[2] First Meeting
· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·
Hei, sedang apa kau di sini?
Aku menatap sekelilingku. Ini bukan kamar Nenek. Dunia apa ini? Masih kubiarkan netraku menerawang ke sembarang arah. Mencoba mencari petunjuk tentang tempat ini sembari mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di sini.
Apa yang sebelumnya aku—– Ah, cermin itu. Ya, yang kuingat terakhir kali adalah aku memandangi cermin hitam itu. Tapi mungkinkah hal seperti itu bisa terjadi?
Kembali aku mengucek mataku, memastikan bahwa semua ini nyata atau hanya ilusiku belaka.
“Hei!”
Aku jatuh terduduk ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.
“Siapa kamu?” tanyaku sembari memundurkan tubuhku siaga.
“Aku yang seharusnya bertanya. Kenapa kamu bisa di sini?”
Aura intimidasi dari sosok lelaki bermata tajam dengan suara berat di depanku ini menguar. Diri ini reflek bergerak mundur untuk penjagaan.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru kau boleh pergi,” ujar lelaki itu yang malah mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.
Aku menelan ludah, mengais-ngais keberanian yang tiba-tiba lenyap ketika berhadapan dengan lelaki ini.
“A-aku tak tahu.”
“Hah? Jangan bohong. Tak mungkin kau tak tahu cara kemari. Bukan sembarang orang yang bisa masuk dunia kami.”
Dunia kami? Apakah ini bagian dunia lain dari semesta?
“Tapi memang begitu adanya. Aku hanya bermain-main dengan cermin. Dan tiba-tiba saja berakhir di sini.”
Lelaki itu diam tanpa ekspresi. Apakah mungkin penjelasanku sudah bisa diterima? Aku memberanikan diri mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dan kembali mataku bersitatap dengan mata dinginnya.
” Ikut aku. Kalau kamu masih ingin selamat di dunia ini.”
Tanganku ditarik paksa olehnya. Mau tak mau aku harus mengekor lelaki itu. Beberapa kali kakiku tersandung karena mengikuti langkah cepatnya. Tentu saja dia tak tahu dan bahkan tak menoleh padaku. Lelaki itu hanya terus melanjutkan langkah cepatnya. Seolah ia mempunyai urusan yang benar-benar genting untuk diselesaikan.
Dari kejauhan, netra ini bisa melihat sebuah bangunan megah berdiri di depan sana. Sebuah istana dengan dikelilingi taman-taman yang tertata apik. Sesampainya di depan pintu bangunan itu, hanya dengan dorongan satu tangannya pintu kayu dengan ukuran besar itu terbuka. Wah, kali ini aku benar-benar dibuat terkesan dengan kekuatan yang dimiliki lelaki ini.
“Masuk!” perintahnya sambil menghempaskan tanganku yang sedari tadi ia genggam erat.
Sepertinya lelaki ini tak pernah belajar etika aristokrat.
“Tunggu di sini! Jangan sekali-kali berusaha kabur!” Ancaman itu hanya kutanggapi diam. Bagaimana aku bisa kabur? Di saat aku sendiri tak tahu bagaimana aku masuk ke dunia ini.
Sepeninggal lelaki itu, kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Kukira rumahku merupakan rumah termegah di kalangan bangsawan. Tapi ternyata rumahku bukan apa-apanya dibandingkan dengan bangunan ini. Bahkan lebar ruangan tempatku berdiri ini bisa jadi tiga ruangan di rumahku. Mungkin tempat ini yang layak disebut dengan istana sebenarnya.
Ada banyak pahatan ornamen klasik berhiaskan permata di setiap bangunannya. Paduan warna putih tulang dan emas membuat bangunan ini semakin elegan. Siapapun arsitekturnya ia sukses membuat orang terpana dalam sekali pandang.
“Gosh!”
Aku mendongak mendengar ada suara dari lantai atas. Bukan lelaki tadi, dia orang yang berbeda.
Seorang lelaki muda, mungkin lebih muda dariku. Mata ini hampir tak berkedip memandang lelaki itu. Setelah dimanjakan dengan keindahan istana ini, kini mataku kembali dimanja dengan keindahan pahatan sempurna Tuhan.
Bagaimana mungkin ada manusia yang memiliki ketampanan dan kecantikan dalam satu wajah? Ya, hanya itu yang mampu mendeskripsikan apa yang kulihat saat ini.
Lelaki muda itu mendekat, dan jantung ini semakin bertalu karena keindahan itu semakin nyata di depanku.
“Hai, aku Xion. Kamu siapa, Nona cantik?”
“O-oh hai. Aku Aradia,” gagap aku menjawabnya. Kukira semua yang di sini akan sedingin lelaki pertama tadi. Ah, bahkan sampai sekarang aku tak tahu namanya. Lelaki minim etika itu.
“Nama yang cantik.”
