PYJ! (1) – Lavender

[02/20]: dumbfounded

SATU hari itu berlalu biasa-biasa saja, namun sore harinya terlalu mengejutkan. Aku tiba di rumah tepat pukul setengah enam sore, dan ketika akan memasuki kamar, sebuah percakapan tertangkap pendengaranku yang mana berasal dari kamar sebelah. Seharusnya aku tidak menguping (lagi), tetapi untuk kali itu aku benar-benar tidak bisa mendiamkannya begitu saja.

“Akh... sakit, Tae!”

“Haduh, baru beberapa pijat sudah kesakitan. Tahan sendiri!”

“AkㅡAw! Pelan-pelan bisa tidak, sih, kau diam-diam berniat membuatku semakin tidak bisa berjalan, ya?!”

“Astaga, Dewa, ini sudah kubuat super-mega-ekstra-kombo pelan, Jiminie. Tahankan saja sakitnya, karena ini merupakan akibat dari kelakuan cerobohmu.”

Menjijikkan! Apa yang mereka lakukan di dalam kamar? Berdua? Menahan sakit? Ada banyak kemungkinan sebenarnya, tetapi tidak satupun yang terasa masuk akal. Aku juga tidak mau tahu, tetapi ini rumahku, artinya aku memiliki kuasa untuk melakukan apa saja termasuk mendobrak pintu kamar miliknya. Tunggu, langsung kudobrak saja?

Barangkali aku memang tidak membutuhkan jawaban atau tak perlu berpikir matang-matang, karena selang satu detik setelahnya, tubuh ini sudah langsung merangsek bagaikan polisi menyergap pencuri yang sudah tertangkap basah namun tetap hendak melarikan diri. Membenturkan bahuku ke pintu kamar yang ternyata tidak dikunci sama sekali, aku merasa tubuhku nyaris tercampak tatkala mendapati ia berbaring dengan kaki berselonjor di tempat tidur dengan seorang anak sepantarannya yang dipanggil Tae, duduk di tepi tempat tidur, tengah mengurut kakinya.

Mereka terperanjat, tetapi aku sendiri jauh lebih kaget dan jauh lebih malu. Lidahku kelu. Demi soda kaleng dan soda botol yang selalu membuat Hoseok dilema, aku ingin menenggelamkan diri ke rawa-rawa di belakang rumah guna melenyapkan segala bentuk kebodohan yang baru saja kulakukan. Stagnan dengan posisi berdiri setengah tercampak, dua mahkluk yang sudah membuatku berpikir akan hal yang tidak-tidak itu tampak kelimpungan saling memandang satu sama lainㅡbertelepati mempertanyakan apa yang baru saja terjadi. Jika mereka bertanya-tanya apa aku kesurupan atau mabuk berat, aku sendiripun tidak tahu harus menjawab apa.

Kata Hoseok dan Namjoon, aku manusia pertama yang mereka kenal bermuka tebal sekaligus berkuping tebal di dunia ini. Keras kepala dan masa bodoh adalah watak super yang bisa menghindarkanku dari bertubi-tubi masalah yang hendak menimpa, sayangnya kedua watak yang dipuja-puja oleh Namjoon dan dibenci oleh Hoseok itu tidak berguna jika sudah diperhadapkan dengan sesosok Park Jimin, anak teman kerja Papa yang terpaksa tinggal di rumah untuk beberapa bulan ke depan karena beberapa hal yang tidak seberapa kuketahui.

Kali itu, aku ingat betul bagaimana sensasinya ketika Park Jimin menatapku intens seolah-olah bertanya apa maksud dari tindakan tak beradab pemicu serangan jantung yang baru saja kulakukan. Namun, ekspresi dingin tak bersahabat yang biasa kulempar tidak berfungsi, luluh begitu saja selayaknya es batu di bawah panas matahari, berganti menjadi rasa panas yang merangkaki wajah hingga leherku; tak tercegah dan tak terkamuflasekan bahkan oleh kulit putihku sekalipun.

“Kak?” Jimin bergerak perlahan-lahan dari posisi berbaringnya menjadi duduk, ia memiringkan kepala, satu alisnya terangkat, dan tampak skeptis ketika lanjut bertanya, “Apa yang kaulakukan?”

