write.as

Untuk Mamah, Tara Bertahan

“Dimakan ya. Gue pulang dulu.”

Setelah mengantarkan kue untuk gadis kesayangannya saat ini, Meghantara Prakasa mengarahkan kendaraannya untuk pulang kerumah.

Malam ini, Tara akan memberitahukan kepada mamahnya bahwa ia sedang tidak baik baik saja. Ada penyakit yang ia pendam sendiri. Benar kata dokter Jon, setidaknya mamahnya harus tau tentang penyakit ini sebelum terlambat.

Sesampainya ia dirumah, ternyata mamahnya masih sibuk dengan peralatan kue nya.

“Assalamualaikum mah”

“Waalaikumusalam sayang.” Mamah Tara menjawab dari arah ruang tamu

“Mah, udah malam loh. Masih sibuk aja nge roll kue begini...” Tara menghampiri mamahnya dan duduk di karpet ruang tamunya tersebut.

“Iya sayang, pesanan nya numpuk banget. Kan sebentar lagi natal, temen temen mamah banyak yang pesen kue buat hampers katanya.” Perempuan tersebut menjawab sambil fokus menggulung adonan kue

“Mah, Tara mau ngomong sama mamah...” Ucap Tara dengan posisi kepala menunduk

“Ada apa sayang? Yang tadi ya kamu chat mamah?”

“Mah, dunia Tara hancur.” Seketika ruangan itu hening kembali dengan tetesan air mata milik lelaki ini

“Eh sayang, kamu kenapa? Kok nangis?” Mamah Tara menghampiri nya dan mengusap kepala anaknya ini

“Kenapa? Cerita cerita sayang”

“Sakit mah. Sakit.” Tara memeluk mamahnya dan Isak tangis nya terdengar keras kali ini

“Apanya yang sakit sayang?” Mamahnya berusaha menenangkan anak lelaki satu satunya ini

“Tuhan jahat banget ke dunia Tara mah. Tara bertahan selama ini dari ribuan panah yang menusuk seluruh tubuh Tara. Banyak air mata yang tara tumpahkan di pipi Tara sewaktu masa remaja Tara karena ayah yang selingkuh dan nyiksa Tara. Tara berusaha menahan untuk gaada lagi air mata yang turun dan sekarang Tara udah gabisa nahan. Ini puncaknya mah. Puncak dari takdir tuhan ke Tara. Tara gatau harus gimana lagi, dunia Tara bener bener hancur mah.” Tara semakin menjadi dengan tangisannya

“Maafin mamah sayang. Karena pernikahan mamah yang tidak sempurna menjadikan kamu sebagai wadah dari kelakuan lelaki itu. Tidak seharusnya kamu menerima kekerasan seperti itu.” Mamahnya kini mulai menunjukkan raut wajah penyeselan

“Tara boleh marah ke mamah Gpp. Mamah siap. Yang penting anak mamah bahagia. Ya nak?”

“Mah, Tara mengidap kanker darah stadium 2 mah.” Tara Baru saja memberitahu penyakit yang ia derita.

Mamahnya dengan perlahan menjatuhkan diri ke lantai dengan raut muka yang berkaca kaca

“Mah”

Plak

“Mah....” Tara melihat mamahnya sendiri menamparkan jari jarinya ke muka milik wanita tersebut.

“Tampar mamah Tara, tampar!”

“Kenapa mamah bodoh sekali dalam hal seperti ini!? Kenapa mamah tidak tahu kalau anak mamah sedang sakit dan berjuang sendiri!”

“Mah ini bukan salah mamah”

“Mamah udah gagal jadi orang tua kamu Tara! Kenapa kamu yang harus menerima hal ini bukan mamah aja!”

“Mah..” Tara berusaha menghentikan mamahnya yang memukul bagian wajahnya

“Ini bukan salah mamah. Ini salah Tara yang terlalu menyepelekan penyakit Tara. Ini udah jalannya mah.”

Pecah tangis Orang tua dan anak tersebut membuat seisi rumah yang tadinya hening menjadi pertumpahan air mata. Mamahnya menganggap bahwa penyakit Tara adalah dosa yang ia perbuat di masa lalu. Ia merasa gagal menjadi orang tua.

“Nak, kita jalanin sama sama ya? Usahakan kamu tetap sehat dan hidup lama. Jangan jahat sama diri kamu sendiri, apalagi badan kamu. Mamah sayang kamu apapun yang terjadi dan kamu juga harus gitu. Ya sayang? . Kita lawan penyakit kamu se maksimal mungkin. Berapa banyak biayanya, mamah usahakan. Yang penting kamu sehat.”

Tara hanya mengangguk dan memeluk erat tubuh mamahnya. Ia bersyukur mempunyai mamah yang masih berdiri disisinya. Mungkin benar, anak lelaki memang ditakdirkan bersama ibunya. Sedangkan anak perempuan, ditakdirkan bersama ayahnya.

Perasaan yang tertahan di benak lelaki ini sudah di lepas. Tidak ada lagi rahasia yang disembunyikan. Meskipun diberi jalan yang seperti ini. Tara yakin dengan figur mamahnya, ia semakin kuat untuk melawan penyakitnya ini.

“Mah, makasih ya mah. Tara beruntung punya mamah di hidup Tara.”