sweettynsaltt

“Good morning, pretty.”

Niko tersenyum, menyapa Ezra yang baru saja masuk ke dalam mobilnya. Mengambil alih tas yang Ezra bawa lalu menaruhnya di kursi belakang.

“Thank you.” Ucap Ezra pelan, tangannya baru saja akan mengambil seatbelt sebelum Niko bergerak terlebih dahulu memajukan tubuhnya, menarik seatbelt, mengecup bibirnya sekilas, lalu memasangkannya.

Wajah Niko di pukul pelan oleh jari-jari Ezra yang masih terasa dingin, “Ada aja dah modusnya.”

Kekehan pelan langsung keluar dari mulut Niko, tangannya kembali terulur untuk merapihkan rambut Ezra yang sepertinya memang dibiarkan berantakan. Lalu menyentuh ujung hidung bangir Ezra sekilas dengan telunjuknya.

“Ready?”

“I always be ready.”

Niko mendengus dengan senyum tipis di wajahnya. Ia kembali menyalakan engine, lalu menoleh ke arah Ezra. “Gak ada yang ketinggalan kan?”

“Enggak.” Ezra menggeleng, menoleh menatap Niko disebelahnya. “Lagian kalo ada yang ketinggalan juga gampang, tinggal beli aja disana.”

“Oke.”

Setelah itu, kaki Niko menginjak pedal gas dan mobil putih itu melenggang meninggalkan parkiran basement apartemen Ezra.

“Eh ini berapa jam Nik sampe disana?” Tanya Ezra, “Btw, gua setel musik ya, biar gak sepi-sepi amat.”

“Tiga jam kalo enggak macet,” Sahut Niko sambil memutar stir mobil dengan sebelah tangan. “Tapi kalo macet ya, bisa lebih dari tiga jam.”

“Lama juga ya,” Ezra bergumam. “Lewat toll kan?”

“Iya, itu lewat toll, cantik.” Niko menoleh sekilas sambil tersenyum tipis, “Kalo lewat jalan alternatif biasa, bisa lebih dari tiga jam. Belum lagi kalo ada macet.”

Kepala Ezra hanya mengangguk paham, kembali menyenderkan punggungnya pada jok saat ponselnya sudah tersambung dengan bluetooth mobil. Jarinya bergerak menggeser layar ponsel, memilih lagu yang cocok untuk di dengarkan.

Each time you fall in love milik CAS mengalun perlahan. Ezra menarik nafasnya, melirik Niko sekilas yang sedang berkonsentrasi pada jalanan lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar.

“Lo udah sarapan, Zra?” Tanya Niko.

“Udah.” Sahut Ezra cepat, “Cuman minum susu sama makan sereal sih tadi sedikit.”

“Mau makan lagi gak? Atau beli cemilan gitu? Sebelum masuk toll.” Tanya Niko lagi, melirik Ezra sekilas dengan ujung matanya.

Ezra menggeleng, “Enggak ah, gua juga lagi males ngemil. Nanti aja berhenti di rest area kalo apa.”

“Hm yaudah kalo gitu.” Niko hanya menganggukan kepalanya tipis, “Kalo mau makan permen, itu buka aja di laci dashboard. Gua semalem beli permen dua bungkus.”

“Banyak banget lo beli dua bungkus?”

“Buat stok aja sih.”

Ezra terkekeh, “Kebanyakan kali kalo mau nyetok, sampe dua bungkus gitu.”

“Ya gapapa dong, cantik.” Niko menoleh sekilas, mengusak rambut Ezra gemas lalu kembali menatuh tangannya di stir mobil. “Kalo lo ngantuk, tidur aja ya.”

“Kalo lo ngantuk, gantian aja nyetirnya ya.”

“Hahaha,” Niko tertawa pelan, membuat lesung pipi di wajahnya terlihat jelas. “Gak ah, gak mau gantian.”

“Dih kok gitu?” Tanya Ezra dengan nada protes, “Lu kan belum pernah gua setirin, kali-kali lah.”

Niko menggeleng, “Gak mau ah. Lagian gua juga gak bakalan ngantuk kok. Kasian kalo lu yang bawa, nanti capeknya doubel.”

Sebelah alis Ezra naik, menatap Niko dengan pandangan bingung. “Kok capeknya double?”

Seringai tipis Niko munculkan di wajahnya, kepalanya sedikit mendekat ke arah Ezra lalu menyahut dengan suara pelan. “Capek di jalan, capek di ranjang.”

“Dih apaan sih!” Ezra langsung memukul bahu Niko pelan dengan kepalan tangannya, wajahnya seketika memanas. “Gini-gini gua juga cowo, masih kuat lah kalo nyetir abis itu ngeladenin lu di ranjang.”

“Masa?”

“Bodo amat deh.”

Niko tergelak, kembali menoleh sekilas ke arah Ezra yang sedang menatap jalanan luar. Memperhatikan semburat merah di pipi Ezra yang mendadak timbul, Niko tertawa pelan.

“Iya babe, iya. Udah ah cemberut mulu kerjaannya dari kemaren.”

“Abis lu demen banget bikin gua bete.” Sahut Ezra jutek.

“Yaudah bibirnya jangan dimajuin gitu, mau gua cium emangnya?”

“Nyetir yang bener ya lu, Nicholas.”

“Iya, pretty.”

Ezra melipat tangannya di depan dada, melirik Niko yang sedang menahan tawanya. Bibir Ezra terkulum, sudut-sudut bibirnya berusaha ia tahan agar tidak tertarik ke atas.

Tapi begitu Niko menoleh kembali ke arahnya, tawa Ezra pecah. Matanya menyipit dengan mulutnya yang terbuka lebar, membuat tawa Niko pun ikut menggema.

Sebelah tangan Niko kembali terulur, mencubit pipi Ezra lalu mengusak rambutnya lagi. “Gemes banget.”

“Emang.” Sahut Ezra sambil memeletkan lidahnya. “Baru tau lu kalo gua gemesin?”

“Enggak sih, udah tau dari awal.” Niko juga ikut memeletkan lidahnya. “Ezra si cantik, si gemesin, si lucu. My pretty little doll.”

“Kenapa sih demen banget manggil gua begitu?” Tanya Ezra.

“Kenapa ya? Gak tau, hehehe.” Ucapan Niko langsung dihadiahi cubitan pelan Ezra di lengan atasnya. “Tapi kalo lo ngaca, lo pasti tau jawabannya.”

“Hm? Maksudnya?”

“Ezra, lo emang gak nyadar segitu indahnya lo? I mean, look at your puppy eyes, your sexy lips, your adorable cheeks, your porcelain skin, your pluffy butt-”

“Oke stop, Nicholas.” Sela Ezra tiba-tiba, “That's enough nonsense.”

“What a nonsense, babe? I tell the fact.”

“Just stop talking and focus while you're driving.”

Niko lagi-lagi menoleh sekilas ke arah Ezra. “So cute, pipinya merah tuh.”

“Ish! Diem!”

“Hahahaha -aduh iya iya, ini diem, ah Ezra jangan digigit!” Niko meringis begitu Ezra mencubit lengan atasnya lagi, lalu bergerak mengigit bekas cubitannya. “Kenapa digigit sih, cantik?”

Ezra hanya mendengus, tidak menjawab ucapan Niko barusan dan membuang mukanya kembali ke arah luar. Menyembunyikan semburat merah di pipinya agar Niko tidak meledeknya kembali.

Diam-diam, Niko tersenyum tipis menikmati bagaimana pipi putih itu berubah menjadi merah akibat ucapannya barusan.


Niko membelokan stir mobil ke arah kiri, laju diperlambat, matanya dengan seksama memperhatikan deretan mobil yang berjejer sebelum menemukan satu spot kosong untuknya parkir.

Masih setengah perjalanan, tapi ia memutuskan untuk berhenti sebentar di rest area. Isi kandung kemihnya mendadak butuh di keluarkan.

Setelah mendapati satu spot parkir kosong, Niko langsung memakirkan mobilnya disana. Pedal rem di injak perlahan, rem tangan di tarik, lalu kepalanya menoleh ke arah Ezra yang tertidur di sebelahnya.

“Ezra, hei.” Niko mengelus perlahan permukaan pipi mulus itu. “Cantik, bangun dulu yuk sebentar.”

Ezra tersentak, kepalanya menoleh bingung dengan mata yang perlahan terbuka. Bertanya dengan nada suara serak khas bangun tidur. “Kenapa Niko?”

“Gua mau ke toilet dulu ya bentar.”

Kepala Ezra hanya mengangguk, kemudian menyamankan kembali posisi tubuhnya di atas jok. Meringkuk dengan posisi kedua kaki naik ke atas, refleks merapatkan kembali hoodie milik Niko yang Niko sampirkan di tubuhnya saat ia tertidur tadi.

Niko mengambil dompet serta ponselnya, “Mobil gua biarin nyala ya, Zra.”

Ezra hanya mengangguk sebagai jawaban. Membuat Niko terkekeh lalu dengan cepat keluar dari mobil karena rasa ingin pipisnya sudah mencapai ujung.

Kepala Niko menoleh ke kanan dan kiri, ketika melihat logo toilet, kaki jenjangnya dengan cepat melangkah.

Nafasnya mendesah gusar begitu melihat antrian di pintu masuk toilet yang lumayan ramai. Dari pada memilih kencing sembarangan, dan mitos-mitos jaman dulu tentang kencing sembarangan menghantuinya, Niko lebih memilih untuk ikut mengantri dengan ujung kaki yang ia ketuk-ketuk ke atas lantai untuk menghalau rasa kebeletnya.

Setelah menganti hampir lima menit lamanya, Niko akhirnya masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hasrat buang air kecilnya dengan perasaan lega.

Tidak beberapa lama, ia keluar dari toilet dengan ekspresi wajah lebih enteng dari sebelumnya. Memasukan beberapa lembar uang pecahan ke dalam kotak coklat yang memang sengaja di taruh di depan toilet.

Tapi alangkah terkejutnya Niko ketika kembali ke mobil dan tidak mendapati Ezra di sana. Posisi mobil masih menyala dan tidak terkunci, bahkan matanya juga menangkap ponsel Ezra yang masih tergeletak di atas jok penumpang.

“Ezra!”

Kepala Niko menoleh ke kanan dan ke kiri secara cepat, ia kembali memanggil nama Ezra dengan nada yang naik satu oktaf.

“Ezra! Oh shit!” Dengan gusar, Niko mematikan mesin mobil dan menutup pintu mobil dengan sedikit bantingan. “Ezra Lazuardi!”

Rasa panik langsung menyerangnya. Niko dengan cepat berlari kesana kemari mencari Ezra yang entah pergi kemana itu. Matanya mengedar, bak elang yang sedang mencari mangsa.

“Permisi, Ibu maaf, Ibu ada ngeliat cowok tingginya segini saya gak? pake kaos putih, hoodie abu-abu sama celana coklat selutut?” Tanya Niko pada salah satu Ibu-ibu yang kebetulan berdiri tidak jauh dari tempat mobilnya terparkir.

Ibu-ibu itu menggeleng, “Enggak Mas, saya gak ngeliat soalnya baru aja markir mobil ini, lagi nunggu suami saya ke toilet.”

“Oh makasih bu kalau gitu.” Kepala Niko menunduk sekilas.

Mata tajamnya kembali mengedar, kakinya kembali berlari mengelilingi parkiran namun nihil, ia tidak menemukan Ezra disana.

Otak cerdasnya dengan cepat memberi sinyal untuk pergi ke tempat papan informasi, tapi apa yang di lihatnya setelah sampai di sana hampir membuat Niko mengeluarkan umpatannya yang sedari tadi tertahan.

Ezra disana, mengendong seorang anak kecil yang menangis sambil berusaha menenangkannya.

“Lu kagak ada kerjaan lagi apa selain guling-guling di atas kasur kaya babi guling?” Tanya Tara yang baru saja masuk ke dalam kamar Ezra, menaruh dua kantong plastik di atas meja, masing-masing berisi martabak dan beberapa cemilan.

“Suka-suka gua lah.” Sahut Ezra dengan mata yang fokus menatap layar tivi, “Tolong leparin minum gua dong, Ta.”

Tara mendengus, tapi ia tetap melemparkan botol bening milik Ezra yang tergeletak di atas meja. Mata Tara kemudian terfokus pada dua boneka yang Ezra taruh di masing-masing sisi tubuhnya.

“Itu tuh yang namanya raal?” Tara tergelak, jarinya menujuk dua boneka itu secara bergantian. “Yaelah segala raal, Ezra Alvaro. Inget Ra, lu cuman fwban anyink.”

“Bacot ah.” Ezra mendelik kesal, menggeser posisinya saat Tara mendudukan diri di atas kasurnya. Mendadak ia menolehkan kepalanya ke arah Tara dengan raut wajah berubah antusias. “Eh Ta, gimana? Udah ada yang ngechat lu belum?”

“Hah? Ngechat apaan anjir?” Sahut Tara langsung memasang wajah bingungnya. “Terakhir yang ngechat gua tau siapa dah tuh, sksd banget bangsat, masa tiba-tiba nawarin ketemuan.”

“Hah? Mana coba sini gua liat nomornya.” Ezra mengulurkan tangannya, membuat Tara mengambil ponselnya dari kantung celana dan membuka roomchatnya, lalu menujukannya pada Ezra. “Bentar-bentar.”

Ezra langsung mengambil ponselnya yang terletak di meja kecil samping kasur, lalu menaruh dua ponsel itu di depan wajahnya, matanya melirik berulang kali ke arah dua layar ponsel secara bergantian.

“TARA GOBLOKKK!!” Ezra menjerit seketika, menaruh dua ponsel yang berada di tangannya dengan sedikit bantingan ke atas kasur. Membuat Tara langsung memukul Ezra dengan guling yang kebetulan tepat berada di sampingnya.

“NGAPAIN SIH ANYINK?!”

“Itu nomornya Jonathan, lolllll.”

“Jonathan siapa bangsat?”

“Jonathan bf rent lu anjingg!!”

“Hah demi apa lu nyet?!” Tara buru-buru mengambil ponselnya, menatap layar ponsel dan wajah Ezra secara bergantian dengan cepat. “Jonathan kakaknya si harsa pala mangkok?”

Ezra mengangguk, “Iya taa!!”

“Hah? Kok bisa?! Bentar-bentar kepala gua mendadak lemot.” Tara memasang ekspresi linglungnya.

“Nih jadi gini,” Ezra menegakan posisinya yang tadinya menyender pada kepala kasur, jadi duduk. “Pas kemaren gua main di apartnya Niko kan Jonathan sama Naka dateng tuh. Nah yaudah lah tanding ps sambil ngobrol-ngobrol kita, terus mendadak Jonathan kaya gemes sendiri gitu, gua tanya kenapa terus dia bilang kalo bf rentnya ngasih foto kucing. Makanya dia gemes sendiri.”

“Terus-terus?”

“Gua bercandain lah, coba liat mana kucingnya, terus dia ngasih foto dua kucing gendut kaya sapi gelonggongan. Awalnya gua cuman mikir, ini kucing familiar amat, pas gua tanya dia tau gak namanya, dia jawab Louis sama Leon.”

“LAHHHHH??!! Kucing gua dong itu mah.”

“Ya emang anjir!!” Ezra ngedorong badan Tara gemes, “Pas gua minta liat akun bf rentnya, itu akun lu Taraaaa!!”

“Demi neptunus!!” Tara buru-buru mengambil ponselnya kembali, berkutik sebentar lalu menunjukan layar ponselnya ke arah Ezra. “Foto kucing yang ini?”

“Iyaaaa!!!” Ezra tertawa. “Jonathan emang make nama Nathan di akunnya, coba liat, bf rent lu namanya Nathan kan? Avanya siulet cowo lagi nenteng skateboard?”

Tara dengan cepat mengecek akun twitternya, membuka dm paling atas dengan nama Nathan. Kepalanya langsung mengangguk antusias, “Iya anjingggg!!”

