hematakaruan

PYJ! (1) – Lavender

[02/20]: dumbfounded

SATU hari itu berlalu biasa-biasa saja, namun sore harinya terlalu mengejutkan. Aku tiba di rumah tepat pukul setengah enam sore, dan ketika akan memasuki kamar, sebuah percakapan tertangkap pendengaranku yang mana berasal dari kamar sebelah. Seharusnya aku tidak menguping (lagi), tetapi untuk kali itu aku benar-benar tidak bisa mendiamkannya begitu saja.

“Akh... sakit, Tae!”

“Haduh, baru beberapa pijat sudah kesakitan. Tahan sendiri!”

“AkㅡAw! Pelan-pelan bisa tidak, sih, kau diam-diam berniat membuatku semakin tidak bisa berjalan, ya?!”

“Astaga, Dewa, ini sudah kubuat super-mega-ekstra-kombo pelan, Jiminie. Tahankan saja sakitnya, karena ini merupakan akibat dari kelakuan cerobohmu.”

Menjijikkan! Apa yang mereka lakukan di dalam kamar? Berdua? Menahan sakit? Ada banyak kemungkinan sebenarnya, tetapi tidak satupun yang terasa masuk akal. Aku juga tidak mau tahu, tetapi ini rumahku, artinya aku memiliki kuasa untuk melakukan apa saja termasuk mendobrak pintu kamar miliknya. Tunggu, langsung kudobrak saja?

Barangkali aku memang tidak membutuhkan jawaban atau tak perlu berpikir matang-matang, karena selang satu detik setelahnya, tubuh ini sudah langsung merangsek bagaikan polisi menyergap pencuri yang sudah tertangkap basah namun tetap hendak melarikan diri. Membenturkan bahuku ke pintu kamar yang ternyata tidak dikunci sama sekali, aku merasa tubuhku nyaris tercampak tatkala mendapati ia berbaring dengan kaki berselonjor di tempat tidur dengan seorang anak sepantarannya yang dipanggil Tae, duduk di tepi tempat tidur, tengah mengurut kakinya.

Mereka terperanjat, tetapi aku sendiri jauh lebih kaget dan jauh lebih malu. Lidahku kelu. Demi soda kaleng dan soda botol yang selalu membuat Hoseok dilema, aku ingin menenggelamkan diri ke rawa-rawa di belakang rumah guna melenyapkan segala bentuk kebodohan yang baru saja kulakukan. Stagnan dengan posisi berdiri setengah tercampak, dua mahkluk yang sudah membuatku berpikir akan hal yang tidak-tidak itu tampak kelimpungan saling memandang satu sama lainㅡbertelepati mempertanyakan apa yang baru saja terjadi. Jika mereka bertanya-tanya apa aku kesurupan atau mabuk berat, aku sendiripun tidak tahu harus menjawab apa.

Kata Hoseok dan Namjoon, aku manusia pertama yang mereka kenal bermuka tebal sekaligus berkuping tebal di dunia ini. Keras kepala dan masa bodoh adalah watak super yang bisa menghindarkanku dari bertubi-tubi masalah yang hendak menimpa, sayangnya kedua watak yang dipuja-puja oleh Namjoon dan dibenci oleh Hoseok itu tidak berguna jika sudah diperhadapkan dengan sesosok Park Jimin, anak teman kerja Papa yang terpaksa tinggal di rumah untuk beberapa bulan ke depan karena beberapa hal yang tidak seberapa kuketahui.

Kali itu, aku ingat betul bagaimana sensasinya ketika Park Jimin menatapku intens seolah-olah bertanya apa maksud dari tindakan tak beradab pemicu serangan jantung yang baru saja kulakukan. Namun, ekspresi dingin tak bersahabat yang biasa kulempar tidak berfungsi, luluh begitu saja selayaknya es batu di bawah panas matahari, berganti menjadi rasa panas yang merangkaki wajah hingga leherku; tak tercegah dan tak terkamuflasekan bahkan oleh kulit putihku sekalipun.

