haruvi

[2] First Meeting

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

Hei, sedang apa kau di sini?

Aku menatap sekelilingku. Ini bukan kamar Nenek. Dunia apa ini? Masih kubiarkan netraku menerawang ke sembarang arah. Mencoba mencari petunjuk tentang tempat ini sembari mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di sini.

Apa yang sebelumnya aku—– Ah, cermin itu. Ya, yang kuingat terakhir kali adalah aku memandangi cermin hitam itu. Tapi mungkinkah hal seperti itu bisa terjadi?

Kembali aku mengucek mataku, memastikan bahwa semua ini nyata atau hanya ilusiku belaka.

“Hei!”

Aku jatuh terduduk ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.

“Siapa kamu?” tanyaku sembari memundurkan tubuhku siaga.

“Aku yang seharusnya bertanya. Kenapa kamu bisa di sini?”

Aura intimidasi dari sosok lelaki bermata tajam dengan suara berat di depanku ini menguar. Diri ini reflek bergerak mundur untuk penjagaan.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru kau boleh pergi,” ujar lelaki itu yang malah mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.

Aku menelan ludah, mengais-ngais keberanian yang tiba-tiba lenyap ketika berhadapan dengan lelaki ini.

“A-aku tak tahu.”

“Hah? Jangan bohong. Tak mungkin kau tak tahu cara kemari. Bukan sembarang orang yang bisa masuk dunia kami.”

Dunia kami? Apakah ini bagian dunia lain dari semesta?

“Tapi memang begitu adanya. Aku hanya bermain-main dengan cermin. Dan tiba-tiba saja berakhir di sini.”

Lelaki itu diam tanpa ekspresi. Apakah mungkin penjelasanku sudah bisa diterima? Aku memberanikan diri mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dan kembali mataku bersitatap dengan mata dinginnya.

” Ikut aku. Kalau kamu masih ingin selamat di dunia ini.”

Tanganku ditarik paksa olehnya. Mau tak mau aku harus mengekor lelaki itu. Beberapa kali kakiku tersandung karena mengikuti langkah cepatnya. Tentu saja dia tak tahu dan bahkan tak menoleh padaku. Lelaki itu hanya terus melanjutkan langkah cepatnya. Seolah ia mempunyai urusan yang benar-benar genting untuk diselesaikan.

Dari kejauhan, netra ini bisa melihat sebuah bangunan megah berdiri di depan sana. Sebuah istana dengan dikelilingi taman-taman yang tertata apik. Sesampainya di depan pintu bangunan itu, hanya dengan dorongan satu tangannya pintu kayu dengan ukuran besar itu terbuka. Wah, kali ini aku benar-benar dibuat terkesan dengan kekuatan yang dimiliki lelaki ini.

“Masuk!” perintahnya sambil menghempaskan tanganku yang sedari tadi ia genggam erat.

Sepertinya lelaki ini tak pernah belajar etika aristokrat.

“Tunggu di sini! Jangan sekali-kali berusaha kabur!” Ancaman itu hanya kutanggapi diam. Bagaimana aku bisa kabur? Di saat aku sendiri tak tahu bagaimana aku masuk ke dunia ini.

Sepeninggal lelaki itu, kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Kukira rumahku merupakan rumah termegah di kalangan bangsawan. Tapi ternyata rumahku bukan apa-apanya dibandingkan dengan bangunan ini. Bahkan lebar ruangan tempatku berdiri ini bisa jadi tiga ruangan di rumahku. Mungkin tempat ini yang layak disebut dengan istana sebenarnya.

Ada banyak pahatan ornamen klasik berhiaskan permata di setiap bangunannya. Paduan warna putih tulang dan emas membuat bangunan ini semakin elegan. Siapapun arsitekturnya ia sukses membuat orang terpana dalam sekali pandang.

“Gosh!”

Aku mendongak mendengar ada suara dari lantai atas. Bukan lelaki tadi, dia orang yang berbeda.

Seorang lelaki muda, mungkin lebih muda dariku. Mata ini hampir tak berkedip memandang lelaki itu. Setelah dimanjakan dengan keindahan istana ini, kini mataku kembali dimanja dengan keindahan pahatan sempurna Tuhan.

Bagaimana mungkin ada manusia yang memiliki ketampanan dan kecantikan dalam satu wajah? Ya, hanya itu yang mampu mendeskripsikan apa yang kulihat saat ini.

Lelaki muda itu mendekat, dan jantung ini semakin bertalu karena keindahan itu semakin nyata di depanku.

“Hai, aku Xion. Kamu siapa, Nona cantik?”

“O-oh hai. Aku Aradia,” gagap aku menjawabnya. Kukira semua yang di sini akan sedingin lelaki pertama tadi. Ah, bahkan sampai sekarang aku tak tahu namanya. Lelaki minim etika itu.

“Nama yang cantik.”

”... Terima kasih.” Ada jeda sebelum aku merespon pujian itu. Otakku butuh waktu mencerna. Sedikit tersipu pula ketika aku mengatakannya. Pasalnya sangat jarang … bukan, tidak pernah ada orang yang memuji namaku. Karena nama Aradia bagi keluargaku memiliki dua makna, both blessing and cursing.

“Aku paham jika Leedo pasti sangat kaget dengan kemunculanmu. Tapi tak seharusnya dia memperlakukanmu seperti ini. Terlebih pada seorang wanita.”

Aku memandangnya dengan tatapan bertanya. Hm? Apa maksudnya? Apakah dia bisa membaca isi hatiku?

Seolah ia paham dengan kebingunganku. Matanya langsung mengarah menunjuk kakiku. Dan terpampang di sana kaki telanjangku penuh dengan luka. Aku benar-benar tak menyadarinya. Sepertinya semua luka itu kudapatkan selama aku diajak setengah berlari oleh lelaki tadi. Ah ya, kudengar Xion menyebutkan satu nama tadi. Leedo? Ya, Leedo nama lelaki dingin itu.

“Dan ini ….” Xion tiba-tiba memegang pergelangan tanganku. Di sana masih terlihat jelas bekas merah karena genggaman kuat Leedo tadi.

“Dasar orang itu. Tak bisa menempatkan kekuatannya dengan tepat. Maaf, dia memang seperti itu.”

“Ah, tak apa. Aku bisa maklum dengan kondisi tadi.”

Tiba-tiba Xion memosisikan diri menggendongku di punggungnya.

“Eh? Ada apa?”

“Naiklah. Lukamu harus segera diobati.”

“T-tapi —–.” Jujur, aku tak pernah melakukan ini pada siapapun. Bahkan dengan Nenek pun aku tak pernah minta digendong dan ini ….

“Ayolah. Aku tak yakin bisa kuat menggendongmu ala tuan putri.”

“Bukan itu maksudku—–.”

“Dan juga, aku tak mau lantai istana kotor karena bercak darah dimana-dimana.”

Dia benar-benar tak mendengarkanku. Baiklah, alasan terakhir itu sepertinya memang mengharuskanku menurutinya.

Kusingkapkan gaunku dan naik punggung Xion perlahan.

“Maaf, aku berat,” ucapku karena merasa tak enak hati dengan tawaran baiknya.

“Tak seberat yang kukira ternyata haha. Pegangan yang erat kalau kau tak ingin jatuh.”

Segera kuikuti perkataannya, semakin kueratkan peganganku di bahu Xion. Rasanya aneh, mungkin karena ini pertama kalinya bagiku?

Xion membawaku masuk dan mendudukkanku di sebuah kursi busa panjang. Sepertinya ruangan ini memang untuk tamu atau mungkin tempat untuk bercengkerama santai. Dilihat dari desain ruangan yang sengaja dibuat nyaman untuk siapapun yang menempatinya.

Setelah memastikan posisiku sudah nyaman, Xion segera pergi meninggalkanku entah kemana.

Ah, rasanya nyaman sekali. Setelah kaki ini tak hentinya melangkah, akhirnya kali ini mereka bisa sedikit beristirahat. Aku tak merasakan apapun ketika melangkahkan kakiku tanpa alas tadi. Tapi sekarang ini bisa kurasakan perih di kakiku. Tanganku mengelus perlahan pergelangan tanganku satunya. Bekas merah itu masih ada dan sakit juga ternyata. Hati ini mendadak kesal mengingat perlakuan Leedo tadi. Ternyata masih ada lelaki yang bisa sekasar itu pada wanita.

Xion datang membawa sebuah kotak obat lalu ia dengan santai memangku kakiku.

“Eh, tunggu—–”

“Aku tahu kamu memiliki kehormatan dan harga diri. Melihat dari gaun yang kau pakai, aku bisa tahu bahwa Aradia adalah seorang putri bangsawan. Tapi untuk saat ini saja, kumohon menurut lah. Jangan banyak protes.”

Kembali aku terdiam karena kata-kata Xion. Aku curiga kalau dia punya kekuatan tersembunyi bisa membaca pikiran orang.

Dengan telaten Xion membersihkan luka-luka di kakiku. Aku sedikit mendesis karena perih dan panas yang kurasakan.

“Sakit ? Tahan dulu ya. Luka-luka ini bisa infeksi kalau tidak didisinfeksi dulu.” Xion menatapku khawatir.

“Terima kasih, Xion.” Kulemparkan senyum tipis padanya. Lalu kulihat ia membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.

“Wah, kamu gadis yang dimaksud Leedo? Tak kusangka ternyata kau akan secantik ini.”

Kepalaku menoleh ke arah sumber suara tadi.

Lelaki lain lagi. Sebenarnya ada berapa jumlah penghuni dunia ini?

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

Lelah. Hanya itu kata yang paling tepat menggambarkan keadaanku sekarang ini. Mungkin karena memang aku sudah bosan dengan rutinitas dunia ini. Bukan karena hidupku nelangsa. Malah sebaliknya, bisa dibilang aku gadis beruntung, lebih beruntung dari manusia kebanyakan sepertinya.

Namaku Aradia, seorang gadis yang lahir di kalangan bangsawan. Kehidupanku bahkan sudah diatur sejak sebelum aku lahir. Ya, semuanya. Dari apa yang aku makan, apa yang kupakai, apa yang kulakukan, semua sudah termaktub dalam kitab tebal milik keluarga aristokrat.

Itulah alasan kenapa aku mengatakan lelah. Jenuh dengan keseharian di rumah megah ini. Semua kebiasaan yang bahkan kini bisa kuhapal di luar kepala.

Di usiaku yang ke-18 ini, aku hampir sudah merasakan apa saja yang orang lain sebut dengan kenikmatan dunia. Kecantikan, otak cerdas, kemolekan tubuh, kekayaan, lontaran pujian. Tak jarang orang-orang menyebutku ukiran Tuhan tanpa cela. Ah, sampai aku tak tahu apa lagi yang ingin kunikmati di dunia ini.