“Hahahaha,” Ezra tertawa terbahak-bahak, kedua tangannya reflek memukuli bantal yang berada di pangkuannya. “Itu yang mau gua kasih tau kemaren pas ngechat lu. Sumpah dunia sempit banget.”

“Ezraaa!!! Kenapa lu gak langsung bilang bangsat!” Tara langsung mencengkram kedua pundak Ezra, lalu menggoyangkan badan sahabatnya itu ke depan dan ke belakang secara cepat. “Jonathan yang tinggi, cakep, yang waktu itu pernah gua celetukin 'kalau pun gua lurus, gua tetep bakalan buka kaki buat dia' itu?”

Ezra mengangguk semangat, membuat Tara langsung bangkit dari posisinya, dan melakukan selebrasi sambil menaik turunkan tubuhnya seperti kucing hendak muntah. “Aaaaa!!”

“Udah cepet lu bales itu chat Jonathan, bukan malah di block.”

Tara dengan tergesa mengambil kembali ponselnya, membuka blokiran nomor yang ia kira orang iseng itu. Jarinya bergerak dengan cepat di atas layar, membuat Ezra terkekeh melihatnya.

Tapi kekehan Ezra mendadak berhenti waktu mengingat sesuatu, perihal ajakan Niko untuk staycation bersamanya. Mau bagaimana pun, Ezra harus tetap memberitahukan ini pada Tara.

“Ta.”

“Ntar dulu Ra, bentar. Ini gua bales basa-basi dulu apa langsung di iyain aja?”

“Ta, gua mau ngomong bentar.”

“Sebentar, Ezra Lazuardi.”

“Ta, gua mau staycation sama Niko weekend nanti.”

Ucapan Ezra langsung membuat jari-jari Tara berhenti mengetik. Kepalanya dengan cepat menoleh ke arah Ezra dengan alis yang menukik tajam.

“Lu ngomong apa barusan?” Ulang Tara.

“Gua mau staycation sama Niko weekend nanti.”

Diam. Tara terdiam beberapa saat sebelum tangannya dengan cepat kembali mengambil guling lalu memukulkannya pada Ezra. “Lu yang iya aja sih, Ra? Gila apa gimana?”

“Niko udah ngereservasi tempat nginepnya juga.”

“Ezraaa!! Demi Tuhan.” Tara reflek memejamkan matanya saat buncahan sumpah serapah ingin keluar dari mulutnya, ia menarik nafas dalam sebelum kembali menatap Ezra. “Ra, gabisa ya buat lu nolak Niko? Sekali aja? Gabisa ya?”

“Taa.” Ekspresi wajah Ezra langsung memelas, “Sekali doang kok.”

“Sekali doang, sekali doang. Lo tuh aduhh, kalo bisa semua hewan kebon binatang gua sebutin, gua sebutin dah, Ra.”

Tara memijit pelipisnya, kepalanya mendadak berdenyut. Satu tarikan nafas dalam ia ambil lagi. “Lu tuh emang salah masuk ke hubungan kaya gini, Ra. Ngomong ke gua aja bakalan susah baper sama orang, padahal aslinya lu cuman berusaha nyangkal rasa baper lu ke Niko kan?”

“Enggak gitu, Ta.”

“Terus gimana Ezra? Gua udah sering ngebilangin lu buat hati-hati sama sikapnya Niko. Tapi apa? Lu gak ada ngedengerin gua sama sekali.”

“Ta ah, jangan marah sama gua. Janji dah itu terakhir kalinya gua ngeiyain ajakan Niko.”

Kedua mata Tara menatap Ezra tajam. “Jujur sama gua, Ra. Lu mulai naro rasa kan sama Niko?”

Ezra terdiam, ia ambil nafasnya panjang sebelum pandangannya menunduk dengan jari-jarinya meremat sprei bantal. Melihat itu, tanpa berpikir dua kali pun, Tara paham maksudnya.

Satu tangan Tara terulur, bertumpu di atas punggung tangan Ezra, lagi-lagi nafasnya menghela berat. “Ra, dengerin gua.”

“Udah gua bilang kan dari awal fwb gak sesimple yang lu kira? Kenapa gua ngomong gitu, soalnya hal yang ngebuat dia gak simple itu gimana cara lu nahan perasaan biar tetep tegak dan gak goyah sama sikap yang di kasih partner lu. Gua sendiri pun ngerasa susah buat tetep stay with flat feeling ke partner fwb gua waktu itu.

Komitmen kalian itu cuman buat seneng satu sama lain. Namanya fwb, gak ada yang chattan intens tiap hari, gak ada yang jalan bareng, gak ada yang nginep bareng. Gak ada, Ra. Mereka saling ngehubungin cuman buat make out doang, setelah itu yaudah, kaya orang gak kenal. Enggak kaya lo sama Niko, melenceng kalian tuh.”

Ezra terdiam, mencerna seluruh perkataan panjang lebar yang Tara ucapkan. Tertawa miris di dalam hati saat baru menyadari kalau hubungannya dengan Niko memang lebih dari sekedar fwb, namun tidak ada status apa-apa diantara mereka selain label fwb itu sendiri.

“Gua gak pernah ngelarang lu buat jatuh hati sama siapapun, tapi lu juga harus tau sama siapa hati lu jatuh, Ra.”

Pandangan Ezra terangkat, menatap Tara dengan raut wajah sedihnya. “Jadi gua harus gimana, Ta?”

Tara terdiam sejenak, kemudian menepuk pundak Ezra sekilas. “Kalo lu emang mau staycation sama Niko, yaudah gapapa. Tapi please Ra, abis itu jangan pernah ngeiyain apapun lagi ajakan Niko selain buat make out. Ataupun kalo lu mau ngudahin hubungan ini sama Niko, gua rasa itu lebih baik sebelum lu jatoh semakin dalem.”

“Tolong, ini sama ini lu singkronin, Ra.” Lanjut Tara sambil menyentuh kepala dan dada Ezra bergantian. “Semua lu yang jalanin, lu yang mulai. Apapun konsekuensinya nanti, ya tetep lu semua yang nanggung. Gua cuman gak mau lu berakhir nangisin Niko yang sebenernya gak guna itu.”

Ezra menghela nafasnya panjang.

Malam itu ia habiskan untuk merutuki hatinya yang tidak bisa di ajak bekerja sama untuk kali ini.

“Hahahaha, sumpah deh Nik, dunia sempit banget ternyata.” Ezra tergelak, kakinya menghentak-hentak ke lantai seraya mulutnya terbuka lebar. “Gua gak tau ternyata selama ini bf rentnya Tara tuh Jonathan.”

Niko terkekeh, ia meniup batang korek setelah menyalakan lilin aromatherapi. “Lo udah kasih tau Tara?”

“Belum,” Kepala Ezra menggeleng. “Biarin aja ntar dia yang di chat Jo langsung, udah gua kasih soalnya nomernya Tara ke Jo.”

“Kaget pasti tuh Tara,” Kata Niko sambil berjalan mendekat ke arah kasur, berdiri tepat di depan Ezra hingga membuat Ezra mendongkak ke arahnya. Tangannya terulur, menyibak rambut Ezra dengan pelan. “Pretty.”

“Segitu cantiknya apa gua di mata lu? Sampe di bilang pretty terus tiap saat?” Tanya Ezra sambil mendengus.

Tawa ringan mengalun dari bibir Niko. “Banget.”

“Berapa orang yang udah lo bilang cantik sih, Nik?”

“Huh?” Alis Niko mengerut bingung. “Gua bilang cantik ke lo doang kok.”

“Alah boong banget.” Kata Ezra sambil menyingkirkan tangan Niko dari atas kepalanya, kemudian ia merebahkan badannya di atas kasur. Matanya menatap Niko dengan seringai tipis di bibir, “Cuddle gak?”

Niko tidak menjawab, tapi ia langsung naik ke atas kasur dan ikut merebahkan dirinya di samping Ezra. Satu tangannya ia jadikan bantalan di belakang kepala Ezra dan satu lagi melingkari perut yang lebih kecil.

Gemas, Niko jepit badan Ezra yang berada di dalam pelukannya itu. Membuat Ezra menjerit seraya memukul-mukul tangan Niko. “Nikooo!! Ih lepas ah!”

“Emmm.” Niko tidak melepas pelukannya, ia menggesekan hidungnya di pipi Ezra dengan cepat sambil terkekeh, membuat Ezra tertawa sambil menjauhkan wajah Niko dari wajahnya.

“Muka lo beler banget deh, Nik.”

“Emang iya?”

“Huum,” Ezra mengangguk, gantian tangannya yang menyibak rambut Niko kebelakang. “Padahal minum lima shoot doang ya tadi?”

“Minumnya sambil liat lo sih, jadi tambah mabok.” Kata Niko pelan, kini ia berganti jadi mengendus leher Ezra, “Wangi lo kaya wangi sabun gua deh.”

“Ya kan tadi pake sabun lu, gimana sih.” Ezra mendumel kepalanya menoleh ke arah Niko yang mana otomatis membuat hidungnya mengenai dahi Niko. “Tipsy tipis-tipis kayaknya nih.”

“Hehehe.” Niko hanya terkekeh pelan, bibirnya maju untuk menciumi leher Ezra.

“So addicted.”

“To what?”

“You.”

Lagi-lagi Ezra mendengus, ia memiringkan badannya menghadap ke arah Niko lalu sebelah kakinya naik ke atas pinggang Niko. “Big baby.”

“Pretty little doll.”

Ezra terdiam, matanya terpejam menikmati kecupan Niko pada lehernya. Sebelah tangannya ia taruh di belakang kepala Niko dan mengelus rambutnya perlahan. Membuat Niko mengeratkan pelukannya hingga tidak ada lagi celah antara dirinya dan Ezra.

“Zra.”

“Hm?”

“Staycation yuk.”

Mata Ezra terbuka, bersamaan dengan Niko yang menjauhkan wajahnya dari leher Ezra. Kedua pasang pupil itu bersitatap selama beberapa detik sebelum Niko mengecup bibir di depannya singkat.

“Staycation dimana?”

“Ciwidey? Mau gak?”

“Hmmm,” Alis Ezra mengerut, “Tapi kan kuliah, Nik. Gua kagak bisa bolos soalnya.”

“Ya kita ambil pas weekend besok aja.”

“Kenapa mendadak mau staycation?”

“Kenapa ya,” Niko menjeda ucapanya beberapa saat sambil terus menatap mata Ezra. “Gua pengen quality time bareng lo aja.”

“Dalam rangka?”

Niko menaikan bahunya sekilas. “Ya gak dalem rangka apa-apa sih, pure mau ngajak lo staycation aja. Lagian lu emang gak butuh healing? Kan capek juga ngampus sama nugas tiap hari.”

“Berdua aja?” Tanya Ezra lagi, tangannya gantian jadi mengelus pipi Niko yang kemerahan, “Apa mau ajak temen-temen lo juga?”

“Kalo ngajak temen-temen namanya bukan quality time bareng lo dong, Zra.” Niko terkekeh, tangannya juga mengelus permukaan pipi Ezra perlahan. “I just want to make a great memories with you. Only with you.”

“Yaudah iya,” Ezra mengangguk, membuat Niko tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat. Iseng, telunjuk Ezra ia tekan di bolongan pipi Niko. “Lucu banget ih.”

“Jangan lo tusuk-tusuk, pretty. Nanti makin dalem gimana?”

“Yeee emang gua bisa lo bego-begoin apa.” Sahut Ezra spontan, bibirnya maju untuk mencium lesung pipi Niko lalu tersenyum lebar setelahnya. Membuat Niko juga membalas mengecup kedua mata Ezra bergantian.

Lalu Niko berakhir mencium bibir Ezra yang berada tepat di depan bibirnya, memberikan lumatan-lumatan ringan seraya mengelus punggung Ezra dengan perlahan. Ezra sendiri tidak tinggal diam, ikut membalas lumatan yang Niko berikan, meleguh tertahaan saat Niko melumat bibirnya agak kencang.

Niko melepas ciumannya ketika merasakan nafas Ezra mulai memendek, dahinya ia tempelkan pada dahi Ezra. Menatap kembali pupil hitam yang mirip dengan batu obsidian itu.

“Ezra.”

“Apa, Niko?”

“Thank you and sorry.”

Alis Ezra mengerut bingung, menatap Niko dengan padangan yang mendadak bertanya-tanya. “Lo ngomong kaya gitu buat apa sih?”

“Gak buat apa-apa, cuman mau ngucapin makasih sama maaf aja.”

“Aneh banget dah.” Ezra berdecak pelan, “Serius, lo udah dua kali ngomong kaya gitu tau, Nik. Tapi lu bilang gak buat apa-apa tuh gimana?”

“Ya gua cuman pengen bilang gitu aja sih.”

“Lo mau ngudahin fwb sama gua?”

“Kenapa nanya gitu?” Nada suara Niko langsung berubah tegas, gantian ia yang mengerutkan alisnya bingung. “Gua gak ada maksud ke situ sama sekali, Zra.”

“Ya abis lo aneh banget, tiba-tiba bilang kaya gitu gak ada purposenya kan bikin gua mikir yang engga-engga.” Sahut Ezra dengan nada kesal. “Udah ah, gak usah ngomong kaya gitu lagi. Kalo emang mau udahan, ya langsung bilang udahan aja. Jangan bikin gua bingung.”

“Astaga,” Niko membuang nafasnya berat, “Enggak gitu, Zra. Iya-iya gua gak akan ngomong kaya gitu lagi, udah ah jangan bete gitu.”

“Lo sih, aneh banget.”

“Iya, maaf ya cantik.” Telunjuk Niko terulur untuk mengelus kerutan di alis Ezra agar cepat menghilang, “Ezra, jangan cemberut ah.”

Ezra hanya melempar tatapan kesalnya pada Niko sebelum ia tersentak begitu mengingat sesuatu. “Eh jam berapa ini?”

“Setengah duabelas, kenapa emang?”

“Gua pulang ya, Nik. Kasian Tara gua tinggal sendirian di apart.” Kata Ezra sambil berusaha menyingkirkan lengan Niko yang memeluknya, tapi Niko malah lebih mengeratkannya. “Niko,”

“Nginep aja disini,” Bisik Niko pelan, “Lo kan belum pernah nginep di apart gua.”

“Ya tapi kasian Tara gua tinggal sendiri, takut isi kulkas gua ludes sama dia semua.”

“Nanti gua ganti, gua beliin jajanan yang banyak.” Niko dengan cepat mengubah posisinya, mengukung Ezra yang masih berusaha melepas cekalan lengannya itu. “Sekali aja, Zra.”

Mata Ezra kembali menatap sepasang pupil kecoklatan milik Niko, mendengus pelan ketika melihat wajah memohon Niko yang baru pertama kali diliatnya itu.

“Iya, iya gua nginep disini.”

Senyum di wajah Niko merekah, ia merunduk, mengecupi pipi Ezra kanan dan kiri secara bergantian.

“Tapi gua ngabarin Tara dulu deh ya, kalo kagak bilang ntar dia sibuk ngomel-ngomel sendiri lagi.”

“Iya yaudah.”

Niko membuang nafasnya gusar, pintu apartemennya masih di ketuk dengan kencang oleh seseorang dari luar. Matanya mengintip cari celah kecil di pintu, gelap, Niko tidak melihat apapun dari lubang kecil itu. Sepertinya memang sengaja di tutup dari luar sana.

Suara ketukan semakin brutal, Niko dengan cepat membuka pintu apartemen. Baru saja tangannya menarik kenop, pintu apartemennya langsung terdorong kuat, menampilkan Naka dan Jonathan yang menampilkan cengiran lebarnya.

“Lama amat, njing. Lagi ngapain sih lu?” Tanya Naka, langsung menyerobot masuk tanpa menunggu izin dari Niko. Membuat Niko menelan kembali sumpah serapahnya yang sudah di ujung lidah.

Jonathan menepuk pundak Niko sekilas, cengiran di wajahnya masih terpasang sebelum ia menyadari jika ada sepatu asing di rak sepatu Niko.

“Heh! Sepatu siapa nih nik?” Tanya Jonathan, menatap penuh selidik pada Niko yang kembali membuang nafasnya berat sambil berkancak pinggang. “Pink-pink begini lagi. Aca balik?”