“Kak?” Jimin bergerak perlahan-lahan dari posisi berbaringnya menjadi duduk, ia memiringkan kepala, satu alisnya terangkat, dan tampak skeptis ketika lanjut bertanya, “Apa yang kaulakukan?”

Detik itu juga, lidahku mendadak kelu; aku kehilangan kata dan kepercayaan diri hanya karena seorang Park Jimin. Satu-satunya jalan untuk terhindar dari situasi memalukan itu adalah melarikan diri, namun tubuhku bahkan belum sempat bergerak satu inci manakala mahkluk yang dipanggil Tae tiba-tiba berdiri dengan senyum canggung.

“A-Anu, Kak.... Ini Ji-Jimin, si Ceroboh ini kena karma akibat menjahili temㅡ”

Jimin tiba-tiba menyergah tidak terima, beringsut sedikit dari posisi duduknya. “Aku? Kena karma akibat berbuat jahil?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan kedua bola mata melebar, mulut menganga, dan aku yang baru pertama kali melihat ekspresinya yang seperti itu otomatis mengerjap-ngerjapkan mata di tempat. Sejauh yang kuingat, ia jarang berekspresi garang, jarang menujukkan kemarahan atau kekesalan, alih-alih ia lebih sering berekspresi ceria, canggung, ringan, atau terkadang datar, dan bola matanya tidak pernah melotot selebar itu. Jadi, aku memilih diam, menunggu dan menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya. Persetan dengan urat malu!

Lawan bicaranya, si Tae, mengangkat jari telunjuk menuding Jimin. “Kau menjahili teman seruanganmu, ingat? Kau DENGAN SENGAJA menumpahkan lem di kursinya, lalu sebagai balasan, ia menjegal kakimu sampai-sampai kau kesulitan berjalan sekarang. Bukankah itu karma?”

Kening Park Jimin berkerut, sepasang alis matanya menyatu. “Si keparat itu yang lebih dulu mengusikku! Kenapa kau malah membelanya? Kau berteman dengannya atau denganku?”

“Aku berteman denganmu, tetapi sudah kukatakan berkali-kali aku tidak mau membela yang salah sekalipun itu temanku sendiri. Tentang dia yang mengusikmu ....” Manusia bernama Tae ini tiba-tiba menoleh kepadaku. Ia tampak tenang dan kalem ketika bertanya, “Kak, boleh aku minta pendapatmu? Jika ada yang membicaraimu diam-diam di belakangmu, apa itu artinya mengusik?”

Hah? Apa maksudnya?

“Kak?”

Aku mengedip, di sana Tae masih menunggu jawaban dariku, sementara si Park melayangkan tatapan paling bengis yang pernah kulihat seumur-umur semenjak kehadirannya di hidupku. Aku meneguk ludah dan kemudian mengedikkan bahu. “Aku ... tidak peduli.”

Aku memilih pergi setelahnya, masuk ke kamarku dan menutup pintu. Kupikir aku akan beranjak ke meja belajar untuk meletakkan ransel lalu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, nyatanya kakiku tetap stagnan di balik pintu dan memasang telinga tajam-tajam. Aku bukannya ingin tahu lebih lanjut tentang perdebatan mereka, hanya ingin mendengar bagaimana reaksi si Park pada jawabanku tadi.

“Kenapa kau bertanya kepadanya, sih? Dia tidak peduli apa pun. Lebih baik kau pijat kembali kakiku yang terkilir ini, lalu antar aku ke kamar mandi, lalu belikan makan malamku, lalu besok pagi kau datang menjemputku. Titik.”

“Oke, tapi sebagai gantinya kau harus meminta maaf kepada teman seruanganmu itu. Pantatnya darurat akibat lem setanmu itu, Jimin.”

“Meminta maaf?! Yang benar saj-”

“Aku pulang saja, kalau begitu.”

“ET! Kim Taehyung, kau ... ERRRGH!”

“Minta maaf atau aku pulang sekarang?”

“OKE! Aku akan meminta maaf, puas?”

“Puas, puas. Nah, sini kupijat lagi.”