Heran kenapa aku mengatakan aku lelah? Ya, siapa yang tak lelah jika harus memakai topeng kebahagiaan sepanjang waktu. Delapan belas tahun, dan aku tak pernah melepas senyum palsuku kecuali ketika aku sedang sendiri di kamarku. Atau dulu, ketika mendiang nenekku masih ada. Hanya di depan beliau, aku bisa menjadi diriku sendiri. Ketika bersama Nenek lah aku bisa leluasa berekspresi. Kini aku hanya bisa merasakan sisa-sisa kehadiran Nenek di kamarnya.

Aku meminta permintaan khusus pada para sesepuh, agar hanya aku yang bisa mengakses kamar itu. Tak ada yang boleh masuk kamar itu tanpa seizinku. Walaupun aku hanya seorang putri di rumah ini, tapi dengan semua talenta yang kupunya dan semua prestasi yang selalu menambah kebanggaan keluarga, aku takkan pernah kesulitan mendapatkan apapun yang kumau.

Seperti sekarang ini, aku kembali menikmati kesendirian di ruangan ini. Setelah jam makan malam berakhir adalah waktu bebasku. Aku bisa melakukan me time atau segala aktivitas yang kumau setelah jam itu. Salah satunya adalah mengunjungi kamar Nenek. Memberikan waktu pada diriku bernostalgia momen-momen bersama satu-satunya orang yang dapat memahami diriku. Menjelajahi setiap titik dan sudut ruangan, membuka semua buku yang berisi goresan tinta oleh tangan keriput Nenek. Ah, tak ada yang tak kukagumi dari sosok wanita tua itu.

Kaki telanjangku berkeliling menyusuri pelan lantai kayu yang tak pernah berdebu ini. Ruangan ini memang selalu kusempatkan membersihkannya setiap hari. Keningku berkerut ketika tiba-tiba netraku menangkap sebuah laci kecil di bawah rak yang penuh dengan tumpukan buku.

Aku tak pernah melihat eksistensi laci itu sebelumnya. Atau mungkin mataku yang memang tak terlalu jeli menjelajahi ruangan ini? Entahlah.

Tanganku tergerak perlahan menarik laci itu. Ada sesuatu di dalamnya. Cermin? Ah, iya cermin bundar. Tapi … ada sesuatu yang berbeda dari cermin ini.

Kenapa warnanya hitam? Aku bahkan tak bisa melihat pantulanku di cermin ini. Tunggu. Bukan, bukan hitamnya cermin ini yang membuatnya berbeda. Aneh, tapi aku seperti merasakan ada yang membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Ada sebuah keindahan yang entah kenapa bisa aku rasakan dalam hitamnya cermin itu. Cermin ini terlalu menarik. Kurasakan bibir ini mengulas senyum tipis entah mengagumi apa dari cermin hitam itu.

“Hei, sedang apa kau disini?”

Aku terperanjat. Suara siapa itu? Tak ada yang bisa mengakses kamar ini selain diriku. Siapa yang berani-beraninya masuk ke—-

Eh? Dimana ini?

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

Lelah. Hanya itu kata yang paling tepat menggambarkan keadaanku sekarang ini. Mungkin karena memang aku sudah bosan dengan rutinitas dunia ini. Bukan karena hidupku nelangsa. Malah sebaliknya, bisa dibilang aku gadis beruntung, lebih beruntung dari manusia kebanyakan sepertinya.

Namaku Aradia, seorang gadis yang lahir di kalangan bangsawan. Kehidupanku bahkan sudah diatur sejak sebelum aku lahir. Ya, semuanya. Dari apa yang aku makan, apa yang kupakai, apa yang kulakukan, semua sudah termaktub dalam kitab tebal milik keluarga aristokrat.

Itulah alasan kenapa aku mengatakan lelah. Jenuh dengan keseharian di rumah megah ini. Semua kebiasaan yang bahkan kini bisa kuhapal di luar kepala.

Di usiaku yang ke-18 ini, aku hampir sudah merasakan apa saja yang orang lain sebut dengan kenikmatan dunia. Kecantikan, otak cerdas, kemolekan tubuh, kekayaan, lontaran pujian. Tak jarang orang-orang menyebutku ukiran Tuhan tanpa cela. Ah, sampai aku tak tahu apa lagi yang ingin kunikmati di dunia ini.

Heran kenapa aku mengatakan aku lelah? Ya, siapa yang tak lelah jika harus memakai topeng kebahagiaan sepanjang waktu. Delapan belas tahun, dan aku tak pernah melepas senyum palsuku kecuali ketika aku sedang sendiri di kamarku. Atau dulu, ketika mendiang nenekku masih ada. Hanya di depan beliau, aku bisa menjadi diriku sendiri. Ketika bersama Nenek lah aku bisa leluasa berekspresi. Kini aku hanya bisa merasakan sisa-sisa kehadiran Nenek di kamarnya.

Aku meminta permintaan khusus pada para sesepuh, agar hanya aku yang bisa mengakses kamar itu. Tak ada yang boleh masuk kamar itu tanpa seizinku. Walaupun aku hanya seorang putri di rumah ini, tapi dengan semua talenta yang kupunya dan semua prestasi yang selalu menambah kebanggaan keluarga, aku takkan pernah kesulitan mendapatkan apapun yang kumau.

Seperti sekarang ini, aku kembali menikmati kesendirian di ruangan ini. Setelah jam makan malam berakhir adalah waktu bebasku. Aku bisa melakukan me time atau segala aktivitas yang kumau setelah jam itu. Salah satunya adalah mengunjungi kamar Nenek. Memberikan waktu pada diriku bernostalgia momen-momen bersama satu-satunya orang yang dapat memahami diriku. Menjelajahi setiap titik dan sudut ruangan, membuka semua buku yang berisi goresan tinta oleh tangan keriput Nenek. Ah, tak ada yang tak kukagumi dari sosok wanita tua itu.

Kaki telanjangku berkeliling menyusuri pelan lantai kayu yang tak pernah berdebu ini. Ruangan ini memang selalu kusempatkan membersihkannya setiap hari. Keningku berkerut ketika tiba-tiba netraku menangkap sebuah laci kecil di bawah rak yang penuh dengan tumpukan buku.

Aku tak pernah melihat eksistensi laci itu sebelumnya. Atau mungkin mataku yang memang tak terlalu jeli menjelajahi ruangan ini? Entahlah.

Tanganku tergerak perlahan menarik laci itu. Ada sesuatu di dalamnya. Cermin? Ah, iya cermin bundar. Tapi … ada sesuatu yang berbeda dari cermin ini.

Kenapa warnanya hitam? Aku bahkan tak bisa melihat pantulanku di cermin ini. Tunggu. Bukan, bukan hitamnya cermin ini yang membuatnya berbeda. Aneh, tapi aku seperti merasakan ada yang membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Ada sebuah keindahan yang entah kenapa bisa aku rasakan dalam hitamnya cermin itu. Cermin ini terlalu menarik. Kurasakan bibir ini mengulas senyum tipis entah mengagumi apa dari cermin hitam itu.

“Hei, sedang apa kau disini?”

Aku terperanjat. Suara siapa itu? Tak ada yang bisa mengakses kamar ini selain diriku. Siapa yang berani-beraninya masuk ke—-

Eh? Dimana ini?

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

1 Januari 2021

Hembusan angin malam membentuk riak pada permukaan danau. Pandangan Padma masih lurus menatap bayangan dari kembang api yang meledak di langit tahun baru. Angin malam ini membuat gadis bersurai hitam itu kembali mengeratkan jaket yang dipakainya.

Riuh suara manusia di sekitarnya tentang bagaimana mereka terkesima dengan cantiknya kembang api berbanding terbalik dengan suasana hati Padma. Gadis itu merasa sunyi, ia larut dalam dunianya.

Ketika tahun baru menjadi satu tanggal yang dinanti orang kebanyakan. Padma malah selalu ingin mengenyahkan 1 Januari dalam hidupnya. Karena di tanggal itu ia selalu mengingat satu kenangan yang tak seharusnya ia ingat. Bahkan ketika ia menginjak 24 tahun ini satu memori itu masih sangat terasa bekasnya. Memori yang selalu saja kembali terputar di tanggal 1 Januari, seperti semuanya baru saja kemarin terjadi.

1 Januari 2006

“Kamu tadi liat kan, Ravn?! Cantik banget kembang apinya,” teriak Padma girang ketika kembang api ke sekian itu kembali meledak di langit.

“Kamu suka itu, Padma?” tanya lelaki bernama Ravn yang sedang duduk menemaninya.

“Suka bangeeet!”

“Then someday i’ll make one for you.”

“Hm? Emang Ravn bisa buat yang kayak gitu?” tanya Padma dengan tatapan tak percaya. Keluarga Ravn merupakan keluarga pengrajin kembang api tersohor di kota itu. Tapi Padma tetap saja meragukan kemampuan teman kecilnya itu.

“Kamu ngomong seolah-olah kamu nggak tau aku siapa, Padma,” ujar Ravn sambil menggembungkan pipinya berlagak merajuk.

“Hehe, nggak kok. Aku percaya Ravn. Then ... promise?” Gadis kecil itu mengulurkan kelingkingnya. Tradisi lama untuk mengikat janji.

Promise!” sahut Ravn mantap sembari mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Padma.


Namun, janji itu hanya sekadar susunan kata dari anak laki-laki umur sepuluh tahun yang tak pernah terpenuhi. Malam tahun baru itu adalah momen terakhir mereka merayakan sesuatu bersama. Sebulan setelah janji itu terucap, tanpa aba-aba Ravn dan keluarganya menghilang dari kehidupan Padma.

Sebuah perpisahan tanpa kata dari teman kecilnya itu membuat Padma mengalami krisis kepercayaan pada makhluk Tuhan bernama lelaki.

Satu-satunya orang yang ia percaya meninggalkannya begitu saja dengan semua janji bualannya. Padma kecil merasa dikhianati. Ketika ia sudah menaruh hampir seluruh kepercayaannya pada Ravn, lelaki itu dengan mudahnya merusaknya.

Trust issues itu masih ia rasakan bahkan di usianya yang tak lagi muda itu. Padma lebih memilih menikmati kesendirian. Menjadi wanita independen adalah mottonya. Ia tak lagi ingin menggantungkan harap pada siapapun, terutama pada lelaki.

