PYJ! (1) – Lavender

[01/20]: si aroma lavender

SEJAK kehadirannya di rumah, aroma bunga lavender menyeruak dan menyelubungi hampir setiap lapisan suasana dan tempat. Ia seakan-akan menumpahkan sebotol parfum lavender di setiap sudut rumah. Awalnya penghiduku terusik membaui aroma lavender yang sebelumnya tak pernah kuhirup, terasa pekat dan memuakkan, tetapi lama-kelamaan, aroma lavendernya menjadi candu yang selalu menemani sepi; bagaikan nyamuk yang siap menghampiri kala malam. Aroma lavendernya terkadang menjadi alasanku menghabiskan waktu berdiam diri di rumah dari yang tadinya lebih suka berlama-lama di studio kampus, kendati tahu ia sendiri tidak sedang berada di rumah, aku selalu merasakan sensasi ditemani olehnyaㅡyang kutahu hanyalah fantasi liar ciptaan otakku sendiri.

Ada ungkapan lain yang menggambarkan sosok dirinya dalam imajinasiku akhir-akhir ini selain sosok Bunga-Lavender-berjalan-yang-wajahnya-sok-lucu-juga-sok-cuek, yakni Park-Jimin-bau-lavender-tetapi-setiap-malam-beradu-dengan-nyamuk. Ini bukan karangan semata, aku mendengar dengan telinga kepalaku sendiri ketika suatu malam tidak sengaja terbangun dan mendengar suara tepukan tangan, bunyi raket nyamuk, serta ocehan dan ringisan berasal dari kamarnyaㅡyang terletak tepat di depan kamarku. Tidak ada niat untuk menguping sebenarnya, tetapi alih-alih beranjak ke dapur mengambil sekaleng kopi hitam instan, kakiku justru berakhir diam di sana selama beberapa menit hanya untuk menebak-nebak apa saja yang tengah ia keluhkan pada pukul setengah satu pagi.

“Ah, yang benar saja? Aku bahkan sudah menguras bak kamar mandi kemarin pagi, kenapa nyamuknya tetap adaaa? Dan ini, kenapa raketnya tidak berfungsi padahal baru kucas kemarin malam? Ah, payah sekali, harusnya aku membeli kelambu saja daripada raket sialan seperti iniii. Eeergh.... Bagaimana aku bisa tidur dengan nyamuk-nyamuk sekejam vampir ini?!”

Pertama kali menguping keluhannya, aku hanya mendengus geli dan akhirnya pergi. Aku tahu ia pasti menyesal saat itu, karena Papa pasti sudah mengingatkannya beberapa hari sebelum bahwa rumah kami rawan terhadap gangguan nyamuk sebab dekat dengan lokasi pembuangan limbah pabrik sehingga harus senantiasa bersiap ketika musim hujan tiba sebab nyamuk akan berkembang pesat. Aku tidak berniat berinteraksi dengannya malam itu, entah memberi saran atau tawaran untuk tidur bersama di kamarku yang dibungkus kelambu hangat sehingga terlindungi dari seekor nyamuk, tetapi menyadari apa yang terjadi keesokan harinya, ada sedikit rasa sesal yang mengganjalku.

Pukul 8 pagi lewat beberapa menit aku seharusnya masih bermalas-malasan di tempat tidur, mendengar ocehan Hoseok dan atau Namjoon melalui telepon tentang apa saja yang berkaitan dengan dosen, PR, materi, studio, instrumen, dan tentunya keluhan-keluhan mereka perkara apa sajaㅡmulai dari hal sepenting tugas sampai setidakpenting menu sarapan apa yang harus mereka makan, tetapi tidak pagi itu, begitu ponsel di atas nakas berdering dengan nama Jung Hoseok di layar, aku sudah beranjak dari tempat tidur dan bersiap mengenakan sendal, dan tanpa pikir panjang, tanpa tujuan yang pasti, keluar dari kamar, mengabaikan panggilan Hoseok dan segala cara sadisnya untuk membangunkanku.

