➳
“Good morning, pretty.”
Niko tersenyum, menyapa Ezra yang baru saja masuk ke dalam mobilnya. Mengambil alih tas yang Ezra bawa lalu menaruhnya di kursi belakang.
“Thank you.” Ucap Ezra pelan, tangannya baru saja akan mengambil seatbelt sebelum Niko bergerak terlebih dahulu memajukan tubuhnya, menarik seatbelt, mengecup bibirnya sekilas, lalu memasangkannya.
Wajah Niko di pukul pelan oleh jari-jari Ezra yang masih terasa dingin, “Ada aja dah modusnya.”
Kekehan pelan langsung keluar dari mulut Niko, tangannya kembali terulur untuk merapihkan rambut Ezra yang sepertinya memang dibiarkan berantakan. Lalu menyentuh ujung hidung bangir Ezra sekilas dengan telunjuknya.
“Ready?”
“I always be ready.”
Niko mendengus dengan senyum tipis di wajahnya. Ia kembali menyalakan engine, lalu menoleh ke arah Ezra. “Gak ada yang ketinggalan kan?”
“Enggak.” Ezra menggeleng, menoleh menatap Niko disebelahnya. “Lagian kalo ada yang ketinggalan juga gampang, tinggal beli aja disana.”
“Oke.”
Setelah itu, kaki Niko menginjak pedal gas dan mobil putih itu melenggang meninggalkan parkiran basement apartemen Ezra.
“Eh ini berapa jam Nik sampe disana?” Tanya Ezra, “Btw, gua setel musik ya, biar gak sepi-sepi amat.”
“Tiga jam kalo enggak macet,” Sahut Niko sambil memutar stir mobil dengan sebelah tangan. “Tapi kalo macet ya, bisa lebih dari tiga jam.”
“Lama juga ya,” Ezra bergumam. “Lewat toll kan?”
“Iya, itu lewat toll, cantik.” Niko menoleh sekilas sambil tersenyum tipis, “Kalo lewat jalan alternatif biasa, bisa lebih dari tiga jam. Belum lagi kalo ada macet.”
Kepala Ezra hanya mengangguk paham, kembali menyenderkan punggungnya pada jok saat ponselnya sudah tersambung dengan bluetooth mobil. Jarinya bergerak menggeser layar ponsel, memilih lagu yang cocok untuk di dengarkan.
Each time you fall in love milik CAS mengalun perlahan. Ezra menarik nafasnya, melirik Niko sekilas yang sedang berkonsentrasi pada jalanan lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar.
“Lo udah sarapan, Zra?” Tanya Niko.
“Udah.” Sahut Ezra cepat, “Cuman minum susu sama makan sereal sih tadi sedikit.”
“Mau makan lagi gak? Atau beli cemilan gitu? Sebelum masuk toll.” Tanya Niko lagi, melirik Ezra sekilas dengan ujung matanya.
Ezra menggeleng, “Enggak ah, gua juga lagi males ngemil. Nanti aja berhenti di rest area kalo apa.”
“Hm yaudah kalo gitu.” Niko hanya menganggukan kepalanya tipis, “Kalo mau makan permen, itu buka aja di laci dashboard. Gua semalem beli permen dua bungkus.”
“Banyak banget lo beli dua bungkus?”
“Buat stok aja sih.”
Ezra terkekeh, “Kebanyakan kali kalo mau nyetok, sampe dua bungkus gitu.”
“Ya gapapa dong, cantik.” Niko menoleh sekilas, mengusak rambut Ezra gemas lalu kembali menatuh tangannya di stir mobil. “Kalo lo ngantuk, tidur aja ya.”
“Kalo lo ngantuk, gantian aja nyetirnya ya.”
“Hahaha,” Niko tertawa pelan, membuat lesung pipi di wajahnya terlihat jelas. “Gak ah, gak mau gantian.”
“Dih kok gitu?” Tanya Ezra dengan nada protes, “Lu kan belum pernah gua setirin, kali-kali lah.”