Sore itu, aku baru tahu bahwasanya Park Jimin memiliki lidah yang tajam dan hati yang sensitif, tetapi kenapa ia tidak pernah menunjukkannya ketika berhadapan denganku? []

PYJ! (1) – Lavender

[01/20]: si aroma lavender

SEJAK kehadirannya di rumah, aroma bunga lavender menyeruak dan menyelubungi hampir setiap lapisan suasana dan tempat. Ia seakan-akan menumpahkan sebotol parfum lavender di setiap sudut rumah. Awalnya penghiduku terusik membaui aroma lavender yang sebelumnya tak pernah kuhirup, terasa pekat dan memuakkan, tetapi lama-kelamaan, aroma lavendernya menjadi candu yang selalu menemani sepi; bagaikan nyamuk yang siap menghampiri kala malam. Aroma lavendernya terkadang menjadi alasanku menghabiskan waktu berdiam diri di rumah dari yang tadinya lebih suka berlama-lama di studio kampus, kendati tahu ia sendiri tidak sedang berada di rumah, aku selalu merasakan sensasi ditemani olehnyaㅡyang kutahu hanyalah fantasi liar ciptaan otakku sendiri.

Ada ungkapan lain yang menggambarkan sosok dirinya dalam imajinasiku akhir-akhir ini selain sosok Bunga-Lavender-berjalan-yang-wajahnya-sok-lucu-juga-sok-cuek, yakni Park-Jimin-bau-lavender-tetapi-setiap-malam-beradu-dengan-nyamuk. Ini bukan karangan semata, aku mendengar dengan telinga kepalaku sendiri ketika suatu malam tidak sengaja terbangun dan mendengar suara tepukan tangan, bunyi raket nyamuk, serta ocehan dan ringisan berasal dari kamarnyaㅡyang terletak tepat di depan kamarku. Tidak ada niat untuk menguping sebenarnya, tetapi alih-alih beranjak ke dapur mengambil sekaleng kopi hitam instan, kakiku justru berakhir diam di sana selama beberapa menit hanya untuk menebak-nebak apa saja yang tengah ia keluhkan pada pukul setengah satu pagi.

“Ah, yang benar saja? Aku bahkan sudah menguras bak kamar mandi kemarin pagi, kenapa nyamuknya tetap adaaa? Dan ini, kenapa raketnya tidak berfungsi padahal baru kucas kemarin malam? Ah, payah sekali, harusnya aku membeli kelambu saja daripada raket sialan seperti iniii. Eeergh.... Bagaimana aku bisa tidur dengan nyamuk-nyamuk sekejam vampir ini?!”

Pertama kali menguping keluhannya, aku hanya mendengus geli dan akhirnya pergi. Aku tahu ia pasti menyesal saat itu, karena Papa pasti sudah mengingatkannya beberapa hari sebelum bahwa rumah kami rawan terhadap gangguan nyamuk sebab dekat dengan lokasi pembuangan limbah pabrik sehingga harus senantiasa bersiap ketika musim hujan tiba sebab nyamuk akan berkembang pesat. Aku tidak berniat berinteraksi dengannya malam itu, entah memberi saran atau tawaran untuk tidur bersama di kamarku yang dibungkus kelambu hangat sehingga terlindungi dari seekor nyamuk, tetapi menyadari apa yang terjadi keesokan harinya, ada sedikit rasa sesal yang mengganjalku.

Pukul 8 pagi lewat beberapa menit aku seharusnya masih bermalas-malasan di tempat tidur, mendengar ocehan Hoseok dan atau Namjoon melalui telepon tentang apa saja yang berkaitan dengan dosen, PR, materi, studio, instrumen, dan tentunya keluhan-keluhan mereka perkara apa sajaㅡmulai dari hal sepenting tugas sampai setidakpenting menu sarapan apa yang harus mereka makan, tetapi tidak pagi itu, begitu ponsel di atas nakas berdering dengan nama Jung Hoseok di layar, aku sudah beranjak dari tempat tidur dan bersiap mengenakan sendal, dan tanpa pikir panjang, tanpa tujuan yang pasti, keluar dari kamar, mengabaikan panggilan Hoseok dan segala cara sadisnya untuk membangunkanku.