“Ezra.” Sahut Niko dengan nada datar.

“Oh Ezra,” Kepala Jonathan mengangguk, tapi sedetik kemudian matanya melotot kaget, mentap Niko yang masih memasang wajah datarnya. “HAH?! EZRA? LO?! Oalah anjinggg!!”

Gantian Jonathan yang menghela nafas, lalu kepalanya menggeleng sambil bibirnya berdecak pelan. “Astagfirullah brader, jadi kita dateng di waktu yang gak pas nih kayaknya.”

“Ya emang.”

“Woy Nik, ini lu sejak kapan nyetok es krim?” Tanya Naka tiba-tiba sambil berteriak dari arah dapur, “Setau gua lu kagak suka makanan manis.”

Jonathan langsung bergegas menghampiri Naka yang masih memegang cup ice cream dengan pandangan bingung di depan kulkas. “Heh tolol,”

“Apa njing?” Tanya Naka bingung, alisnya mengernyit menatap Jonathan yang memberikan gesture dari matanya. “Apaan sii? Kagak jelas dah lu.”

“Si Niko lagi ngewe.” Sahut Jonathan tanpa membuat suara, membuat Naka memandangnya semakin bingung. “Ada Ezra.” Lanjutnya.

Menyadari itu, Naka langsung menaruh kembali ice cream yang ada di tangannya kembali ke dalam kulkas. Memasang cengiran lebarnya pada Niko yang hanya menatap datar mereka berdua dari ruang tengah.

“Ohhh... hehehe.” Naka menyikut Jonathan yang berada di sampingnya. Kemudian berbisik lirih, “Lu kagak bilang, tolol.”

“Ya gua mana tau, nyed.” Sahut Jonathan juga sambil berbisik, kemudian kembali menatap Niko. “Kita kagak tau sumpah dah Nik, abisan lu gua chat kagak bales-bales, yaudah kita langsung kesini aja.”

Niko memijit pelipisnya sekilas. “Yaudah gapapa. Tapi lain kali kalo ngetok pintu gua jangan kaya maling di kejar-kejar warga napa, kaget kita.”

“Hehehe sorry, Nik.” Naka langsung jalan keluar dari dapur, mendudukan diri di sofa ruang tengah apartemen Niko. “Mana Ezranya?”

“Ya di kamar lah, njing.” Sahut Jonathan cepat, “Lu kalo basa-basi jelek banget sumpah.”

Tangan Naka langsung menoyor kepala Jonathan yang baru saja duduk di sampingnya. “Bacot.”

“Yaudah bentar, gua make baju dulu.” Kata Niko langsung berjalan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Naka dan Jonathan yang saling sikut menyikut diatas sofa. Niko hanya mengenakan celana boxer pendek, ngomong-ngomong.

Ezra langsung bangkit dari posisi duduknya begitu Niko masuk ke dalam kamar, wajahnya masih terpasang ekspresi panik yang begitu ketara, membuat Niko terkekeh melihatnya.

“Siapa, Nik?” Tanya Ezra pelan.

“Naka sama Jonathan.” Sahut Niko sambil berjalan mendekat ke arah lemari, mengambil satu kaosnya dan memakainya dengan cepat. Lalu menarik satu kaos lagi serta celana pendek dari sana.

Hembusan nafas gusar langsung keluar dari hidung Ezra, ia kembali mendudukan diri di pinggir kasur. “Demi Tuhan, gua udah panik setengah mampus. Takut di grebek.”

Niko tertawa pelan mendengar ucapan Ezra. Sejujurnya, ia juga sama paniknya. Takut-takut yang datang ke apartemennya adalah orang yang paling enggan ia temui kehadirannya sekarang.

Tangan Niko terulur, menyerahkan kaos serta celana pendeknya pada Ezra yang hanya mengenakan bathrobe. “Gapapa kan kalo ada temen-temen gua?”

“Ya gapapa sih, tapi kaget aja gua.” Kata Ezra sambil mengambil uluran kaos serta celana pendek itu, tapi sedetik kemudian dia menoleh ke arah Niko sambil memasang wajah bingung. “Kok ngasih kaos lu sih? Minta tolong ambilin kaos sama celana gua aja dong di kamar mandi, tadi gak keburu.”

“Udah pake aja itu dulu.”

“Kegedean, Niko.”

“Gapapa sayang.”

Satu pukulan ringan Ezra berikan pada perut Niko, membuat sang empu terkekeh lalu menarik tangan Ezra untuk berdiri. Dengan cepat membuka tali bathrope dan tubuh mulus Ezra kembali terpampang jelas di depannya.

Kaos dan celana yang tadi diberikannya pada Ezra langsung Niko kembali ambil, memakaikannya pada Ezra yang masih berdiam diri sambil menatap ke arahnya. Setelah selesai, satu kecupan ringan Niko berikan pada bibir Ezra yang sedikit terbuka.

Mata Ezra mengedip cepat, kesadarannya tadi sempat hilang beberapa saat akibat perlakuan Niko. Ezra mendengus, kemudian terkekeh sambil mencium balik bibir Niko sekilas.

“Lo mau di kamar aja apa nanti keluar ketemu temen-temen gua?” Tanya Niko, tangannya terulur untuk mengelus pipi Ezra yang kemerahan. “Tapi lo juga udah kenal Jonathan kan?”

“Ya kenal lah, yakali gak kenal.” Sahut Ezra cepat, “Tapi gua di kamar lo dulu ya bentaran? You know... yea,”

“It's okey, take you time.” Niko tersenyum, “Kalo mau tidur juga gapapa, Zra. Tidur aja.”

Kepala Ezra hanya mengangguk, setelah itu kembali mendudukan dirinya di pinggir kasur Niko sebelum merebahkan badannya di atas sana. Niko memberikan lagi satu senyum tipisnya sebelum berjalan keluar kamar.

Mata Ezra menatap langit-langit kamar Niko, nafasnya terhela pelan. Kepalanya menoleh ke arah kanan, menatap balkon apartemen Niko yang terhias beberapa tanaman yang terlihat layu.

'Pasti jarang di rawat tuh taneman.' Kata Ezra di dalam hati. Bediam diri selama beberapa menit sambil kembali menatap langit-langit sebelum matanya perlahan tertutup.


“Laper dah, mesen makanan kek.” Jonathan menaruh ponselnya di atas paha, menatap Naka dan Niko secara bergantian.

“Itu Niko ada jajanan, makan aja kali.”

Niko menyahut dengan cepat, matanya masih menatap layar tivi dengan fokus. Jari-jarinya bergerak lincah di atas tombol konsole. “Punya Ezra itu.”

“Oh gua kira punya lu.” Naka terkekeh, “Eh btw kemana tuh bocahnya? Tidur ya?”

“Yaiya lah tidur, kecapean abis di genjreng.” Sahut Jonathan sambil tertawa, “Beneran baru abis main lu pas kita dateng tadi?”

“Abis keluar malah,” Niko terkekeh. “Pesen makanan aja, Jo. Ntar gua yang bayar.”

Naka mendengus sambil memasang ekspresi meledek. “Abis dapet jatah mah seneng ye bre.”

“Hahahaha,” Tawa Jonathan menggema, “Yaudeh mau mesen apaan nih? Jangan martabak, gua lagi diet.”

“Ngapain dah lu diet? Mau ngapel?” Tanya Niko.

Jonathan terkekeh, “Mau ketemu ama bf rent gua.”

“Buset, udah sampe mau ketemu gitu. Ntar yang ada malah jadi fwban dah lu.” Naka menoleh sekilas ke arah Jonathan, “Duh jadi kangen sama Sarah.”

“Kasian Meera lu selingkuhin.”

“Ngaca tolol lu Nik, Aca aja lu selingkuhin. Padahal spek udah bagus gitu.” Naka menyenggol bahu Niko yang berada disebelahnya.

“Sesama bajingan gausah saling merasa bener dah lu berdua.”

Niko sama Naka langsung kompak tertawa mendengar ucapan Jonathan. Menyadari kalau mereka bedua memang tidak ada bedanya, sama-sama bajingan, sama-sama main belakang.

Sama-sama menjadikan fwb sebagai sebuah pelarian.

“Eh itu si Ezra kagak mau bangun apa? Pengen liat gua aslinya gimana sampe ngebikin temen gua masuk ke jalur setan.”

“Ntar juga keluar orangnya, ngebet amat lu pengen ketemu.” Jonathan menoyor pelan belakang kepala Naka, “Eh ini gua udah mesen mcd, kagak ngapa kan?”

“Lo bayar pake apa itu?” Tanya Niko.

“Gopay gua sih.”

“Yaudah ntar gua ganti.”

Jonathan tersenyum lebar, “Pajaknya tambahin dikit ya, Nik. Duit lu kan banyak hehehehe.”

“Temen gak tau diri emang lu.” Celetuk Naka, membuat kepalanya kembali di dorong pelan oleh Jonathan. “Ah! Pala gua jangan lu toyor mulu napa, bego gua nanti.”

“Lu kan emang udah bego.”

“Anjing.”

Setelah itu mereka kembali sibuk dengan aktifitas masing-masing selagi menunggu makanan datang. Jonathan sibuk bertexting ria dengan talentnya, sedangkan Naka dan Niko kembali saling menunjukan taktik satu sama lain untuk menjadi pemenang dalam game fifa.

Namun, suara kenop pintu yang terbuka membuat mereka bertiga kompak menoleh ke arah pintu kamar Niko. Memunculkan Ezra yang sedang mengucek sebelah matanya sambil melemparkan senyum.

“Hai.”

“Ya ampun, calon besan gua baru bangun.” Jonathan menyahut terlebih dahulu, sedangakan Niko hanya tersenyum tipis membalas senyum Ezra.

Naka?

Wajahnya melongo, bibirnya membulat menatap Ezra dari atas sampai bawah. Kemudian menyikut kembali pundak Niko. “Ezra itu?”

Niko terkekeh, “Iya lah, siapa lagi emangnya.”

“Wah bangsat, pantes aja lu berkhianat.” Kata Naka sambil berbisik, dibalas kekehan pelan oleh Niko.

Ezra mendekat, mendudukan dirinya di samping Jonathan yang duduk di atas sofa, tepat di belakang Niko yang masih bermain ps itu.

“Apa kabar, Jo? Lama kagak ketemu.” Tanya Ezra, “Main lah ke rumah sama Harsa, masa adek gua mulu yang main ke rumah lu.”

“Hahaha, iya dah ntar kapan-kapan main. Tau sendiri kan lu itu bocah dua lagi slek.”

“Loh lagi slek? Nino kagak ada cerita apa-apa sama gua.”

“Harsa yang cerita ke gua semalem, katanya gara-gara Nino kentut mulu pas lagi jalan.”

“Emang itu bocil satu, malu-maluin aja kerjaannya.” Ezra berdecak pelan, pandangannya kemudian beralih pada Naka yang masih sibuk mencuri pandang. “Naka ya?”

“Hehehe iya, lo Ezra kan?”

Ezra baru saja akan membukan suara sebelum Niko menyela dengan cepat. “Bukan, si cantik itu mah.”

“Apaan sih, diem ya, Nik.” Ezra menarik telinga Niko pelan. Lalu kembali menatap Naka, “Iya, gua Ezra.”

“Oke, salam kenal kalo gitu.” Kata Naka sambil terkekeh, kemudian kembali fokus pada gamenya.

Jonathan tertawa lebar sambil mendorong pundak Naka. “Yaelah, kikuk amat dah lu.”

“Baru ketemu sama orang cantik ya begitu tuh,” Niko terkekeh, menoleh ke arah Ezra yang memasang wajah cemberut. Tangannya terulur, mencubit pipi Ezra cepat. “Apa sih, cemberut mulu.”

“Niko ih! Diem gak lu.”

“Hahaha, just kidding pretty.”

Jonathan dan Naka yang melihat interaksi mereka berdua hanya saling melempar pandang dengan bibir terkulum, kemudian terkekeh tertahan sebelum wajah mereka kembali berubah datar saat Ezra menoleh.

“Khem, ini abang gojeknya udah di lobby. Bentar ye gua ambil makanan dulu.” Kata Jonathan sambil buru-buru bangkit dari duduknya.

“Oh pada mesen makanan?” Tanya Ezra.

“Iya.”

Niko menoleh ke arah Jonathan, “Eh Ezra lo pesenin juga kan, Jo?”

“Iya lah, yakali kagak. Dah gua mau ambil makanan dulu.”

“Yaelah obat nyamuk nih gua.” Naka berdecak pelan, membuat Niko dan Ezra terkekeh bersama.

“Hei, pretty.”

Niko tersenyum tipis membalas senyum lebar Ezra yang kini sudah berdiri di depan pintu apartemennya. Melirik kedua tangan Ezra yang masing-masing membawa paperbag berbeda warna. Kedua tangannya langsung terulur, mengambil alih barang bawaan Ezra.

“Banyak banget es krimnya, Zra.” Kata Niko, melirik satu paperbag Ezra yang terisi beberapa cup ice ceram berukuran sedang.

“Lagi bete, mau makan banyak es krim gua.” Sahut Ezra sambil memanjukan bibir bawahnya, ia lalu melepas sepatunya dan menaruhnya di rak persis samping pintu masuk.

Niko terkekeh, “Yaudah ayo masuk.”

Ezra mengangguk kecil, mengekor dari belakang arah langkah Niko. Kepalanya mengangguk dengan mata yang mengedar, untuk seukuran Niko, apartemen tempatnya tinggal masih cukup rapih walau masih banyak barang yang menumpuk di beberapa tempat.

“Ih, lo melihara ikan?” Tanya Ezra, matanya langsung fokus ke arah aquarium kecil dengan beberapa ikan hias di dalamnya, “Lucu banget, matanya benjol masa. Ini gak akan meledak kan matanya?”

“Hahaha, ya gak akan dong, Zra. Masa meledak sih,” Niko menaruh paperbag Ezra di atas meja kecil samping tivi, “Ikan mas koki kan gitu.”

“Tapi aneh aja, belom pernah gua liat yang matanya segede ini. Tumor kali, Nik.”

“Enggak, matanya emang gitu, Zra.”

“Eh anjir! Itu pipinya ada yang kaya balon!” Telunjuk Ezra bergerak mengetuk-ngetuk kaca aquarium dengan antusias, “Wah kayaknya gua harus ngasih tau bokap buat beli ikan kaya gini, ikannya di rumah kagak ada lucu-lucunya.”

Ezra mengambil ponselnya dari kantung celana, memfoto ikan-ikan peliharaan Niko lalu mengirimkannya pada Ayahnya. Ia kembali memasukan ponselnya ke kantung, wajahnya mendekat ke arah aquarium.

“Hai little big-eyes.” Bisik Ezra pelan sambil menatap satu ikan berwarna hitam pekat yang tepat berada di depan matanya, “Aura lo dominan banget ya, sama kaya yang punya.”

Niko yang mendengar itu mendengus, kemudian melangkah mendekat ke arah Ezra yang masih membungkuk di depan aquarium. Tangannya terulur, merangkul pinggang Ezra.

“Es krimnya mau di makan kapan itu? Nanti keburu mencair.” Kata Niko pelan, tepat di samping telinga Ezra. “Lo wangi banget deh.”

“Yeee, modus lo.” Ezra mendorong wajah Niko menjauh dari lehernya sambil terkekeh, “Tapi iya sih, gua kan emang selalu wangi.”

Niko tergelak, mengusak rambut Ezra dengan gemas. “Iya, iya. Mr. paling percaya diri.”

“Percaya diri itu penting.” Ezra menaikan dagunya sekilas, tersenyum lima jari pada Niko lalu menyingkirkan tangan Niko yang berada di pinggangnya. “Gua mau makan es krim dulu ah.”

Ezra bergerak mengambil salah satu es krimnya dari dalam paperbag, lalu kepalanya menoleh ke arah Niko. “Ini boleh nitip di kulkas lo dulu gak?”

“Yaudah sini.”

