hechanji

saveara

Hari jumat adalah hari yang bisa dikatakan surga untuk para mahasiswa semester akhir ¬–ralat, semua orang. Katanya Hari Jumat itu hari dimana kita dapat mulai mereleksasikan segala jiwa dan raga setelah selama lima hari melaksanakan aktivitas. Tapi hal itu sepertinya tidak berlaku buat perempuan bernama Anindira Tara, karena mood dia jelek dari kemarin.

Sekarang pukul satu siang, matahari terik banget diluar dan Ara lagi rebahan di kasur dengan AC kamar yang langsung menghadap wajahnya. Usai kejadian tempo hari –dimana dia kecelakaan dan membuat tangannya harus di gips– Ara susah melaksanakan aktivitasnya dengan maksimal. Tapi untung aja untuk urusan akademik dia diberikan keringanan oleh beberapa dosen, seperti laporan praktikum yang bisa diketik (aslinya ditulis tangan).

Sebenarnya Ara ada kelas tadi pagi, tapi dia memutuskan untuk memakai jatah absen karena alasan yang sepele, belum keramas. Perempuan itu belum keramas sudah satu minggu, terhitung sejak “kejadian” waktu itu. Sebenarnya bisa aja Ara pergi ke salon, lebih praktis dan akan dilayani sampai rambutnya kering, akan tetapi mengingat sekarang sudah tanggal tua, dan token listrik sudah berbunyi, dia mengurungkan niatnya.

Setelah curhat ke Arsya perihal rambut lepek, cowok itu berjanji akan ke kosan Ara setelah selesai kelas dan membantu perempuannya untuk keramas. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 13.20 dan cowok itu belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Ara kemudian mengambil ponselnya, berniat mengirimkan pesan ke Arsya. Tapi, belum sempat Ara melakukan hal tersebut, dia sudah terdapat pesan masuk dari Arsya yang mengatakan bahwa sudah dibawah. Dengan segera Ara turun kebawah membukakan pintu dan pagar.

“Kok lama?” tanya Ara setelah dia mempersilahkan Arsya memasuki kosannya. Arsya tidak menjawab, melainkan memperlihakan kantung plastik dari supermarket dan memberikannya kepada Ara.

“Apa nih?”

“Buka aja hehe.” Ara kemudian membuka plastik tersebut dan mendapati isinya berupa hair vitamin, hair mask, shampoo dan juga conditioner.

“Loh? Buat apa ini, Sya?”

“Buat rambut kamu,” jawab Arsya sembari membuka topi dan menggantungkannya dibalik pintu kamar Ara. “Pas nemenin kamu tidur balik dari rumah sakit, aku kan pipis di kamar mandi kamu, terus lihat kalau alat tempur rambut kamu tinggal sedikit, yaudah deh sekalian aku beli karena kamu minta dibantuin keramas.”

Mendengar jawaban dari Arsya, Ara hanya bisa menatap lelaki tersebut dalam diam, soalnya ini ‘kan tanggal tua. “Gausah bingung kayak gitu. Kalau kamu lupa, Dogecoin semalem naik 20%,” sahut Arsya seakan mengerti raut wajah Ara.

“WOW KAMU MASIH HOLD DOGE?”

“Iya. Pas harganya turun aku beli lagi, spekulasi aja sih, eh ternyata naik, aku jual aja mumpung tanggal tua. Lumayan cuannya bisa buat bayar token listrik.”

“Arsya,”

“Ya?”

“Kalau kamu dapet rekomendasi coin sama saham tolong kasih tau, aku belum cuan dari kemarin.”

“HAHAHA siap sayang. Yaudah buruan siap-siap, jadi gak aku bantu cuci rambutnya?”

“Jadi, ayok!”

Setelah itu mereka bergegas jalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamar Ara. “Ra, ini aku harus gimana ya?” tanya Arsya kebingungan.

“Kamu basahin aja rambut aku, terus yaudah kasih shampoo, conditioner, terus bilas. Kayak keramas biasa.”

“Kalau baju kamu basah gimana?”

“Yaa tinggal ganti baju?”

“Bener juga ya,” Arsya terdiam dan kemudian melanjutkan kembali perkataannya, “kalau gitu aku siram kamu sebadan aja boleh?” sambung Arsya dengan tampang tanpa dosa.

“GAUSAH NGADI-NGADI!” sahut Ara sambil mencipratkan sedikit air ke wajah Arsya.

“Eh iya-iya ampun Ra hehe.”

Setelah percakapan aneh mereka selama 30 menit, tujuan utama Arsya ke tempat Ara baru terlaksanakan. Sesuai arahan Ara, Arsya mengguyur kepala perempuannya dengan hati-hati agar tidak membasahi satu badan Ara. Setelahnya, lelaki itu mengambil shampoo yang tadi baru dia beli. He runs his hand that full of bubbles of shampoo through her hair tenderly. Arsya kemudian mengambil gagang shower untuk membilas shampoo dan dilanjutkan dengan pemakaian conditioner.

‘Ritual’ keramas Ara –yang dibantu Arsya– akhirnya selesai setelah 15 menit. Setelah menyelimuti kepala Ara dengan handuk, mereka berdua keluar dari kamar mandi dan menatap kondisi masing-masing.

“Pft, aku yang keramas kok kamu yang basah kuyup?” ejek Ara saat mendapati pakaian yang dikenakan Arsya basah.

“Ya gimana gak basah kalau kamu dikeramasin gabisa diem kepalanya, jadi kena kan bajuku!” rajuk Arsya sambil sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Mau ganti baju gak?” tawar Ara.

