69

Sepulang dari ujian tesis, harusnya Hanji berbahagia. Melakukan selebrasi kecil atau apa. Ini malah diem-dieman gara-gara Levi ngambek. Bahkan suasana mengerikan itu masih bertahan hingga esok harinya.

“Hey, adek kecil. Kenapa diem mulu sih?”

Levi tidak bisa mendengar pertanyaan itu sebagai candaan. Ia makin merengut dan meninggalkan Hanji di ruang makan. Melesat ke kamar tanpa sepatah kata pun.

“Kenapa sih? Harusnya kan seneng kamu dikira adekku. Keliatan masih muda kan? Harusnya aku dong yang kesel gara-gara keliatan tua.”

Hanji menutup pintu kamar. Memastikan pembicaraannya dengan Levi tidak sampai ke telinga Asa.

“Kalo aku dikira adekmu, itu artinya kamu dikira masih single.”

Loh, kok?

“Apalagi kamu nggak pake cincin.”

Baiklah. Levi ada benarnya.

“Aku udah pernah bilang kalo cincin bikin ribet pas di lab kan? Jadi aku taruh cincinnya di sini,” tutur Hanji sembari menyentuh kalung yang ia kenakan.

Levi masih tidak bicara. Ia terduduk di tepi ranjang dengan wajah yang ditekuk. Entah kenapa bawaannya pengin ngambek aja.

“Kamu takut dosen penguji yang kemaren naksir aku? Ga mungkin kok. Bapaknya udah punya cucu seumuran Asa.”

“Mungkin aja lah.”

Sinting ini orang. Dia mikir ada aki-aki yang suka sama aku?

“Levi, coba liat aku.”

Pria murung itu mengangkat wajah. Melempar tatapan malas pada sosok wanita yang berdiri di hadapannya.

“Apa?”

Hanji hanya tersenyum. Ia mengambil kedua tangan Levi dan meletakkan di pinggangnya.

Manik cokelat itu berbinar cerah. Memancarkan bahagia dengan senyum manisnya. Samar semburat kemerahan menghiasi kedua pipi sang puan. Membuat Levi tanpa sadar ikut mengulas senyum.

“Aku punya hadiah buat kamu.”

Apa ini? Sebuah sindiran karena Levi tidak memberi apa-apa setelah ujian tesis kemarin?

“Maaf aku nggak ngasih kamu bunga atau bingkisan kayak orang-orang,” bisik Levi penuh sesal.

“Eh, bukan itu maksudku. Gapapa kamu ga ngasih gituan. Aku beneran mau ngasih hadiah buat kamu.”

Hadiah apa? Ia sedang tidak berulang tahun. Melakukan suatu pencapaian yang prestisius juga tidak.

Apakah hadiah agar ia tidak mengambek lagi?

Levi memejamkan mata. Bersiap menerima hadiah apapun yang akan diberikan Hanji.

Lah ngapain merem? Pede banget mau dicium apa ya?

Namun demi tidak menyakiti perasaan Levi, Hanji tetap mendaratkan sebuah ciuman. Kemudian membisikkan sebuah kalimat di telinganya.

“Hadiahnya ada di saku baju tidurku.”

Levi mengernyit tak mengerti. Ia hanya menuruti perkataan Hanji dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

Sebuah strip putih-biru. Dan dua garis merah di tengahnya.

Itu artinya...

“Selamat. Kamu bakal jadi ayah beneran sekarang.”

Sejenak Levi termenung. Ia memandangi dua garis merah itu dalam diam. Membuat Hanji jadi sedikit takut kalau-kalau Levi belum siap memiliki seorang anak.

“Kenapa...”

Tuh, kan. Ya Tuhan... Beri hamba kekuatan untuk menghadapi ini.

“Kenapa baru bilang sekarang? Jujur sama aku, sejak kapan kamu nyembunyiin ini?”

Hah?

“Apaan sih. Aku juga baru tau hari ini.”

“Bohong. Aku ga liat kamu beli testpack.

“Ga percayaan banget sih. Kamu ga suka ya kalo aku hamil?”

Nada bicaranya terdengar sangat menusuk di telinga Levi. Membuat Levi langsung menggeleng dan menarik tubuh Hanji dalam pelukan.

“Aku suka. Ini hadiah yang luar biasa,” ujar Levi yang meletakkan telinga di perut Hanji.

Hanji menghela napas lega. Bersyukur karena Levi tidak keberatan dengan kehamilan yang sama sekali belum mereka rencanakan. Penerimaan Levi yang sangat baik membuatnya tidak khawatir dengan banyak hal yang harus mereka siapkan setelah ini.

“Anak kita pasti pinter banget nanti,” ujar Levi tiba-tiba.

“Kenapa gitu?”

“Belum lahir aja dia udah ikut ujian tesis sama ikut wisuda pascasarjana. Gimana kalo udah lahir?”

Hanji terkekeh kecil. Ia mengusap rambut Levi berulang kali. Mensyukuri kehidupan yang Tuhan anugerahkan padanya. Suami seperti Levi. Seorang adik seperti Asa. Dan kini calon bayi di kandungannya. Semua bagai keajaiban dalam hidupnya setahun terakhir.

Mungkin perjalanan masih panjang dan berliku. Namun dengan kehadiran Levi di sampingnya, ia yakin mereka dapat melalui hari-hari sulit itu bersama.

Hanji memejamkan mata saat Levi mengecup perutnya. Ia ikut membisikkan doa pada sosok pelengkap keluarga mereka di dalam sana.

“Semoga keluarga kita diberi keberkahan dan kebahagiaan dalam hidup ini.”[]