“Oke thanks.” Senyum tipis Ezra mengembang, ia berjalan menuju salah satu sofa yang terletak tepat di samping pintu balkon. Mendudukan dirinya disana sambil melihat ke arah padatnya kota Jakarta. Satu sendok ice cream ia masukan ke dalam mulutnya.

“Niko.”

Niko yang baru keluar dari area dapur berjalan mendekat, bedehem pelan menjawab panggilan Ezra.

“Kayaknya gak akan ujan deh, itu lo liat, bintangnya kelap-kelip.” Ezra menoleh sekilas lalu telunjuknya menujuk ke arah luar. “Kapan-kapan aja deh ya.”

“Hahahaha,” Niko tertawa, mendudukan diri di samping Ezra, lalu kepalanya agak condong ke depan untuk melihat langit luar. “Iya cerah banget langitnya.”

“Berarti gak jadi ya?” Ezra terkekeh, kembali menoleh ke arah Niko yang mana langsung membuatnya memundurkan wajah. “Ih! Deket banget muka lo.”

“Emangnya kenapa sih?” Goda Niko sambil kembali mendekatkan wajahnya, menggesek ujung hidungnya dengan ujung hidung Ezra. “Wangi es krim.”

“Ya kan gua lagi makan es krim, aneh dah lu.” Lagi-lagi Ezra mendorong wajah Niko menjauh, dibalas kekehan pelan dari sang empu. “Please, let me eat my ice cream in peace.”

Niko menggeser posisinya, mencubit pelan pipi Ezra sekilah. “Iya cantik, abisin dulu deh itu es krimnya.”

“Nah gitu dong.” Sahut Ezra sambil membawa kedua kakinya naik ke atas sofa, memasukan dua sendok sekaligus ice creamnya ke dalam mulut. “Enak banget.”

Selagi Ezra sibuk menghabiskan ice creamnya, Niko memilih untuk berkutik sebentar dengan ponselnya. Badannya sedikit menjauh, memposisikan diri agar Ezra tidak melihat ke arah layar ponselnya, membalas pesan Aca singkat lalu kembali lagi menaruh ponselnya di samping pinggiran sofa.

Badan Niko kembali bergeser mendekat lagi ke arah Ezra, memperhatikan bibir kemerahan yang bergerak pelan, serta bulu mata Ezra yang mengedip perlahan.

“Hei pretty.”

“Hm?”

“Mau dong.”

Ezra menoleh, menyendok ice creamnya lalu memberikannya ke arah Niko. “Nih.”

“Ah, manis banget.” Komentar Niko begitu lidahnya mengecap rasa dari ice cream yang di makan Ezra. “Tapi makin manis pas makannya liat muka lo.”

Ezra meraup wajah Niko sekilas dengan tangannya, “Ngegombal mulu lu mah, kagak ada capek-capeknya gua rasa.”

“Hahaha,” Niko tergerak, satu tangannya reflek merangkul pundak Ezra, lalu menggeser tubuh yang lebih kecil mendekat ke arahnya, membuat tidak ada satu senti pun jarak di antara mereka. “Abis muka lo gemesin banget kalo abis gua gombalin, liat nih, pipinya langsung merah.”

“Dih mana ada,” Ezra mendengus, memasukan satu sendok ice creamnya kembali ke dalam mulut. “Pipi gua kan emang gini.”

“Oh berarti selalu merah pas abis gua gombalin ya?”

“Enggak ya!”

Niko mengecup pipi Ezra sekilas, “Udah ah, jangan cemberut terus. Abisin es krimnya cepet.”

“Dih cepet-cepet emang mau ngapain?”

“You told me that need some hot air before.”

“I said, I need some fresh air.”

“Oh berarti enggak jadi dong ini?”

Bibir bawah Ezra langsung maju, bibirnya tertekuk, satu pukulan ia hadiahkan di atas paha Niko. “Apa sih akh.”

Suara tawa Niko mengalun, ia memeluk tubuh Ezra erat sambil menggesekan ujung hidungnya di pipi Ezra. “Cantik, si cantik.”

“Jelek, Niko si jelek.” Sahut Ezra sambil memeletkan lidahnya.

Satu telunjuk Niko mencolek permukaan ice cream, lalu menaruhnya di atas hidung bangir Ezra. Membuat Ezra langsung terdiam di tempat, tapi tidak lama ia melakukan hal yang sama dengan yang Niko lakukan.

Mereka berakhir dengan saling memeperkan ice cream di wajah satu sama lain. Tawa menguar memenuhi penjuru ruangan, kedua mata dengan warna pupil berbeda itu menyipit, dan masing-masing tangan dengan gesit bergerak ke segala arah, berusaha menghindar dan berusaha menempelkan lebih banyak ice cream di wajah lawan.

“Niko!! udah ah, lengket nih muka gua.” Ezra yang lebih dulu berhenti, ia mengelap wajahnya di permukaan kaos Niko, “Hehehehe.”

“Ngapain di elap? Bentar lagi juga lengket lagi.” Sahut Niko, memasang ekspresi menggoda ke arah Ezra yang wajahnya langsung berubah datar. Satu pukulan ringan ia rasakan lagi di atas pahanya.

“Yeee!!”

“Udah ah, gua mau mandi dulu. Gerah banget rasanya.”

“Ngapain mandi? Bentar lagi juga keringetan lagi.”

Mata Niko langsung menatap tajam bola mata bulat milik Ezra, lalu dengan cepat mengangkat tubuh Ezra dan membawanya ke arah kamar mandi.

“Yaudah ayo keringetan bareng.”

“Niko!! Ih es krim gua belom abis anjing!!”

Ezra menaruh kembali ponselnya di atas nakas samping kasur, nafasnya menghela pendek, pandangannya turun menatap pucuk kepala Niko yang tepat berada di dadanya. Bertanya-tanya di dalam hati tentang sikap Niko yang terlihat agak berbeda sekarang.

“Nik,”

“Hm?”

“Gua kira lo tidur.” Ucap Ezra pelan, satu tangannya bergerak untuk mengelus-elus pelan kepala Niko.

“Enggak.”

Jawaban singkat Niko membuat Ezra lagi-lagi menghela nafas. Pandangan matanya beralih, menatap ke luar jendela apartemen yang terletak persis di samping kasurnya. Merasakan sebelah kaki Niko di bawah sana naik ke salah satu kakinya.

Mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Niko mengeratkan pelukannya pada pinggang Ezra, membuat wajahnya tenggelam sempurna di dada Ezra. Satu helaan nafas berat Niko keluarkan.

“Ezra,” Panggil Niko pelan dengan suara yang teredam. “Gua boleh nanya sesuatu gak sama lo?”

“Nanya apa, Nik?”

Niko menjauhkan wajahnya dari dada Ezra, matanya terbuka, menatap kaos merah muda yang dipakai Ezra. “I know this is your privacy, but sebenernya gua pengen nanya ini dari awal.”

Atensi Ezra langsung beralih, kembali menatap pucuk kepala Niko dengan pandangan heran. “Hm?”

“Alesan lo fwb-an itu apa?”

Ezra terdiam sejenak, mengambil nafas dalam sebelum menjawab. “Just for have fun.”

“Itu aja?”

“Ya.” Ezra mengangguk pelan, “I just want to play along without commitment.”

Niko seketika mendongkak, menatap mata bulat Ezra yang juga menatapnya. “Seems you being afraid of commitment, am I right?”

“Actually, yeah.” Kekehan Ezra mengalun, mengalihkan perasan gugup dengan pertanyaan Niko yang menohoknya langsung. “Being commit is hard for me, Nik. I'm just feel not worthy for staying with someone in a long time, and feel I'm just wasting their time for stay with me.”

“Kenapa lo mikir gitu?”

“Kenapa ya,” Ezra mengalihkan pandangannya, kembali menatap ke arah luar jendela. “Gatau, gua mikirnya kaya gitu aja.”

“Terus, apa bedanya sama fwb kalo gitu?” Tanya Niko bingung. “You stay with me, Ezra. You spend your time with me for an unknown time, and I think that a same thing with being commit with someone.”

“At least fwb didn't attach feeling, Niko.” Senyum Ezra mengembang tipis, tipis sekali. “Fwb cuman sekedar temen tidur, we didn't talk our privacy to each other, didn't know whats going on in each other life. Kayak, yaudah kita fwb cuman buat nyenengin satu sama lain aja, either in sex or anything else.”

“Gua cuman ngerasa, gua udah ngehabisin banyak waktu buat sayang sama seseorang tapi kalo akhirnya dia pergi ninggalin gua, ya sama aja buang-buang waktu. That's why I choose fwb rather being commit.” Lanjut Ezra.

“Gitu ya,”

Ezra berdehem pelan, “Kalo lo, kenapa mau fwb?”

“Sama kaya lo sebenernya, just for have fun.” Niko terkekeh, “But not being afraid to commit, just too tired for it.”

'too tired stay with someone who didn't stand in your side when you need them.' Lanjut Niko di dalam hati.

“Ow, okay.” Kepala Ezra mengangguk paham.

Niko menggeser posisinya lebih ke atas, membuat wajahnya berhadap-hadapan langsung dengan wajah Ezra, lalu mengecup bibir di depannya singkat.

“I'm so glad we found each other, Ezra.”

“Yeah?”

“Yeah.” Satu tangan Niko menangkup pipi Ezra yang kemerahan dengan alami itu. “Seminggu gak ketemu lo bikin gua kangen juga ternyata.”

“Padahal di hubungan kaya gini tuh gaboleh ada kata kangen tau, Nik.” Ezra tertawa pelan, “Kalo kata Tara, haram jaddah hukumnya.”

“Hahaha, masa kangen doang gak boleh?” Tanya Niko sambil mengelus pelan permukaan pipi Ezra, “Jatohnya kaya kangen ke temen sih, masa tetep gak boleh juga?”

Bahu Ezra naik sekilas, “Kagak tau, Tara yang bilang begitu.”

“Seems he so protective of you ya.”

“Dia cuman gak mau gua jatoh aja nantinya.”

“Jatoh kemana?”

“Maksudnya, dia takut gua jadi naksir sama lo.”

“Why not? Gua gak keberatan kalo lo emang akhirnya suka sama gua.”

Ezra mendecak pelan, “Ga boleh, tolol. Ribet nanti urusannya.”

“Loh ribet gimana? Kalo lo emang suka sama gua, yaudah jadian aja ayo.” Sahut Niko sambil terkekeh, “Terus nanti kita bikin thread twitter from this to this.”

Refleks tangan Ezra mengepal, lalu meninju pelan lengan atas Niko. “Tau ah.”

“Don't be mad, pretty. I'm just kidding.” Ucap Niko lembut, menarik garis kerutan di alis Ezra agar menghilang. “Let me kiss you again.”

“Ini bibir gua kalo ibarat permen mah ya, udah abis kali lu ciumin mulu dari tadi.” Sahut Ezra dengan nada sebal, tapi ia tetap menyambut ciuman Niko, tetap mengalungkan tangannya di leher Niko.

Masing-masing bibir saling melumat, tangan Niko menarik tengkuk Ezra lebih mendekat. Membuat tidak ada jarak lagi di antara mereka sekarang. Setelah itu tangan Niko turun untuk merangkul pinggang Ezra, lalu jari-jarinya bergerak mengelus pelan.

Ezra melenguh, kakinya bergerak gelisah. Matanya yang tertutup seketika melotot begitu Niko mengubah posisinya dengan cepat, membuat tubuh Ezra kini berada tepat di atas tubuh Niko. Ciuman mereka otomatis juga terlepas, Niko terkekeh pelan melihat ekspresi kesal yang Ezra berikan.

“Kebiasaan banget, aba-aba dulu Niko! Udah tau gua kagetan.” Sungut Ezra sambil memukul dada Niko, dan hanya di balas tawa pelan dari Niko. “Malah ketawa lagi lu.”

“Muka lo lucu banget sumpah,” Kata Niko masih tetap sambil tertawa, “Kaya anak kecil kalo gak di turutin beli balon.”

“Ih!”

“Sini-sini, gua cium lagi.” Niko menangkup kedua pipi Ezra lalu kembali meraup bibir kemerahan itu, memberi satu lumatan pelan sebelum melepasnya lagi. “My pretty little doll.”

“Gak ada petname yang lain apa? Gua bosen dengernya tau.”

Satu alis Niko terangkat, memasang wajah meledek ke arah Ezra yang merengut. “Bosen apa salting?”

“Nikooo!! Ih!”

Ezra langsung mengalihkan pandangannya, wajahnya mendadak memanas.

Melihat itu, Niko terkekeh pelan lalu menyunggingkan satu senyum tipisnya. “Zra, liat sini dong.”

“Gamau.”

“Sayang,”

Kepala Ezra langsung menoleh cepat, menatap Niko lalu menyentil pelan bibir plum itu. “Diem ya Niko, atau lu gua lempar dari balkon nih.”

“Galak banget sih,” Wajah Niko maju, lagi-lagi mengecup bibir Ezra yang mengerucut. “Pretty boy, pretty little doll. Ezra, lo kenapa cantik banget sih?”

“Mana gua tau, tanya nyokap gua sono.”

“Yaudah, kapan gua bisa ketemu bunda?”

“Dihh,” Ezra memasang ekpresi merengut, matanya menatap sinis ke arah Niko. “Pengen banget apa?”

“Tadi katanya suruh tanya ke nyokap lo, gimana sih.” Satu sentilan pelan Niko berikan di dahi Ezra, setelah itu memeluk erat pinggang Ezra dan menggerakan tubuh Ezra ke kanan dan ke kiri secara cepat.

“Niko! Gua pukul beneran lu ya!”

“Hahaha, jangan bete makanya. Nanti kalo gua gak tahan, gua makan lu.”

Gantian Ezra menyentil dahi Niko, “Sange ya lu?”

“Iya, muka lo kaya artis bokep soalnya.”

“NICHOLAS!!”

“Ezra, aduh!! Jangan di gigit!!”

“Bentar-bentar, ini kap mobil lo gapapa kalo gua naikin?” Tanya Ezra, memandang bingung wajah Niko yang hanya memasang ekspresi santai. Dibalas anggukan tipis dari Niko.

“Ya gapapa, kan lo enteng.” Sahut Niko, menatap Ezra yang masih berdiam diri di sampingnya. Tanpa aba-aba, Niko menaruh kedua tangannya di ketiak Ezra lalu mengangkatnya naik terduduk diatas kap. “Nah, gak kenapa-kenapa kan?”

Ezra mengelus dadanya yang berdegup. “Aba-aba kek kalo mau ngangkat gua, kaget tau!”

“Ya lo lama sih, naik tinggal naik.” Niko terkekeh, menyandarkan badannya di depan kap mobil. Pandangannya menatap lurus ke arah gelapnya lautan di depan, hanya terhias beberapa titik-titik kecil dari lampu kapal nelayan. “Dingin gak, Zra? Kalo dingin pake hoodie gua nih.”

“Enggak, kaos gua lumayan tebel kok ini.” Sahut Ezra sambil menggeleng, pandangannya juga menatap lurus, satu helaan nafas Ezra keluarkan secara perlahan. “Eh tapi boleh deh sini, gua pake aja.”

Niko menoleh, wajahnya memasang ekspresi meledek sambil mendengus pelan. Lalu ia melepas hoodie hitam yang dipakainya dan memberikannya ke arah Ezra. “Nih pake.”

Tangan Ezra mengambil uluran hoodie yang Niko berikan, lalu terkekeh sambil memasang senyum lebarnya di wajah.

“Pegangin dulu ini gulalinya.”

“Sini.”

Ezra menyerahkan gulalinya pada Niko, lalu memakai hoodie hitam itu dengan tergesa. Setelah selesai, tangannya terulur meminta kembali gulali yang di pegang Niko sambil bergumam terimakasih.

Mereka berdua terdiam, tidak ada yang membuka percakapan selama beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap lautan luas di hadapan, angin laut sesekali berhembus, membuat rambut keduanya berkibas pelan mengikuti arah angin.

