write.as

Klinik Kejujuran

Daren mendapatkan Kabar bahwa sahabatnya telah berbohong kepadanya. Tara telah membohonginya dengan keadaan dirinya. Daren lalu menjemput Revin untuk membenarkan kabar tersebut.

“Ini gua mau dibawa kemana sih?” Tanya Revin yang kebingungan karena diajak pagi pagi ke tempat yang belum diberitahu oleh temannya ini.

“Rumah Sakit.” Ucap Daren sambil mengemudikan mobilnya

“Lo sakit!? Kok baru ngomong disini? Lo sakit apa nyet!? gantian sini gue yang nyetir!!!” Revin memegang bagian tubuh Daren mulai dari kening, leher, hingga badannya.

“Lepasin anjir. Bukan gue.”

“Terus? Siapa dong?”

“Lo liat sendiri nanti.” Daren mengemudi dengan kecepatan diatas rata rata.


Daren dan Revin sampai di Rumah Sakit Premier. Ia berharap dapat bertemu sosok Tara dan Hari disana.

“Cepetan anjir jalan Lo!” Ucap Daren yang berjalan seperti orang kesetanan

“Sabar dong, gue udah jompo.” Revin menjawab dengan memegang perutnya yang sakit akibat diajak jalan seperti lomba marathon.

Mereka sampai di bagian informasi untuk menanyakan nama pasien yang Daren cari.

“Permisi, saya mau nanya informasi pasien nurse.” Tanya Daren kepada nurse yang sedang berjaga

“Boleh dibantu pak namanya”

“Meghantara Prakasa.” Ucap Daren

“HAH!? TARA SAKIT!? BUKANNYA DIA DILUAR KOTA SAMA HARI!?” Revin kaget dengan nama yang disebutkan oleh Daren

“Untuk Pasien tersebut baru saja keluar. Mungkin sekarang masih dibagian klinik untuk menebus obat.” Nurse tersebut menunjukan bukti keluar masuk pasien kepada kedua pemuda ini

“Makasih Nurse. Klinik nya dibagian mana ya?” Tanya daren

“Bapak lurus aja dari sini, nanti belok kiri. Ada kaca bening disana, banyak orang nunggu biasanya.”

“Makasih ya Nurse. Ayo kesana!” Daren menarik tangan Revin dengan paksa

“Lo jelasin kek ada apaan! Kenapa ada nama Tara Disini? Dia sakit apaan?” Tanya Revin yang tidak tahu apa yang sedang terjadi.

“Tara sama temen Lo, bohongin kita. Dia sakit dan dirawat disini. Jimmy, anak buah gue di cafe ngeliat Tara semalam. Dia fikir salah orang, ternyata benar.” Daren menjelaskan dengan raut muka yang kesal

“Wah bisa bisanya. Anjir juga. Baru kali ini gue sakit hati kaya diputusin cewek.”

Mereka berjalan kearah Klinik Rumah Sakit dengan keadaan yang sebenarnya panik. Di satu sisi mereka memang kesal, tapi di satu sisi lainnya, pasien tersebut adalah sahabat mereka sendiri.


“I-itukan Tara?” Revin menunjuk ke arah Tara yang sedang duduk menunggu Hari mengambilkan obat miliknya.

“Sssttt. Gue chat dia dulu.” Daren mengeluarkan hpnya dan memberi pesan kepada Tara.

Tak lama kemudian, Tara menengok ke arah tempat Daren berdiri. Ia kaget, bagaimana bisa mereka mengetahui posisi dia dirumah sakit ini. Daren dan Revin berjalan kearahnya.

“Ren....” Tara berdiri dihadapan sahabatnya itu dan melihat nya dengan tatapan kaget

“Oh ini yang diluar kota? Jauh juga ga jualannya Tar?” Daren menatap Tara

“Gue bisa jelasin Ren, Vin”

“Coba jelasin Tar? Gue mau tau kenapa Lo bohongin gue sama Daren?” Revin mengangkat kedua alisnya guna mendapat jawaban dari Tara

“Sebelum nya gue minta maaf karena gue bohong sama kalian. Karena gue gamau kalian ngerepotin kalian. Tapi serius, gue ga sakit yang serius banget kok.” Tara menjelaskan kepada kedua sahabatnya itu dengan tatapan yang tidak bisa dijelaksan dengan kata kata.

Tak lama kemudian, Hari datang dengan membawa sekantong obat yang baru saja ia ambil di loket Klinik. Hari kaget dengan kedatangan kedua sahabatnya. Bagaimana mereka tau?

“Oh sakit biasa? Coba sini gue liat obatnya!” Revin mengambil kantong obat yang dipegang oleh Hari dengan cepat

“Ehmm..... Obinatuzumab, okey antibodi. Terus, Nitolonib merek Tasigna. Obat Kanker Darah.” Revin memegang Nitolinib ditangannya dan menunjukkan ke arah Tara.

“Itu yang Lo bilang biasa? Lo lupa, kita mahasiswa kedokteran? Jelasin Tar!” Daren bertanya kepada Tara dengan suara yang terdengar dingin ditelinga Tara

“Vin, Ren, gue minta maaf. Lo pasti tersinggung sama sikap gue yang terkesan membeda bedakan sahabat sendiri. Tapi, serius, emang waktunya aja belum tepat. Hari tau karena waktu itu karena gasengaja nemuin gue di Halte. Malam dimana kalian main billiard. Jadi gue harap kalian gasalah paham ya?” Tara menjelaskan kepada sahabatnya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Susah Tar?”