”... Terima kasih.” Ada jeda sebelum aku merespon pujian itu. Otakku butuh waktu mencerna. Sedikit tersipu pula ketika aku mengatakannya. Pasalnya sangat jarang … bukan, tidak pernah ada orang yang memuji namaku. Karena nama Aradia bagi keluargaku memiliki dua makna, both blessing and cursing.
“Aku paham jika Leedo pasti sangat kaget dengan kemunculanmu. Tapi tak seharusnya dia memperlakukanmu seperti ini. Terlebih pada seorang wanita.”
Aku memandangnya dengan tatapan bertanya. Hm? Apa maksudnya? Apakah dia bisa membaca isi hatiku?
Seolah ia paham dengan kebingunganku. Matanya langsung mengarah menunjuk kakiku. Dan terpampang di sana kaki telanjangku penuh dengan luka. Aku benar-benar tak menyadarinya. Sepertinya semua luka itu kudapatkan selama aku diajak setengah berlari oleh lelaki tadi. Ah ya, kudengar Xion menyebutkan satu nama tadi. Leedo? Ya, Leedo nama lelaki dingin itu.
“Dan ini ….” Xion tiba-tiba memegang pergelangan tanganku. Di sana masih terlihat jelas bekas merah karena genggaman kuat Leedo tadi.
“Dasar orang itu. Tak bisa menempatkan kekuatannya dengan tepat. Maaf, dia memang seperti itu.”
“Ah, tak apa. Aku bisa maklum dengan kondisi tadi.”
Tiba-tiba Xion memosisikan diri menggendongku di punggungnya.
“Eh? Ada apa?”
“Naiklah. Lukamu harus segera diobati.”
“T-tapi —–.” Jujur, aku tak pernah melakukan ini pada siapapun. Bahkan dengan Nenek pun aku tak pernah minta digendong dan ini ….
“Ayolah. Aku tak yakin bisa kuat menggendongmu ala tuan putri.”
“Bukan itu maksudku—–.”
“Dan juga, aku tak mau lantai istana kotor karena bercak darah dimana-dimana.”
Dia benar-benar tak mendengarkanku. Baiklah, alasan terakhir itu sepertinya memang mengharuskanku menurutinya.
Kusingkapkan gaunku dan naik punggung Xion perlahan.
“Maaf, aku berat,” ucapku karena merasa tak enak hati dengan tawaran baiknya.
“Tak seberat yang kukira ternyata haha. Pegangan yang erat kalau kau tak ingin jatuh.”
Segera kuikuti perkataannya, semakin kueratkan peganganku di bahu Xion. Rasanya aneh, mungkin karena ini pertama kalinya bagiku?
Xion membawaku masuk dan mendudukkanku di sebuah kursi busa panjang. Sepertinya ruangan ini memang untuk tamu atau mungkin tempat untuk bercengkerama santai. Dilihat dari desain ruangan yang sengaja dibuat nyaman untuk siapapun yang menempatinya.
Setelah memastikan posisiku sudah nyaman, Xion segera pergi meninggalkanku entah kemana.
Ah, rasanya nyaman sekali. Setelah kaki ini tak hentinya melangkah, akhirnya kali ini mereka bisa sedikit beristirahat. Aku tak merasakan apapun ketika melangkahkan kakiku tanpa alas tadi. Tapi sekarang ini bisa kurasakan perih di kakiku. Tanganku mengelus perlahan pergelangan tanganku satunya. Bekas merah itu masih ada dan sakit juga ternyata. Hati ini mendadak kesal mengingat perlakuan Leedo tadi. Ternyata masih ada lelaki yang bisa sekasar itu pada wanita.
Xion datang membawa sebuah kotak obat lalu ia dengan santai memangku kakiku.
“Eh, tunggu—–”
“Aku tahu kamu memiliki kehormatan dan harga diri. Melihat dari gaun yang kau pakai, aku bisa tahu bahwa Aradia adalah seorang putri bangsawan. Tapi untuk saat ini saja, kumohon menurut lah. Jangan banyak protes.”
Kembali aku terdiam karena kata-kata Xion. Aku curiga kalau dia punya kekuatan tersembunyi bisa membaca pikiran orang.
Dengan telaten Xion membersihkan luka-luka di kakiku. Aku sedikit mendesis karena perih dan panas yang kurasakan.
“Sakit ? Tahan dulu ya. Luka-luka ini bisa infeksi kalau tidak didisinfeksi dulu.” Xion menatapku khawatir.
“Terima kasih, Xion.” Kulemparkan senyum tipis padanya. Lalu kulihat ia membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
“Wah, kamu gadis yang dimaksud Leedo? Tak kusangka ternyata kau akan secantik ini.”
Kepalaku menoleh ke arah sumber suara tadi.
Lelaki lain lagi. Sebenarnya ada berapa jumlah penghuni dunia ini?
· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·