Detik itu juga, lidahku mendadak kelu; aku kehilangan kata dan kepercayaan diri hanya karena seorang Park Jimin. Satu-satunya jalan untuk terhindar dari situasi memalukan itu adalah melarikan diri, namun tubuhku bahkan belum sempat bergerak satu inci manakala mahkluk yang dipanggil Tae tiba-tiba berdiri dengan senyum canggung.

“A-Anu, Kak.... Ini Ji-Jimin, si Ceroboh ini kena karma akibat menjahili temㅡ”

Jimin tiba-tiba menyergah tidak terima, beringsut sedikit dari posisi duduknya. “Aku? Kena karma akibat berbuat jahil?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan kedua bola mata melebar, mulut menganga, dan aku yang baru pertama kali melihat ekspresinya yang seperti itu otomatis mengerjap-ngerjapkan mata di tempat. Sejauh yang kuingat, ia jarang berekspresi garang, jarang menujukkan kemarahan atau kekesalan, alih-alih ia lebih sering berekspresi ceria, canggung, ringan, atau terkadang datar, dan bola matanya tidak pernah melotot selebar itu. Jadi, aku memilih diam, menunggu dan menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya. Persetan dengan urat malu!

Lawan bicaranya, si Tae, mengangkat jari telunjuk menuding Jimin. “Kau menjahili teman seruanganmu, ingat? Kau DENGAN SENGAJA menumpahkan lem di kursinya, lalu sebagai balasan, ia menjegal kakimu sampai-sampai kau kesulitan berjalan sekarang. Bukankah itu karma?”

Kening Park Jimin berkerut, sepasang alis matanya menyatu. “Si keparat itu yang lebih dulu mengusikku! Kenapa kau malah membelanya? Kau berteman dengannya atau denganku?”

“Aku berteman denganmu, tetapi sudah kukatakan berkali-kali aku tidak mau membela yang salah sekalipun itu temanku sendiri. Tentang dia yang mengusikmu ....” Manusia bernama Tae ini tiba-tiba menoleh kepadaku. Ia tampak tenang dan kalem ketika bertanya, “Kak, boleh aku minta pendapatmu? Jika ada yang membicaraimu diam-diam di belakangmu, apa itu artinya mengusik?”

Hah? Apa maksudnya?

“Kak?”

Aku mengedip, di sana Tae masih menunggu jawaban dariku, sementara si Park melayangkan tatapan paling bengis yang pernah kulihat seumur-umur semenjak kehadirannya di hidupku. Aku meneguk ludah dan kemudian mengedikkan bahu. “Aku ... tidak peduli.”

Aku memilih pergi setelahnya, masuk ke kamarku dan menutup pintu. Kupikir aku akan beranjak ke meja belajar untuk meletakkan ransel lalu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, nyatanya kakiku tetap stagnan di balik pintu dan memasang telinga tajam-tajam. Aku bukannya ingin tahu lebih lanjut tentang perdebatan mereka, hanya ingin mendengar bagaimana reaksi si Park pada jawabanku tadi.

“Kenapa kau bertanya kepadanya, sih? Dia tidak peduli apa pun. Lebih baik kau pijat kembali kakiku yang terkilir ini, lalu antar aku ke kamar mandi, lalu belikan makan malamku, lalu besok pagi kau datang menjemputku. Titik.”

“Oke, tapi sebagai gantinya kau harus meminta maaf kepada teman seruanganmu itu. Pantatnya darurat akibat lem setanmu itu, Jimin.”

“Meminta maaf?! Yang benar saj-”

“Aku pulang saja, kalau begitu.”

“ET! Kim Taehyung, kau ... ERRRGH!”

“Minta maaf atau aku pulang sekarang?”

“OKE! Aku akan meminta maaf, puas?”

“Puas, puas. Nah, sini kupijat lagi.”

Sore itu, aku baru tahu bahwasanya Park Jimin memiliki lidah yang tajam dan hati yang sensitif, tetapi kenapa ia tidak pernah menunjukkannya ketika berhadapan denganku? []