudah begitu, yang bisa gue lakukan cuma buru-buru ke toilet dan mengurung diri di salah satu bilik di sana selama beberapa saat untuk meluapkan rasa kesal yang gue sendiri bingung harus ditujukan ke siapa, sambil berusaha sekuat mungkin untuk nggak mengeluarkan suara yang mungkin bisa terdengar oleh orang-orang.

Aruna bodoh.

Nggak, gue yakin alasannya bukan karena gue belum move on dari Dirga. Kalau dikasih kesempatan kedua oleh Tuhan agar bisa balikan dengan cowok itu sekalipun, gue belum tentu mau.

Gimana jelasin perasaan ini, ya? Gue nggak suka ngelihat Dirga dengan pacar barunya. Nggak, gue bukannya cemburu, tapi gue kesal. Gue benci fakta bahwa Dirga bisa ngelanjutin hidup dengan normal layaknya nggak pernah terjadi apa-apa dan kelihatan bahagia banget dengan cewek cantik bersurai sebahu itu.

Sedangkan, perlu waktu yang lama banget bagi gue buat menata kembali satu per satu hidup gue yang dibuat hancur lebur dua tahun lalu karena keadaan yang nggak bisa berjalan sesuai harapan.

Nggak, bukan berarti sekarang gue nggak bahagia. Gue senang banget bisa ngelakuin banyak hal tanpa harus terbebani apa pun karena nggak ada yang ngelarang gue ini dan itu sekarang. Tapi di sisi lain, di dasar hati gue yang nggak bisa dijamah, gue tetap ngerasa hampa. Ada bagian dari diri gue yang hilang dan nggak tahu harus dicari ke mana. Gue yakin bukan cuma gue yang pernah ngerasain hal aneh kayak gini, iya, ‘kan?

Kenapa?

Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Kenapa Dirga bisa sepenuhnya bahagia, sedangkan gue nggak bisa kayak dia?

***

Seperti normalnya jam pulang kerja, MRT yang gue naiki sore ini pun dipadati banyak pejuang Rupiah, yang muka-muka lelahnya terlihat sebelas dua belas dengan raut milik gue sekarang. Bedanya, tatapan gue kelihatan kosong, sambil terus terkunci pada pemandangan langit jingga Jakarta dari balik jendela.

“Harusnya ku telah melewatkanmu, Menghapuskanmu dari dalam benakku …”

Kira-kira begitu lirik lagu milik Adera yang terdengar di telinga gue barusan. Herannya, lagu yang dirilis tahun 2011 itu masih relate banget buat sebagian orang—sialnya, termasuk gue—karena faktanya situasi yang gue hadapi sekarang sama persis dengan lirik tersebut. Sudah sepatutnya gue nggak boleh mikirin Dirga lagi, dan fokus sama kebahagiaan diri gue sendiri.

Seharusnya perhentian akhir gue masih dua stasiun lagi, tapi anehnya, kaki gue kayak tergerak sendiri buat turun di Stasiun Blok M. Badan gue mengikuti ke mana kaki gue melangkah, terus menyusuri trotoar ruko di sana tanpa tujuan yang jelas, karena gue sama sekali nggak ada niat untuk menginjakkan kaki di kawasan ini sebelumnya.

Gue tipikal orang yang kalau sudah selesai kerja ya langsung pulang ke rumah untuk istirahat, karena seharian berinteraksi dengan manusia membuat social battery gue terkuras habis. Jujur, tidur tujuh jam sehari itu masih kurang banget buat mengembalikan tenaga gue sepenuhnya. Tapi, kayaknya isi kepala gue saat ini terlalu kacau sampai gue bisa kepikiran untuk mampir ke tempat lain sepulang kerja.

Langkah gue terhenti di depan Kira Kira Ginza, sebuah izakaya yang sering gue kunjungi bersama Dirga dulu.

Gue menghela napas berat untuk yang kesekian kali. Semuanya jadi begini memang gara-gara cowok itu. Meski kesal, pada akhirnya gue tetap melangkah masuk ke dalam restoran tersebut.

Dirga suka banget makan ramen. Cowok itu rela menunggu waiting list sampai dua jam tanpa mengeluh capek hanya untuk mencoba ramen yang orang-orang bilang enak. Tapi, dari sekian banyak ramen yang pernah dicoba, Dirga selalu balik ke tempat ini, karena dia sesuka itu dengan ramen di sini.

“Memang enak, ya, ternyata.” Sudut bibir gue terangkat begitu menyesap kuah miso ramen yang gue pesan.

Gue sendiri bukan penggemar berat ramen, dan setiap kali ke sini, menu yang selalu gue pesan adalah sashimi. Dan sekarang gue tahu kenapa Dirga selalu balik ke tempat ini buat makan ramen lagi dan lagi, bahkan dengan pacarnya yang sekarang.

Mendadak gue ngerasa deja vu.

Lucu nggak, sih? Tempatnya masih sama, hanya orangnya aja yang beda.

Lagi, gue melakukan kebodohan yang sama seperti tadi pagi. Gue kembali membuka akun Instagram Dirga untuk melihat apa sudah ada update terbaru di hari spesial cowok itu. Tapi yang lebih parahnya lagi, rasanya kewarasan gue malam ini sudah hilang sepenuhnya, karena gue sudah berniat untuk mengirimkan pesan selamat ulang tahun lewat direct message ke cowok itu.

Tapi, sepertinya Tuhan menangkap niat jelek yang gue rencanakan di dalam kepala ini dengan cepat, karena hal pertama yang gue lihat pada laman depan Instagram gue adalah unggahan terbaru dari Dirga dengan kue ulang tahunnya, tentunya nggak lupa dengan caption manis ucapan terima kasih untuk pacarnya. Di saat itu juga, gue berasa langsung ditampar keras oleh kenyataan.

Bangun, Aruna. Sadar, Dirga sudah punya pacar. Dia sudah menemukan kebahagiaan barunya sekarang.

Gue terkekeh—lebih tepatnya, menertawai diri gue sendiri—nggak peduli apa orang-orang di sekitar bakal ngelihat atau nggak, karena gue nyaris terjebak oleh niat bodoh yang asal lewat begitu aja di dalam kepala gue.

Mau ngapain sih, Aruna? Mentang-mentang tahun lalu Dirga ngucapin lo selamat ulang tahun, bukan berarti lo harus melakukan hal yang sama buat dia, iya, ‘kan?

Sambil melangkah keluar restoran, nggak tahu sejak kapan, air mata gue sudah mengalir begitu aja. Gue ucapin terima kasih buat masker yang menutupi hampir seluruh wajah gue, karena kalau nggak ada dia, sudah pasti orang-orang yang berlalu lalang bisa melihat wajah jelek gue yang lagi nangis tersedu-sedu.

Nggak tahu apa yang gue tangisi sekarang, entah karena unggahan Instagram milik Dirga, atau karena gue terlalu kasihan dengan diri gue yang kayak begini. Yang jelas gue sama sekali nggak nyangka, hanya karena sedikit banyak rasa penasaran gue pagi ini, malah jadi bumerang dan bisa merusak satu hari penuh.

Gue nggak bisa jelasin apa, tapi ini perasaan yang benar-benar menyiksa, karena semua ingatan gue tentang cowok itu hanya akan berujung pada satu hal; gue kembali menyalahkan diri gue sendiri, lagi dan lagi, seperti waktu itu.