“Huh? Gausah,” Arsya menggantungkan kalimatnya, “aku shirtless aja,” lanjutnya.

“GAUSAH NGADI-NGADI!” teriak Ara kesekian kalinya. Ya gimana ya, walaupun Arsya lepas atasan sekalipun memang tidak mengumbar auratnya, tapi kan Ara salah tingkah! Belum lagi mereka cuman berdua di kamar kosan Ara #SaveAra.

“Terus nanti kalau aku masuk angin gimana Ra?” rajuk Arsya. Ara tidak menjawab, melainkan berjalan ke lemari pakaian dan mengambil oversized sweater yang dia punya, kemudian menyerahkannya ke Arsya.

“Pakai ini aja, kayaknya muat sama kamu, hm, gatau sih, paling agak pressed, tapi gapapa lah ya yang penting bisa dipakai.”

Sweater tersebut diterima oleh Arsya, dan lelaki itu melangkahkan kakinya kembali ke kamar mandi –atas perintah Ara, karena sebelumnya Arsya berinisiatif mengganti di kamar– dan kembali dengan sweater berwarna biru.

“Muat kan?” tanya Ara. Arsya tidak langsung menjawab, dia berjalan mendekati Ara yang sedang menyisir rambutnya dengan satu tangan, kemudian ia mengambil sisir yang Ara genggam.

“Muat kok, tapi agak pendek dikit sih, kayak pakai crop top,” jelas Arsya sembari menyisir rambut panjang Ara.

“Rambut kamu udah panjang ya. Kayaknya awal tahun kemarin potong gak sih?”

“Iya. Kayaknya karena aku Bahagia jadinya cepet panjang?” jawab Ara asal.

“Emang ada korelasi antara kebahagiaan dengan percepatan tumbuh rambut seseorang, Ra?” tanya Arsya sambil memakaikan hair oil pada rambut Ara yang telah selesai ia sisir. Lelaki itu mengusapkan tangannya kesela-sela rambut Ara mulai dari pertengahan hingga ujung rambut.

“Mungkin ada? Soalnya kan bahagia, jadi sel-sel rambut aku seneng, terus tumbuh deh. Tapi gatau sih aku sotoy aja, hehe.” Jawab Ara diakhiri dengan cengirannya. Perempuan itu kemudian memberikan hair dryer yang telah ia ambil pada laci, dan memberikannya kepada Arsya. Dengan sigap lelaki yang menggunakan sweater biru tersebut mencolokkannya pada stop kontak terdekat dan mulai mengeringkan rambut Ara.

“Kalau gitu, berarti kamu bahagia dong ya sama aku?” Arsya bertanya dengan nada yang penasaran.

“Bahagia gak ya? Hmm, sebentar aku pikir dulu,” ledek Ara. “Ih, Ra serius!” sahut Arsya.

“Ya bahagia! Menurut kamu nggak gitu?” Ara membalikkan badannya, sehingga mereka berhadapan dan dapat menatap satu sama lain.

“Aku ngejar kamu dari kita maba ya hey kalau kamu lupa. Belum lagi kamu gak peka, dan banyak betul perempuan lain di kampus bahkan diluar kampus juga deketin kamu, terus KATING GANJEN UGH kesel banget aku kalau inget cerita itu, dra– DUH AKU BELUM KELAR NGOMONG!” ocehan Ara terhenti saat Arsya membalikkan badannya seperti semula, dipunggungi.

“Udah, cukup, aku tau jawaban kamu hehe,” tutur Arsya. Kemudian ia melanjutkan kegiatan pengeringan rambut Ara menggunakan hair dryer yang sempat tertunda tadi.

“Lagian aneh-aneh aja kamu tuh nanya!” sungut Ara.

“Ya aku ‘kan iseng doang, Ra, eh ternyata kamu nge-respon seheboh itu, aku gak expect tau!”

“Emang kamu berekspektasi aku jawab gimana?”

“Ya jawab kayak biasa aja, kayak aku bahagia bangetttttt atau menurut kamu? Ya jelas bahagia lah ya pokoknya seperti jawabanmu biasanya gitu, Ra.”

“Hnggg, aku seharian bete soalnya.”

“Karena rambut kamu lepek?”

“Iya huhu,” jawab Ara dengan wajah yang sedih.

“Kayaknya kamu mau haid deh,” ucap Arsya. Mendengar perkataan Arsya, Ara kemudian mengambil ponselnya yang terletak diatas kasur dan membuka aplikasi penanda setiap dia mendapat ‘tamu bulanan’.

“Eh iya bener. Kok kamu inget? Aku aja nggak sadar.”

“Iya, soalnya udah lama gak denger kamu ngomel-ngomel hal gajelas,” kekeh Arsya

“APA-APAAN??” gerutu Ara. Kemudian perempuan itu mencubit pelan lengan Arsya.

“Eh iya-iya ampun canda beb, duh Ara ampun iya, maaf. Mau martabak gak?” tanya Arsya secara tiba-tiba.

“Gas!” Ara kemudian beranjak dari kursi, mengambil topi dan memakaikan dirinya jaket denim, “Yuk jalan sekarang, kita beli martabak!” seru Ara bagai semangat juang kemerdekaan.

“Hah?” Arsya hanya bisa melongo. Rupanya satu hal yang Arsya lupa bahwa selama Ara PMS atau haid adalah perempuan itu akan terlalu aktif seperti tidak kenal kata lelah.