Semua lelaki itu sama saja, pikirnya. Bahkan dengan ayahnya sendiri, ia tak bisa sepenuhnya percaya. Pasang mata Padma telah menyaksikan banyak pengkhiatan dari berbagai macam lelaki. Tuhan seperti sedang membukakan mata Padma tentang makhluk Tuhan berbeda gender itu di setiap fase kehidupannya.

Padma remaja menyaksikan sendiri sang ayah menggandeng lengan wanita selain bundanya. Ketika ia menjadi staff kantor, secara gamblang ia melihat kekasih partner kerjanya berkencan dengan wanita lain. Dan masih banyak lagi cerita nyata yang membuat trust issues-nya pada kaum lelaki semakin menjadi. Sampai di titik dimana Padma memilih untuk single seumur hidup.

Tapi anehnya, dengan semua prinsip dan motto hidup Padma tentang lepas dari lelaki, jauh di dalam lubuk hati wanita itu masih menyimpan satu harap. Sebuah harapan yang dilangitkan untuk seorang lelaki yang pernah menghancurkannya. Harapan yang selalu ia pinta pada Tuhan di setiap doanya, agar ia bisa melihat lagi satu-satunya lelaki yang sampai saat ini masih setia berkemah di hatinya.

1 Januari 2021

Tangan gadis itu kembali menarik rapat jaketnya. Orang-orang sudah mulai meninggalkan taman itu, hanya tersisa beberapa pasang muda-mudi yang masih ingin mengumbar kemesraannya. Netranya melirik ke arah jam ungu di tangan kirinya.

Sudah jam sembilan ternyata, batin Padma.

Namun ia masih enggan untuk beranjak. Malam itu intuisinya mengatakan untuk tetap tinggal di bangku itu lebih lama. Entah apa tujuannya masih tak beranjak dari sana. Malam itu, Padma hanya mengikuti apa kehendak si hati.

Semakin lama semakin sunyi. Suara-suara canda dari para sejoli tadi terdengar menjauh. Padma benar-benar masih tak ingin pergi. Ia masih ingin berkencan dengan angin malam yang sedari tadi setia menemaninya.

... I’ll make it one for you

“Ah, kenapa kata-kata itu selalu muncul di saat seperti ini sih,” gerutu Padma, ketika otaknya tiba-tiba memaksanya untuk mengingat janji itu lagi.

Di tengah-tengah kekesalannya itu, tiba-tiba ia dikagetkan oleh sebuah suara yang menyapanya.

“Aku boleh duduk di sini?” tanya lelaki asing itu.

“Oh, silakan,” sahut Padma mempersilakan tanpa memandang si penanya tadi.

Untuk seorang gadis yang tak pernah dekat dengan laki-laki, momen malam itu menjadi momen ter-awkward untuknya. Antara canggung karena tak pernah berada sedekat itu dengan lelaki dan takut karena selarut ini ada lelaki asing yang tiba-tiba datang menjejerinya.

Sudah lewat dari lima menit, lelaki tadi masih duduk tanpa kata di samping Padma. Tak ada percakapan yang terjadi. Hanya keheningan yang menjadi penengah dua insan itu. Tidak mungkin pula Padma yang membuka obrolan, mengingat bagaimana insight-nya tentang lelaki. Kembali netranya melirik sekilas pada jam tangan miliknya.

Hampir pukul sepuluh, sebentar lagi jam keluarku habis. Aku harus segera pulang, Padma membatin.

Baru ketika ia beranjak dari tempat duduknya ketika ia merasakan lengannya ditahan oleh seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki tadi.

“Tunggu ....” sergah lelaki itu.

“M-Maaf, tapi kita tidak saling kenal. Dan aku harus pulang sekarang,” ucap Padma sedikit gugup. Jujur, saat itu dia mulai merasa ketakutan. Pikiran-pikiran jelek sudah berseliweran di kepalanya sejak tadi. Gadis itu segera menarik paksa lengannya dan bersiap untuk berlari. Tapi tindakannya itu tertahan ketika ia merasakan tubuhnya ditarik kedalam pelukan lelaki tadi.

“Aku bilang, tunggu ... Padma.” Netra Padma membesar ketika ia mendengar suara itu dibisikkan tepat di telinganya.

“Lepaskan! Atau saya akan berteriak, karena tindakan Anda ini sudah termasuk pelecehan!” ancam Padma sambil berusaha melepas pelukan lelaki tadi. Namun, semakin Padma berusaha untuk lepas dari rengkuhan itu, tangan kekar yang melingkari tubuhnya malah semakin erat memeluknya.

“Yakin nih mau dilepas? Don’t you just missing me a couple hour ago, Padma?” Gadis itu terdiam, tak lagi melanjutkan usaha kaburnya.

“Kamu ... siapa?”

Kedua tangan kekar itu segera membalikkan tubuh mungil Padma menghadap ke arahnya. Mata Padma kembali mendelik ketika ia memandang sosok di depannya. Bukan karena tahu siapa lelaki itu. Tapi karena seorang Padma terlalu terpesona karena disuguhi pemandangan indah sesosok malaikat berparas tampan di depannya.

“Padma ? Hei ... Padma.” Lelaki tadi mengibaskan tangannya di depan wajah Padma, menyadari gadis itu bahkan tidak berkedip setelah tatap mereka bertemu.

“Oh, maaf. T-tapi kamu siapa?” tanya Padma lagi ketika ia tersadar.Kegugupannya kini bertambah ketika ia kepergok mengagumi orang asing di depannya. Sedetik kemudian ia mendengar lelaki itu mendesah kecewa.

“Kamu bener-bener lupa ya?”

“Hm? Apakah kita saling kenal sebelumnya?” Sekarang Padma benar-benar bingung. Karena seingatnya ia tak pernah berhubungan dengan lelaki manapun kecuali ...

Mungkinkah ....? Hatinya masih menerka satu kemungkinan yang ia sendiri ragu. Karena Padma berpikir kemungkinan itu 99% tak akan terjadi.

Lelaki tadi tiba-tiba merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak dengan motif bunga teratai di sekelilingnya. Dahi Padma membentuk kerutan ketika ia mengamati benda itu. Ia seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.

Kotak itu ... tidak asing. Aku sering melihatanya ... dulu? Ah, iya. Itu salah satu model kembang api yang hanya dibuat oleh ....

Padma segera mengangkat kepalanya. Tatap mereka kembali bertemu tapi kini diiringi dengan degup kencang dari jantung Padma.

“Ravn ?”

“Iya, Padma.”

“Kamu ... beneran Ravn-ku dulu?” Sudut bibir Ravn seketika tertarik ke atas mendengar klaim dadakan Padma atas dirinya.

Yes i am, Padma. Your Ravn is back.”

Mata gadis itu memanas, degup jantungnya semakin tak beraturan. Ia bingung bagaimana harus merespon momen yang ia anggap takkan pernah terjadi ini. Cairan bening itu kini meluncur menuruni pipi Padma tanpa aba-aba. Gadis itu membiarkan tubuhnya merespon apa adanya. Karena otaknya tak tahu harus menginstruksikan apa saat ini.

Melihat Padmanya menangis tanpa kata, Ravn kembali merengkuh tubuh Padma ke dalam pelukannya. Kini Padma tak menolak pelukan itu. Ia membalas pelukan Ravn tak kalah eratnya. Dua insan itu mencurahkan segala kerinduan yang selama ini tak bisa tersalurkan oleh apapun.

“Ravn ... Jangan pergi,” pinta Padma lirih dalam isakannya.

Tangan Ravn mengelus pelan punggung Padma seraya berkata, “I won’t ever let you go again, my Padma.”

1 Januari 2021

Hembusan angin malam membentuk riak pada permukaan danau. Pandangan Padma masih lurus menatap bayangan dari kembang api yang meledak di langit tahun baru. Angin malam ini membuat gadis bersurai hitam itu kembali mengeratkan jaket yang dipakainya.

Riuh suara manusia di sekitarnya tentang bagaimana mereka terkesima dengan cantiknya kembang api berbanding terbalik dengan suasana hati Padma. Gadis itu merasa sunyi, ia larut dalam dunianya.

Ketika tahun baru menjadi satu tanggal yang dinanti orang kebanyakan. Padma malah selalu ingin mengenyahkan 1 Januari dalam hidupnya. Karena di tanggal itu ia selalu mengingat satu kenangan yang tak seharusnya ia ingat. Bahkan ketika ia menginjak 24 tahun ini satu memori itu masih sangat terasa bekasnya. Memori yang selalu saja kembali terputar di tanggal 1 Januari, seperti semuanya baru saja kemarin terjadi.

1 Januari 2006

“Kamu tadi liat kan, Ravn?! Cantik banget kembang apinya,” teriak Padma girang ketika kembang api ke sekian itu kembali meledak di langit.

“Kamu suka itu, Padma?” tanya lelaki bernama Ravn yang sedang duduk menemaninya.

“Suka bangeeet!”

“Then someday i’ll make one for you.”

“Hm? Emang Ravn bisa buat yang kayak gitu?” tanya Padma dengan tatapan tak percaya. Keluarga Ravn merupakan keluarga pengrajin kembang api tersohor di kota itu. Tapi Padma tetap saja meragukan kemampuan teman kecilnya itu.

“Kamu ngomong seolah-olah kamu nggak tau aku siapa, Padma,” ujar Ravn sambil menggembungkan pipinya berlagak merajuk.

“Hehe, nggak kok. Aku percaya Ravn. Then ... promise?” Gadis kecil itu mengulurkan kelingkingnya. Tradisi lama untuk mengikat janji.

Promise!” sahut Ravn mantap sembari mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Padma.

Namun, janji itu hanya sekadar susunan kata dari anak laki-laki umur sepuluh tahun yang tak pernah terpenuhi. Malam tahun baru itu adalah momen terakhir mereka merayakan sesuatu bersama. Sebulan setelah janji itu terucap, tanpa aba-aba Ravn dan keluarganya menghilang dari kehidupan Padma.

Sebuah perpisahan tanpa kata dari teman kecilnya itu membuat Padma mengalami krisis kepercayaan pada makhluk Tuhan bernama lelaki.

Satu-satunya orang yang ia percaya meninggalkannya begitu saja dengan semua janji bualannya. Padma kecil merasa dikhianati. Ketika ia sudah menaruh hampir seluruh kepercayaannya pada Ravn, lelaki itu dengan mudahnya merusaknya.

Trust issues itu masih ia rasakan bahkan di usianya yang tak lagi muda itu. Padma lebih memilih menikmati kesendirian. Menjadi wanita independen adalah mottonya. Ia tak lagi ingin menggantungkan harap pada siapapun, terutama pada lelaki.