Tak ada keraguan sedikit pun ketika langkahku berakhir memasuki dapur, namun melihat eksistensinya di sana, dengan pakaian sopan-kasual serbapanjang khas anak kuliah, tahu-tahu memperlambat langkahku secara otomatis. Aku pun ragu, tetapi jauh lebih terkejut mendapati bintik-bintik merah di wajah hingga lehernyaㅡkhas gigitan nyamuk. Ia otomatis mengalihkan pandangan dari sandwich di tangan ketika menyadari kehadiranku di dapur pagi itu, dan terlihat sepasang bola mata sipitnya agak melebar sebelum akhirnya cepat-cepat berpaling dan menunduk sebisa mungkin dengan memainkan ponselnya di atas meja.

Aku melintas begitu saja, terkesan tak acuh seperti biasa, menuju kulkas dan untuk sesaat rasanya bingung hendak mengambil apa. Akhir-akhir ini Papa semakin gencar menyembunyikan stok botol kopi yang kusimpan di kulkas (walau tetap saja aku bisa menemukannya di kamar beliau, tepatnya di kolong tempat tidur), aku juga bukan penyuka susu, atau soda, atau sejenis minuman dingin lainnya, juga jarang sarapan di rumah terlebih jika Papa pergi bekerja ke luar kota, ujung-ujungnya aku membuang-buang waktu menatapi isi kulkas yang kebanyakan makanan dan minuman instan.

“E-Ekhem.”

Terdengar ia berdeham, sementara aku masih berdiam di depan kulkas seperti Hoseok yang kebingungan hendak memilih minuman apa kendati tahu hanya memiliki dua pilihan, antara soda kaleng atau soda botol, akan tetapi memakan waktu nyaris seperempat jam. Ujung-ujungnya aku menutup pintu kulkas tanpa mengambil apa-apa, lantas berbalik badan dan cukup tercengang ketika mendapati ia tengah bercermin. Benar-benar bercermin dengan sebuah cermin berbentuk bulat (kalau tidak salah, bentuk cermin seperti itu sering digunakan sebagai properti nenek sihir si gila awet muda oleh klub pementasan drama di kampus) berada di genggaman tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sibuk menyentuh kulit wajah. Ia belum menyadari bahwa aku sedang memperhatikan gerak-geriknya yang kini memberengut sok imutㅡbenar-benar sok imut dengan bibir mengerucut. Dasar.

“Bercermin, huh?” Ternyata aku masih jauh lebih sulit mengontrol bibir daripada mengontrol ekspresi, lihat saja, aku bahkan masih tidak percaya setelah mendengar kata itu keluar dari bibirku, ditambah melihat reaksinya yang diam membeku selayaknya es batu. Rasanya ingin sekali menjepit mulut ini menggunakan jepit jemuran lalu berlari ke kamar, tetapi karena kata-kata tidak bisa ditarik ulang, menyorotnya dengan tatapan dingin adalah jalan ninja untuk menjaga citra diri yang sudah terkelupas sedikit.

“A-Aku? Iya, aku-aku sedang bercermin.” Tersadar dari keterkejutan, ia meringis, cepat-cepat menurunkan cermin di tangannya dan menjawab tergagap-gagap. Aku mengakui ia tampak seperti anak kecil yang tepergok guru memetik bunga di taman sekolah. Tahu-tahu ia mengulas cengiran lebarㅡentah karena merasa malu tertangkap bercermin atau tengah mencairkan suasana yang mendadak aneh. Aku masih menutup bibir sampai kemudian ia mengangkat suara lagi, terdengar gugup. “Ka ... Kakak tidak biasanya bangun sepagi ini.”

Alisku terangkat. “Tidak biasanya?”

Ia mengangguk singkat. “Eum! Kita nyaris tidak pernah bertemu di pagi hari, kurasa. Oh ya, pernah, ketika pertama kalinya aku datang ke rumah ini, tetapi setelahnya tidak. Setelah kuperhatikan, setiap kali aku berangkat ke kampus, kamar Kakak masih tertutup rapat. Lalu sekarang ... aku cukup kaget melihat Kakak di pagi hari seperti ini.”