Tadi, setelah hampie 2 jam lamanya memutari Jakarta, Niko berinisiatif untuk membawa Ezra ke pinggir pantai setelah mengantar Ezra pergi membeli gelato yang sempat tertunda kemarin. Tidak ada alasan khusus, Niko hanya ingin membuat mood Ezra lebih baik malam itu.

“Ini lo beneran gak mau gulalinya?” Tanya Ezra setelah sekian menit mereka terdiam, “Enak tau.”

“Enggak ah, gua gak suka makanan terlalu manis.” Kepala Niko menggeleng, lalu menoleh sekilas ke arah Ezra sambil tersenyum. “Tapi kalo lo yang manis sih, gua pasti mau.”

Satu pukulan ringan Ezra berikan pada punggung Niko. “Gombal mulu lu, gak cape apa.”

“Kalo ngegombalnya sama lo mah, enggak kayaknya.” Sahut Niko sambil terkekeh, hanya dibalas dengusan pelan oleh Ezra yang sedang memasukan sejumput gulalinya ke mulut.

“Anyway, thank you ya Nik udah ngajak gua keluar. Sumpah gua bete banget asli, dosen kampret emang.”

Niko terkekeh pelan, “Ya lo lagian, udah tau punya dosen kaya gitu malah nyari masalah. Besok-besok telatin aja masuknya biar ngulang semua tahun depan.”

“Ye anjing,” Ezra lagi-lagi memukul pundak Niko. “Kagak lulus-lulus ntar gua kalo kaya gitu.”

“Bercanda, pretty.” Niko tersenyum lebar, ia mengambi kotak rokoknya dari kantong dan menyulut satu batang rokok, menghalau dinginnya malam. “Tapi coba lo ketemu lagi deh sama dosen lo, nego tipis aja, biar enggak ngulang matkul.”

“Tadinya pas kelas dia kelar mau langsung gua temuin, cuman ya gitu, emang rese.” Bibir Ezra tertekuk dan maju beberapa senti, kakinya yang mengantung berayun pelan. “Tapi gua coba deh nanti gua ngomong sama dia lagi, barang kali dikasih keringanan ya kan?”

Niko mengangguk, “Pasti di kasih sih kalo kata gua, dia kayak gitu paling cuman mau ngegertak lo aja.”

“Semoga deh ya.” Satu helaan nafas Ezra keluarkan secara kasar, “Kuliah cape juga ternyata.”

“Ya emang kalo gak kuliah lo mau ngapain coba?”

“Ngelonte.”

Mendengar jawaban dengan nada datar itu, Niko sukses tertawa. Pandangannya menoleh sempurnya ke arah Ezra yang tetap memasang ekspresi datar, lalu tangannya terulur, mengusak rambut Ezra pelan.

“Ada-ada aja lo tuh.”

“Eh tapi kalo dipikir-pikir, gua sekarang juga lagi ngelonte sih.”

“Ngelonte sama siapa?”

“Ya ngelonte sama lo lah.”

Ezra tertawa lebar, matanya menyipit lucu dengan tangan yang memegang gulali bergoyang pelan. Membuat Niko ikut terkekeh bersamanya, tapi tidak lama, seringainya muncul.

“Tapi iya sih, lo emang lonte gua. My pretty slut with stunning body, and also tight-”

“Ngahhhhh.” Ezra buru-buru mengambil sejumput gulali lalu menyumpalnya ke dalam mulut Niko, membuat Niko langsung menghentikan ucapannya sambil terkejut. “Jangan bacot.”

Niko lagi-lagi terkekeh, ia dengan cepat membuka kedua kaki Ezra lalu berdiri ditengah-tengahnya. Membuat Ezra mengerjapkan matanya cepat lalu kembali menyumpal mulut Niko dengan gulali.

“Tuh makan gulali, biar gak ngebacot terus.” Kata Ezra dengan ekspresi wajah tertekuk, tapi dengan kaki yang merapat, mengunci Niko agar tetap berada diposisinya.

“Manis banget, lo gak diabetes makan ini terus?” Tanya Niko ketika gulali yang di dalam mulutnya sudah mencair. “Tapi pantes sih lo manis, makannya yang manis-manis juga soalnya.”

“Mau gua sumpel gulali lagi?”

“Mending sumpel gua pake bibir lo aja.”

Sebelah alis Ezra naik, matanya menatap Niko selama beberapa detik sebelum memajukan wajahnya, mengecup singkat bibir Niko. “Tuh udah.”

Niko menyeringai, “Itu mah bukan sumpelan.”

Ezra memajukan wajahnya kembali, menahan bibirnya di atas bibir Niko selama beberapa detik. Lalu wajahnya kembali menjauh, “Gitu kan yang bener?”

“Lo semakin di tantang semakin berani ya, Zra.” Ucap Niko sambil terkekeh. Sebelah tangannya terulur untuk mengusap pipi Ezra yang dingin, “Gak nyesel gua fwb sama lo.”

“Iya lah, fwb sama gua mah dapet enak terus.” Sahut Ezra penuh percaya diri. Tangannya kemudian menyentuh bagian bawah tubuh Niko dan bibirnya secara bergantian. “Itu dua pasti selalu dapet enak kalo sama gua mah.”

“Wow, so brave.” Niko menganggukan kepalanya pelan, “Let me kiss you.”

“Eh ntar dulu, gulalinya belum abis.” Ezra lebih dulu menjauhkan wajah Niko yang mendekat. “Nunggu gulalinya abis dulu.”

Niko tersenyum, menuruti perintah Ezra barusan. Matanya tetap menatap wajah Ezra yang kini sibuk menghabiskan gulalinya yang sudah tinggal sedikit. Kedua tangan Niko ia taruh di atas kap mobil, masing-masing berposisi tepat di samping tubuh Ezra.

“Lo lucu banget kalo lagi makan.” Puji Niko, dibalas anggukan mantap dari Ezra yang memasang ekspresi percaya diri. “Lo tuh udah cantik, lucu, kecil, kayaknya lo cocok banget kalo jadi pacar gua.”

Alis Ezra langsung menekuk, ia menyentil pelan dahi Niko sambil menggeleng. Satu jarinya bergerak di depan wajah Niko. “No, no, no, gaboleh. We just to have fun, don't across the boundaries.”

“Just kidding babe, I know that.” Niko terkekeh pelan. “Pengen nyium lo deh, yang lama.”

“Ini tempat umum kalo lo lupa.”

Pundak Niko naik sekilas, wajahnya ia majukan sedikit, lalu berkata dengan nada pelan. “Yaudah di dalem mobil aja.”

“Gak mau, nanti mobilnya goyang.”

“You know that I dont like public sex, right?”

“Ya iya, tapi kalo di tempat sepi kaya gini gua yakin lo gas-gas aja tuh.”

Niko lagi-lagi terkekeh, “Yaudah di basement aja nanti.”

“Ya itu sama aja public sex dong, Nicholas.” Ezra kembali menyentil dahi Niko. “Tapi yaudah, ayo.”

“Ezra, Ezra, lo tuh ya.” Satu kecupan Niko berikan dibibir Ezra yang terbuka, “Binal banget.”

“Tapi lo suka kan?” Tanya Ezra sambil memajukan wajahnya. Membuat hidungnya dengan hidung Niko hanya berjarak kurang dari 5 cm, matanya menatap lurus ke dalam pupil Niko. “I'm addicted to your dick, to be honest.”

“Glad to hear that.” Balas Niko sambil berbisik, ia kemudian menjauhkan wajahnya terlebih dahulu, mengambil satu langkah mundur lalu menurunkan Ezra dari kap mobil. “Yuk pulang, udah malem juga. Nanti lo sakit lagi kelamaan kena angin malem.”

“Yaelah, lebay lo.” Ezra mendengus, meninju pelan perut Niko sebelum masuk ke dalam mobil sambil tertawa.

Ezra sampai terlebih dahulu, apartemen tempatnya tinggal memang tidak berjarak terlalu jauh dari cafe. Ia berjalan masuk ke dalam cafe di bilangan kebayoran baru ini dengan jantung yang sedikit berdebar.

Setelah memesan satu greentea late, Ezra melangkahkan kakinya menuju sudut cafe yang lumayan sepi dari pelanggan lain. Sengaja, agak obrolan mereka nanti tidak terdengar oleh yang lainnya.

Satu hembusan nafas pelan berhembus dari mulutnya, matanya melirik layar ponsel yang masih menunjukan jam satu lewat enambelas menit. Sesekali kepalanya menoleh ke arah luar kaca, memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di jalan luar.

“Ezra.”

Suara bass dengan tone rendah itu sukses membuat Ezra menolehkan kepalanya, matanya merefleksi satu lelaki yang berdiri tepat di sebelahnya dengan celana jeans hitam, dipadukan dengan kemeja biru langit.

“Niko?”

Niko mengangguk, ia melepas maskernya lalu tersenyum simpul ke arah Ezra. “Hei,”

Kelopak mata Ezra mengedip lambat. 'Gila, beneran cakep ternyata.'

“Udah lama nunggu?” Tanya Niko sambil mengambil posisi duduk tepat di depan Ezra, dibalas gelengan pelan oleh lawan bicaranya itu.

“Enggak, baru aja gua sampe. Lo udah pesen minuman atau apa gitu?”

“Udah kok,” Niko mengangguk. “Sorry ya kalo lo harus nunggu, tadi di jalan agak macet.”

Ezra terkekeh pelan, “Eh gapapa kali, nyantai aja. Gua juga baru nunggu bentaran, ada kali 10 menit mah.”

Obrolan mereka sedikit terintrupsi ketika salah satu waitress mengantarkan pesanan, Ezra tersenyum seraya mengucapkan terimakasih, begitu juga dengan Niko.

“So...” Bola mata Niko menatap lurus ke arah Ezra, “How about the rules?”

Punggung Ezra sedikit memundur, bersandar pada sandaran kursi tempatnya duduk. “Gua udah mikirin beberapa sih, but If you had some rules too, just tell me.”

“Hm, okay. Go ahead then.”

“Rules number one, no feeling attached, no falling in love to each other.” Suara Ezra mengalun tenang, “Gua rasa, di hubungan kaya gini emang paling gak boleh naro rasa kan? 'Cause we just enjoy each other physically.”

Niko ngangguk, “Of course. That's the main rules.”

“Rules nomor dua, speak up what you want clearly. Gua bukan tipe yang suka basa basi sebenernya, jadi kalo lo butuh gua buat nyeselesain sesuatu, just tell me one right away, begitu juga gua nantinya. Keberatan gak?”

“Nope. Gua rasa emang gitu juga gak sih cara main kita nantinya?” Niko terkekeh pelan, “Tapi kita juga harus tau waktu sama lain for making it more clearly. Gak mungkin juga kan lo atau gua tiba-tiba needy terus butuh pelepasan saat salah satu dari kita lagi sibuk?”

“Yeah,” Ezra mengangguk setuju. “Yes mean yes, no means no. Gampangnya gitu sih.”

“Then?”

“Be honest. Dalam setiap hubungan, gua rasa emang kejujuran satu sama lain itu yang paling penting.”

“Be honest for?”

“Apapun.” Ezra merubah posisinya jadi sedikit membungkuk, dagunya bertopang dengan sebelah tangan. “Maksud gua gak semuanya sih, yang terkait dengan hubungan ini aja. Selagi itu gak masuk ke ranah privasi.”

“Oke then. Anything else?” Tanya Niko.

“Don't let yourself get jealous.”

“Yeah.” Niko tertawa pelan, “I dont mind about that anyway. Gua bukan tipe orang yang cemburuan, Zra. Lagian di hubungan kaya gini apa yang harus dicemburuin?”

Ezra tekekeh, “Yah gak ada sih sebenernya. Cuman buat bikin boundaries diantara kita lebih keliatan aja.”

Kedua tangan Niko melipat di atas meja, kepalanya mengangguk. “Terus ada lagi?”

“Kayaknya gak ada deh. Intinya kita hubungan kaya gini kan buat have fun aja, jadi tanpa diomongin pun lo tau batesan-batesannya, kan?”

“Of course I know.” Niko menyesap sedikit ice coffeenya lalu tersenyum tipis, “Tadi kita udah ngomongin tentang rules, gimana kalo sekarang kita omongin tentang our private agenda?”

“Lo gak ada yang mau di tambahin dari rules barusan?”

Niko menggeleng tipis, “Enggak ada. Rules yang lo omongin sama kaya rules yang mau gua omongin juga, jadi ya gak ada tambahan sih.”

“Ow okay.” Senyum Ezra mengembang selagi kepalanya mengangguk. “Then about our private agenda, enaknya gimana?”

“Do you have some kink?” Tanya Niko to the point dengan suara yang sengaja dipelankan.

“Enggak.” Ezra menjawab lugas, “Gua gak punya kayak gituan. Make out ya make out, gak suka yang aneh-aneh. Lo sendiri?”

“Gua juga engga.”

“But If you want to play roleplay when we do 'that', I dont mind too. Maksudnya kita juga sebagai fwb harus memenuhin bucket list sex each other kan? Itu pun kalo lo punya sih.”

Niko ketawa, lumayan kencang karena merasa lucu dengan apa yang Ezra katakan. “Yeah. You dont mind to play student and teacher kan?”

“Kaya bokep jepang deh.” Komentar Ezra pelan, sebelah alisnya naik sekilas. “Tapi kalo lo mau kaya gitu sih, ya gapapa. Sesekali aja tapi.”

“Enggak, enggak. Gua cuman bercanda.” Niko terkekeh, “Yang normal-normal aja lah.”

“Hmm oke.” Ezra mengangguk, lalu nyesep sedikit greentea latte pesanannya. “Oh ya, Nik. Sebelum kita ngelakuin itu, lo gak keberatan kan buat medical checkup dulu?”

“Gua udah kok.”

“Huh?”

“Gua udah medical checkup kemaren, Zra.” Niko tersenyum tipis. “Waktu lo ngeiyain ajakan gua, balik kampus gua langsung ke rs buat itu.”

“Sama berarti.” Ezra terkekeh, “Hasilnya?”

“I'm clean, gua sehat wal afiat. Kalo lo mau liat buktinya, ada kok di mobil.”

“Gak usah, gua percaya kok.”

“Terus lo gimana?”

“Gua juga clean.”

Seringai tipis muncul di wajah Niko. Satu tangannya menopang dagu, matanya menatap lekat wajah Ezra didepannya.

“So when are we going to do?”

Ezra kembali membungkuk, sama-sama menopang dagunya dengan sebelah tangan. Balik menatap lekat kedua mata Niko, ikut menyunggingkan seringai tipis.

“Gua gak keberatan kalo lo pengen sekarang juga.”

“Disini?” Tanya Niko.

“Atau mungkin mobil?” Tanya Ezra balik, menantang Niko.

Mereka berpandangan selama beberapa detik sebelum Niko memutuskan kontak mata terlebih dahulu, tertawa renyah sambil mengusak rambut Ezra sekilas.

“I don't like publik sex actually.”

“Why?”

Niko lagi-lagi memajukan wajahnya, berbisik tepat dengan suara rendahnya di telinga Ezra. “Cause I can't hear your precious voice moaning my name to get harder.”

“Hahahaha,” Ezra tertawa hingga kedua matanya menyipit, membuat Niko juga ikut terkekeh bersamanya. “I don't even imagine we talk about it in here. Gila emang.”

“Kan ngomongnya pelan-pelan.”

“Iya sih,” Ezra menyahut sambil terkekeh. “So, mau kapan?”

“Kalo gua minta malem ini? Keberatan gak?”

Ezra menggeleng cepat. “Enggak kok. Lo udah needy ya?”

“Enggak juga sih. Cuman lebih cepat kan lebih baik.”

“Hm? Lebih cepat apanya tuh?”

“Ezra,”

“Hahahaha,” Ezra lagi-lagi tertawa. Merasa sukses menggoda Niko yang menatapnya dengan tatapan 'jangan main-main sama gua'.

“In my place or yours?” Tanya Ezra.

“Yours. Apart gua masih berantakan soalnya, belum sempet beres-beres abis temen-temen gua main semalem.”

“Oke then, see you tonight.”