Semua lelaki itu sama saja, pikirnya. Bahkan dengan ayahnya sendiri, ia tak bisa sepenuhnya percaya. Pasang mata Padma telah menyaksikan banyak pengkhiatan dari berbagai macam lelaki. Tuhan seperti sedang membukakan mata Padma tentang makhluk Tuhan berbeda gender itu di setiap fase kehidupannya.

Padma remaja menyaksikan sendiri sang ayah menggandeng lengan wanita selain bundanya. Ketika ia menjadi staff kantor, secara gamblang ia melihat kekasih partner kerjanya berkencan dengan wanita lain. Dan masih banyak lagi cerita nyata yang membuat trust issues-nya pada kaum lelaki semakin menjadi. Sampai di titik dimana Padma memilih untuk single seumur hidup.

Tapi anehnya, dengan semua prinsip dan motto hidup Padma tentang lepas dari lelaki, jauh di dalam lubuk hati wanita itu masih menyimpan satu harap. Sebuah harapan yang dilangitkan untuk seorang lelaki yang pernah menghancurkannya. Harapan yang selalu ia pinta pada Tuhan di setiap doanya, agar ia bisa melihat lagi satu-satunya lelaki yang sampai saat ini masih setia berkemah di hatinya.

1 Januari 2021

Tangan gadis itu kembali menarik rapat jaketnya. Orang-orang sudah mulai meninggalkan taman itu, hanya tersisa beberapa pasang muda-mudi yang masih ingin mengumbar kemesraannya. Netranya melirik ke arah jam ungu di tangan kirinya.

Sudah jam sembilan ternyata, batin Padma.

Namun ia masih enggan untuk beranjak. Malam itu intuisinya mengatakan untuk tetap tinggal di bangku itu lebih lama. Entah apa tujuannya masih tak beranjak dari sana. Malam itu, Padma hanya mengikuti apa kehendak si hati.

Semakin lama semakin sunyi. Suara-suara canda dari para sejoli tadi terdengar menjauh. Padma benar-benar masih tak ingin pergi. Ia masih ingin berkencan dengan angin malam yang sedari tadi setia menemaninya.

... I’ll make it one for you

“Ah, kenapa kata-kata itu selalu muncul di saat seperti ini sih,” gerutu Padma, ketika otaknya tiba-tiba memaksanya untuk mengingat janji itu lagi.

Di tengah-tengah kekesalannya itu, tiba-tiba ia dikagetkan oleh sebuah suara yang menyapanya.

“Aku boleh duduk di sini?” tanya lelaki asing itu.

“Oh, silakan,” sahut Padma mempersilakan tanpa memandang si penanya tadi.

Untuk seorang gadis yang tak pernah dekat dengan laki-laki, momen malam itu menjadi momen ter-awkward untuknya. Antara canggung karena tak pernah berada sedekat itu dengan lelaki dan takut karena selarut ini ada lelaki asing yang tiba-tiba datang menjejerinya.

Sudah lewat dari lima menit, lelaki tadi masih duduk tanpa kata di samping Padma. Tak ada percakapan yang terjadi. Hanya keheningan yang menjadi penengah dua insan itu. Tidak mungkin pula Padma yang membuka obrolan, mengingat bagaimana insight-nya tentang lelaki. Kembali netranya melirik sekilas pada jam tangan miliknya.

Hampir pukul sepuluh, sebentar lagi jam keluarku habis. Aku harus segera pulang, Padma membatin.

Baru ketika ia beranjak dari tempat duduknya ketika ia merasakan lengannya ditahan oleh seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki tadi.

“Tunggu ....” sergah lelaki itu.

“M-Maaf, tapi kita tidak saling kenal. Dan aku harus pulang sekarang,” ucap Padma sedikit gugup. Jujur, saat itu dia mulai merasa ketakutan. Pikiran-pikiran jelek sudah berseliweran di kepalanya sejak tadi. Gadis itu segera menarik paksa lengannya dan bersiap untuk berlari. Tapi tindakannya itu tertahan ketika ia merasakan tubuhnya ditarik kedalam pelukan lelaki tadi.

“Aku bilang, tunggu ... Padma.” Netra Padma membesar ketika ia mendengar suara itu dibisikkan tepat di telinganya.

“Lepaskan! Atau saya akan berteriak, karena tindakan Anda ini sudah termasuk pelecehan!” ancam Padma sambil berusaha melepas pelukan lelaki tadi. Namun, semakin Padma berusaha untuk lepas dari rengkuhan itu, tangan kekar yang melingkari tubuhnya malah semakin erat memeluknya.

“Yakin nih mau dilepas? Don’t you just missing me a couple hour ago, Padma?” Gadis itu terdiam, tak lagi melanjutkan usaha kaburnya.

“Kamu ... siapa?”

Kedua tangan kekar itu segera membalikkan tubuh mungil Padma menghadap ke arahnya. Mata Padma kembali mendelik ketika ia memandang sosok di depannya. Bukan karena tahu siapa lelaki itu. Tapi karena seorang Padma terlalu terpesona karena disuguhi pemandangan indah sesosok malaikat berparas tampan di depannya.

“Padma ? Hei ... Padma.” Lelaki tadi mengibaskan tangannya di depan wajah Padma, menyadari gadis itu bahkan tidak berkedip setelah tatap mereka bertemu.

“Oh, maaf. T-tapi kamu siapa?” tanya Padma lagi ketika ia tersadar.Kegugupannya kini bertambah ketika ia kepergok mengagumi orang asing di depannya. Sedetik kemudian ia mendengar lelaki itu mendesah kecewa.

“Kamu bener-bener lupa ya?”

“Hm? Apakah kita saling kenal sebelumnya?” Sekarang Padma benar-benar bingung. Karena seingatnya ia tak pernah berhubungan dengan lelaki manapun kecuali ...

Mungkinkah ....? Hatinya masih menerka satu kemungkinan yang ia sendiri ragu. Karena Padma berpikir kemungkinan itu 99% tak akan terjadi.

Lelaki tadi tiba-tiba merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak dengan motif bunga teratai di sekelilingnya. Dahi Padma membentuk kerutan ketika ia mengamati benda itu. Ia seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.

Kotak itu ... tidak asing. Aku sering melihatanya ... dulu? Ah, iya. Itu salah satu model kembang api yang hanya dibuat oleh ....

Padma segera mengangkat kepalanya. Tatap mereka kembali bertemu tapi kini diiringi dengan degup kencang dari jantung Padma.

“Ravn ?”

“Iya, Padma.”

“Kamu ... beneran Ravn-ku dulu?” Sudut bibir Ravn seketika tertarik ke atas mendengar klaim dadakan Padma atas dirinya.

Yes i am, Padma. Your Ravn is back.”

Mata gadis itu memanas, degup jantungnya semakin tak beraturan. Ia bingung bagaimana harus merespon momen yang ia anggap takkan pernah terjadi ini. Cairan bening itu kini meluncur menuruni pipi Padma tanpa aba-aba. Gadis itu membiarkan tubuhnya merespon apa adanya. Karena otaknya tak tahu harus menginstruksikan apa saat ini.

Melihat Padmanya menangis tanpa kata, Ravn kembali merengkuh tubuh Padma ke dalam pelukannya. Kini Padma tak menolak pelukan itu. Ia membalas pelukan Ravn tak kalah eratnya. Dua insan itu mencurahkan segala kerinduan yang selama ini tak bisa tersalurkan oleh apapun.

“Ravn ... Jangan pergi,” pinta Padma lirih dalam isakannya.

Tangan Ravn mengelus pelan punggung Padma seraya berkata, “I won’t ever let you go again, my Padma.”

“Daddy!” Suara anak kecil itu memanggilku. Ia berlari dengan kaki pendeknya lengkap dengan tawa ceria di wajahnya. Senyum seketika mengembang di wajahku setelah melihatnya. Aku berjongkok menyejajarkan tubuhku dengan tinggi anak itu. Tanganku kurenggangkan bersiap menangkapnya ke dalam pelukanku. Sekitar satu jangkahan lagi, tapi aku tak merasakan tubuhnya dalam dekapanku. Anak itu lenyap dari hadapanku, ia hilang bak ditelan bumi.

Aku terperanjat bangun dari tidurku. Kutengok ponsel di sebelahku, masih jam dua pagi. Keringat sudah membasahi kaos putih yang kukenakan untuk tidur tadi. Detak jantungku masih tak beraturan. Aku mencoba mengatur napasku, menenangkan diriku sendiri di kamar kosong ini.

“Ah, mimpi itu lagi,” ujarku pada angin. Aku mengusap peluh di wajahku. Entah sudah keberapa kalinya aku memimpikan hal serupa. Mimpi yang benar-benar ingin ku enyahkan. Mimpi tentang mendiang anakku, dan istriku.

Sudah hampir tiga tahun sejak kejadian naas yang telah merenggut kedua belahan hatiku. Lynn, istriku dan Nathan anakku. Satu momen yang benar-benar selalu kusesalkan mungkin sepanjang sisa hidupku. Andai saja saat itu aku hadir di tengah mereka. Mungkin malam ini aku masih berada di antara pelukan hangat keduanya.

FB 1

“Yah, nanti pulang kan?” tanya Lynn saat itu. Dia sedang merapikan dasiku yang akan bersiap ke kantor. Setelah selesai mengikat simpul terakhir, dia mengelus jas navy-ku.

“Done.” Ia mengatakannya dengan senyum manis terukir di wajahnya. Ah, senyum favorit bidadariku di pagi hari adalah hal yang tak mungkin dilewatkan untuk disyukuri. Aku masih belum menjawabnya. Tapi tak ada protes terlontar dari bibir mungilnya itu. Ia sangat paham tentang ini. Bahwa dia tahu aku mendengarkannya dan akan menjawab ketika aku siap untuk menjawab.

“Hari ini ada meeting sampai malam, Bun. Kayaknya bakal pulang telat,” ujarku akhirnya.

“Oh begitu,” Lynn mengatakannya dengan nada biasa. Namun tak dipungkiri ada kekecawaan terpancar dari wajahnya.

“Kenapa? Ada sesuatukah?'' tanyaku lagi. Tak ada jawaban darinya. Hanya gelengan dan sebuah senyum yang tak dapat kuartikan makna dibaliknya. Lynn menggaet lenganku menuntunku menuju meja makan. Kami bersiap untuk sarapan seperti biasanya.

Kudengar hentakan langkah kaki dari tangga lantai atas. Sampai anak tangga pertama, suara hentakan kaki itu berubah menjadi langkah berlari.

“Daddy!” teriak Nathan. Ia juga sudah bersiap rapi dengan seragam sekolahnya. Segera kusejajarkan tinggi tubuhku untuk bersiap menangkap jagoan kecilku itu.