“Ini rumahku, 'kan?” Aku mendengus, lantas pergi begitu saja meninggalkan kulkas, dapur, dan Park Jimin yang pasti hanya bisa meneguk ludah. Terkadang aku mudah mengatakan sesuatu hal tanpa memikirkannya terlebih dahulu yang pada akhirnya berujung menyesalinya, seperti saat ini. Apa ia tersinggung?[]

PYJ! (1) – Lavender

[01/20]: si aroma lavender

SEJAK kehadirannya di rumah, aroma bunga lavender menyeruak dan menyelubungi hampir setiap lapisan suasana dan tempat. Ia seakan-akan menumpahkan sebotol parfum lavender di setiap sudut rumah. Awalnya penghiduku terusik membaui aroma lavender yang sebelumnya tak pernah kuhirup, terasa pekat dan memuakkan, tetapi lama-kelamaan, aroma lavendernya menjadi candu yang selalu menemani sepi; bagaikan nyamuk yang siap menghampiri kala malam. Aroma lavendernya terkadang menjadi alasanku menghabiskan waktu berdiam diri di rumah dari yang tadinya lebih suka berlama-lama di studio kampus, kendati tahu ia sendiri tidak sedang berada di rumah, aku selalu merasakan sensasi ditemani olehnyaㅡyang kutahu hanyalah fantasi liar ciptaan otakku sendiri.

Ada ungkapan lain yang menggambarkan sosok dirinya dalam imajinasiku akhir-akhir ini selain sosok Bunga-Lavender-berjalan-yang-wajahnya-sok-lucu-juga-sok-cuek, yakni Park-Jimin-bau-lavender-tetapi-setiap-malam-beradu-dengan-nyamuk. Ini bukan karangan semata, aku mendengar dengan telinga kepalaku sendiri ketika suatu malam tidak sengaja terbangun dan mendengar suara tepukan tangan, bunyi raket nyamuk, serta ocehan dan ringisan berasal dari kamarnyaㅡyang terletak tepat di depan kamarku. Tidak ada niat untuk menguping sebenarnya, tetapi alih-alih beranjak ke dapur mengambil sekaleng kopi hitam instan, kakiku justru berakhir diam di sana selama beberapa menit hanya untuk menebak-nebak apa saja yang tengah ia keluhkan pada pukul setengah satu pagi.

“Ah, yang benar saja? Aku bahkan sudah menguras bak kamar mandi kemarin pagi, kenapa nyamuknya tetap adaaa? Dan ini, kenapa raketnya tidak berfungsi padahal baru kucas kemarin malam? Ah, payah sekali, harusnya aku membeli kelambu saja daripada raket sialan seperti iniii. Eeergh.... Bagaimana aku bisa tidur dengan nyamuk-nyamuk sekejam vampir ini?!”

Pertama kali menguping keluhannya, aku hanya mendengus geli dan akhirnya pergi. Aku tahu ia pasti menyesal saat itu, karena Papa pasti sudah mengingatkannya beberapa hari sebelum bahwa rumah kami rawan terhadap gangguan nyamuk sebab dekat dengan lokasi pembuangan limbah pabrik sehingga harus senantiasa bersiap ketika musim hujan tiba sebab nyamuk akan berkembang pesat. Aku tidak berniat berinteraksi dengannya malam itu, entah memberi saran atau tawaran untuk tidur bersama di kamarku yang dibungkus kelambu hangat sehingga terlindungi dari seekor nyamuk, tetapi menyadari apa yang terjadi keesokan harinya, ada sedikit rasa sesal yang mengganjalku.