Tak ada keraguan sedikit pun ketika langkahku berakhir memasuki dapur, namun melihat eksistensinya di sana, dengan pakaian sopan-kasual serbapanjang khas anak kuliah, tahu-tahu memperlambat langkahku secara otomatis. Aku pun ragu, tetapi jauh lebih terkejut mendapati bintik-bintik merah di wajah hingga lehernyaㅡkhas gigitan nyamuk. Ia otomatis mengalihkan pandangan dari sandwich di tangan ketika menyadari kehadiranku di dapur pagi itu, dan terlihat sepasang bola mata sipitnya agak melebar sebelum akhirnya cepat-cepat berpaling dan menunduk sebisa mungkin dengan memainkan ponselnya di atas meja.

Aku melintas begitu saja, terkesan tak acuh seperti biasa, menuju kulkas dan untuk sesaat rasanya bingung hendak mengambil apa. Akhir-akhir ini Papa semakin gencar menyembunyikan stok botol kopi yang kusimpan di kulkas (walau tetap saja aku bisa menemukannya di kamar beliau, tepatnya di kolong tempat tidur), aku juga bukan penyuka susu, atau soda, atau sejenis minuman dingin lainnya, juga jarang sarapan di rumah terlebih jika Papa pergi bekerja ke luar kota, ujung-ujungnya aku membuang-buang waktu menatapi isi kulkas yang kebanyakan makanan dan minuman instan.

“E-Ekhem.”

Terdengar ia berdeham, sementara aku masih berdiam di depan kulkas seperti Hoseok yang kebingungan hendak memilih minuman apa kendati tahu hanya memiliki dua pilihan, antara soda kaleng atau soda botol, akan tetapi memakan waktu nyaris seperempat jam. Ujung-ujungnya aku menutup pintu kulkas tanpa mengambil apa-apa, lantas berbalik badan dan cukup tercengang ketika mendapati ia tengah bercermin. Benar-benar bercermin dengan sebuah cermin berbentuk bulat (kalau tidak salah, bentuk cermin seperti itu sering digunakan sebagai properti nenek sihir si gila awet muda oleh klub pementasan drama di kampus) berada di genggaman tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sibuk menyentuh kulit wajah. Ia belum menyadari bahwa aku sedang memperhatikan gerak-geriknya yang kini memberengut sok imutㅡbenar-benar sok imut dengan bibir mengerucut. Dasar.

“Bercermin, huh?” Ternyata aku masih jauh lebih sulit mengontrol bibir daripada mengontrol ekspresi, lihat saja, aku bahkan masih tidak percaya setelah mendengar kata itu keluar dari bibirku, ditambah melihat reaksinya yang diam membeku selayaknya es batu. Rasanya ingin sekali menjepit mulut ini menggunakan jepit jemuran lalu berlari ke kamar, tetapi karena kata-kata tidak bisa ditarik ulang, menyorotnya dengan tatapan dingin adalah jalan ninja untuk menjaga citra diri yang sudah terkelupas sedikit.

“A-Aku? Iya, aku-aku sedang bercermin.” Tersadar dari keterkejutan, ia meringis, cepat-cepat menurunkan cermin di tangannya dan menjawab tergagap-gagap. Aku mengakui ia tampak seperti anak kecil yang tepergok guru memetik bunga di taman sekolah. Tahu-tahu ia mengulas cengiran lebarㅡentah karena merasa malu tertangkap bercermin atau tengah mencairkan suasana yang mendadak aneh. Aku masih menutup bibir sampai kemudian ia mengangkat suara lagi, terdengar gugup. “Ka ... Kakak tidak biasanya bangun sepagi ini.”

Alisku terangkat. “Tidak biasanya?”

Ia mengangguk singkat. “Eum! Kita nyaris tidak pernah bertemu di pagi hari, kurasa. Oh ya, pernah, ketika pertama kalinya aku datang ke rumah ini, tetapi setelahnya tidak. Setelah kuperhatikan, setiap kali aku berangkat ke kampus, kamar Kakak masih tertutup rapat. Lalu sekarang ... aku cukup kaget melihat Kakak di pagi hari seperti ini.”

“Ini rumahku, 'kan?” Aku mendengus, lantas pergi begitu saja meninggalkan kulkas, dapur, dan Park Jimin yang pasti hanya bisa meneguk ludah. Terkadang aku mudah mengatakan sesuatu hal tanpa memikirkannya terlebih dahulu yang pada akhirnya berujung menyesalinya, seperti saat ini. Apa ia tersinggung?[]