“Heyo, my hero!” kataku padanya setelah ia berada gendonganku “Sleep well, huh?” lanjutku.

“Yup!” Nathan menjawabnya dengan semangat 45. Rutinitas pagiku dengannya yang tak pernah absen kulewatkan. Aku menggendongnya menuju kursi meja makannya. Setelah mendudukkannya aku kembali menuju kursiku.

Sarapan pagi waktu itu terasa sangat syahdu. Obrolan ringan terjadi di sela-sela dentingan alat makan yang beradu. Tentu Nathanlah yang menjadi pemeran utamanya disini. Berceloteh tentang ia yang terpilih menjadi ketua kelas, mendapatkan teman-teman baru yang suka dengan sepak bola sampai ada teman cewek yang menaruh surat cinta di lacinya.

Aku dan Lynn sabar menyimak semua curhatannya itu. Sesekali kami menggodanya tentang surat cinta itu tentang siapa teman ceweknya itu. Apakah dia cantik? Bagaimana kalau besok ia ajak bermain kesini?. Nathan yang mendengarnya menggembungkan pipinya sebal. Tanda ia memprotes kenapa Ayah dan Bundanya malah membahas hal itu. Aku tersenyum geli melihat respon anak semata wayangku itu, lucu. Tentu kami tidak benar-benar menanyakannya. Nathan masih kelas 4 SD, tentu bukan hal itu yang harusnya sekarang menjadi prioritasnya. Aku dan Lynn paham betul tentang hal itu.

Tak ada hal yang tak kubanggakan dari Nathan. Bahkan mungkin jika dia melalukan kesalahan suatu hari, aku takkan menganggapnya sebuah kesalahan. Dia mutiara hati yang telah kami tunggu selama lima tahun setelah pernikahan kami. Bahkan saat itu, aku sudah hampir putus asa. Tapi tidak dengan Lynn, dia selalu tersenyum optimis menguatkanku di saat-saat terberatku.

FB 2

Teringat kembali suatu momen ketika aku benar-benar berada di titik terendahku saat itu. Bayangkan saja kami sudah menikah selama lima tahun, hampir semua upaya sudah kami lakukan. Ejekan dari teman, sindiran-sindiran dari kerabat yang mungkin hanya bermaksud candaan tapi sangat menyesakkan hati sudah menjadi santapan sehari-hari kami.

“Sudah habis kesabaranku, Lynn!” ujarku tiba-tiba. Saat itu kami sedang bersantai akhir pekan di depan televisi. Lynn yang sedang tiduran meletakkan kepalanya di pahaku segera mengganti posisinya menjadi duduk menghadap ke arahku.

“Apa maksudmu, Yah? Tidak sabar tentang apa?” tanyanya khawatir.

“Sudah hampir 5 tahun kita menikah, dan berbagai jalan sudah kita tempuh. Tapi kenapa kita tak kunjung dikaruniai anak, Bun. Jujur, aku sudah muak dengan semua ejekan dan sindiran dari semua orang!” protesku saat itu dengan nada putus asa. “Aku sudah bingung harus gimana lagi, Bun?”

Lynn masih bergeming belum menanggapi apapun. Mungkin dia masih syok karena sikap impulsifku saat itu. Ada hening di antara kami. Hanya suara televisi yang saat itu terdengar di ruangan ini.

Tiba-tiba kurasakan kedua tangan halus Lynn menangkup wajahku yang sedari tadi menunduk. Membawa tatapanku ke arah matanya. Jemarinya merapikan helaian anak rambut yang jatuh ke wajahku. Aku masih belum berani menatapnya. Aku tahu aku egois, yang sakit disini bukan hanya aku. Tapi tentu Lynn merasakan hal yang sama, atau bahkan mungkin lebih berat dariku.

“Doya.” Aku sedikit terhenyak. Ah panggilan itu, sudah lama sekali aku tidak mendengarnya. Lynn hanya akan memanggilku dengan sebutan itu di saat dia mulai serius. Mau tak mau aku mendongakkan kepalaku membalas tatapannya. Sorot mata lembut Lynn berubah serius saat itu.

“Kau tahu mengapa Tuhan membiarkan kita menunggu selama ini?” tanya Lynn tiba-tiba. Aku menggeleng menjawabnya. Istriku itu menarik napas panjang, lalu bersiap melanjutkan kata-katanya.

“Aku pernah membaca satu buku yang mengajarkan apa sejatinya arti menunggu itu.” Aku masih diam menyimak penjelasannya. “Ketika kita menunggu untuk mendapatkan sesuatu, sejatinya dalam fase menunggu itu kita sedang belajar untuk sadar bahwa tak ada lagi yang perlu kita dapatkan. Yakin bahwa kita sudah berkecukupan. Tuhan memberikan kita kesempatan sebanyak itu untuk bersyukur, berterima kasih atas apapun yang kita punya sekarang ini.”

Aku tergugu mendengar penjelasan istriku itu. Tiba-tiba mataku meremang basah setelah mencerna betul apa yang Lynn katakan. Tapi tak kubiarkan bulir itu menetes. Kupegang tangan Lynn yang sedari tadi menangkup wajahku. Aku benar-benar ingin mengatakan ini padanya saat ini. Tatapanku terkunci dengan wanita pemilik mata bermanik hitam itu.

“Lynn...” Aku mengembangkan senyumku sebelum kulanjutkan kata-kataku “Terima kasih masih mau menemaniku menunggu sampai saat ini,” ujarku padanya. Kulihat bola matanya mulai berkaca-kaca setelah mendengarnya. Tapi ada senyum haru yang terukir di wajah manisnya itu. Aku yang melihatnya mau tak mau makin melebarkan senyumku. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku mengucapkan terima kasih tulus pada Tuhan karena sudah mengirimkan bidadari ini padaku.

FB END

Kenangan-kenangan yang masih terpatri jelas itu kembali terputar bak sebuah film dalam otakku. Hanya sesal yang selalu tersisa ketika aku tak sengaja mengingatnya. Ya, bukan keinginanku untuk mengingat semua itu. Tapi ini hampir tiga tahun sejak aku kehilangan kedua pelita hatiku. Dan kuyakin tak ada seorang pun yang mau terjebak dalam memori kelam masa lalunya.

FB 3

Di hari yang diawali dengan sempurna itu, tak kusangka akan berakhir dengan tragedi paling tragis dalam hidupku. Malam itu penat sudah memenuhi pikiranku. Meeting sampai jam sepuluh malam sudah menjadi hal umum di kantor. Tapi bahan diskusi meeting kali ini kuakui memang sangat menguras otak.

Kuparkirkan mobilku dan segera kulangkahkan kaki menuju pintu rumah. Gelap. Aneh, batinku. Biasanya Lynn tidak akan pernah absen dalam hal menyalakan lampu, karena memang Nathan masih takut dengan gelap.

Apakah mereka sedang keluar? Tapi tak ada kabar dari Lynn jika mereka ingin makan diluar. Oh iya, aku baru ingat sedari siang aku tidak sempat membuka ponselku. Langkahku terhenti tepat di depan pintu. Menyadari ada 20 panggilan tak terjawab dari Lynn. Perasaanku langsung mendadak tak enak. Ada apa ini?

Aku menelepon kembali nomer Lynn. Tapi tidak aktif. Hanya suara jawaban otomatis yang kuterima. Kini tanganku sudah memegang knob pintu rumahku. Ada sedikit ragu ketika aku memutar knob itu perlahan dan mendorongnya. Tidak dikunci.

Dengan penerangan seadanya dari ponselku. Aku mencari sakelar ruang tamu untuk menyalakan lampunya.

Ceklek!

Ku edarkan pandanganku ke semua sisi. Dan kakiku seketika lemas, mendapati pemandangan yang ada di depan mataku saat ini.

Bukan pemandangan ini yang kuharapkan untuk menyambut kepulanganku. Bayanganku tentang Lynn yang akan menyambutku dengan ciuman tangan dan pelukan hangatnya sirna sudah.

Aku masih terduduk belum bisa beranjak dari tempatku saat ini. Sosok Lynn yang sedang mendekap Nathan memang sudah sering kulihat. Namun kali ini, kedua sosok itu berpelukan bersimbah darah di bawah tangga.

Perlahan kupaksakan kakiku untuk berdiri. Aku menguatkan diri melangkah gontai mendekati mereka. Akhirnya tubuhku berhasil sampai tepat di depan dua pelitaku ini. Aku berjongkok lemas. Segera kuarahkan tanganku ke urat leher Lynn untuk mengecek nadinya. Ya, aku harus memastikannya. Hati ini sangat berharap akan ada nadi yang terasa disana walaupun lemah, tapi nihil. Jariku tak merasakan apa-apa. Hanya dingin tubuh Lynn yang kurasakan saat jari ini menyentuh kulit mulusnya.

Aku beralih menatap sosok Nathan. Jagoanku itu kini memejamkan mata dalam dekapan erat bunda tersayangnya. Kulakukan hal yang sama padanya dengan harapan yang sama pula. Namun harapanku seketika dihempaskan saat itu juga. Aku mengelus pipi Nathan yang kini sudah dingin. Berkata lirih pada dua pelita hatiku yang kini sudah padam.

“Why you're doing this to me?” Aku mulai terisak dalam heningnya malam itu.

“Why you leave me alone, darling?! I can't let you go like this?! I can never do that!” Kini racauan mulai keluar dari mulutku. Aku histeris. Mengguncangkan tubuh keduanya, berusaha mencoba membangunkan mereka. Walaupun aku tahu itu tidak akan membawa mereka kembali padaku. Aku terlambat. Aku telah gagal menjadi tameng pelindung bagi orang terkasihku.

“Will you please come back, my angels? I can't ever live without you two?,” Tangisku semakin kencang. Teriakan- teriakan histeris keluar dari mulutku. Memecah keheningan malam kelabu itu.

Sampai akhirnya kutahu ada seseorang yang memegang bahuku, mencoba menyadarkanku. Aku tahu dia menanyakan beberapa pertanyaan padaku, yang aku sendiri sudah samar mendengarnya. Karena setelah itu semuanya berubah menjadi gelap seketika. Aku tak sadarkan diri.

Keesokan harinya aku baru tahu, bahwa yang menemukanku pertama kali adalah satpam komplekku. Dia yang mengajak para tetangga untuk membantu mengurus semuanya. Dari penyelidikan yang sudah polisi lakukan, terkonfirmasi bahwa Lynn dan Nathan adalah korban perampokan dan pembunuhan.