“Tonight?” Niko bertanya bingung, satu alisnya naik.

Bibir Ezra sedikit melengkung ke bawah, “Sorry, gua harus ketemu sama temen gua dulu abis ini, dia udah ngomel-ngomel soalnya.”

“It's okay, you don't need to say sorry actually.” Senyum tipis Niko kembali hadir, “Oke, see you tonight. Don't forget to prepare your self.”

“Noted it! You too! Hahaha.” Ezra mengedipkan sebelah matanya, menyesap greentea lattenya sebelum bangkit dari kursinya. “Gua pamit duluan ya, Nik. Sorry banget ini mah.”

“Gapapa. Eh Zra,”

“Hm? Kenapa?”

Niko terdiam beberapa saat, sebelum satu seringai tipis lagi-lagi hadir di wajahnya.

“You're prettier more than I expected to be honest.”

“Yeah?”

“Yeah.”

“Oke, thanks. I know it actually, hahaha.”

Niko terkekeh, matanya tidak lepas memperhatikan Ezra yang berjalan menjauh, bahkan hingga sosoknya keluar dari dalam cafe.

JAEYONG ONESHOOT AU

.

“Jaehyun! Aihh berhenti kentut sembarangan!”

Jaehyun terkekeh begitu sosok yang terbaring tengkurap di sebelahnya memukul lengan atasnya sengan sebuah kepalan tangan.

“Sialan! Baunya seperti bangkai siput! Kau makan apa sih kemarin?”

Taeyong mengibaskan tangannya berulang kali di depan hidung. Alisnya bertaut sebal menatap Jaehyun, lalu kembali memukul lagi lengan atas lelaki itu.

“Yah! Berhenti memukulku pendek!”

“Siapa yang kau bilang pendek, hah?!”

Jaehyun lebih dulu menghindar sambil tertawa lebar begitu Taeyong akan memukulnya kembali. Membuat Taeyong berakhir mendengus jengkel sambil melempar lirikan sinisnya pada Jaehyun.

“Dasar pendek,”

”....”

“Hei pendek, kenapa diam saja?”

Kesabaran Taeyong sudah mencapai batas, dengan cepat ia bangkit dari posisinya, mengangkat tangannya yang memegang buku itu tinggi-tinggi. Siap menghajar Jaehyun.

“Tinggi kita hanya selisih 7 senti, berani-beraninya kau mengataiku pendek! Kemari kau sialan!”

Taeyong berlari mengejar Jaehyun yang kini tertawa lebar, sambil berusaha menghindar darinya. Membuat suara langkah kaki mereka beradu di lantai apartemen Jaehyun.

Tetangga bawah lantai pasti bisa mengira kalai terjadi gempa sekarang.

“Berhenti kau, Jung Jaehyun!”

Jaehyun memeletkan lidahnya, “Wlee!! Kejar aku pendek,”

Langkah kaki Taeyong terhenti begitu nafasnya mulai tertarik pendek. Ia berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap nyalang Jaehyun yang berdiri di belakang sofa.

“Dasar menara sutet!” Umpat Taeyong pelan sebelum membalik badan, berjalan masuk kembali ke dalam kamar.

Jaehyun yang melihat itu langsung buru-buru mendekat, memeluk Taeyong dari belakang sambil mengecupi pipinya.

“Tapi lebih baik pendek seperti ini, jadi pas di pelukanku,”

“Ngah! Jauhkan bibir beracunmu itu,” Ucap Taeyong sambil berusaha menjauhkan wajah Jaehyun dengan kedua tangannya.

Jaehyun terkekeh, ia menggoyangkan badan Taeyong ke kanan dan ke kiri secata berulang.Membuat raut wajah sebal Taeyong perlahan memudar.

“Aku lapar,” Bisik Jaehyun terap di telinga Taeyong, dagunya ia tumpukan pada pundak yang lebih kecil.

Taeyong mengeryit heran, “Bukankah dua jam lalu kau baru saja menghabiskan dua porsi mie? Sekarang lapar lagi?”

Anggukan Jaehyun berikan sebagai jawaban, “Buatkan aku sesuatu yang bisa di makan,”

“Kau suka telur dadar dengan ekstrak sisa-sisa perang dunia, tidak?”

Jaehyun merengut, “Serius, Taeyong. Aku rindu masakanmu,”

“Bleh,” Taeyong tersenyum meledek, “Memangnya kau punya bahan makanan di kulkas?”

“Tidak tahu. Aku terakhir membukanya saat perang dunia kedua berakhir,”

Taeyong memutar bola matanya malas, “Yasudah kalau begitu pesan pizza saja,”

“Tapi aku ingin masakanmu,”

“Yah! Jangan banyak mau!” Taeyong mencubit tangan Jaehyun yang melingkari perutnya, “Pesan pizza saja,”

“Sepertinya aku punya beberapa telur di kulkas, buatkan omelet saja,”

“Telur dadar,”

“Omelet,”

Satu cubitan lagi Taeyong hadiahkan pada Jaehyun, “Terserah. Bagiku mereka itu sama saja,”

“Berhenti mengomel dan buatkan aku makanan,”

Satu ciuman Jaehyun berikan di atas bibir tipis Taeyong. Membuat sang empu terdiam sejenak lali memukul pelan bibir Jaehyun, melepas kukungan lelaki itu dan berjalan menuju dapur.


Setelah selesai menghabiskan dua porsi omelet buatan Taeyong, san membantu lelaki mungil itu membereskan dapur, Jaehyun menghadiahi Taeyong sebuah ciuman panjang di meja makan.

Jaehyun tersenyum lebar begitu tautan bibir mereka terputus, setelahnya kembali mengajak Taeyong masuk ke dalam kamar.

Tidak lupa untuk membersihkan diri masing-masing sebelum naik ke atas kasur, menjemput malam.

Jaehyun masih sibuk membaca sebuah novel, begitu kepala TAeyong menyembul dari lipatan tangannya. Bersandar pada pundaknya dengan pandangan yag mengdongkak, menatap Jaehyun.

“Jaehyun,”

“Hm,”

“Ayo jalan-jalan,”

Satu alis Jaehyun terangkat, kedua tangannya yang menggenggam buku perlahan turun.

“Jalan-jalan kemana?” Tanya Jaehyun bingung, “Kita baru saja pulang dari Jeju minggu lalu,”

“Ya memangnya kenapa kalau jalan-jalan lagi?” Tanya Taeyong balik dengan bibir yang mengerucut, “Aku barusan melihat salah satu rekomendasi tempat kencan,”

“Dimana itu?”

“Kebun bunga tulip,”

“Oh!” Kepala Jaehyun tiba-tiba mengangguk, “Yang sedang ramai dibicarakan itu ya?”

“Huum,” Taeyong mengeluarkan jurus boba eyesnya, “Boleh kesana kan?”

Jaehyun tersenyum, ia menutup buku yang dibacanya lalu menaruhnya di atas nakas. Ia ubah posisinya menjadi saling berhadapan dengan Taeyong, lalu mencubit pipi putih yang kemerahan itu dengan gemas.

“Boleh,”

Senyum Taeyong seketika melebar, mengecup bibir Jaehyun sebagai hadiah, “Yeay!”

Jaehyun mengelus-elus punggung Taeyong sayang. Senyumnya ikut melebar ketika melihat si mungil.

“Kapan ingin pergi ke sana?”

“Minggu ini bagaimana? Kau sibuk tidak?”

Satu kecupan Jaehyun berikan kembali untuk Taeyong, “Sibuk untuk yang lain, tapi tidak untukmu,”

“Gombal,”

Mereka berdua tertawa bersama. Tersenyum lebar pada satu sama lain hingga kedua mata mereka menyipit, lalu mengakhirinya dengan satu ciuman singkat sebagai penghantar tidur.

Taeyong semakin merapatkan tubuhnya ke arah Jaehyun, menaruh wajahnya di ceruk leher lelaki itu. Menghidup aroma memabukan yang selalu berhasil membuatnya candu.

Jaehyun pun sama, ia peluk lebih erat tubuh kecil itu hingga terlihat tenggelam dalam pelukannya. Kepalanya tepat berada diatas kepala Taeyong, tidak lupa juga bibirnya sibuk mengecupi pucuk kepala kekasihnya itu.

“Aku selalu suka wangimu,” Puji Jaehyun sambil menghirup aroma yang menguar dari helaian rambut Taeyong, “Seperti permen kapas,”

“Aku keramas pakai shampo keponakanku,”

“Pantas saja,”

Setelah itu, keduanya memejamkan mata untuk menjemput mimpi.


Hari minggu tiba, Jaehyun tersenyum tipis begitu melihat Taeyong keluar dari pagar rumahnya dengan satu stel kemeja putih dipadukan dengan jeans hitam.

Tidak lupa, sebuah kamera menggantung di lehernya.

“Hai,” Sapa Taeyong begitu masuk ke dalam mobil, menoleh ke arah Jaehyun.

Tangan Jaehyun terulur, mengusap pipi Taeyong, “Cantik sekali,”

Taeyong membalasnya dengan satu senyuman lebar, “Tentu saja,”

Jaehyun terkekeh, “Jalan sekarang?”

“Huum,”

“Pasang sabuk pengamannya dulu, sayang,”

“Oh iya,” Taeyong langsung menarik seat belt, “Sudah,”

Senyum Jaehyun mengembang. Ia kemudian menarik rem tangan, memasukan persneling, lalu mobil sedan hitam itu melenggang pelan melewati gang-gang di perumahan Taeyong.

Tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit karena terletak di pinggir kota.

Sepanjang perjalanan, sebelah tangan Jaehyun tidak lepas sama sekali menggengam sebelah tangan Taeyong, sambil menaruhnya diatas persneling. Membuat tangan Taeyong sesekali juga ikut bergerak ketika Jaehyun memasukan gigi mobil.

Jaehyun memelankan kecepatan begitu mereka sudah tiba di area taman. Parkiran terlihat lumayan sepi walaupun di weekend sepeti ini, membuat Jaehyun sedikit bertanya-tanya bingung dalam benaknya.

“Aku kira akan ramai,”

Taeyong menaikan pundaknya, “Mungkin sudah banyak yang kemari, makanya sekarang terlihat sepi,”

“Sepertinya,”

Mereka berdua keluar dari mobil. Jaehyun dengan cepat mendekat ke arah Taeyong lalu kembali mengenggam tangannya, membuat Taeyong menoleh dengan ekspresi wajah meledek.

“Dasar posesif,” Ucap Taeyong pelan.

Gantian Jaehyun yang menaikan pundaknya acuh, “Kau kecil, kalau hilang nanti aku susah mencarinya,”

“Yaa, terserah kau saja tuan Jung,”

Kaki mereka melangkah seirama masuk ke dalam area taman. Ada sebuah perdebatan kecil ketika mereka tiba di pos penjagaan, Jaehyun yang kekeh menyuruh Taeyong menunggu sebentar si penjaga yang katanya kebelet ke kamar kecil, serta Taeyong yang kekeh menarik Jaehyun masuk tanpa melapor lebih dulu pada penjaga.

Tapi akhirnya, Jaehyun tetap mengalah. Melihat raut wajah Taeyong yang berubah cemberut, membuatnya mau tidak mau harus mengikuti keinginan lelaki mungil satu itu.

Kalau tidak, mungkin kencan mereka kali ini hanya diisi gerutuan kesal Taeyong sepanjang hari.

Senyum Taeyong melebar, matanya berbinar indah ketika melihat hamparan bunga tulip berbagai warna di hadapannya sekarang.

Tangannya langsung melepas genggaman Jaehyun, dengan cepat mengarahkan kameranya pada bunga tulip dengan corak warna yang beragam itu.

“Cantik,”

Taeyong menoleh begitu suara pelan Jaehyun membuyarkan fokusnya.

“Hm?”

“Cantik,” Satu senyuman tipis Jaehyun berikan, “Sepertimu,”

Dengusan pelan Taeyong berikan, ia tegakan posisi badannya yang tadinya membungkuk. Lalu tersenyum lebar pada Jaehyun, tangannya kembali mengenggam tangan Jaehyun.

Jaehyun dengan senang hati menggengam lebih erat. Tangan mereka seperti dibubuhi lem perekat, bertaut seakan hari esok tidak pernah ada.

Kaki mereka melangkah seirama, berkeliling kebun yang dipenuhi dengan bunga tulip bermekaran. Sesekali mengabadikan beberapa foto karena tidak ingin melewatkan moment kali ini.

“Jaehyun, fotokan aku ya!”

Taeyong bergerak sedikit menjauh dari posisi Jaehyun berdiri. Ia berada tepat di tikungan papan jalan yang berada di atas sebuah kolam kecil, membuat Jaehyun mau tidak mau berdiri di samping air terjun kecil yang tepat berada di belakangnya.

“Hoodieku basah, Yong,”

“Ish! Sebentar saja,”

“Lepas dulu maskernya, sayang,”

“Sudah fotokan saja apa susah sih!” Dengus Taeyong.

Jaehyun terkekeh, ia mengarahkan kamera ponselnya ke arah Taeyong, lalu memotret kekasihnya itu beberapa kali.

“Aku suka yang ini,” Kata Taeyong begitu melihat hasil foto yang Jaehyun ambil, “Tapi aneh juga, kenapa aku harus menutup mulut padahal memakai masker?”

“Tidak ada yang aneh, tetap cantik,” Jaehyun mencuri satu kecupan di pipi Taeyong, “Ayo jalan lagi,”

Setelah mencapai ujung papan jalan, Taeyong langsung menarik tangan Jaehyun untuk mendekat ke arah pinggiran danau yang dipenuhi banyak batu-batu.

“Ayo buat yang seperti itu,”

Telunjuk Taeyong mengarah pada susunan batu yang telah dibuat oleh pasangan lain yang berada di sana, tersenyum lebar pada Jaehyun hingga kedua matanya menyipit.

Satu usakan pelan Jaehyun berikan pada rambut Taeyong yang tersusun rapih, membuatnya jadi sedikit berantakan dengan poni panjang yang menutupi kening Taeyong.

Mereka berdua jongkok di bibir kolam, menyusun batu-batu kecil hingga menjadi tumpukan. Lalu mengambil beberapa foto setelah batu-batu itu sukses berdiri.

Setelah selesai, Jaehyun mengajak Taeyong untuk duduk di salah satu kursi kosong yang berada disana. Dibalas Taeyong dengan anggukan, lalu mengekori Jaehyun dari belakang dengan tangan mereka yang lagi-lagi kembali bertaut.

“Kau senang?” Tanya Jaehyun, menyibak rambut Taeyong yang sudah cukup panjang ke belakang.

Anggukan kepala Taeyong respon sebagai jawaban, ia sandarkan kepalanya di pundak Jaehyun.

“Sekali,” Senyumnya mengembang tipis, “Lain kali, kita harus kesini lagi,”

“Ya, tentu saja,”

Keduanya terdiam, menikmati semilir angin yang menerpa secara halus. Jemari-jemari yang bertaut itu berada tepat di atas paha Jaehyun, dengan jempol Jaehyun yang secara perlahan mengusap punggung tangan Taeyong.

“Jaehyun,”

“Hm?” Jaehyun berdehem pelan, “Kenapa?”

“Kalau diskalakan dari 1 sampai 10, aku berada dimana?”

Jaehyun terlihat berpikir sejenak, namun sebenarnya ia tidak benar-benar berpikir, hanya ingin mengoda Taeyong yang kini menatap ke arahnya.

“Dimana ya,”

“Serius,” Taeyong memajukan bibir bawahnya, “Ih!”

“Hahaha,” Jaehyun tertawa, lalu mengecup singkat bibir Taeyong, “Tak terhingga,”

“Infinity?”

“Ya, infinity,”

“Kenapa begitu?” Tanya Taeyong lagi.

“Tidak tahu,”

Taeyong memicingkan kedua matanya, “Jaehyun! Serius!”

“Karena bagiku kau segalanya, Taeyong,” Ujar Jaehyun pelan, satu tangannya yang lain terulur untuk mengusap pipi Taeyong yang kemerahan. “Aku bahkan tidak bisa membayangkan duniaku jika tidak ada dirimu, mungkin bisa berakhir gila atau lebih buruk,”

“Jangan seperti itu,” Sahut Taeyong cepat.