Pukul 8 pagi lewat beberapa menit aku seharusnya masih bermalas-malasan di tempat tidur, mendengar ocehan Hoseok dan atau Namjoon melalui telepon tentang apa saja yang berkaitan dengan dosen, PR, materi, studio, instrumen, dan tentunya keluhan-keluhan mereka perkara apa sajaㅡmulai dari hal sepenting tugas sampai setidakpenting menu sarapan apa yang harus mereka makan, tetapi tidak pagi itu, begitu ponsel di atas nakas berdering dengan nama Jung Hoseok di layar, aku sudah beranjak dari tempat tidur dan bersiap mengenakan sendal, dan tanpa pikir panjang, tanpa tujuan yang pasti, keluar dari kamar, mengabaikan panggilan Hoseok dan segala cara sadisnya untuk membangunkanku.

Tak ada keraguan sedikit pun ketika langkahku berakhir memasuki dapur, namun melihat eksistensinya di sana, dengan pakaian sopan-kasual serbapanjang khas anak kuliah, tahu-tahu memperlambat langkahku secara otomatis. Aku pun ragu, tetapi jauh lebih terkejut mendapati bintik-bintik merah di wajah hingga lehernyaㅡkhas gigitan nyamuk. Ia otomatis mengalihkan pandangan dari sandwich di tangan ketika menyadari kehadiranku di dapur pagi itu, dan terlihat sepasang bola mata sipitnya agak melebar sebelum akhirnya cepat-cepat berpaling dan menunduk sebisa mungkin dengan memainkan ponselnya di atas meja.

Aku melintas begitu saja, terkesan tak acuh seperti biasa, menuju kulkas dan untuk sesaat rasanya bingung hendak mengambil apa. Akhir-akhir ini Papa semakin gencar menyembunyikan stok botol kopi yang kusimpan di kulkas (walau tetap saja aku bisa menemukannya di kamar beliau, tepatnya di kolong tempat tidur), aku juga bukan penyuka susu, atau soda, atau sejenis minuman dingin lainnya, juga jarang sarapan di rumah terlebih jika Papa pergi bekerja ke luar kota, ujung-ujungnya aku membuang-buang waktu menatapi isi kulkas yang kebanyakan makanan dan minuman instan.

“E-Ekhem.”

Terdengar ia berdeham, sementara aku masih berdiam di depan kulkas seperti Hoseok yang kebingungan hendak memilih minuman apa kendati tahu hanya memiliki dua pilihan, antara soda kaleng atau soda botol, akan tetapi memakan waktu nyaris seperempat jam. Ujung-ujungnya aku menutup pintu kulkas tanpa mengambil apa-apa, lantas berbalik badan dan cukup tercengang ketika mendapati ia tengah bercermin. Benar-benar bercermin dengan sebuah cermin berbentuk bulat (kalau tidak salah, bentuk cermin seperti itu sering digunakan sebagai properti nenek sihir si gila awet muda oleh klub pementasan drama di kampus) berada di genggaman tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sibuk menyentuh kulit wajah. Ia belum menyadari bahwa aku sedang memperhatikan gerak-geriknya yang kini memberengut sok imutㅡbenar-benar sok imut dengan bibir mengerucut. Dasar.

“Bercermin, huh?” Ternyata aku masih jauh lebih sulit mengontrol bibir daripada mengontrol ekspresi, lihat saja, aku bahkan masih tidak percaya setelah mendengar kata itu keluar dari bibirku, ditambah melihat reaksinya yang diam membeku selayaknya es batu. Rasanya ingin sekali menjepit mulut ini menggunakan jepit jemuran lalu berlari ke kamar, tetapi karena kata-kata tidak bisa ditarik ulang, menyorotnya dengan tatapan dingin adalah jalan ninja untuk menjaga citra diri yang sudah terkelupas sedikit.

“A-Aku? Iya, aku-aku sedang bercermin.” Tersadar dari keterkejutan, ia meringis, cepat-cepat menurunkan cermin di tangannya dan menjawab tergagap-gagap. Aku mengakui ia tampak seperti anak kecil yang tepergok guru memetik bunga di taman sekolah. Tahu-tahu ia mengulas cengiran lebarㅡentah karena merasa malu tertangkap bercermin atau tengah mencairkan suasana yang mendadak aneh. Aku masih menutup bibir sampai kemudian ia mengangkat suara lagi, terdengar gugup. “Ka ... Kakak tidak biasanya bangun sepagi ini.”