Niko menggeleng, “Gak mau ah. Lagian gua juga gak bakalan ngantuk kok. Kasian kalo lu yang bawa, nanti capeknya doubel.”
Sebelah alis Ezra naik, menatap Niko dengan pandangan bingung. “Kok capeknya double?”
Seringai tipis Niko munculkan di wajahnya, kepalanya sedikit mendekat ke arah Ezra lalu menyahut dengan suara pelan. “Capek di jalan, capek di ranjang.”
“Dih apaan sih!” Ezra langsung memukul bahu Niko pelan dengan kepalan tangannya, wajahnya seketika memanas. “Gini-gini gua juga cowo, masih kuat lah kalo nyetir abis itu ngeladenin lu di ranjang.”
“Masa?”
“Bodo amat deh.”
Niko tergelak, kembali menoleh sekilas ke arah Ezra yang sedang menatap jalanan luar. Memperhatikan semburat merah di pipi Ezra yang mendadak timbul, Niko tertawa pelan.
“Iya babe, iya. Udah ah cemberut mulu kerjaannya dari kemaren.”
“Abis lu demen banget bikin gua bete.” Sahut Ezra jutek.
“Yaudah bibirnya jangan dimajuin gitu, mau gua cium emangnya?”
“Nyetir yang bener ya lu, Nicholas.”
“Iya, pretty.”
Ezra melipat tangannya di depan dada, melirik Niko yang sedang menahan tawanya. Bibir Ezra terkulum, sudut-sudut bibirnya berusaha ia tahan agar tidak tertarik ke atas.
Tapi begitu Niko menoleh kembali ke arahnya, tawa Ezra pecah. Matanya menyipit dengan mulutnya yang terbuka lebar, membuat tawa Niko pun ikut menggema.
Sebelah tangan Niko kembali terulur, mencubit pipi Ezra lalu mengusak rambutnya lagi. “Gemes banget.”
“Emang.” Sahut Ezra sambil memeletkan lidahnya. “Baru tau lu kalo gua gemesin?”
“Enggak sih, udah tau dari awal.” Niko juga ikut memeletkan lidahnya. “Ezra si cantik, si gemesin, si lucu. My pretty little doll.”
“Kenapa sih demen banget manggil gua begitu?” Tanya Ezra.
“Kenapa ya? Gak tau, hehehe.” Ucapan Niko langsung dihadiahi cubitan pelan Ezra di lengan atasnya. “Tapi kalo lo ngaca, lo pasti tau jawabannya.”
“Hm? Maksudnya?”
“Ezra, lo emang gak nyadar segitu indahnya lo? I mean, look at your puppy eyes, your sexy lips, your adorable cheeks, your porcelain skin, your pluffy butt-”
“Oke stop, Nicholas.” Sela Ezra tiba-tiba, “That's enough nonsense.”
“What a nonsense, babe? I tell the fact.”
“Just stop talking and focus while you're driving.”
Niko lagi-lagi menoleh sekilas ke arah Ezra. “So cute, pipinya merah tuh.”
“Ish! Diem!”
“Hahahaha -aduh iya iya, ini diem, ah Ezra jangan digigit!” Niko meringis begitu Ezra mencubit lengan atasnya lagi, lalu bergerak mengigit bekas cubitannya. “Kenapa digigit sih, cantik?”
Ezra hanya mendengus, tidak menjawab ucapan Niko barusan dan membuang mukanya kembali ke arah luar. Menyembunyikan semburat merah di pipinya agar Niko tidak meledeknya kembali.
Diam-diam, Niko tersenyum tipis menikmati bagaimana pipi putih itu berubah menjadi merah akibat ucapannya barusan.
Niko membelokan stir mobil ke arah kiri, laju diperlambat, matanya dengan seksama memperhatikan deretan mobil yang berjejer sebelum menemukan satu spot kosong untuknya parkir.
Masih setengah perjalanan, tapi ia memutuskan untuk berhenti sebentar di rest area. Isi kandung kemihnya mendadak butuh di keluarkan.