Aku yang saat itu masih berada di rumah sakit hanya bisa mendengarkan semua penjelasan itu tanpa ekspresi. Masih tak percaya bahwa semua ini nyata terjadi.

Dan hatiku kembali bertambah hancur, ketika mengetahui hasil otopsi bahwa Lynn saat itu sedang mengandung anak kedua kita. Aku hanya bisa menerawang jauh. Berharap semua ini hanya mimpi, yang akan hilang ketika aku bangun tidur nanti. Tapi nyatanya bukan, ini adalah kenyataan hidup yang harus kuhadapi.

FB END

Pagi ini, aku sudah bersimpuh di dua nisan hitam yang baru sekitar dua minggu yang lalu kusinggahi. Membawa buket bunga mawar merah favorit Lynn, tak lupa juga mainan favorit Nathan, satu kotak berisi koleksi miniatur tokoh Toy Story.

Setelah kuletakkan kedua benda itu di masing-masing nisan. Aku duduk di tengah keduanya. Memulai monolog yang sudah menjadi kebiasaanku saat mengunjungi mereka. Entah, melakukan hal itu sampai saat ini selalu berhasil mengurangi beban yang ada di hati.

“Hai, Bun! Aku kembali kesini lagi. Padahal belum ada dua minggu ya aku menemuimu. Tapi rasa rindu itu akan terlalu membuncah jika tidak disalurkan, bukan? So, here i am.”

“Sesuai pesananmu, Bun. Buket bunga mawar merah segar harus selalu di setiap hari ulang tahunmu.”

“Oh ya, tadi pagi Nathan seperti menegurku dalam mimpi, Bun. Aku hampir lupa kalau ini hari ulang tahun kalian berdua. Thank you, my hero Nathan,” kataku sambil mengelus nisan keduanya. “Daddy juga bawakan mainan favoritmu. Seriesnya hampir lengkap lho, Nak.” Aku tersenyum ketika mengatakan itu.

“Kalian tuh ya, selalu sukses bikin iri. Selalu kompak dimana-mana. Dari tanggal lahir sampai hari kalian meninggalkanku pun bisa sama.”

“Jujur, bahkan sampai sekarang aku masih berharap aku bisa pergi bersama kalian saat itu. Bayang-bayang kalian, memori kenangan kita bertiga masih selalu menemaniku, bahkan di tahun ketiga ini.”

“Sepertinya kau benar-benar tak bisa melepaskanku huh, Lynn?” Aku memprotes pada angin. “Ah bukan ya. Sepertinya akulah yang belum bisa ikhlas melepaskan kalian. I can't ever let you go, my dear”

Kini aku beralih pada nisan Nathan.

“Hey jagoanku! Kalau kau masih ada disini, Daddy. yakin sepertinya kamu akan semakin digandrungi cewek-cewek di sekolahmu. Pasti itu, karena Nathan mewarisi ketampanan mutlak dari Daddy.” Sejenak aku membanggakan diri padanya tersenyum pada nisan itu.

“Oh ya, bagaimana kabar adikmu? Kalau dia cowok, dia pasti akan menjadi teman main terbaikmu disana. Benar bukan? Tapi kalau dia cewek maka kamu yang harus bisa melindunginya. Daddy percaya padamu.”

Aku melirik arlojiku. Sudah hampir sejam aku melampiaskan rinduku pada mereka disini.

“Kurasa sudah cukup aku berbincang dengan kalian. Saatnya aku pamit. Doakan aku dari sana ya, pelita hatiku. Till we met again in Heaven”

Aku meangkupkan kedua tanganku, berdoa sejenak untuk mereka. Kemudian berbalik melangkah menuju mobil. Ada satu tempat tujuan lagi setelahku dari sini. Sebuah tempat favorit kita bertiga. Pinggiran danau tempat kita biasa camping bersama. Aku ingin menenangkan diri disana. Mencoba untuk lupakan itu semua, tapi aku tetap bertahan.

You've never left my mind Since the day you left

I may not not get you to hold in my arms All through the night But deep in my heart I truly know that you're the one that i love And i can't let you go

# Love You Goodbye

“Ini bukan waktu yang tepat, Aya,” “Terus menurut kamu, waktu yang tepat itu kapan, Mike?” Lelaki bersurai hitam itu terdiam. Ia masih belum siap dengan permintaan gadisnya untuk mengumumkan kepada semuanya tentang hubungan mereka. Sudah hampir dua tahun insan muda itu menjalin backstreet alias pacaran diam-diam. Mereka sudah sepakat menyembunyikannya sejak pertama kali hubungan itu terjalin. Namun akhir-akhir ini, hati Aya sedikit terusik dengan kepopuleran yang disandang Mike. Kemanapun dan dimanapun selalu saja ada cewek yang mengekori Mike yang berakhir dengan mereka menyatakan perasaan padanya. Sebenarnya bukan hal yang biasa bagi Aya, bahkan gadis itu lebih terkesan maklum dengan hal itu. Tapi entah kenapa setelah dua tahun menjalani hubungan ini, sepertinya stok pemaklumannya sudah terkikis habis. “Aku akan memberimu dua pilihan, Mike.” “Kamu secepatnya mengumumkan hubungan kita atau kita sudahi saja hubungan ini,” tawar Aya dengan wajah tenangnya. “Ay ...” “Aku bakal kasih waktu dua hari, Mike. Dan selama itu, aku tak akan menghubungimu. Selamat menggunakan waktumu, Mr. Perfect.” Gadis itu melenggang pergi setelah menekankan kata 'Mr. Perfect' pada di depan wajah Mike. Ia benar-benar sudah lelah, keputusan itu ia ambil bukan asal ambil saja. Berbagai pro dan kontra dalam otaknya juga sudah ia rasakan. Keputusan itu sudah Aya pikirkan matang-matang. ☘ ☘ ☘ Di pojokan studio musik miliknya, Mike kembali meletakkan kepalanya lesu. Pilihan yang diberikan Aya masih berputar-putar di kepalanya. Bahkan gadis kalemnya itu tak memberikan kesempatan baginya untuk bicara. Itu berarti dia sudah benar-benar sampai pada batasnya. Aya yang selama ini selalu bisa menerima semua apa adanya dirinya, tak disangka akan memberinya keputusan yang sama sekali tak pernah terbayangkan terucap dari bibir mungilnya itu. “Ah kenapa Sang Waktu selalu saja tak memihak kita, Aya? Kenapa semesta seperti tak membiarkan kita untuk bersatu kali ini?” Mike kembali mengusap kasar rambutnya. Pilihan ini benar-benar berat baginya, karena dalam dua hari ini ia akan mengikuti ajang siswa berprestasi di kampusnya. Sebuah kompetisi yang sangat ia tunggu-tunggu dan ia dambakan sejak setahun lalu. Pasalnya hadiah dari kompetisi ini tidak main-main. Mereka yang menjadi jawara akan mendapat beasiswa full selama sisa semester di kampus ini. Benar-benar hadiah yang menggiurkan bagi mereka yang memiliki ekonomi pas-pasan, seperti Mike. Tak mungkin ia melepasnya begitu saja. Tapi, hatinya juga sangat berat melepas satu-satunya support system yang selalu ada untuknya. Aya, gadis sederhana yang membersamai suka dukanya. Ia yang selalu hadir ketika ia berada pada titik terendahnya. Ah, entah sejak kapan Aya menjadi segalanya untuk Mike. Entah sejak kapan lelaki itu menjadi sangat bergantung pada wanitanya. Kali ini Tuhan benar-benar mengujinya. Mendapatkan pilihan ini ibarat Mike harus memilih antara hidup dan mati. Ia mendengkus pasrah untuk kesekian kalinya. “Ya, aku harus melakukannya.” ☘☘☘ Langit Jakarta yang mulai menampakkan semburat oranyenya tak menyurutkan ramainya suasana kota metropolitan itu. Pun dengan suara dalam pikiran gadis bertopi merah yang sepertinya tak kunjung diam. Matanya menerawang jauh keluar jendela kafe, mengamati muda-mudi yang bersiap menikmati suasana malam minggu ibu kota. Kembali si gadis menghela napas kasar menyadari akan dirinya yang sekarang ini hanya bisa menjadi penonton semua adegan mesra itu. Siapa yang akan menyangka, Mike yang Aya kira selalu memprioritaskannya akan mencampakkan dirinya demi pilihan lain. “Ah, kamu memang terlalu pede, Aya.” Kembali gadis itu menyesap perlahan Americano kesukaannya. Pikirannya kembali mengingat momen di saat Mike memutuskan segalanya. “Maaf, Ay. Mungkin memang kita butuh jeda.” “Kita coba berdamai dengan Sang Waktu, dan kembali saat kita sudah lebih paham tentang hubungan kita, oke?” “Aku tahu kita bisa, Ay.” Sebuah senyuman yang Mike paksakan saat itu, menjadi tanda dimulainya masa introspeksi mereka.

# Cotton Candy Sky

Gumpalan-gumpalan menghiasi langit senja. Enam lelaki muda ditemani secangkir kopi masing-masing di depan mereka sedang hanyut dalam suasana syahdu itu. Tanpa cengkerama, tanpa suara. Mereka benar-benar menikmati suguhan indah dari Sang Pencipta.

Tiba-tiba salah satu pemuda menyeletuk memecah keheningan kala itu.

“Kalau saja bisa, gue pengen kasih warna gumpalan-gumpalan awan itu sesuai warna kalian.” Sion, lelaki termuda dari keenamnya mengutarakan pikiran randomnya.

Tak langsung ada respon dari yang lain. Sepertinya mereka sedang mencerna makna perkataan Sion.

“Hah? Maksud lo?” Lido, karib terdekat Sion tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Buat gue kalian punya warna khas sendiri, Bang,” jelas Sion lagi.

“Wah mulai nyeleneh lagi nih anak” Simba, yang berumur sepantaran dengan Sion ikut menimpali.

“Kalau lo gak mau tahu ya udah.'' Sion merajuk lengkap dengan mulutnya yang mengerucut. Membalikkan badan dari abang-abangnya.

“Yah ngambek kan dia, lu sih Sim. Tiap ketemu mesti cari gara-gara terus.” Koni, yang setahun diatas Simba ikut memanaskan suasana.

“Lah, kok gue jadinya yang disalahin,” sahut Simba membela diri.

“Shhh. Udah sekarang dengerin aja tuh penjelasan Sion. Waktu bareng gini jarang kan, jangan buat gelut lah.” Yongi, yang tertua dan dituakan segera menengahi sebelum suasana tambah memanas.

“Okay, mulai dari gue deh. Warna gue dimata lo apa nih, Sion?” Gun, yang dituakan setelah Yongi juga ikut membantu menengahi.