“Tapi itu benar,”

Taeyong membuang nafasnya berat, kembali menyenderkan kepalanya pada pundak Jaehyun. Membuat yang lebih tinggi mengeryit heran melihat tingkah Taeyong.

“Kenapa?”

“Jaehyun, jangan seperti itu,” Taeyong menatap lurus ke arah hamparan tulip berwarna kuning, “Semua orang akan datang dan juga pergi, begitu pula aku,”

“Jadi kau berniat untuk selingkuh?”

Refleks Taeyong memukul paha Jaehyun sekali tepukan, “Bukan sepeti itu aishh!!”

“Lalu?”

Taeyong kembali menghela nafasnya, “Suatu saat nanti, aku pun akan pergi. Jadi jangan seperti itu,”

“Memangnya kau akan kemana?” Tanya Jaehyun lagi.

“Ke suatu tempat yang tidak bisa kau gapai,” Suara Taeyong memelan, “Kau pun sama, Jaehyun. Entah aku atau kau yang lebih dulu, tapi aku harap diantara kita nantinya akan bisa melanjutkan hidup lebih baik,”

Jaehyun melirik pucuk kepala Taeyong dari ujung matanya. Sejujurnya ia tidak mengerti kenapa Taeyong tiba-tiba membicarakan tentang ini, bukankah kencan seharusnya di isi dengan obrolan-obrolan ringan dan godaan hingga pipi bersemu merah?

Tapi kenapa begini?

“Jaehyun,” Panggil Taeyong lagi.

“Ya?”

“Kalau nanti aku yang pergi terlebih dahulu,” Taeyong menelan ludahnya susah, “Tolong lanjutkan hidupmu dengan baik,”

“Carilah penggantiku secepatnya, dan bahagiakan dia seperti kau membahagiakanku. Hidup dengan layak, jangan pernah menoleh ke belakang lagi jika itu membuatmu sakit,” Lanjut Taeyong, “Paham tidak?”

Jaehyun hanya mengangguk patah-patah. Dadanya seketika merasa sesak, seperti ada sebongkah batu besar yang tiba-tiba menimpanya.

Tidak bertemu dengan Taeyong selama tiga hari saja sudah membuatnya kalang kabut, bagaimana jika selamanya?

“Kau paham yang aku ucapkan tadi, kan?”

“Iya,”

“Kalau begitu,”

Taeyong menegakkan kepalanya, ia memiringkan badannya ke arah Jaehyun lalu tersenyum tipis, mengambil jeda sejenak sebelum kembali membuka mulut.

“Tolong relakan aku,”

“Taeyong, apa yang kau maksud?” Alis Jaehyun menukik bingung, “Aku tidak mengerti apa yang dari tadi kau ucapkan,”

“Jaehyun, dengarkan aku sekali lagi,”

Taeyong mentap lurus ke sepasang pupil coklat yang terlihat kebingungan sekaligus risau itu.

“Aku sudah tidak benar-benar bersamamu lagi, Jaehyun. Tolong jangan sakiti dirimu sendiri dengan menganggap aku seolah-olah masih ada,”

“Taeyong-”

“Jung Jaehyun,” bisik Taeyong lirih, “Mau sampai kapan? Kau juga harus bahagia, ada atau tidaknya aku dalam hidupmu. Jangan terus-terusan seperti ini, kau membuatku sedih,”

Air muka Taeyong berubah keruh, menatap sendu pada Jaehyun yang masih belum mengerti segala ucapannya.

“Jaehyun, aku mencintaimu,”

Tangan Jaehyun tiba-tiba melepas gengamannya pada jemari Taeyong, lalu mencengkram erat kedua pundak Taeyong dengan matanya yang mendadak basah.

“Tidak, jangan bilang seperti itu!” Jaehyun menyentak kuat.

Taeyong mengelus pipi Jaehyun perlahan, “Aku benar-benar mencintaimu,”

“Jangan katakan itu, Taeyong!”

Jaehyum menggeleng, tangannya semakin erat mencengkram pundak Taeyong.

“Tolong jangan katakan itu,” ulangnya lagi dengan lirih. “Jangan pergi,”

“Tapi aku harus,” Taeyong dengan perlahan melepas cengkraman Jaehyun pada pundaknya, “Memangnya kau juga tidak kasihan dengan Johnny dan Yuta? Mereka kewalahan Jaehyun,”

“Taeyong, aku mohon,”

Suara Jaehyun terdengar frustasi, bola matanya bergerak berulang kali seperti orang linglung.

“Jaehyun, tolong katakan jika kau juga mencintaiku,”

“Tidak!”

“Jaehyun ayolah,” Taeyong memohon lirih, “Sekali saja,”

Kepala Jaehyun menggeleng kuat, kedua tangannya mencengkram kedua sisi kepala.

“Jaehyun,”

”...”

“Jae,”

“JIka aku mengatakan itu,” Jaehyun mengambil nafasnya yang tiba-tiba terputus, “Kau akan pergi,”

“Aku memang sudah seharusnya pergi, Jaehyun,”

“Taeyong, aku mohon,”

“Aku sudah tidak bisa lebih lama lagi, Jaehyun. Tolong katakan itu sekarang,”

Jaehyun mengambil nafasnya dalam, ia usap matanya yang entah sedari kapan basah.

“Taeyong, aku mencintaimu.”

Sudut bibir Taeyong terangkat, “Begitu lebih baik,”

Setelah itu, perlahan-lahan sosok Taeyong menghilang seiring dengan hembusan angin yang menerpa.

“Jaehyun, tolong jangan lupakan aku.”

Dan Taeyong benar-benar menghilang setelahnya.

Membuat Jaehyun langsung berteriak memanggil-manggil nama Taeyong berulang kali. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri secara cepat, tapi Taeyong benar-benar sudah tidak ada.

Jaehyun berakhir dengan jatuh terduduk, meraung menyebut nama Taeyong disela-sela tangisnya yang semakin terdengar menyedihkan.


“Bagaimana kondisinya?”

Yuta datang dengan nafas menderu, membungkukkan badan seraya meraup oksigen dengan rakus setelah menutup pintu.

Johnny yang baru saja mendudukan dirinya diatas sofa cream membuang nafasnya berat, “Sudah tenang, aku berikan beberapa obat penenang tadi,”

“Oh syukurlah,” Helaan nafas lega Yuta keluarkan, “Aku lupa mengunci pintu apartemen sebelum berangkat tadi,”

“Lain kali jangan lupa menguncinya, Yut,” Johnny berkata kesal, “Kita tidak tahu kondisinya, sewaktu-waktu Jaehyun bisa kumat kembali,”

Yuta mendudukan dirinya di salah satu single sofa, “Taeyong lagi?”

“Memangnya siapa lagi?”

Suasana apartemen mendadak hening beberapa saat, sebelum suara nafas berat dari Yuta kembali terdengar.

“Ini bahkan sudah tahun ke dua,”

Johnny memijat pelipisnya yang mendadak pening, “Tidak ada pilihan lain,”

“Huh?”

“Kita harus membawanya ke rumah sakit jiwa,”

Yuta mengeryitkan alisnya, “Tapi Jaehyun masih terlihat normal di waktu-waktu tertentu, John,”

Tubuh Johnny ia tegakan, menatap Yuta yang juga menatapnya.

“Taeyong bahkan sudah meninggal dua tahun yang lalu kalau kau lupa, Yut! Tapi dia terus berhalusinasi kalau Taeyong masih ada disini!” Nada suara Johnny sedikit naik, “Lebih baik kita membawanya ke rumah sakit jiwa besok selagi belum terlambat,”

Yuta mengusap wajahnya kasar, kembali membuang nafasnya lelah. Memutus kontak mata dengan Johnny lalu menyenderkan tubuhnya lelah di punggung sofa.

“Aku tidak menduga Jaehyun akan sebegitu frustasinya,”

“Hanya Taeyong satu-satunya cahaya yang dia punya saat kedua orangtuanya meninggal, lalu tak berapa lama Taeyong pun ikut memilih pergi. Kau bisa bayangkan seberapa hancurnya Jaehyun sekarang,”

“Ya, kau benar,” Yuta tersenyum miris, “Perpisahan memang menyakitkan,”

“Kau tahu kenapa?”

“Kenapa?”

“Karena bagian terberat dari perpisahan adalah merelakan, dan itu yang menjadikan perpisahan benar-benar menyakitkan.”


Maaya (माया) are where someone sees, hears, smells, tastes or feels things that don't exist outside their mind

FIN.

*JAEYONG ONESHOOT AU

.

“Jaehyun! Aihh berhenti kentut sembarangan!”

Jaehyun terkekeh begitu sosok yang terbaring tengkurap di sebelahnya memukul lengan atasnya sengan sebuah kepalan tangan.

“Sialan! Baunya seperti bangkai siput! Kau makan apa sih kemarin?”

Taeyong mengibaskan tangannya berulang kali di depan hidung. Alisnya bertaut sebal menatap Jaehyun, lalu kembali memukul lagi lengan atas lelaki itu.

“Yah! Berhenti memukulku pendek!”

“Siapa yang kau bilang pendek, hah?!”

Jaehyun lebih dulu menghindar sambil tertawa lebar begitu Taeyong akan memukulnya kembali. Membuat Taeyong berakhir mendengus jengkel sambil melempar lirikan sinisnya pada Jaehyun.

“Dasar pendek,”

”....”

“Hei pendek, kenapa diam saja?”

Kesabaran Taeyong sudah mencapai batas, dengan cepat ia bangkit dari posisinya, mengangkat tangannya yang memegang buku itu tinggi-tinggi. Siap menghajar Jaehyun.

“Tinggi kita hanya selisih 7 senti, berani-beraninya kau mengataiku pendek! Kemari kau sialan!”

Taeyong berlari mengejar Jaehyun yang kini tertawa lebar, sambil berusaha menghindar darinya. Membuat suara langkah kaki mereka beradu di lantai apartemen Jaehyun.

Tetangga bawah lantai pasti bisa mengira kalai terjadi gempa sekarang.

“Berhenti kau, Jung Jaehyun!”

Jaehyun memeletkan lidahnya, “Wlee!! Kejar aku pendek,”

Langkah kaki Taeyong terhenti begitu nafasnya mulai tertarik pendek. Ia berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap nyalang Jaehyun yang berdiri di belakang sofa.

“Dasar menara sutet!” Umpat Taeyong pelan sebelum membalik badan, berjalan masuk kembali ke dalam kamar.

Jaehyun yang melihat itu langsung buru-buru mendekat, memeluk Taeyong dari belakang sambil mengecupi pipinya.

“Tapi lebih baik pendek seperti ini, jadi pas di pelukanku,”

“Ngah! Jauhkan bibir beracunmu itu,” Ucap Taeyong sambil berusaha menjauhkan wajah Jaehyun dengan kedua tangannya.

Jaehyun terkekeh, ia menggoyangkan badan Taeyong ke kanan dan ke kiri secata berulang.Membuat raut wajah sebal Taeyong perlahan memudar.

“Aku lapar,” Bisik Jaehyun terap di telinga Taeyong, dagunya ia tumpukan pada pundak yang lebih kecil.

Taeyong mengeryit heran, “Bukankah dua jam lalu kau baru saja menghabiskan dua porsi mie? Sekarang lapar lagi?”

Anggukan Jaehyun berikan sebagai jawaban, “Buatkan aku sesuatu yang bisa di makan,”

“Kau suka telur dadar dengan ekstrak sisa-sisa perang dunia, tidak?”

Jaehyun merengut, “Serius, Taeyong. Aku rindu masakanmu,”

“Bleh,” Taeyong tersenyum meledek, “Memangnya kau punya bahan makanan di kulkas?”

“Tidak tahu. Aku terakhir membukanya saat perang dunia kedua berakhir,”

Taeyong memutar bola matanya malas, “Yasudah kalau begitu pesan pizza saja,”

“Tapi aku ingin masakanmu,”

“Yah! Jangan banyak mau!” Taeyong mencubit tangan Jaehyun yang melingkari perutnya, “Pesan pizza saja,”

“Sepertinya aku punya beberapa telur di kulkas, buatkan omelet saja,”

“Telur dadar,”

“Omelet,”

Satu cubitan lagi Taeyong hadiahkan pada Jaehyun, “Terserah. Bagiku mereka itu sama saja,”

“Berhenti mengomel dan buatkan aku makanan,”

Satu ciuman Jaehyun berikan di atas bibir tipis Taeyong. Membuat sang empu terdiam sejenak lali memukul pelan bibir Jaehyun, melepas kukungan lelaki itu dan berjalan menuju dapur.


Setelah selesai menghabiskan dua porsi omelet buatan Taeyong, san membantu lelaki mungil itu membereskan dapur, Jaehyun menghadiahi Taeyong sebuah ciuman panjang di meja makan.

Jaehyun tersenyum lebar begitu tautan bibir mereka terputus, setelahnya kembali mengajak Taeyong masuk ke dalam kamar.

Tidak lupa untuk membersihkan diri masing-masing sebelum naik ke atas kasur, menjemput malam.

Jaehyun masih sibuk membaca sebuah novel, begitu kepala TAeyong menyembul dari lipatan tangannya. Bersandar pada pundaknya dengan pandangan yag mengdongkak, menatap Jaehyun.

“Jaehyun,”

“Hm,”

“Ayo jalan-jalan,”

Satu alis Jaehyun terangkat, kedua tangannya yang menggenggam buku perlahan turun.

“Jalan-jalan kemana?” Tanya Jaehyun bingung, “Kita baru saja pulang dari Jeju minggu lalu,”

“Ya memangnya kenapa kalau jalan-jalan lagi?” Tanya Taeyong balik dengan bibir yang mengerucut, “Aku barusan melihat salah satu rekomendasi tempat kencan,”

“Dimana itu?”

“Kebun bunga tulip,”

“Oh!” Kepala Jaehyun tiba-tiba mengangguk, “Yang sedang ramai dibicarakan itu ya?”

“Huum,” Taeyong mengeluarkan jurus boba eyesnya, “Boleh kesana kan?”

Jaehyun tersenyum, ia menutup buku yang dibacanya lalu menaruhnya di atas nakas. Ia ubah posisinya menjadi saling berhadapan dengan Taeyong, lalu mencubit pipi putih yang kemerahan itu dengan gemas.

“Boleh,”

Senyum Taeyong seketika melebar, mengecup bibir Jaehyun sebagai hadiah, “Yeay!”

Jaehyun mengelus-elus punggung Taeyong sayang. Senyumnya ikut melebar ketika melihat si mungil.

“Kapan ingin pergi ke sana?”

“Minggu ini bagaimana? Kau sibuk tidak?”

Satu kecupan Jaehyun berikan kembali untuk Taeyong, “Sibuk untuk yang lain, tapi tidak untukmu,”

“Gombal,”

Mereka berdua tertawa bersama. Tersenyum lebar pada satu sama lain hingga kedua mata mereka menyipit, lalu mengakhirinya dengan satu ciuman singkat sebagai penghantar tidur.

Taeyong semakin merapatkan tubuhnya ke arah Jaehyun, menaruh wajahnya di ceruk leher lelaki itu. Menghidup aroma memabukan yang selalu berhasil membuatnya candu.

Jaehyun pun sama, ia peluk lebih erat tubuh kecil itu hingga terlihat tenggelam dalam pelukannya. Kepalanya tepat berada diatas kepala Taeyong, tidak lupa juga bibirnya sibuk mengecupi pucuk kepala kekasihnya itu.

“Aku selalu suka wangimu,” Puji Jaehyun sambil menghirup aroma yang menguar dari helaian rambut Taeyong, “Seperti permen kapas,”

“Aku keramas pakai shampo keponakanku,”

“Pantas saja,”

Setelah itu, keduanya memejamkan mata untuk menjemput mimpi.


Hari minggu tiba, Jaehyun tersenyum tipis begitu melihat Taeyong keluar dari pagar rumahnya dengan satu stel kemeja putih dipadukan dengan jeans hitam.

