Denial

“Levi, kamu sadar nggak?” Hange menggerakkan perlahan sebuah boneka tangan di hadapan wajah putranya, “sepertinya Udo pendiam bukan karena mewarisi tabiatmu.”

Pria bersurai raven itu ikut duduk di tepi ranjang. Menatap bayi laki-laki yang hanya diam meski sang ibu mengangkat mainan warna-warni di depan matanya.

“Aku takut,” suara Hange menukik di ujung kalimat. Napasnya tercekat. Ia sedikit menggigit bibir untuk menahan isakan yang kian mendesak.

“Aku takut Udo tidak bisa melihat.”

Napas Levi ikut tertahan. Tubuhnya membeku sesaat. Akalnya turut mengamini prasangka Hange.

“Jangan bicara yang tidak-tidak,” hanya saja lisannya menepis mentah-mentah.

Hange juga ingin melakukan hal yang sama. Sangat ingin. Namun, bukankah lebih baik jika mendapatkan jawaban dari seorang ahli?

“Kuharap itu hanya perasaanku saja,” bisik Hange sebelum berbaring di samping putranya.


Semua orang ingin bayinya terlahir dengan sehat dan selamat. Namun nyatanya, ada pula anak-anak yang ditakdirkan menjadi istimewa sejak awal.

Lantas agaimana jika sang takdir memilih putramu?

“Maafkan aku Levi,” suara Hange diliputi isak. Dugaannya kini bukan lagi sekadar prasangka.

Levi hanya mengusap tangan Hange yang mendekap Udo. Ditatapnya bayi mungil yang banyak mewarisi fitur wajahnya sendiri. Tak perlu diragukan lagi, itu putranya.

Tangan Levi menarik sabuk pengaman dan memasangkannya untuk sang istri. Ia mengecup puncak kepala Hange sekilas sebagai jawaban.

Dan air mata Hange pun menetes tanpa dapat dicegah.

“Kemungkinan besar Si Kecil memang tidak dapat melihat.”

Satu kalimat yang bahkan belum pasti, tapi sukses besar menghancurkan hati Hange.

Dan satu kalimat pula yang selalu terngiang dibenaknya,

Ini hanya mimpi kan?

-tbc-