Sion perlahan membalikkan badannya. Rayuan abang-abangnya akhirnya mampu membatalkan acara ngambeknya. Terlihat raut muka lega dari kelima abang tanpa ikatan darah itu.

“Bang Gun tuh warnanya kuning. Tiap kali liat Bang Gun rasanya hati jadi hangat. Tapi kalo warna kuning itu jadi agak gelap, misal Bang Gun lagi ada masalah walaupun dia gak ngomong sekitarnya tetep bakal kerasa beratnya,” jelas Sion tentang random thoughtnya.

“Wah fakta tuh bang. Akurat bener penjelasan Sion” Simba menimpali “paling males gue kalo Bang Gun lagi badmood. Semuanya mesti kerasa suremnya seharian”. Gun hanya mengulas senyum datar mendengarnya.

“Sekarang gue dong, Sion.” Lido juga mulai penasaran dengan diskusi warna ini.

“Bang Lido, tuh navy. Biru gelap paling cocok buat lo, Bang,” jelas Sion singkat.

“Giliran gue aja dikasih warna gelap. Sesurem itu gue di mata lo,” protes Lido tidak terima pemberian warna Sion.

“Gak gitu, Bang. Dengerin dulu penjelasannya makanya” jelas Sion “Dimata gue, Bang Lido tuh paling cool, charming. Kalo liat warna navy, dari luar rasanya dingin tapi disaat yang sama bisa kasih rasa nyaman kalo diselami lebih dalam.” Lido mengulas senyum puas setelah mendengar penjelasan Sion.

“Seneng kan seneng. Dikasih yang bagus sama adek kesayangan,” goda Koni yang menyadari telinga Lido mulai memerah “udah kayak udang rebus tuh telinga lo, Do.” Perkataan Koni segera disambut gelak tawa yang lain.

“Kalo gue warna apa nih?” Simba yang diam sedari tadi akhirnya ikut bersuara.

“Mm... Lo merah bang. Dari kita berenam yang paling ambis, paling sering kasih semangat tapi juga idealis ya elu aja, Bang.” Penjelasan Sion direspon anggukan ringan dari yang lain.

“Gue apa dong, Xion?” Yongi juga tak mau ketinggalan.

“Pink kayaknya cocok tuh buat Bang Yongi,” celetuk Simba “soalnya kemana-mana dia bawanya cermin haha.” Bahkan yang tertua pun tak luput dari bullying.

“Bener banget sih kalo itu,” dukung Lido setuju sambil tersenyum geli.

“Dih, apaan sih. Masa gue pink, kayak cewek aja. Gak minta pendapat lo pada. Gue cuma mau denger pendapatnya Sion.” Yongi menanggapi sebal.

“Bukan pink sih, Bang. Lo tuh ungu. Mau dilihat dari manapun ungu tetep bakal keliatan cerah. Lo tuh paling charming diantara kita. Ya, dari segi muka aja kita dah kalah kan.”

“Kalo ngomongin ketampanan wajah mah gua emang nomer satu.” Yongi tersenyum dengan pedenya saat mengatakan hal itu.

“Nah kan, mulai lagi dia. Kalo dialem dikit aja bakal langsung ngelunjak nih Abang satu.” Simba kembali menyela.

“Ye emang faktanya gitu, kan. Terima aja udah,” ujar Yongi tidak terima.

“Iya deh iya. Iyain aja biar puas.”

“Belum selesai nih gue jelasinnya. Lanjut gak, Bang?” Sion segera memotong sebelum muncul keributan lainnya.

“Lanjut lah. Jangan setengah-setengah kalau...”

“Muji orang,” Koni memotong dan melanjutkan perkataan Yongi. Kelimanya tergelak. Kompak sekali mereka kalau urusan menggoda yang tertua.

“Oke, warna ungu tuh warna yang bisa mencolok dimanapun. Aku liat Bang Yongi bisa gampang adaptasi dimanapun kapanpun. Dia bisa jadi apa aja yang dia mau. Karena tingkat pedenya yang jauh diatas rata-rata.” Penjelasan Sion kali ini disambut senyuman bangga dari Yongi.

“Oke, terakhir nih gue,” Koni segera menagih jatahnya “jangan bilang kalo lo mau skip gue ya, Xion.” Koni kembali mengancam.

“Gak lah, Bang. Lo mana berani gue skip-skip,” ujar Sion meyakinkan. “Bang Koni tuh warnanya ijo...”

“Kayak kodok,” sahut Gun memotong penjelasan Sion. Tawa lepas terdengar dari kelimanya.

“Awas ya lu Bang abis ini,” ancam Koni yang bahkan mungkin tak berefek pada Gun. Yang diancam hanya mengedikkan bahunya.

“Bang Koni tuh udah kayak alat vitalnya kita kalo pas kumpul gini,” lanjut Sion tentang teori warnanya.

“Hah? Alat vital apaan? Yang bener ah lu kalo jelasin. Pikiran gue udah kemana-mana ini,” protes Koni belum menangkap sepenuhnya maksud Sion.

“Elah Bang, dikontrol dikit napa pikirannya. Vital disini gue artiin power. Bang Koni yang bisa bikin suasana ceria lagi, energetik lagi secara tiba-tiba. Gak ada angin gak ada ujan, mesti bisa aja balikin mood kita-kita.”

“Hehe kalo itu sih bener, ya kan guys?” Koni meminta persetujuan dari yang lain.

“Iyalah, itu mulut Koni udah ada anti busanya. Gak bakal berbusa tuh mulut walaupun dia ngoceh seharian.” Giliran Lido kini yang menanggapi.

“Udah kayak kamus si Koni tuh. Gak bakal kehabisan topik buat dibicarain.” Yongi juga ikut menimpali.

“Ya disyukuri dong ada gue. Kalo gak ada gue, gue jamin kalian berlima bakal lumutan walau cuma kumpul sejam,” ujar Koni bangga. Tak ada lagi yang mendebat, karena memang begitu faktanya.

“Udah dapet warna semua kan ya. Gue juga punya warna buat lo nih, Sion.” Sekarang Koni yang mengambil alih diskusi warna itu.

“Wah gue penasaran juga nih sama warnanya Sion. Yang bener lu milihnya, Bang.” Simba tak sabar mendengar penjelasan Koni tentang pilihan warna itu.

“Warna paling cocok buat Sion tuh biru,” ujar Koni.

“Alasannya?” tanya Simba lagi. Sion yang menjadi pemeran utama menatap Koni menunggu jawabannya.

“Tiap kali liat Sion tuh dia punya kesan cool. Maksudnya cool disini bukan keren, tapi lebih kayak kalo lo liat dia hati tuh kayak 'nyess' disiram air es.” Koni memberi jeda penjelasannya. Melirik ke yang lain “coba aja sekarang kalian liat dia.” Tanpa babibu kelimanya memandang serentak ke arah Sion.

“Apaan sih pandang-pandang. Udah ah, risi gue.” Sion memundurkan wajah abang-abangnya yang memang sengaja menggodanya. Mereka terkikik melihat teman termudanya itu tiba-tiba salah tingkah.

Sore itu terlewatkan dengan bincang tentang warna gumpalan awan. Hingga tak terasa langit malam sudah menampakkan wujudnya. Cangkir kopi yang menemani mereka pun juga sudah kosong. Keenam pemuda itu kemudian melangkahkan kakinya ke arah vila. Namun sebelumnya mereka berbalik, kembali menatap langit senja dengan imajinasi gumpalan awan berwarna sesuai warna diri mereka.

Siapa bilang laki-laki tak bisa menangis. Siapa bilang laki-laki tak bisa sakit hati. That's all bulshit! Nyatanya aku disini kembali menangisi kepergiannya.

Sial! Ada apa dengan suasana malam ini? Udara dingin yang menusuk, riak tenang danau, semua ini seakan memaksaku kembali ke momen menyakitkan itu.

“Kita gak bisa terus-terusan seperti ini,” gadis itu memulai obrolan malam itu. Dia bilang ingin menyampaikan hal penting dan harus ketemu katanya. Dan akhirnya kita berakhir duduk di bangku pinggir danau ini.

Dia memberi jeda perkataannya. Pastinya ini bukan obrolan yang ringan. Akupun tak segera menanggapinya. Sebenarnya aku tahu kemana arah pembicaraan ini. Semua ini berat untukku dan untuknya.

Aku menghela napas berat sebelum akhirnya menanggapinya.

“Lalu, maumu apa?” kataku, mencoba untuk mengatakannya setenang mungkin. Padahal dalam diri ini hati dan pikiranku sedang ramai berperang. Aku mengeratkan rahangku, menahan semua emosi yang mungkin akan meledak sewaktu-waktu.

Kulihat air matanya mulai menggenang di kelopak matanya. Ah s*it! Aku mengumpat diriku dalam hati. Aku gagal, janjiku untuk tak membuat gadis itu menangis lagi begitu mudahnya kuingkari.

Dia menarik napas dalam, bersiap melanjutkan perkataannya.

“Sepertinya kita butuh waktu untuk diri kita masing-masing” Dia mengambil jeda lagi, sepertinya sangat berat juga untuknya “cukup sampai disini, Van.” Gadis itu perlahan berdiri, diam tanpa kata seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang dilakukannya sudah benar.

Dia menoleh ke arahku tanpa memandangku. Dan mengatakan kalimat keramat yang sangat tak ingin aku dengar malam itu.

“Terima kasih untuk semuanya, Van. I really enjoyed our time these past 2 years.” Ia mengatakannya sangat lirih, seolah sedang menahan tangisnya yang akan pecah mungkin dalam hitungan detik kedepan. Gadis itu berlalu meninggalkanku sendirian di bangku itu. Tanpa menunggu respon dan jawabanku. It's okay, aku paham dia takkan betah menahan tangisnya lebih lama dari itu.

Kini tinggal aku sendiri disini, ditemani semilir angin malam dan sunyinya danau. Tak ada suara lain selain gemerisik gesekan daun pepohonan. Sepertinya alam sangat memahamiku malam itu. Mereka membiarkanku merenungi apa yang baru saja terjadi. Angin, pohon dan danau sunyi itu seolah menikmati pertunjukan yang baru saja disuguhkan kepada mereka.

Mereka menjadi saksi kebodohan seorang Yovan. Yang membiarkan gadisnya pergi tanpa ada sedikitpun usaha mempertahankannya. Kenapa aku bisa sebodoh itu? Bahkan tanganku yang ingin menahannya, lidahku yang ingin kugerakkan untuk menjawabnya mendadak tak berfungsi. Mereka tak mau mendengarkan perintahku malam itu.