Tidak lupa, sebuah kamera menggantung di lehernya.

“Hai,” Sapa Taeyong begitu masuk ke dalam mobil, menoleh ke arah Jaehyun.

Tangan Jaehyun terulur, mengusap pipi Taeyong, “Cantik sekali,”

Taeyong membalasnya dengan satu senyuman lebar, “Tentu saja,”

Jaehyun terkekeh, “Jalan sekarang?”

“Huum,”

“Pasang sabuk pengamannya dulu, sayang,”

“Oh iya,” Taeyong langsung menarik seat belt, “Sudah,”

Senyum Jaehyun mengembang. Ia kemudian menarik rem tangan, memasukan persneling, lalu mobil sedan hitam itu melenggang pelan melewati gang-gang di perumahan Taeyong.

Tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit karena terletak di pinggir kota.

Sepanjang perjalanan, sebelah tangan Jaehyun tidak lepas sama sekali menggengam sebelah tangan Taeyong, sambil menaruhnya diatas persneling. Membuat tangan Taeyong sesekali juga ikut bergerak ketika Jaehyun memasukan gigi mobil.

Jaehyun memelankan kecepatan begitu mereka sudah tiba di area taman. Parkiran terlihat lumayan sepi walaupun di weekend sepeti ini, membuat Jaehyun sedikit bertanya-tanya bingung dalam benaknya.

“Aku kira akan ramai,”

Taeyong menaikan pundaknya, “Mungkin sudah banyak yang kemari, makanya sekarang terlihat sepi,”

“Sepertinya,”

Mereka berdua keluar dari mobil. Jaehyun dengan cepat mendekat ke arah Taeyong lalu kembali mengenggam tangannya, membuat Taeyong menoleh dengan ekspresi wajah meledek.

“Dasar posesif,” Ucap Taeyong pelan.

Gantian Jaehyun yang menaikan pundaknya acuh, “Kau kecil, kalau hilang nanti aku susah mencarinya,”

“Yaa, terserah kau saja tuan Jung,”

Kaki mereka melangkah seirama masuk ke dalam area taman. Ada sebuah perdebatan kecil ketika mereka tiba di pos penjagaan, Jaehyun yang kekeh menyuruh Taeyong menunggu sebentar si penjaga yang katanya kebelet ke kamar kecil, serta Taeyong yang kekeh menarik Jaehyun masuk tanpa melapor lebih dulu pada penjaga.

Tapi akhirnya, Jaehyun tetap mengalah. Melihat raut wajah Taeyong yang berubah cemberut, membuatnya mau tidak mau harus mengikuti keinginan lelaki mungil satu itu.

Kalau tidak, mungkin kencan mereka kali ini hanya diisi gerutuan kesal Taeyong sepanjang hari.

Senyum Taeyong melebar, matanya berbinar indah ketika melihat hamparan bunga tulip berbagai warna di hadapannya sekarang.

Tangannya langsung melepas genggaman Jaehyun, dengan cepat mengarahkan kameranya pada bunga tulip dengan corak warna yang beragam itu.

“Cantik,”

Taeyong menoleh begitu suara pelan Jaehyun membuyarkan fokusnya.

“Hm?”

“Cantik,” Satu senyuman tipis Jaehyun berikan, “Sepertimu,”

Dengusan pelan Taeyong berikan, ia tegakan posisi badannya yang tadinya membungkuk. Lalu tersenyum lebar pada Jaehyun, tangannya kembali mengenggam tangan Jaehyun.

Jaehyun dengan senang hati menggengam lebih erat. Tangan mereka seperti dibubuhi lem perekat, bertaut seakan hari esok tidak pernah ada.

Kaki mereka melangkah seirama, berkeliling kebun yang dipenuhi dengan bunga tulip bermekaran. Sesekali mengabadikan beberapa foto karena tidak ingin melewatkan moment kali ini.

“Jaehyun, fotokan aku ya!”

Taeyong bergerak sedikit menjauh dari posisi Jaehyun berdiri. Ia berada tepat di tikungan papan jalan yang berada di atas sebuah kolam kecil, membuat Jaehyun mau tidak mau berdiri di samping air terjun kecil yang tepat berada di belakangnya.

“Hoodieku basah, Yong,”

“Ish! Sebentar saja,”

“Lepas dulu maskernya, sayang,”

“Sudah fotokan saja apa susah sih!” Dengus Taeyong.

Jaehyun terkekeh, ia mengarahkan kamera ponselnya ke arah Taeyong, lalu memotret kekasihnya itu beberapa kali.

“Aku suka yang ini,” Kata Taeyong begitu melihat hasil foto yang Jaehyun ambil, “Tapi aneh juga, kenapa aku harus menutup mulut padahal memakai masker?”

“Tidak ada yang aneh, tetap cantik,” Jaehyun mencuri satu kecupan di pipi Taeyong, “Ayo jalan lagi,”

Setelah mencapai ujung papan jalan, Taeyong langsung menarik tangan Jaehyun untuk mendekat ke arah pinggiran danau yang dipenuhi banyak batu-batu.

“Ayo buat yang seperti itu,”

Telunjuk Taeyong mengarah pada susunan batu yang telah dibuat oleh pasangan lain yang berada di sana, tersenyum lebar pada Jaehyun hingga kedua matanya menyipit.

Satu usakan pelan Jaehyun berikan pada rambut Taeyong yang tersusun rapih, membuatnya jadi sedikit berantakan dengan poni panjang yang menutupi kening Taeyong.

Mereka berdua jongkok di bibir kolam, menyusun batu-batu kecil hingga menjadi tumpukan. Lalu mengambil beberapa foto setelah batu-batu itu sukses berdiri.

Setelah selesai, Jaehyun mengajak Taeyong untuk duduk di salah satu kursi kosong yang berada disana. Dibalas Taeyong dengan anggukan, lalu mengekori Jaehyun dari belakang dengan tangan mereka yang lagi-lagi kembali bertaut.

“Kau senang?” Tanya Jaehyun, menyibak rambut Taeyong yang sudah cukup panjang ke belakang.

Anggukan kepala Taeyong respon sebagai jawaban, ia sandarkan kepalanya di pundak Jaehyun.

“Sekali,” Senyumnya mengembang tipis, “Lain kali, kita harus kesini lagi,”

“Ya, tentu saja,”

Keduanya terdiam, menikmati semilir angin yang menerpa secara halus. Jemari-jemari yang bertaut itu berada tepat di atas paha Jaehyun, dengan jempol Jaehyun yang secara perlahan mengusap punggung tangan Taeyong.

“Jaehyun,”

“Hm?” Jaehyun berdehem pelan, “Kenapa?”

“Kalau diskalakan dari 1 sampai 10, aku berada dimana?”

Jaehyun terlihat berpikir sejenak, namun sebenarnya ia tidak benar-benar berpikir, hanya ingin mengoda Taeyong yang kini menatap ke arahnya.

“Dimana ya,”

“Serius,” Taeyong memajukan bibir bawahnya, “Ih!”

“Hahaha,” Jaehyun tertawa, lalu mengecup singkat bibir Taeyong, “Tak terhingga,”

“Infinity?”

“Ya, infinity,”

“Kenapa begitu?” Tanya Taeyong lagi.

“Tidak tahu,”

Taeyong memicingkan kedua matanya, “Jaehyun! Serius!”

“Karena bagiku kau segalanya, Taeyong,” Ujar Jaehyun pelan, satu tangannya yang lain terulur untuk mengusap pipi Taeyong yang kemerahan. “Aku bahkan tidak bisa membayangkan duniaku jika tidak ada dirimu, mungkin bisa berakhir gila atau lebih buruk,”

“Jangan seperti itu,” Sahut Taeyong cepat.

“Tapi itu benar,”

Taeyong membuang nafasnya berat, kembali menyenderkan kepalanya pada pundak Jaehyun. Membuat yang lebih tinggi mengeryit heran melihat tingkah Taeyong.

“Kenapa?”

“Jaehyun, jangan seperti itu,” Taeyong menatap lurus ke arah hamparan tulip berwarna kuning, “Semua orang akan datang dan juga pergi, begitu pula aku,”

“Jadi kau berniat untuk selingkuh?”

Refleks Taeyong memukul paha Jaehyun sekali tepukan, “Bukan sepeti itu aishh!!”

“Lalu?”

Taeyong kembali menghela nafasnya, “Suatu saat nanti, aku pun akan pergi. Jadi jangan seperti itu,”

“Memangnya kau akan kemana?” Tanya Jaehyun lagi.

“Ke suatu tempat yang tidak bisa kau gapai,” Suara Taeyong memelan, “Kau pun sama, Jaehyun. Entah aku atau kau yang lebih dulu, tapi aku harap diantara kita nantinya akan bisa melanjutkan hidup lebih baik,”

Jaehyun melirik pucuk kepala Taeyong dari ujung matanya. Sejujurnya ia tidak mengerti kenapa Taeyong tiba-tiba membicarakan tentang ini, bukankah kencan seharusnya di isi dengan obrolan-obrolan ringan dan godaan hingga pipi bersemu merah?

Tapi kenapa begini?

“Jaehyun,” Panggil Taeyong lagi.

“Ya?”

“Kalau nanti aku yang pergi terlebih dahulu,” Taeyong menelan ludahnya susah, “Tolong lanjutkan hidupmu dengan baik,”

“Carilah penggantiku secepatnya, dan bahagiakan dia seperti kau membahagiakanku. Hidup dengan layak, jangan pernah menoleh ke belakang lagi jika itu membuatmu sakit,” Lanjut Taeyong, “Paham tidak?”

Jaehyun hanya mengangguk patah-patah. Dadanya seketika merasa sesak, seperti ada sebongkah batu besar yang tiba-tiba menimpanya.

Tidak bertemu dengan Taeyong selama tiga hari saja sudah membuatnya kalang kabut, bagaimana jika selamanya?

“Kau paham yang aku ucapkan tadi, kan?”

“Iya,”

“Kalau begitu,”

Taeyong menegakkan kepalanya, ia memiringkan badannya ke arah Jaehyun lalu tersenyum tipis, mengambil jeda sejenak sebelum kembali membuka mulut.

“Tolong relakan aku,”

“Taeyong, apa yang kau maksud?” Alis Jaehyun menukik bingung, “Aku tidak mengerti apa yang dari tadi kau ucapkan,”

“Jaehyun, dengarkan aku sekali lagi,”

Taeyong mentap lurus ke sepasang pupil coklat yang terlihat kebingungan sekaligus risau itu.

“Aku sudah tidak benar-benar bersamamu lagi, Jaehyun. Tolong jangan sakiti dirimu sendiri dengan menganggap aku seolah-olah masih ada,”

“Taeyong-”

“Jung Jaehyun,” bisik Taeyong lirih, “Mau sampai kapan? Kau juga harus bahagia, ada atau tidaknya aku dalam hidupmu. Jangan terus-terusan seperti ini, kau membuatku sedih,”

Air muka Taeyong berubah keruh, menatap sendu pada Jaehyun yang masih belum mengerti segala ucapannya.

“Jaehyun, aku mencintaimu,”

Tangan Jaehyun tiba-tiba melepas gengamannya pada jemari Taeyong, lalu mencengkram erat kedua pundak Taeyong dengan matanya yang mendadak basah.

“Tidak, jangan bilang seperti itu!” Jaehyun menyentak kuat.

Taeyong mengelus pipi Jaehyun perlahan, “Aku benar-benar mencintaimu,”

“Jangan katakan itu, Taeyong!”

Jaehyum menggeleng, tangannya semakin erat mencengkram pundak Taeyong.

“Tolong jangan katakan itu,” ulangnya lagi dengan lirih. “Jangan pergi,”

“Tapi aku harus,” Taeyong dengan perlahan melepas cengkraman Jaehyun pada pundaknya, “Memangnya kau juga tidak kasihan dengan Johnny dan Yuta? Mereka kewalahan Jaehyun,”

“Taeyong, aku mohon,”

Suara Jaehyun terdengar frustasi, bola matanya bergerak berulang kali seperti orang linglung.

“Jaehyun, tolong katakan jika kau juga mencintaiku,”

“Tidak!”

“Jaehyun ayolah,” Taeyong memohon lirih, “Sekali saja,”

Kepala Jaehyun menggeleng kuat, kedua tangannya mencengkram kedua sisi kepala.

“Jaehyun,”

”...”

“Jae,”

“JIka aku mengatakan itu,” Jaehyun mengambil nafasnya yang tiba-tiba terputus, “Kau akan pergi,”

“Aku memang sudah seharusnya pergi, Jaehyun,”

“Taeyong, aku mohon,”

“Aku sudah tidak bisa lebih lama lagi, Jaehyun. Tolong katakan itu sekarang,”

Jaehyun mengambil nafasnya dalam, ia usap matanya yang entah sedari kapan basah.

“Taeyong, aku mencintaimu.”

Sudut bibir Taeyong terangkat, “Begitu lebih baik,”

Setelah itu, perlahan-lahan sosok Taeyong menghilang seiring dengan hembusan angin yang menerpa.

“Jaehyun, tolong jangan lupakan aku.”

Dan Taeyong benar-benar menghilang setelahnya.

Membuat Jaehyun langsung berteriak memanggil-manggil nama Taeyong berulang kali. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri secara cepat, tapi Taeyong benar-benar sudah tidak ada.

Jaehyun berakhir dengan jatuh terduduk, meraung menyebut nama Taeyong disela-sela tangisnya yang semakin terdengar menyedihkan.


“Bagaimana kondisinya?”

Yuta datang dengan nafas menderu, membungkukkan badan seraya meraup oksigen dengan rakus setelah menutup pintu.

Johnny yang baru saja mendudukan dirinya diatas sofa cream membuang nafasnya berat, “Sudah tenang, aku berikan beberapa obat penenang tadi,”

“Oh syukurlah,” Helaan nafas lega Yuta keluarkan, “Aku lupa mengunci pintu apartemen sebelum berangkat tadi,”

“Lain kali jangan lupa menguncinya, Yut,” Johnny berkata kesal, “Kita tidak tahu kondisinya, sewaktu-waktu Jaehyun bisa kumat kembali,”

Yuta mendudukan dirinya di salah satu single sofa, “Taeyong lagi?”

“Memangnya siapa lagi?”

Suasana apartemen mendadak hening beberapa saat, sebelum suara nafas berat dari Yuta kembali terdengar.

“Ini bahkan sudah tahun ke dua,”

Johnny memijat pelipisnya yang mendadak pening, “Tidak ada pilihan lain,”

“Huh?”

“Kita harus membawanya ke rumah sakit jiwa,”

Yuta mengeryitkan alisnya, “Tapi Jaehyun masih terlihat normal di waktu-waktu tertentu, John,”

Tubuh Johnny ia tegakan, menatap Yuta yang juga menatapnya.

“Taeyong bahkan sudah meninggal dua tahun yang lalu kalau kau lupa, Yut! Tapi dia terus berhalusinasi kalau Taeyong masih ada disini!” Nada suara Johnny sedikit naik, “Lebih baik kita membawanya ke rumah sakit jiwa besok selagi belum terlambat,”

Yuta mengusap wajahnya kasar, kembali membuang nafasnya lelah. Memutus kontak mata dengan Johnny lalu menyenderkan tubuhnya lelah di punggung sofa.

“Aku tidak menduga Jaehyun akan sebegitu frustasinya,”

“Hanya Taeyong satu-satunya cahaya yang dia punya saat kedua orangtuanya meninggal, lalu tak berapa lama Taeyong pun ikut memilih pergi. Kau bisa bayangkan seberapa hancurnya Jaehyun sekarang,”

“Ya, kau benar,” Yuta tersenyum miris, “Perpisahan memang menyakitkan,”

“Kau tahu kenapa?”

“Kenapa?”

“Karena bagian terberat dari perpisahan adalah merelakan, dan itu yang menjadikan perpisahan benar-benar menyakitkan.”


Maaya (माया) are where someone sees, hears, smells, tastes or feels things that don't exist outside their mind

FIN.