Alisku terangkat. “Tidak biasanya?”

Ia mengangguk singkat. “Eum! Kita nyaris tidak pernah bertemu di pagi hari, kurasa. Oh ya, pernah, ketika pertama kalinya aku datang ke rumah ini, tetapi setelahnya tidak. Setelah kuperhatikan, setiap kali aku berangkat ke kampus, kamar Kakak masih tertutup rapat. Lalu sekarang ... aku cukup kaget melihat Kakak di pagi hari seperti ini.”

“Ini rumahku, 'kan?” Aku mendengus, lantas pergi begitu saja meninggalkan kulkas, dapur, dan Park Jimin yang pasti hanya bisa meneguk ludah. Terkadang aku mudah mengatakan sesuatu hal tanpa memikirkannya terlebih dahulu yang pada akhirnya berujung menyesalinya, seperti saat ini. Apa ia tersinggung?[]

PYJ! – Notes!

Halo. Ini Hematakaruan. Sebelum memulai karangan alternative universe berbentuk seri ini, ada beberapa poin penting yang perlu diketahui supaya tidak terjadi kebingungan. Sila dibaca baik-baik sampai habis, ya.

Pertama, judul utamanya adalah Pick Your JIMIN! [Jimin on my mind: AKU BUKAN BARANG YANG SEENAKNYA DIJADIKAN PILIHAN!] dan akan ada enam kisah yang berbeda-beda, tokoh utama yang berbeda-beda (tapi, tetap Bangtan ya, ini tentang each Bangtan members x their story with their Jimin so, yes, this is boys love story), pun judul keenam cerita berbeda-beda juga. Gampangnya, Pick Your JIMIN! semacam sebuah seri, tetapi tidak sepenuhnya dapat dikatakan seri karena isi ceritanya tidak memiliki kausalitas satu sama lain antara judul 1, 2, 3, dan seterusnya.

Kedua, enigma. Sila tebak Jimin x siapa yang ada di judul 1, 2, 3, sampai seterusnya, entah Jimin x Namjoon, atau Jimin x Hobi. Kenapa menebak? Sebab point of view (sudut pandang) dalamㅡbeberapa atau kemungkinan semuaㅡjudul ditulis dari sudut pandang orang pertama tunggal, tapi kalo pengin baca tanpa mau susah payah tebak juga no problem, it's all up to you, sebab di akhir cerita nanti akan diungkap siapa si tokoh utama ini.

Ketiga, menurut aku konsep Pick Your JIMIN! ini nggak ribet, but I don't know entah bagi kamu justru ribet, tapi kalo mengikutinya lambat laun pasti paham sama konsepnya.   – Perbedaan: Judul keenamnya beda-beda, tetapi tokoh utamanya berpasangan sama Jimin yang tentunya memiliki watak berbeda di setiap judul [Jimin on my mind: JADI BAKAL ADA ENAM JIMIN, DONG?!]. Isi cerita di judul 1 dan judul lainnya tidak ada kaitan sama sekali.   – Persamaan: Ada Park Jimin, pokoknya. Teka-teki tentang siapa pasangan Jimin di masing-masing judul, tentunya.

Terakhir, jangan sungkan untuk kasih tahu aku pendapat kamu tentang karangan PYJ! ini ya. Jika masih bingung dan ada pertanyaan, sila tanyakan dan aku akan berusaha jawab sejelas mungkin. Satu lagi, please, kalau ada typo/kata rancu, langsung bombardir aja lewat DM/reply section, since yeah I extremely hate typo(s) as well.

Itu beberapa info penting yang perlu dipahami. Konsep karangan kayak gini mungkin nggak bakal payah dimengerti apabila ditulis satu-satu per judul tanpa dikait-kaitkan dengan judul utama Pick Your JIMIN!, aku suka yang rumit-rumit sih. Well, konsep ini bermula dari aku yang terpikir bikin cerita tebak-tebakan yang ada banyak Park Jimin-nya, anti-mainstream gitu! [Jimin on my mind: MEMANG PARK JIMIN NGGAK CUKUP SATU DOANG DI MUKA BUMI INI, MAUNYA BANYAK!]. Tambahan, lagu Filter jadi inspirasi aku untuk membangun karakter-karakter Jimin x tokoh utamanya di setiap judul. So, hopefully this note can help you to figure out how the stories would be before we start the ride in an hour. Stay tuned, chapter pertama dari judul pertama Pick Your JIMIN! (1): Lavender akan segera di-post!