Sampai malam ini, tepat satu tahun setelah kepergiannya momen itu merupakan salah satu penyesalan terbesarku. Aku tak berani menghubunginya setelah malam menyakitkan itu. Bahkan aku tak berani menanyakan kabarnya pada teman dekatnya. Sepengecut itu memang seorang Yovan.

Entah kenapa dorongan untuk menghubunginya makin kuat malam ini. Aku menuju wartel terdekat. Tentu aku tak berani menelpon dengan ponsel pribadiku. Dengan ragu aku menekan nomer ponsel gadisku, yang bahkan kuhafal di luar kepala. Nada sambung terdengar dari seberang sana. Saat ini hatiku sudah tak karuan. Dia tak mengganti nomer ponselnya.

Tuut.. Tuut..

Masih belum ada jawaban dari seberang. Aku pasrah, memang waktu itu aku tak berharap lebih. Aku berniat menutup telepon itu, ketika tiba-tiba ada suara wanita dari seberang.

“Halo?” Ah itu suaranya. Suara gadisnya yang sangat ia rindukan. Aku tak meresponnya karena hati ini tiba-tiba perih. Mengingat suara gadis di seberang itu bukan gadisnya lagi.

“Halo? Siapa ya?” Cukup, Van. Kau benar-benar takkan kuat menjawabnya. Bagian lain dari diriku memberitahuku itu. Dan kuakhiri acara teleponku malam itu. Kubiarkan gagang telepon itu menggantung, terlalu lemas aku untuk mengembalikan pada tempatnya.

Kembali kulangkahkan kakiku ke arah bangku danau. Setidaknya ada danau sunyi disana yang menemaniku. Aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi notes. Entah kenapa aku ingin menuliskan sesuatu untuk malam ini.

~ How do i describe this? This is like a timeline Of the moments from we were in love In the end, there's just sad ending ~

Tiba-tiba sebuah teori lewat di kepalaku. Ah beginikah cara Tuhan menghukumku. Inikah cara Tuhan untuk menyadarkanku bahwa semua di dunia ini tak selalu harus sesuai ekspetasiku?

Jika ada yang melihatku seperti malam ini mereka pasti takkan menyangka, mereka bahkan takkan percaya walau aku menceritakannya sendiri. Karena di mata mereka hanya ada seorang Yovan, CEO muda dengan karirnya yang selalu menanjak. Tanpa tahu bahwa Yovan yang mereka kenal juga bisa menjadi lelaki menyedihkan hanya karena seorang wanita. Mungkin hanya danau sunyi yang akan percaya, karena ia menjadi saksi semuanya.

Inside the empty spot in my heart There’s a piece called you taking place I just know it At first glance I saw you

Kalian percaya pada cinta pandangan pertama? Kalau bagi sebagian orang hal itu adalah bullshit. Tapi tidak untukku. Aku mempercayai hal itu ada, karena aku adalah bukti nyatanya.

Namaku Siyon, pemuda sederhana berumur 20 tahun yang tinggal di salah satu kota kecil negara agraris ini. Aku tidak terlahir dari keluarga dengan ekonomi yang berkecukupan, dan hal itulah yang membuatku harus berdiri berjam-jam di sini memasang topeng ramah sepanjang hari, menyambut mereka yang datang kemari untuk memuaskan hasrat membaca mereka.

Ya, sekarang ini aku bekerja di sebuah toko buku. Hanya itulah pekerjaan paling layak yang bisa kudapatkan di masa sekarang ini. Apa sih yang bisa diharapkan dari anak lulusan SMA. Tak ada skill tertentu yang kumiliki. Di zaman yang serba mengandalkan tingginya lulusan sekolah ini, persaingan kerja seperti itu bukanlah sesuatu yang layak kuperjuangkan. Aku hanya akan kalah sebelum memulainya dan itu hanya akan menghabiskan waktu dan energiku saja.


Bekerja di Yurfafbuk merupakan sebuah keberuntungan bagiku. Selain nuansa toko buku yang klasik dengan semua barang-barang antik yang dipakai untuk semua perabotan di sini merupakan salah satu hal favoritku. Bau khas dari kayu ketika aku melangkahkan kakiku masuk ke Yurfafbuk seketika bisa menghilangkan semua gundah yang sebelumnya bersemayam di hati.

Mendapatkan Bos Hans sebagai bosku juga satu hal yang tak pernah terlewatkan untuk kusyukuri. Pria paruh baya itu sudah menjadi kawan, sekaligus ayah keduaku di sini. Pribadinya yang hangat, humble, dan sangat ramah terhadap siapapun, membuatku ingin menjadi seperti Bos Hans. Sungguh, aku merasa Tuhan benar-benar sangat baik padaku. Apalagi setelah skenarioku dengan Kania terjadi.

Pertemuan pertamaku dengannya terjadi di waktu siang. Ketika perpaduan langit biru dan semilir angin siang menjadi background datangnya gadis itu. Netraku yang menangkap bagaimana angin memainkan surai hitamnya, lalu dengan jemari lentik itu ia perlahan menyisipkan helaian rambut yang jatuh di wajahnya. Ah, Tuhan ... Engkau memang pembuat skenario terindah.

“Selamat siang.” Bahkan suaranya pun sangat sopan masuk di telinga. Raga ini seperti tersihir ketika mendengarnya.

“Halo?”

“O-oh. Ya, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Kak?” Shit. Kesan ramah yang ingin kubangun pertama kali malah berakhir dengan kegagapan saat menyambutnya.

“Mau cari novel Ilana Tan series, Kak. Di sini ada enggak, ya?”

Wah, penggemar karya Ilana Tan ternyata.

“Ada, Kak. Di lantai 2B. Mari saya antar.”

“Ah, tidak usah, Kak. Saya sendiri saja enggak apa-apa. Kasian customer lain yang datang nanti kalau tidak ada yang menyambut mereka di sini.”

Saat itulah aku melihat sebuah senyum simpul termanis di wajah gadis itu. Sepertinya aku benar-benar tersihir, mataku masih saja mengikuti kepergian sosoknya sampai punggung itu benar-benar hilang dari jangkauan mataku.

Bukan sekali dua kali gadis-gadis dengan paras cantik menyambangi toko ini. Walaupun kebanyakan dari mereka hanya mampir dan pulang tanpa melarisi buku kami.

Mereka tuh cuma pengen liat kamu, Yon. Bukan beli buku di sini. Begitu goda Bos Hans kapan hari bosku lengkap dengan 'hehe' khasnya. Aku sendiri tak setuju dengan perkataan beliau. Apa sih yang bisa dikagumi dari pemilik paras pas-pasan ini.

Jam 10-12 adalah waktu dimana deru jantung ini berpacu lebih cepat dibanding jam-jam lainnya. Bunyi lonceng masuk yang terdengar di rentang jam itu seolah berubah menjadi suara merdu seruling bambu. Ah, jadi begini rasanya tersihir oleh rasa bernama cinta. Padahal diriku selalu saja merasa cringe ketika mendengar rekan kerjaku bercerita membangga-banggakan pasangan mereka.

Dasar bucin. Selalu begitu batinku, ketika menyaksikan tingkah mereka membicarakan pasangannya. Lalu kini, aku termakan oleh omonganku sendiri. Haha betapa lucunya hidupku ini.

Kania namanya. Aku tahu itu dari id member miliknya. Tak mungkin aku menanyakannya langsung, bukan? Aku bukan pemberani seperti itu. Ternyata ia memang sudah menjadi pelanggan setia toko buku ini. Kania ... bahkan dari namanya saja saja sudah menyejukkan hati.

Udah. Kalau emang suka tuh bilang aja, Yon. Kania itu gadis baik, sabar, cocok tuh sama kamu yang kalem-kalem tapi gahar. Intensitas menggoda Bos Hans semakin sering akhir-akhir ini. Bukan tanpa alasan. Tapi karena aku sudah mengajukan surat pengunduran diriku.

Ya, dalam hitungan minggu aku akan meninggalkan negeri khatulistiwa ini. Ada panggilan dari tempatku melamar kerja di negeri Paman Sam sana. Aku melamar kerja sebagai juru masak di sebuah kapal pesiar.

Dari dulu memang aku sangat tertarik dengan segala hal berbau masak-memasak. Melihat wajah ibuku yang sumringah ketika mengolah masakan untuk kami di rumah, tak hanya perut ini yang kenyang dengan masakannya tapi hati ini juga penuh merasakan rasa cinta yang ibu curahkan saat memasak. Satu hal yang menjadi pemantikku untuk belajar memasak, agar aku bisa menyalurkan rasa hatiku lewat masakan.

Berbagai emosi kurasakan saat ini. Tak mungkin aku tak senang dengan hadiah Tuhan ini. Tapi di satu sisi aku akhirnya akan berpisah dengannya. Kania, gadis yang beberapa bulan terakhir ini mengisi bagian puzzleku yang selama ini tak pernah ada yang pas mengisi bagian itu. Dia yang telah melengkapi hari-hariku dengan semua lakunya. Kania ... satu nama yang telah mencuri hampir semua atensiku karena keberadaannya.

Kembali aku teringat perkataan Bos Hans, kalau kamu memang suka, bilang aja, Yon. Menyatakan perasaan itu bukan sebuah dosa di mata Tuhan.

Hati ini bimbang. Tiba-tiba ada rasa posesif yang muncul dalam diri. Padahal aku tahu, mungkin nama Siyon tak pernah ada dalam hatinya. Ah, bukan. Lebih tepatnya eksistensi seorang Siyon tidak pernah Kania tahu selama ini.

Aku terlalu pengecut, hatiku terlalu takut untuk sekedar menyapanya. Memandangnya dari kejauhan adalah yang selama ini kulakukan. Mengamati setiap gerak-gerik kecil yang ia lakukan. Senyum tipis yang seketika muncul di wajahnya ketika ia menemukan bacaan yang lucu atau menarik untuknya. I'm just a secret admirer.

Akhirnya hari keberangkatan tinggal menunggu hitungan jam. Dalam 24 jam aku akan benar-benar pergi meninggalkan negeri ini. Genggaman tanganku pada sebuah amplop coklat klasik dengan tali jerami itu semakin erat. Detikan jarum jam dinding yang berada di atasku entah mengapa terdengar semakin jelas di telinga. Suara lonceng pintu yang tiba-tiba berbunyi karena dorongan sebuah tangan sukses menambah kuantitas keringat dingin di telapak tanganku. Ketika kulihat raganya mendekat meja resepsionis, segera kukumpulkan semua sisa mental. Beberapa langkah lagi jarak Kania denganku dan saat itu langsung kusodorkan amplop itu.

“Ini untukmu, Kania!”