Setelah mendapati satu spot parkir kosong, Niko langsung memakirkan mobilnya disana. Pedal rem di injak perlahan, rem tangan di tarik, lalu kepalanya menoleh ke arah Ezra yang tertidur di sebelahnya.
“Ezra, hei.” Niko mengelus perlahan permukaan pipi mulus itu. “Cantik, bangun dulu yuk sebentar.”
Ezra tersentak, kepalanya menoleh bingung dengan mata yang perlahan terbuka. Bertanya dengan nada suara serak khas bangun tidur. “Kenapa Niko?”
“Gua mau ke toilet dulu ya bentar.”
Kepala Ezra hanya mengangguk, kemudian menyamankan kembali posisi tubuhnya di atas jok. Meringkuk dengan posisi kedua kaki naik ke atas, refleks merapatkan kembali hoodie milik Niko yang Niko sampirkan di tubuhnya saat ia tertidur tadi.
Niko mengambil dompet serta ponselnya, “Mobil gua biarin nyala ya, Zra.”
Ezra hanya mengangguk sebagai jawaban. Membuat Niko terkekeh lalu dengan cepat keluar dari mobil karena rasa ingin pipisnya sudah mencapai ujung.
Kepala Niko menoleh ke kanan dan kiri, ketika melihat logo toilet, kaki jenjangnya dengan cepat melangkah.
Nafasnya mendesah gusar begitu melihat antrian di pintu masuk toilet yang lumayan ramai. Dari pada memilih kencing sembarangan, dan mitos-mitos jaman dulu tentang kencing sembarangan menghantuinya, Niko lebih memilih untuk ikut mengantri dengan ujung kaki yang ia ketuk-ketuk ke atas lantai untuk menghalau rasa kebeletnya.
Setelah menganti hampir lima menit lamanya, Niko akhirnya masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hasrat buang air kecilnya dengan perasaan lega.
Tidak beberapa lama, ia keluar dari toilet dengan ekspresi wajah lebih enteng dari sebelumnya. Memasukan beberapa lembar uang pecahan ke dalam kotak coklat yang memang sengaja di taruh di depan toilet.
Tapi alangkah terkejutnya Niko ketika kembali ke mobil dan tidak mendapati Ezra di sana. Posisi mobil masih menyala dan tidak terkunci, bahkan matanya juga menangkap ponsel Ezra yang masih tergeletak di atas jok penumpang.
“Ezra!”
Kepala Niko menoleh ke kanan dan ke kiri secara cepat, ia kembali memanggil nama Ezra dengan nada yang naik satu oktaf.
“Ezra! Oh shit!” Dengan gusar, Niko mematikan mesin mobil dan menutup pintu mobil dengan sedikit bantingan. “Ezra Lazuardi!”
Rasa panik langsung menyerangnya. Niko dengan cepat berlari kesana kemari mencari Ezra yang entah pergi kemana itu. Matanya mengedar, bak elang yang sedang mencari mangsa.
“Permisi, Ibu maaf, Ibu ada ngeliat cowok tingginya segini saya gak? pake kaos putih, hoodie abu-abu sama celana coklat selutut?” Tanya Niko pada salah satu Ibu-ibu yang kebetulan berdiri tidak jauh dari tempat mobilnya terparkir.
Ibu-ibu itu menggeleng, “Enggak Mas, saya gak ngeliat soalnya baru aja markir mobil ini, lagi nunggu suami saya ke toilet.”
“Oh makasih bu kalau gitu.” Kepala Niko menunduk sekilas.
Mata tajamnya kembali mengedar, kakinya kembali berlari mengelilingi parkiran namun nihil, ia tidak menemukan Ezra disana.
Otak cerdasnya dengan cepat memberi sinyal untuk pergi ke tempat papan informasi, tapi apa yang di lihatnya setelah sampai di sana hampir membuat Niko mengeluarkan umpatannya yang sedari tadi tertahan.
Ezra disana, mengendong seorang anak kecil yang menangis sambil berusaha menenangkannya.