“Sorry. Lo boleh marah sama gue, Ren.” Tara menjawab tanpa pembelaan lagi.

“Sesusah itu mengakui, Tar?” Daren bertanya lagi, seakan akan tidak merasa puas dengan jawaban Tara tadi

“Gue minta maaf, Ren, Vin.” Tara menjawab dengan nada yang mulai pelan, pandangannya mulai jatuh. Seolah, ragu menatap Daren dihadapannya.

“Sesusah itu mengakui kalau Lo lemah? Kalau Lo butuh support? Sesusah itu Tar?” Balas Daren dengan tak terduga oleh Tara. Tara menaikkan pandangannya, mengira sahabatnya ini akan marah dan meninggalkannya karena penyakitnya.

“Ngaku Tar. Ngaku kalau Lo juga lemah! Gue juga sama, gue juga lemah! Revin, Hari juga sama, pasti lemah!”

“Gue selalu percaya Lo, gue cerita ke kalian apapun masalah gue. Kenapa? Karena jujur gue lemah! Tapi seenggaknya gue dapet support dari orang orang yang gue percaya saat ini.”

“Lo kebiasaan banget, seberat apapun beban Lo, Lo telan sendirian. Lo gapernah ngeluh sama kita. Dan sekarang, pernyakit Lo udah separah ini Lo masih Telen sendirian juga. Lo jujur pun gaakan keliatan Cupu Dimata kita. Lo akan selalu jadi Tara yang kita kenal dengan kepintaran nya. Tapi jangan kepintaran tentang berbohong kaya gini. Kita manusia emang udah kodratnya sebagai makhluk yang lemah kok. Gabisa terus terusan kuat.” Daren mengambil nafas panjang setelah ucapan nya kali ini. Benar benar menampar Tara.

Mata cokelat milik Tara pun mulai berkaca kaca kembali. Seolah olah dia merasa sangat bersalah atas kebohongan yang ia tutupi selama 10 bulan ini.

“Apa ga capek Tar? Ga capek nahan sendirian terus terusan kaya gini? Udah berapa lama Lo bertahan?” Mata Daren kali ini mulai sayu

“S-sepuluh bulan Ren” Tara menjawab karena ia capek. Capek membohongi diri sendiri dan teman temannya. Dirinya sudah tidak sanggup menahan semua ini sendiri

“Tar, itu lama banget! Saat itu juga Lo masih kerja di Cafe gue? Dan ini alasan Lo mau resign? Tar. Gue bisa ngasih Lo uang sebanyak apapun demi kesehatan Lo anjing. Gue gamau kehilangan sahabat gue! Gue paham sama karakter sok kuat Lo, tapi kali ini gue mohon Tar, kita berjuang bareng bareng. Kita bisa saling support. Gue tau beban Lo paling berat diantara kita semua saat ini. Tapi kita bertiga, ada buat Lo.”

“Jangan Tahan lagi ya Tar? Sebelumnya gue mau bilang makasih. Makasih karena Lo udah berjuang sejauh ini. Ayo terus bertahan. Gausah pikirin biaya, gue dan bokap akan nanggung. Bokap ada kenalan di rumah sakit ini yang bisa kasih pengobatan lebih baik. Gue dan yang lain akan nemenin Lo sampe bener bener sembuh total.” Senyum Daren terukir di bibirnya setelah menyelesaikan kalimatnya yang sangat panjang.

Tangis Tara terdengar. Sangat keras. “Makasih Ren, gue kira Lo akan marah sejadi jadinya. Gue takut Lo salah paham dan mikir aneh aneh karena ini semua.”

“Heh Tara, gue sama Revin, gaakan marah kalau ini yang terjadi. Kita gamungkin ngebiarin Lo lama lama dirumah sakit” ucap revin yang mulai ikut berkaca kaca dimatanya

Tara memeluk ke 3 sahabatnya itu dengan erat. “Ren, Vin, Har, gue gak tau harus bilang apa lagi. Gue.... Astaga tuhan bener bener baik banget udah mempertemukan gue dengan kalian. Maafin kalau gue ragu dan takut ngasih tau kalian selama 10 bulan ini. Gue akuin, gue butuh kalian semua disini.” Ucap Tara yang tidak bisa menahan perasaannya.

“Ambil darah Hari Ta, GPP, ambil. Dia rela kok buat Lo.” Ucap revin berusaha mencairkan suasana

“Hahaha emang gue vampire? Gausah. Cukup gue aja yang sakit. Gue pengen temen temen gue sehat dengan darah yang baik baik aja.”

“Tar, sampai tua ya? Lo harus bertahan sampai tua.” Ucap Daren yang masih memeluk sahabatnya ini

Pagi itu, Tara benar benar cengeng. Sangat bukan dirinya. Tapi.... Tidak apa. Tidak ada rahasia diantara Genk Kesatria Malam lagi. Tara berhasil menurunkan egonya kali ini untuk tidak berbohong kepada mereka lagi.