Lots of love, Hematakaruan

22 Agustus 2021

Notes!

Halo. Ini Hematakaruan. Sebelum memulai karangan alternative universe berbentuk seri ini, ada beberapa poin penting yang perlu diketahui supaya tidak terjadi kebingungan. Sila dibaca baik-baik sampai habis, ya.

Pertama, judul utamanya adalah Pick Your JIMIN! [Jimin on my mind: AKU BUKAN BARANG YANG SEENAKNYA DIJADIKAN PILIHAN!] dan akan ada enam kisah yang berbeda-beda, tokoh utama yang berbeda-beda (tapi, tetap Bangtan ya, ini tentang each Bangtan members x their story with their Jimin so, yes, this is boys love story), pun judul keenam cerita berbeda-beda juga. Gampangnya, Pick Your JIMIN! semacam sebuah seri, tetapi tidak sepenuhnya dapat dikatakan seri karena isi ceritanya tidak memiliki kausalitas satu sama lain antara judul 1, 2, 3, dan seterusnya.

Kedua, enigma. Sila tebak Jimin x siapa yang ada di judul 1, 2, 3, sampai seterusnya, entah Jimin x Namjoon, atau Jimin x Hobi. Kenapa menebak? Sebab point of view (sudut pandang) dalamㅡbeberapa atau kemungkinan semuaㅡjudul ditulis dari sudut pandang orang pertama tunggal, tapi kalo pengin baca tanpa mau susah payah tebak juga no problem, it's all up to you, sebab di akhir cerita nanti akan diungkap siapa si tokoh utama ini.

Ketiga, menurut aku konsep Pick Your JIMIN! ini nggak ribet, but I don't know entah bagi kamu justru ribet, tapi kalo mengikutinya lambat laun pasti paham sama konsepnya.   – Perbedaan: Judul keenamnya beda-beda, tetapi tokoh utamanya berpasangan sama Jimin yang tentunya memiliki watak berbeda di setiap judul [Jimin on my mind: JADI BAKAL ADA ENAM JIMIN, DONG?!]. Isi cerita di judul 1 dan judul lainnya tidak ada kaitan sama sekali.   – Persamaan: Ada Park Jimin, pokoknya. Teka-teki tentang siapa pasangan Jimin di masing-masing judul, tentunya.

Terakhir, jangan sungkan untuk kasih tahu aku pendapat kamu tentang karangan PYJ! ini ya. Jika masih bingung dan ada pertanyaan, sila tanyakan dan aku akan berusaha jawab sejelas mungkin. Satu lagi, please, kalau ada typo/kata rancu, langsung bombardir aja lewat DM/reply section, since yeah I extremely hate typo(s) as well.

Itu beberapa info penting yang perlu dipahami. Konsep karangan kayak gini mungkin nggak bakal payah dimengerti apabila ditulis satu-satu per judul tanpa dikait-kaitkan dengan judul utama Pick Your JIMIN!, aku suka yang rumit-rumit sih. Well, konsep ini bermula dari aku yang terpikir bikin cerita tebak-tebakan yang ada banyak Park Jimin-nya, anti-mainstream gitu! [Jimin on my mind: MEMANG PARK JIMIN NGGAK CUKUP SATU DOANG DI MUKA BUMI INI, MAUNYA BANYAK!]. Tambahan, lagu Filter jadi inspirasi aku untuk membangun karakter-karakter Jimin x tokoh utamanya di setiap judul. So, hopefully this note can help you to figure out how the stories would be before we start the ride in an hour. Stay tuned, chapter pertama dari judul pertama Pick Your JIMIN! (1): Lavender akan segera di-post!

Lots of love, Hematakaruan

21 Agustus 2021